Sunday, May 15, 2016

Musik (ROCK) di TVRI. Perlu di support kayaknya....



Menyaksikan penayangan langsung musik di TVRI. Kayak menerbangkan saya ke tahun-tahun doeloe. Jadi inget, nonton Spirit Band, Krakatau di acara Musik Malam Minggu Live. Dalam studio TVRI Senayan. Dulu itu, masih seputaran 1980-an, acara itu jadi acara andalan TVRI.
Bisa dibilang, acara yang dikoordinir oleh pengarah acara, Syam NM, menjadi acara bergengsi. Soalnya banyak grup-grup band ternama, terutama yang jazz(y), satu persatu diundang tampil. Digarap lumayan bagus. Tata lampu dan tata suara diperhatikan cukup detil.
Karena tayangannya bagus, maka banyak band memang tak akan menolak untuk tampil di acara itu. Saya sempat datang menonton beberapa kali waktu itu, ya gitu antara lain melihat Krakatau, Spirit, Emerald sampai Drive One Band.

Ingat, waktu itu TVRI adalah stasiun televisi tunggal. Plat merah. Tapi hanya satu-satunya. Stasiun televisi swasta belum ada satupun. Ga ada kompetiternya. Tapi di saat dekat itu, TVRI juga punya acara-acara musik yang terbilang bagus.
Sebut saja ada Orkes Chandra Kirana, misalnya. Chandra Kirana dikenal dengan konsep tayangan menggunakan tehnologi chromakey, yang jadi barang baru banget saat itu. Atau Orkes Telerama di bawah pimpinan Iskandar, dilanjutkan dengan Isbandi. Jaman Aneka Ria Safari dan Kamera Ria begitu populernya.
Banyak musisi muda berbakat saat itu, yang kebagian tampil di kedua orkestra tersebut. Misalnya saja, Chandra Kirana yang kerapkali melibatkan Elfa Secioria, dan merupakan cikal bakal munculnya Elfa’s Singers. Di situ, demikian pula halnya dengan Telerama, tempat munculnya nama-nama seperti Erwin Gutawa, Dewa Budjana, AS Mates, Aldi, Uce Haryono, Yance Manusama sampai Embong Rahardjo, Udin Zach hingga Didiek SSS. Dan banyak lainnya.
Nah periode 1985-1990an itu, TVRI memang lumayan jazz(y) juga. Rada ke jazz-jazz an, walau tak jazz banget. Karena banyak musisi muda yang memainkan jazz, memang tampil di acara-acara tersebut.

Tapi tayangan live waktu itu direkam, yang acara Musik Malam Minggu. Jadi Live Recorded. Ditayangkan biasanya 2 atau 3 minggu setelah syuting dilakukan. Syutingnya live, alias memakai sistem perekaman suara langsung. Para performers tampil beneran ya, bukan playback atau minus-one.
Saat itu, yang masih menggunakan analog, hasil perekaman live nya terbilang relatif bagus. Kan memang belum jaman digital, pada equipment suara atau broadcast. Televisi stereo pun memang belum ada, masih mono. Dengan media televisi mono, hasil akhir tayangan program televisi itu, ya terbilang bagus. Baik audio maupun visualnya.
Setelah stasiun televisi swasta bermunculan, perlahan tapi pasti TVRI kayak menyurut. Ya ga mati, mana mungkin mokat jack. Punya pemerintah! Ya tetap ada, sebagai apa tuh, “Stasiun Pemersatu Bangsa”. Itu benar, karena hanya TVRI yang jangkauan siarnya ke seluruh penjuru Nusantara.
Acara-acara di televisi-televisi makin variatif, makin warna warni. Makin, “mengkilap”? Makin kinclong? Sementara TVRI nampaknya seperti mengalami stagnasi. Ya tahun ke tahun, begitu saja. Sejatinya, soal hardware untuk equipment-nya TVRI itu kabarnya ya, malah unggul dari stasiun televisi swasta yang ada!
Belakangan ini TVRI lumayan mulai mencuri perhatian. Ada beberapa konsep tayangan musiknya yang mulai diperhatiin orang lagi. Ada acara jazz lagi. Ada acara Musik Delapanpuluhan. Sampai acara Rock. Selain tetap menghidupkan acara musik lain model Keroncong bahkan Country, dan so pastilah ... Dangdut!
Khusus untuk Rock, diberi titel Taman Buaya Beat Club. Lokasi syutingnya, di awal 2000-an pernah dipakai untuk program reguler Blues Night. Nah, program blues itu juga sebetulnya, sempat mulai dapat perhatian. Banyak musisi blues dan rock ternama, bergantian muncul.
Sistem perekamannya juga kali ini Live on Air. Mengundang penonton segala. Jadi memang suasana seringkali lumayan ramai.  Saya pernah beberapa kali menengok juga, syuting acara blues itu, yang saat itu dikoordinir oleh komunitas blues.
Bagus, dalam hal pemilihan performersnya di awal-awal. Sayang, setting panggung, maksudnya dekor memang terbilang rada out of date. Performers juga pada belakangan, mulai terasa banget terbatas. Susah dihindari deh, yang nongol ya jadi itu ke itu aja.

Stasiun televisi lain, acara musiknya lebih variatif. Performers juga lebih ngetoplah. Artis-artis top tampil. TVRI makin jauhlah. Terasa banget, makin ketinggalan jaman. Belakangan ini, terisitimewa dalam 9-10 tahun terakhir, ini nih kejadiannya. Stasiun-stasiun televisi swasta lalu terjebak, lebih memilih program musik yang ratingnya bagus. Dan kreasi-kreasi inovatif pun makin minim.
Stasiun itu lebih senang, lirik kanan-kiri, “memonitor” pergerakan kreatif stasiun televisi swasta pesaingnya. Kalau ada program tertentu yang sukses, stasiun lain lantas menyusulnya. Tak apa jadi pengekor, yang penting...iklan masuk. Rating menjadi primadona, bray....
Yang terjadi, program-program televisi rata-rata sejenis. Mau dari yang namanya performersnya, temanya sampai pada dekornya. Dan termasuk tata lampunya. Nyaris seragam. Sama-saa terang benderang saja. Dan ya pop jadi unggulan. Musik lain mah, nomer sekian. Pop, dan juga dangdut, itu yang jadi “anak emas”. Musik-musik lain, termasuk rock, ntar dulu.

Tetiba di penghujung 2000-an, ada program televisi yang ngerock. Yang kayak membangkitkan semanagt kaum rock Indonesia. Membangkitkan eforia. Adalah TV One yang menggelar Radioshow. Yang makin lama, lebih memilih lebih sebagai rock show. Macam-macam rock, bahkan heavy metal sekalipun, bisa tampil. Digelar di panggung open air, penonton bejibun. Udah macam konser rock panggung terbuka.
Makin rock saja, bahkan makin metal! Dan akhirnya, usianya ternyata ga panjang. Pihak menejemen televisi bersangkutan dengan tega dan sadar,mencabut nyawa program itu. Ditutup. Yeee apalagi, kalau bukan lantaran kering sponsor. Jarang pengiklan.
Biar kata pake ada petisi segala, dari para musisi rock,untuk meneruskan program itu. Pihak stasiun televisi itu susah merubah keputusannya. Radioshow tamat. Habis cerita. Mau bilang apa lagi? Stasiun lain gimana?

Kembali deh ke TVRI. “Kebetulan” TVRI, ya dengan gaya “tersendiri, unik, agak jadul lucu gimana gitu”, program musik di televisinya sejatinya ga ada yang mati. Ya ok lah, segitu aja terus. Tapi mereka tetap “pertahankan”.
Entah gimana model perjuangan mereka. Yang pasti program musik mereka itu, tetap jalan dan tetap beragam. Ga hanya pop dan pop, dangdut dan dangdut belaka. Bukan nama programnya doang yang berbeda, tapi isinya ya pop dan dangdut saja  Bersyukur juga lah?
Boleh kok bersyukur, bahwa eh masih ada tempat nih buat musik-musik yang outside-mainstream music industry, bisa nafas. Nafas dan hidup. Hidup dan menunjukkan pergerakannya di layar kaca. Pergerakkan yang jadi bukti musik-musik itu ga mati.
Yes, Rock Never Die. Eh Jazz too. Country? Coba deh bayangin, sampai musik Country aja dapat porsinya lho. Stasiun televisi lain, mana mungkin? Jauh panggang dari api, berharap ada jazz bagus, rock keren, apalagi sampai metal, bisa muncul di layar kaca. Itu die, TVRI masih kasih tempat untuk itu.
Jadi program tetap ya mingguan, ya dwi mingguan, atawa sebulan sekali. Ada juga yang selang-seling gitu. Misal Minggu ini jazz, minggu depan rock, minggu depannya blues. Terus digilir begitu.
Lumayanlah.  Ada tontonan beda kan, kalau memang masih doyan menengok siarannya televisi lokal. Memang kan begitu, televisi lokal pelan tapi pasti, banyak ditinggalkan publiknya sendiri. Karena “keseragaman” pada tema, para artis dan grup band yang tampil hingga pada bentuk sajian visualnya. Die lagi, die lagi....
Itu yang dibutuhkan pengiklan. Yang diminta produk-produk atau advertising agency sih. Ratingnya juga kan kelihatan tinggi. Penonton maunya yang begitu. Etapi, penonton yang sebelah mana? Tak terlalu penting tuh.
Yang penting, program musik “seragam”, pop en dangdut begitu ya yang pastinya bisa mendatangkan sponsor atau pengiklan. Lebih aman tentramlah. Bisa menutup biaya produksi kan? Emangnye, bikin program musik, syuting, apalagi live, ga butuh biaya? Biayanya lumayan....

Sampailah ke, ya balik deui ke program yang namanya Taman Buaya Beat Club itu. Tempat rock, masih dikasih porsi untuk tampil. TVRI masih “berbaik hati”? Ah ya, sebutlah saja begitu. Sekali lagi nih, bersyukurlah kita semua?
Saya sempat nonton beberapa episode. Baik yang nonton langsung di Taman Buaya itu. Eh iya, namanya memang begitu itu, “Taman Buaya”. Itu tempat legendaris. Bisa dibilang semua artis penyanyi, musisi, apalagi para pemain sandiwara, sinetron TVRI dulu ya nongkrongnya di situ semua. Buayanya mana?
Masa artis-artis dan musisi itu, dianggap buaya? Ya ga gitu. Tapi namanya memang disebut begitu. Jaman 1970-1980an, Taman Buaya itu populer banget. Setiap wartawan hiburan pasti kenal dan akan tahu banget tempat itu. Janjian wawancara biasa di situ. Atau kalau wartawan pada mencari bintang, ya kesitulah tempatnya.

Sekarang, jadi mencari musisi rock atau jazz, ya di situ saja? Mungkin saja, ya nanti-nantinya bisa begitu. Tapi bagusnya, variasi pengisi acara atau bintang tamunya, lumayan terjaga kok. Jadi, lumayan sebenarnya sebagai “tontonan alternatif”. Bila malas keluar rumah, pengen liat televisi, nonton acara musik bagus yang “ga biasa”, ya liatlah program itu saja.
Kayak kemarin itu, ada Daddy’s Day Out segala main di situ. Band dengan musik se-“meriah” begitu, bisa juga muncul di televisi. Meriah apa ramai? Ramai, bukannya keras? Yoih, kan grup rock yang cenderung rada metal. Rock berbau metal.
Metal juga, tapi suasananya rock. Sebenarnya metal atau rock? Emang beda, rock dan metal? Sudahlah, yang pasti ada Daddy’s Day Out, dipimpin langsung sang kumendan, EMIL, sebagai gitaris dan penyanyi. Doi konseptor utamanya juga kan?
DDO asyiklah, saya aja suka. Masak pada ga suka? Tapi mucnul di televisi, ditonton penduduk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Seberapa banyak yang suka? Kalau acara itu konsisten, terjaga intensitasnya, bukan mustahillah siapapun yang tampil di acara itu. Sekeras apapun musiknya. Pastinya, akan banyak aja orang yang suka.
Setuju kan? Perkara konsistensi saja. DDO itu apa lagi ga seriusnya? Total mainnya. Ajak bintang tamu segala, Ezra Simanjuntak dan Tyo Wahono dari kelompok Zi Fctor. Walah, musiknya tambah menyala-nyala. Puanasss sudah suasananya.
Panas lah, DDO itu abis-abisan woro-woro kesana-kemari, ngundang banyak penonton. Maka puluhan fansnya datang, asyik menonton, seneng banget. Pake mengangkat spanduk-spanduk segala. Udah kayak nonton konser outdoor beneran! Seru aje.

Yang agak kurang seru, nah ya soal konsistensi itu. Kalau memang ke rock maunya, ya bagusnya yang tampil ya rock semua. Karena kemarin itu, DDO kelewat “keras, galak, liar, panas”, kalau dibanding band pembukanya. Terlalu renyah, kalau disandingkan dengan DDO yang “penuh vitalitas dan tenaga” begitu....
Jangan salah pilih, Inkonsistensi, bisa bingungin penonton tentu saja. Lagipula, kasihan kalau yang datang menonton langsung penonton yang penegn rock, eh ada grup non rock yang main? Apa kata dunia?
Lucu jadinya, kalau saya pikir-pikir nih. Menulis kok ya ngritik TVRI? Mereka udah puluhan tahun di situ, pengalamannya mah udah yang paling panjang. Mereka pasti tahu dan paham banget, apa yang mau mereka sajikan, mau hidangkan ke penontonnya dong.
Emangnya tulisan “iseng” begini dari saya, dianggap gitu atau dibaca orang TVRI? Jangan kata orang TVRI jack & jill,  jangan-jangan band-band utama yang tampil juga ga merasa penting-penting amat ada yang mau menulis mereka? Skeptis amat, coy? Ya ga sih, cuma suka kepikirannya aja.
Kepikiran sih, TVRI bisa dikritik ga? Kalau DDO kan temen-temen baek banget. Udah kayak “saudara seiman”. Biar gitu juga, memangnya mereka sempat membaca catatan saya? Ya baca dong.... Yakin golagokin, pak Musikin yang tukang mesin. Ha ha ha.
Tapi TVRI nya itu. Gimana ya? Sayang kan, mereka aja yang mau peduli lho. Well, perjuangannya pasti berat sebenarnya. Ya kan? Tapi kepedulian mereka, lantas disempurnakan. Kenapa tidak sih?
Biar lebih banyak grup-grup rock lain, juga dapat kesempatan tampil. Coba juga, TVRI rajin dan gencar aja promoin acara itu. Masak sih, penontonnya ga ada. Atau ga bertambah-tambah? Mau liat rock dimana lagi, kalau di televisi? Sapa tahu, rock di TVRI sukses, eh jadi inspirasi buat stasiun-stasiun televisi partikelir biar ga “segitunya” lah sama musik-musik “pinggiran”....

Ya sutralah. Sampai ketemu di episode berikutnya saja. Biar tambah meriah, tambah ramai, tambah seru. Banyak kok yang seru-seru yang lainya, bukan hanya DDO doang. Tinggal TVRI nya mau .... “bergaul” aja sih. Biar lebih paham sikon saat ini.
Boleh kita support juga TVRI lah. Biar lebih baik lagi. Yang saya suka juga, kemarin setting atau design tata lampunya, model tata lampu yang didesain untuk indoor show. Dari spotting sampai pilihan jenis lampu. Kalau lihat langsung sih okeh. Ga tau ya kalau lihat di televisinya. Harusnya sih asik dan enak juga dilihat.

Yok ah.  Salam Rock (dan juga Jazz)! /*





2 comments:

Cip elite diesel hydroulik said...

tempat lokasi taman buaya biet club itu dimana ya agan?

Gideon Momongan said...

Lokasi tepatnya, di dalam areal Stasiun TVRI Pusat, di kawasan Senayan, JAKARTA