Sore
masuk malam, saya sampai di Cilandak Town Square. Langsung pandangan mata
disambut oleh deretan booths yang
menjajakan CD, kaset dan vinyl album dalam dan luar negeri. Termasuk dijual
pula aneka pernak-pernik musik, seperti pemutar cd dan vinyl, sampai
merchandise band atau kaos-kaos bertema band dan artis penyanyi. Ada juga booth
yang menawarkan aneka topi, dari cap,
trucker, snapback sampai laken ala koboi!
Rame
memang. Dan di areal atrium lobby Citos
itu, terdapat main-stage, yang akan
diisi beberapa performers, sebagai
acara puncaknya.Ya, ini adalah gelaran ke-5, iya kan kelima ya ya mudah-mudahan
ga salah menghitung deh. Dari program bulanan bertajuk, Musik Bagus Day.
Ini
kali kedua saya datang dan menonton,sekalian juga nongkrong, di acara ini.
Bulan silam, saya diundang menjadi moderator untuk ngocol bareng eh tepatnya,
Denger Bareng album Zentuary. Tentunya langsung dengan yang empunya album itu,
Dewa Budjana.
Kali
ini saya datang, asli hanya untuk...ah ya sebut saja, gaul deh! Gaul,
silaturahmi, kongkow bareng teman-teman. Pikiran saya, pastinya saya akan
berjumpa dengan teman-teman di sana. Ya pemusik, ya penyanyi, ya teman-teman event organizer sampai wartawan-wartawan
musik. Sebelumnya memang sempat janjian dengan kang Hari Pochang.
Kang
Hari Pochang, memang datang untuk memberikan klinik tentang harmonika. Lalu ia
juga dijadwalkan perform
berkolaborasi dengan Ginda Bestari.
Saya datang, pas acara klinik sudah selesai.Jadi memang ada beberapa mata acara
klinik, workshop, denger bareng dan sejenisnya dari siang sampai sore. Menyebar
di resto-resto ataupun cafe yang ada di dalam Citos.
Terus
terang saja, saya ga terlalu paham siapa penyelenggara acara ini. Yang saya
tahu hanya ada Intan “badutromantis”
Anggita sebagai salah satu seksi
sibuk acara, bersama sang suami. Karena Intan lah yang menghubungi saya di
bulan silam untuk menjadi moderator. Lalu ada bro Aldo Sianturi, saat ini lebih dikenal sebagai orang “digital content”, tentunya musik.
Dan
satu yang menjadi motor utama acara ini, bung Glenn Fredly Latuihamalo. Saya sempat bersay hi, hoi, huy dengan mereka. Dengan Aldo, hai
bro baru datang? Aldo dengan ramah menghampiri dan menjabat erat tangan saya.
Lalu Intan, berbincang sedikit perihal berat badan, dimana menurut saya, di
dalam badan yang sehat terdapat jiwa musik bagus yang sehat juga adanya, and the point is, weight doesn’t matter.
Apaan
sih? Tapi suasana Musik Bagus Day itu menyehatkan. Baik dengan aneka booths yang
terus terang, cukup “menggoda iman”. Eh saya mungkin agak terlalu “kurang
gaul”, kalau sampai hari ini ga punya vinyl. Maksudnya ya memang bukan pemburu
vinyl, kurang kekinian nih. Karena vinyl mulai lebih naik daun sejak 3-4 tahun
terakhir. Saya belum punya tuh.
Secara
gini, soal vinyl atawa piringan hitam itu. Di masa kecil dulu, ayah saya adalah
pembelanja vinyl. Saya tak pilih kata kolektor, walau rasa-rasanya piringan
hitam di rumah itu bertumpuk-tumpuk jumlahnya, ratusan dan cukup memusingkan
untuk penempatannya. Paling tidak, itu menurut ibu saya.
Jadi
waktu kecil sih, terbiasa dengar rekaman audio dari iringan hitam. Selain kaset
dan cartridge sampai reel. Tahun 1960-1970an, Compact-Disc belum ditemukan. Rasanya
sang penemu cd dulu itu masih bersekolah deh. Di rumah kami, ayah punya
beberapa pemutar piringan hitam, selain satu set audio system yang canggihlah, di jaman itu. Kelasnya sudah kelas
perabotannya mobile-discotheque, yang
lagi marak di saat itu.
Nah
saat piringan hitam sekarang diburu orang lagi, belum lantas booming hebat sih, tapi ya mulai jadi
trend. Apesnya, piringan hitam mendiang ayah, sudah asli ludes habis, saat kami
pindah rumah! Saya tempo hari itu, ya tak mengira piringan hitam itu akan jadi
trend lagi sih,jadi rada membiarkan bertumpuk-tumpuk piringan hitam aneka
musik, diangkut...tukang loak!
Intermezzo
masa kecil dulu. Nah di MusikBagusDay, saya merasakan memang minat atas vinyl
meningkat dan potensial. Karena itulah, booths yang menjajakan vinyl, jelas
penuh semangat. Rata-rata ada pembelinya, sepanjang seharian MusikBagusDay.
Hukum dagangnya nyata, ada demand ya
pasti ada supply....
Menarik
ada semacam movement yang dipelopori
acara MusikBagusDay begini. Salah satu landasan misi utama, bagaimana kita bisa
mengenal lebih jauh musik Indonesia. Musik-musik bagusnya. Dari jaman ke jaman.
Ada “wadah” untuk bisa mengenal, mengetahui, mendekatkan diri, berakrab-akrab
lantas ya mencintai.
Wadahnya
kumplit-plit rasanya. Ya sisi edukasinya ada, sejarahnya juga dibeberkan
lumayan lengkap, pengetahuan juga bisa didapat. Publik, pemerhati musik sampai
para pelaku bertemu, berkumpul, bersatu. Demi kejayaan Musik Indonesia
tercinta. Merdeka!!! Ah, heroik betul!
Iya
saya melihatnya positif, dimana ada upaya mengangkat musik Indonesia kita. Menjadi
sebuah “alat” positif dalam menggalang pemberdayaan kaum muda, generasi
penerus, dalam wilayah industri kreatif yang berdaya guna. Positif dong,
merangsang kreatifitas, sekaligus mencolek rasa kepedulian, apresiasi
sampai....eh urusan juga mencintai tanah air nih.
Glenn
Fredly, di saat jam mendekati 22.00an
WIB, di sebuah tempat ngopi di dalam Citos, bercengkrama dengan Titik Hamzah, si “Dara Puspita” itu.
Ada juga penyanyi cantik 1980-an, Cici
Sumiati. Bergabung juga Kadri
Mohamad, lawyer cum singer penuh
vitalitas dan enerji itu. Termasuk ada saya dan orang terdekat saya, Tyas Yahya, yang pemerhati musik
1980-an juga.
Glenn
menjelaskan visi dan misi atas MusikBagusDay nya ini. Jadi tak sekadar
bercengkrama, bersenda gurau, tertawa-awa. Lalu bertanya banyak hal, prospek
negara, masyarakat lalu bangsa ini kepada Titik Hamzah saja. Sampai tanyain,
kapan bagusnya kami menikah... Hahahaha. Kok Titik Hamzah? Nanti, lain waktu
saya ceritain tentang seorang Titik Hamzah deh.
Intinya
adalah, dalam kebaikan ada kebenaran. Di dalam kebenaran itu ada...Ahok! Begitu
ucap Titik Hamzah. Dan tante atau mbak Titik, yang bilang umurnya sudah
berkepala 8 itu memuji maksud dan tujuan Glenn atas MusikBagusDay movement-nya
ini. Langkah proaktif yang konkrit tentunya.
Aaaaah
nyang neberrr, kepala 8??? Kudu dipanggil eyang atawa oma dong? Tapi yang
jelas, mbak Titik sepanjang cakap-cakap kemarin, senantiasa memberikan
penilaian terhadappara penyanyi kita. Penyanyi yang bener, kurang penjiwaan, ia
tidaklah menyanyi, oh dia hanya sekedar menyanyi lewat mulut tanpa hatinya ikut
menyanyi. Seperti itulah penilaiannya. Nama-nama yang disebut tante eh mbak
Titik, saya pilih untuk saya simpan sajalah ya....
Kembali
ke soal pergerakan musik. Sempat ada riak-riak pendahulu, misal apa yang
dilakukan Irama Nusantara. Saya juga
sempat mengenal, belakangan jadi lebih dekat dengan komunitas Diskoria. Mereka bergerak nyata,
mengangkat musik-musk Indonesia dari era 1950 kemudian. Bahkan dari era-era
yang sebelumnya.
Kalau
Irama Nusantara lebih umum, merangkum katalog semua musikIndonesia jaman-jaman
dulu, bahkan hingga sebelum jaman sebelum kemerdekaan. Diskoria lebih
mengkhususkan diri pada musik-musik Indonesia era 1970-1980an yang mereka
angkat, “memberikan aksentuasi dansa”, di bawa ke atas lantai dansa para followers mereka!
Gerakan-gerakan
untuk peduli dengan musik Indonesia, tentu saja bagus. Bagus bukan semata pada
konteks, ada musik bagus dan tidak bagus. Glenn juga menyatakan, bagus itu
relatif. Tapi buat saya, bagus ini dalam arti ada sebuah pergerakan musik sejak
masa lalu, yang menjadi dasar atas musik sekarang.
Musik-musik
sekarang, yang memanjakan telinga dan hati para penikmat musik muda, sebagai
pasar terbesar musik, ada tuh “awal mula”nya. Dulu itu, ada ini dan itu, ada si
anu, dengan musiknya yang begini nih. Bahwa kakek-nenek atawa ayah ibumu,
menyukai yang begini dan begini serta yang begitu dulu, saat mereka masih
seusia sekitar kalian.... Kira-kira begitu deh.
Dan
ah memang menjadi pilu tiada terkira, ketika mengetahui musik-musik lama
Indonesia kini dicari-cari lagi. Tapi itu memang telah menjadi semacam artefak
kebudayaan yang penting. Kalau inget kan ya, bertumpuk-tumpuk vinyl di rumah
saya yang dulu, yang saya tahu banyak rekaman musik Indonesia era 1950-1960an
hingga 1970an dulu. Saya menyia-nyiakannya....
Rekaman-rekaman
audio itu adalah sebagai koleksi penting,
bukti konkrit. Seperti apa musik kita di era-era sebelumnya. Jelas dan nyata
dong. Yang harus disyukuri, sekian lama bangsa kita rada lalai dan terkesan
kurang begitu peduli, pada pendokumentasian sejarah. Sejarah apapun, termasuk
musik.
Kalau
lantas dimulai pada beberapa tahun belakangan, well...better late than never.
Music...never goes out of style,
meminjam jargon sebuah produk denim yang eksis dari era 1970-an sampai
sekarang. Upaya yang harus didukung tentunya.
Dampak
terusan, lantas vinyl menjadi trend, itu hanya salah satu buah dari pergerakan
itu. Sisi positifnya jelas, publik bahkan bisa menikmatinya sambil leyeh-leyeh
di rumah, boleh ngopi, minum wine
atau have some beers. Minum bandrek
atau secang juga ga dilarang.
Artinya,
“sejarah” itu bisa dinikmati leluasa. Di bawa pulang. Yang artinya, tak bakal
dilupakan. Ada sejumput penghargaan di situ. Memberi atensi dan apresiasi.
Ikutan berikut mungkin baiknya disusul pada literasi. Ketersediaan rangkuman
sejarah, dalam hal ini musik. Sisi itu, juga belum tersentuh dengan maksimal.
Kalau
buat saya, saya tertarik dan respek dengan sebuah buku sejarah musik (jazz) Indonesia
karya mendiang, sahabat saya, Deded Er
Moerad. Yang pernah saya ingin betul melengkapinya. Atau, meneruskannya.
Karena saya pikir, begitu banyak teman-teman yang berperan serta dalam
menjalankan, atau membunyikan, jazz di Indonesia selama ini.
Misal
dari era 1960-1970an, sebagai era dimana jazz mulai berbunyi di tanah air. Ada
gerakan lain, yang terasa semangatnya lebih menggelora di era-era berikutnya.
1980-1990an lah kira-kira. Dimana saya kebetulan sempat mengkutinya lebih
dalam, masuk dalam dunia itu, memotretnya dan mengingatnya. Ya saya bertolak
dari itu, membangkitkan minat dan niat.
Yang
sayang, kagak kelar-kelar juga sampai....ya sampai tulisan ini saya buat! Hahahaha. Tapi itu baru sebatas jazz.
Musik lain juga kiranya perlu memperoleh atensi dan apresiasi yang sama. Music speaks luoder than words kan....
Tapi perkara hari ini, words itu
adalah lebih menjelaskan dan punya ruang memberi kelipatan berlebih pada atensi
dan apresiasi. Dari generasi masa kini, terhadap generasi pendahulunya.
Setelah
mengetahui ada nama penyanyi si A di jaman 70-an, mendengarkan suara dalam
rekamannya. Kemudian membaca, untuk lebih mengetahui detil perjalanan hidupnya
dalam tulisan. Syukur-syukur ada rekaman gambar atau videonya, melengkapi foto-foto.
Tentu akan lebih lengkap lagi, lebih sempurna dalam memberi apresiasi dan
respek.
Ternyata
dulu ada grup D lho. Oh mereka itu musiknya begitu, sejarahnya cukup panjang
juga. Penampilan mereka unik juga ya.
Lantas, merekapun mencintai, menyukai gegara adanya “kelengkapan” data
yang telah diterima.
Dalam
hal penulisan, sayangnya tak begitu banyak yang berminat untuk menuliskan
sejarah. Mengumpulkan informasi, cerita-cerita sampai foto-foto. Kemudian
dibagi ke khalayak. Pun seorang wartawan musik.
Walau
bisa saja, sadar atau tidak, seorang wartawan lewat tulisan-tulisannya yang
dimuat di medianya, ikut menghadirkan sejarah. Menjadi bahan dokumentasi.
Apalagi bila di-filing dengan baik.
Dapat diakses, dan menjadi artefak pula, saat 10 atau 20 tahun lagi.....
MusikBagusDay
menjadi sebuah wadah persemaian bibi-bibit cinta kesejarahan, dalam hal ini
musik. Sekaligus merangsang untuk bertumbuh-kembangnya dengan baik,para
generasi penerus. Jaman sekarang, dengan kemajuan tehnolgi informasi,
bertebarannya arena media sosial, apa lagi yang menjadi kendala?
Selalu
saja menarik, untuk ikut melihat dan memahami pergerakan-pergerakan positif.
Terutama terkait dengan sejarah, tapi sekaligus bagaimana memberi fondasi yang
baik dan benar, untuk waktu kemudian.
Glenn
melangkah dengan wadah yang sepertinya berpihak pada kaum indie. Atawa
independent, yang ada di luar jalur mainstream
musik industri. Itu baik banget, karena jalur industri toh telah menguasai
pasar selama ini.
Pergerakan
indie pada perjalanannya, sejak sekitar jelang selesainya dekade pertama
2000-an, seperti menemukan celah untuk dapat berkembang dengan “lebih sehat”.
Beberapa produk rekaman, diikuti show-shownya kemudian, mampu mencapai angka
penjualan yang bahkan melampaui pencapaian produk rekaman major-label.
Hal
begitu membuat, kalau hari ini sih tak
ada lagi kayaknya batasan indie-label
dan major label. Semua jalur, punya kesempatan sama. Punya “hak hidup” yang
sama. Tinggal semangatnya, tinggal kreatifitasnya untuk bagaimana lebih eksis
dengan benar.
Yoih
eksis bukan sekedar bisa bikin album saja,lantas dijual ke publik. Karena ada
ongkos yang tak sedikit kan? Kalau sekedar menyelesaikan album lantas
menjualnya. Iya kalau laku. Kalau ternyata ga laku, gimana coy? Masihkah bersemangat terus, untuk melanjutkan karir musiknya?
Nah
wadah model MusicBagusDay, sebelumnya juga ada acara seperti RecordStoreDay, menjadi etalase-etalase
yang bisa dimanfaatkan maksimal. Baik buat jualan produk rekaman, bahkan sampai
merchandise. Ataupun arena unjuk kemampuan, menampilkan karya-karyanya.
MusikBagusDay
itu ada panggung. Yang memang menampilkan para musisi muda, dengan segala
kreatifitas bermusiknya. Menurut Glenn,penampilan di panggung tentu lewat kurasi
terlebih dahulu. Tapi tetap tujuannya, memberi ruang gerak lebih leluasa lagi
untuk semua musik menunjukkan diri.
Pada
perjalanan kemudian, kita mungkin boleh banyak berharap. Dunia musik lebih
mendapatkan perhatian dari pemerintah, bukan semata-mata pada hal pendanaan.
Tapi lebih pada memberi penghargaan dan apresiasi yang lebih baik. Salah
satunya, bagaimana meminimalisir gangguan pembajakan misalnya.
Selain
itu,bagaimana musik sebagai bagian dari industri kreatif, akan menjadi jalan
untuk kaum muda berkarya maksimal secara positif. Musik itu juga sangat
berpotensi mempersatukan masyarakat.
Well,
pada akhirnya kita tunggu dan lihat perkembangan musik Indonesia di tahun-tahun
mendatang. Sembari kita menantikan, ada apa lagi di MusikBagusDay di edisi-edisi
berikutnya? Lanjut dan teruskan segala hal baik dan positif, yang memberi
tambahan semangat dan ikut mencerdaskan.
Salam
Musik Bagus!/*
///Dalam
tulisan ini, sebagai pelengkap adalah karya-karya jepretan saya yang “terbatas”,
di acara MusikBagusDay edisi April, yang
digelar pada Kamis April lalu
No comments:
Post a Comment