Monday, April 10, 2017

Catatan tentang MusikBagusDay


Sore masuk malam, saya sampai di Cilandak Town Square. Langsung pandangan mata disambut oleh deretan booths yang menjajakan CD, kaset dan vinyl album dalam dan luar negeri. Termasuk dijual pula aneka pernak-pernik musik, seperti pemutar cd dan vinyl, sampai merchandise band atau kaos-kaos bertema band dan artis penyanyi. Ada juga booth yang menawarkan aneka topi, dari cap, trucker, snapback sampai laken ala koboi!
Rame memang. Dan di areal atrium lobby Citos itu, terdapat main-stage, yang akan diisi beberapa performers, sebagai acara puncaknya.Ya, ini adalah gelaran ke-5, iya kan kelima ya ya mudah-mudahan ga salah menghitung deh. Dari program bulanan bertajuk, Musik Bagus Day.
Ini kali kedua saya datang dan menonton,sekalian juga nongkrong, di acara ini. Bulan silam, saya diundang menjadi moderator untuk ngocol bareng eh tepatnya, Denger Bareng album Zentuary. Tentunya langsung dengan yang empunya album itu, Dewa Budjana.
Kali ini saya datang, asli hanya untuk...ah ya sebut saja, gaul deh! Gaul, silaturahmi, kongkow bareng teman-teman. Pikiran saya, pastinya saya akan berjumpa dengan teman-teman di sana. Ya pemusik, ya penyanyi, ya teman-teman event organizer sampai wartawan-wartawan musik. Sebelumnya memang sempat janjian dengan kang Hari Pochang.
Kang Hari Pochang, memang datang untuk memberikan klinik tentang harmonika. Lalu ia juga dijadwalkan perform berkolaborasi dengan Ginda Bestari. Saya datang, pas acara klinik sudah selesai.Jadi memang ada beberapa mata acara klinik, workshop, denger bareng dan sejenisnya dari siang sampai sore. Menyebar di resto-resto ataupun cafe yang ada di dalam Citos.
Terus terang saja, saya ga terlalu paham siapa penyelenggara acara ini. Yang saya tahu hanya ada IntanbadutromantisAnggita sebagai salah satu seksi sibuk acara, bersama sang suami. Karena Intan lah yang menghubungi saya di bulan silam untuk menjadi moderator. Lalu ada bro Aldo Sianturi, saat ini lebih dikenal sebagai orang “digital content”, tentunya musik.
Dan satu yang menjadi motor utama acara ini, bung Glenn Fredly Latuihamalo. Saya sempat bersay hi, hoi, huy dengan mereka. Dengan Aldo, hai bro baru datang? Aldo dengan ramah menghampiri dan menjabat erat tangan saya. Lalu Intan, berbincang sedikit perihal berat badan, dimana menurut saya, di dalam badan yang sehat terdapat jiwa musik bagus yang sehat juga adanya, and the point is, weight doesn’t matter.


Apaan sih? Tapi suasana Musik Bagus Day itu menyehatkan. Baik dengan aneka booths yang terus terang, cukup “menggoda iman”. Eh saya mungkin agak terlalu “kurang gaul”, kalau sampai hari ini ga punya vinyl. Maksudnya ya memang bukan pemburu vinyl, kurang kekinian nih. Karena vinyl mulai lebih naik daun sejak 3-4 tahun terakhir. Saya belum punya tuh.
Secara gini, soal vinyl atawa piringan hitam itu. Di masa kecil dulu, ayah saya adalah pembelanja vinyl. Saya tak pilih kata kolektor, walau rasa-rasanya piringan hitam di rumah itu bertumpuk-tumpuk jumlahnya, ratusan dan cukup memusingkan untuk penempatannya. Paling tidak, itu menurut ibu saya.
Jadi waktu kecil sih, terbiasa dengar rekaman audio dari iringan hitam. Selain kaset dan cartridge sampai reel. Tahun 1960-1970an, Compact-Disc belum ditemukan. Rasanya sang penemu cd dulu itu masih bersekolah deh. Di rumah kami, ayah punya beberapa pemutar piringan hitam, selain satu set audio system yang canggihlah, di jaman itu. Kelasnya sudah kelas perabotannya mobile-discotheque, yang lagi marak di saat itu.
Nah saat piringan hitam sekarang diburu orang lagi, belum lantas booming hebat sih, tapi ya mulai jadi trend. Apesnya, piringan hitam mendiang ayah, sudah asli ludes habis, saat kami pindah rumah! Saya tempo hari itu, ya tak mengira piringan hitam itu akan jadi trend lagi sih,jadi rada membiarkan bertumpuk-tumpuk piringan hitam aneka musik, diangkut...tukang loak!
Intermezzo masa kecil dulu. Nah di MusikBagusDay, saya merasakan memang minat atas vinyl meningkat dan potensial. Karena itulah, booths yang menjajakan vinyl, jelas penuh semangat. Rata-rata ada pembelinya, sepanjang seharian MusikBagusDay. Hukum dagangnya nyata, ada demand ya pasti ada supply....
Menarik ada semacam movement yang dipelopori acara MusikBagusDay begini. Salah satu landasan misi utama, bagaimana kita bisa mengenal lebih jauh musik Indonesia. Musik-musik bagusnya. Dari jaman ke jaman. Ada “wadah” untuk bisa mengenal, mengetahui, mendekatkan diri, berakrab-akrab lantas ya mencintai.
Wadahnya kumplit-plit rasanya. Ya sisi edukasinya ada, sejarahnya juga dibeberkan lumayan lengkap, pengetahuan juga bisa didapat. Publik, pemerhati musik sampai para pelaku bertemu, berkumpul, bersatu. Demi kejayaan Musik Indonesia tercinta. Merdeka!!! Ah, heroik betul!
Iya saya melihatnya positif, dimana ada upaya mengangkat musik Indonesia kita. Menjadi sebuah “alat” positif dalam menggalang pemberdayaan kaum muda, generasi penerus, dalam wilayah industri kreatif yang berdaya guna. Positif dong, merangsang kreatifitas, sekaligus mencolek rasa kepedulian, apresiasi sampai....eh urusan juga mencintai tanah air nih.
Glenn Fredly, di saat jam mendekati  22.00an WIB, di sebuah tempat ngopi di dalam Citos, bercengkrama dengan Titik Hamzah, si “Dara Puspita” itu. Ada juga penyanyi cantik 1980-an, Cici Sumiati. Bergabung juga Kadri Mohamad, lawyer cum singer penuh vitalitas dan enerji itu. Termasuk ada saya dan orang terdekat saya, Tyas Yahya, yang pemerhati musik 1980-an juga.


Glenn menjelaskan visi dan misi atas MusikBagusDay nya ini. Jadi tak sekadar bercengkrama, bersenda gurau, tertawa-awa. Lalu bertanya banyak hal, prospek negara, masyarakat lalu bangsa ini kepada Titik Hamzah saja. Sampai tanyain, kapan bagusnya kami menikah... Hahahaha. Kok Titik Hamzah? Nanti, lain waktu saya ceritain tentang seorang Titik Hamzah deh.
Intinya adalah, dalam kebaikan ada kebenaran. Di dalam kebenaran itu ada...Ahok! Begitu ucap Titik Hamzah. Dan tante atau mbak Titik, yang bilang umurnya sudah berkepala 8 itu memuji maksud dan tujuan Glenn atas MusikBagusDay movement-nya ini. Langkah proaktif yang konkrit tentunya.
Aaaaah nyang neberrr, kepala 8??? Kudu dipanggil eyang atawa oma dong? Tapi yang jelas, mbak Titik sepanjang cakap-cakap kemarin, senantiasa memberikan penilaian terhadappara penyanyi kita. Penyanyi yang bener, kurang penjiwaan, ia tidaklah menyanyi, oh dia hanya sekedar menyanyi lewat mulut tanpa hatinya ikut menyanyi. Seperti itulah penilaiannya. Nama-nama yang disebut tante eh mbak Titik, saya pilih untuk saya simpan sajalah ya....
Kembali ke soal pergerakan musik. Sempat ada riak-riak pendahulu, misal apa yang dilakukan Irama Nusantara. Saya juga sempat mengenal, belakangan jadi lebih dekat dengan komunitas Diskoria. Mereka bergerak nyata, mengangkat musik-musk Indonesia dari era 1950 kemudian. Bahkan dari era-era yang sebelumnya.
Kalau Irama Nusantara lebih umum, merangkum katalog semua musikIndonesia jaman-jaman dulu, bahkan hingga sebelum jaman sebelum kemerdekaan. Diskoria lebih mengkhususkan diri pada musik-musik Indonesia era 1970-1980an yang mereka angkat, “memberikan aksentuasi dansa”, di bawa ke atas lantai dansa para followers mereka! 
Gerakan-gerakan untuk peduli dengan musik Indonesia, tentu saja bagus. Bagus bukan semata pada konteks, ada musik bagus dan tidak bagus. Glenn juga menyatakan, bagus itu relatif. Tapi buat saya, bagus ini dalam arti ada sebuah pergerakan musik sejak masa lalu, yang menjadi dasar atas musik sekarang.


Musik-musik sekarang, yang memanjakan telinga dan hati para penikmat musik muda, sebagai pasar terbesar musik, ada tuh “awal mula”nya. Dulu itu, ada ini dan itu, ada si anu, dengan musiknya yang begini nih. Bahwa kakek-nenek atawa ayah ibumu, menyukai yang begini dan begini serta yang begitu dulu, saat mereka masih seusia sekitar kalian.... Kira-kira begitu deh.
Dan ah memang menjadi pilu tiada terkira, ketika mengetahui musik-musik lama Indonesia kini dicari-cari lagi. Tapi itu memang telah menjadi semacam artefak kebudayaan yang penting. Kalau inget kan ya, bertumpuk-tumpuk vinyl di rumah saya yang dulu, yang saya tahu banyak rekaman musik Indonesia era 1950-1960an hingga 1970an dulu. Saya menyia-nyiakannya....
Rekaman-rekaman audio itu adalah sebagai koleksi penting, bukti konkrit. Seperti apa musik kita di era-era sebelumnya. Jelas dan nyata dong. Yang harus disyukuri, sekian lama bangsa kita rada lalai dan terkesan kurang begitu peduli, pada pendokumentasian sejarah. Sejarah apapun, termasuk musik.
Kalau lantas dimulai pada beberapa tahun belakangan, well...better late than neverMusic...never goes out of style, meminjam jargon sebuah produk denim yang eksis dari era 1970-an sampai sekarang. Upaya yang harus didukung tentunya.
Dampak terusan, lantas vinyl menjadi trend, itu hanya salah satu buah dari pergerakan itu. Sisi positifnya jelas, publik bahkan bisa menikmatinya sambil leyeh-leyeh di rumah, boleh ngopi, minum wine atau have some beers. Minum bandrek atau secang juga ga dilarang.
Artinya, “sejarah” itu bisa dinikmati leluasa. Di bawa pulang. Yang artinya, tak bakal dilupakan. Ada sejumput penghargaan di situ. Memberi atensi dan apresiasi. Ikutan berikut mungkin baiknya disusul pada literasi. Ketersediaan rangkuman sejarah, dalam hal ini musik. Sisi itu, juga belum tersentuh dengan maksimal.
Kalau buat saya, saya tertarik dan respek dengan sebuah buku sejarah musik (jazz) Indonesia karya mendiang, sahabat saya, Deded Er Moerad. Yang pernah saya ingin betul melengkapinya. Atau, meneruskannya. Karena saya pikir, begitu banyak teman-teman yang berperan serta dalam menjalankan, atau membunyikan, jazz di Indonesia selama ini.
Misal dari era 1960-1970an, sebagai era dimana jazz mulai berbunyi di tanah air. Ada gerakan lain, yang terasa semangatnya lebih menggelora di era-era berikutnya. 1980-1990an lah kira-kira. Dimana saya kebetulan sempat mengkutinya lebih dalam, masuk dalam dunia itu, memotretnya dan mengingatnya. Ya saya bertolak dari itu, membangkitkan minat dan niat.
Yang sayang, kagak kelar-kelar juga sampai....ya sampai tulisan ini saya buat! Hahahaha. Tapi itu baru sebatas jazz. Musik lain juga kiranya perlu memperoleh atensi dan apresiasi yang sama. Music speaks luoder than words kan.... Tapi perkara hari ini, words itu adalah lebih menjelaskan dan punya ruang memberi kelipatan berlebih pada atensi dan apresiasi. Dari generasi masa kini, terhadap generasi pendahulunya.


Setelah mengetahui ada nama penyanyi si A di jaman 70-an, mendengarkan suara dalam rekamannya. Kemudian membaca, untuk lebih mengetahui detil perjalanan hidupnya dalam tulisan. Syukur-syukur ada rekaman gambar atau videonya, melengkapi foto-foto. Tentu akan lebih lengkap lagi, lebih sempurna dalam memberi apresiasi dan respek.
Ternyata dulu ada grup D lho. Oh mereka itu musiknya begitu, sejarahnya cukup panjang juga. Penampilan mereka unik juga ya.  Lantas, merekapun mencintai, menyukai gegara adanya “kelengkapan” data yang telah diterima.
Dalam hal penulisan, sayangnya tak begitu banyak yang berminat untuk menuliskan sejarah. Mengumpulkan informasi, cerita-cerita sampai foto-foto. Kemudian dibagi ke khalayak. Pun seorang wartawan musik.
Walau bisa saja, sadar atau tidak, seorang wartawan lewat tulisan-tulisannya yang dimuat di medianya, ikut menghadirkan sejarah. Menjadi bahan dokumentasi. Apalagi bila di-filing dengan baik. Dapat diakses, dan menjadi artefak pula, saat 10 atau 20 tahun lagi.....
MusikBagusDay menjadi sebuah wadah persemaian bibi-bibit cinta kesejarahan, dalam hal ini musik. Sekaligus merangsang untuk bertumbuh-kembangnya dengan baik,para generasi penerus. Jaman sekarang, dengan kemajuan tehnolgi informasi, bertebarannya arena media sosial, apa lagi yang menjadi kendala?
Selalu saja menarik, untuk ikut melihat dan memahami pergerakan-pergerakan positif. Terutama terkait dengan sejarah, tapi sekaligus bagaimana memberi fondasi yang baik dan benar, untuk waktu kemudian.
Glenn melangkah dengan wadah yang sepertinya berpihak pada kaum indie. Atawa independent, yang ada di luar jalur mainstream musik industri. Itu baik banget, karena jalur industri toh telah menguasai pasar selama ini.
Pergerakan indie pada perjalanannya, sejak sekitar jelang selesainya dekade pertama 2000-an, seperti menemukan celah untuk dapat berkembang dengan “lebih sehat”. Beberapa produk rekaman, diikuti show-shownya kemudian, mampu mencapai angka penjualan yang bahkan melampaui pencapaian produk rekaman major-label.
Hal begitu membuat, kalau hari ini  sih tak ada lagi kayaknya batasan indie-label dan major label. Semua jalur, punya kesempatan sama. Punya “hak hidup” yang sama. Tinggal semangatnya, tinggal kreatifitasnya untuk bagaimana lebih eksis dengan benar.
Yoih eksis bukan sekedar bisa bikin album saja,lantas dijual ke publik. Karena ada ongkos yang tak sedikit kan? Kalau sekedar menyelesaikan album lantas menjualnya. Iya kalau laku. Kalau ternyata ga laku, gimana coy? Masihkah bersemangat terus, untuk melanjutkan karir musiknya?
Nah wadah model MusicBagusDay, sebelumnya juga ada acara seperti RecordStoreDay, menjadi etalase-etalase yang bisa dimanfaatkan maksimal. Baik buat jualan produk rekaman, bahkan sampai merchandise. Ataupun arena unjuk kemampuan, menampilkan karya-karyanya.
MusikBagusDay itu ada panggung. Yang memang menampilkan para musisi muda, dengan segala kreatifitas bermusiknya. Menurut Glenn,penampilan di panggung tentu lewat kurasi terlebih dahulu. Tapi tetap tujuannya, memberi ruang gerak lebih leluasa lagi untuk semua musik menunjukkan diri.

Pada perjalanan kemudian, kita mungkin boleh banyak berharap. Dunia musik lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah, bukan semata-mata pada hal pendanaan. Tapi lebih pada memberi penghargaan dan apresiasi yang lebih baik. Salah satunya, bagaimana meminimalisir gangguan pembajakan misalnya.
Selain itu,bagaimana musik sebagai bagian dari industri kreatif, akan menjadi jalan untuk kaum muda berkarya maksimal secara positif. Musik itu juga sangat berpotensi mempersatukan masyarakat.
Well, pada akhirnya kita tunggu dan lihat perkembangan musik Indonesia di tahun-tahun mendatang. Sembari kita menantikan, ada apa lagi di MusikBagusDay di edisi-edisi berikutnya? Lanjut dan teruskan segala hal baik dan positif, yang memberi tambahan semangat dan ikut mencerdaskan.
Salam Musik Bagus!/*




///Dalam tulisan ini, sebagai pelengkap adalah karya-karya jepretan saya yang “terbatas”,  di acara MusikBagusDay edisi April, yang digelar pada Kamis  April lalu






No comments: