Elo
ada duit, nteu? Nih gw ada,....diapun
lantas memberikan dua ribu rupiah. Bulan depannya, saya gantian tanya, ada duit
ga? Sayapun memberikan dia dua ribu rupiah... Kadang nanyanya, ada ongkos
pulang ga? Maka yang dikasih juga hanya seribu atau dua ribu doang. Pernah dia
ngasih ke saya lima ribu, katanya, nih elo bengong aja pasti lagi ga punya
duit, gw kasih elo nih....
Itu
becandaan khas saya dengan pemain tiup legendaris satu ini. Dulu “jagoan”
Bandung. Sapa tak kenal Arief... Jesus panggilannya. Karena menurut banyak
musisi Bandung, Arief dulu itu memang kayak Jesus, mana gondrong lagi....
Husein Arief Setiadi,
begitu nama lengkapnya. Gampang aja, ada nama Husein, karena rumahnya dulu
dekat dengan lapangan terbang, Husein Sastranegara, di Bandung. Anak bungsu
dari 5 bersaudara, putra dari pasangan Soekotjo dan Siti Widamar Koentowiyatie.
Yang jadi musisi, kayaknya hanya dia seorang. Apalagi yang jadi profesional,
terus dan sampai sekarang. Sampai kapan, kangBro? Gila nanyanya elo, eh masak
begitu jawabannya.
Tanya
dong, guru gw pertama siapa? Ok kang, siapa Imam Prass? Oh itu pianis juga, dia
tuh murid pianoku pertama. Gitu ceritanya. Lalu nyambung lagi, nah ini bener
nanya begini.... Jadi Imam itu, belajar piano, tapi dia juga bawa flute. Dia
bisa flute juga, lalu saya bilang aja, eh itu apaan? Bisa? Kalau bisa ajarin
dong. Dari situlah, ia mengenal dan langsung belajar flute.
Arief
Bijaksana, begitu Indra Lesmana pernah memperkenalkannya di atas panggung.
Waktu dia main dengan Indra Lesmana Reborn. Dan kalau sekarang, dia salah satu
pemain tiup paling senior yang masih bertahan. Terus eksis. Senang bersepeda
sehat, tapi sudah ditinggalkan. Senang dengan mobil-mobil Jerman. Dia punya VW
kodok, itu dibeli ayahnya dulu, beli baru banget di 1967. Sekarang jadi
kendaraan setianya.
Mau
dijual ga, kodoknya, kangBro? Sambil ketawa dia becanda, elo punya duit berapa?
Ga bakalan cukup duit elo, ini mahal banget. Tangan pertama. “Saya mah ga
pernah kepikiran mau jual kodok ini. Mungkin ya,mungkin kalau saya udah gila,
ga keinget apa-apaan, mungkin aja saya jual. Tapi begitu inget, begitu sadar
lagi, pasti saya minta balik...!” Kita ketawa seru.
Terlalu
bersejarah ini VW Kodok, jelasnya lebih lanjut. Bayangin aja, tangan pertama
dari bokap lalu aku terusin memakainya,merawatnya total lah. Sampai satu
ketika, gw bisa bawa ke panggung segala! Nah ni dieee, kita berdua tertawa lebar. Iya, VW Kodok Arief memang
pernah jadi background stage acara
saya di Graha Bhakti Budaya TIM.
Itu
kegilaan elo dan Bintang kan, ia mengingatkan. Iya, jadi memang VW naik
panggung, itu sih karena idenya Bintang Indrianto. Kan Arief main dengan
Phylosophy ABG, ya dengan Bintang dan Gerry Herb. Ada band lain waktu itu sih,
semua format tri.Nikita Dompas Trio, Donny Suhendra Trio dan Indro Hardjodikoro
Trio. Edun lah...
Balik
deui ke akang Jesus eh akang Arief. Kemarin
ini, dia sakit. Ga jelas apaan, tapi dia kayak terkena sakit di paru-paru. Dia
harus berobat dengan intens. Dia ga pernah bilang, sakit apa. Tapi yang jelas,
berat badan memang menurun rada drastis. Ya kan kelihatan dari mukanya saja,
makin...tiris gitu. Hidup sehatlah, kangBro.
Pemain
saxophone kayak dia, dengan level usia dia, jangan-jangan tinggal Arief Setiadi
seorang. Seniorennya, macam Maryono, Udin Zach dan Embong Rahardjo. Ketiganya
sudah pulang duluan ke rumahNYA. Arief juga mengaku bingung, kenapa ya para
musisi senior itu cepat bener pergi.
Padahal
mereka penting dan berarti bagi musik Indonesia, begitu ucap Arief. Iya,saya
setuju, kang. Mereka penting, tak hanya sebatas jazz. Lihat saja, rekaman
musik, terutama pop atau jazz-pop di era 1980-1990an. bisa dibilang semua
pengisian instrumen tiup untuk saxophone dan flute. Kalau tidak Embong ya Udin
Zach. Semua pementasan jazz, pasti ada Maryono, selain Embong dan Udin Zach
juga.
Dan
menggantikan mereka, susah. Menurut Arief,”Dari ketiga musisi tiup itu, mereka
emang pemain tiup bagus. Semua idola saya, karena mainnya berkarakter banget.
Saya senang lihat mereka main. Inspiratif gitu. Saya mah masih jauh dari
mereka...”
Susah
ga sih menjadi pemain tiup? “Susah? Ga juga. Kalau hanya menebak atau
mengira-ngira, ya susah. Sekedar bisa main, meniup gitu, mungkin sih ga susah.
Sedikit lebih susah kalau mau serius, jadi musisi bermain alat tiup dengan
benar.”
Lalu
ia mengatakan lagi,”Kalau mau main tiup dengan benar, terutama saxophone ya,
perhatikan aja bener-bener soal menghasilkan suara yang enak dulu. Sound production. Itu paling dasar deh.
Mau pakai sopran, alto atau tenor dan bariton sekalipun. Ya berikutnya, memang
soal alat penting juga. Saxophone itu ada berbagai jenis, ada yang untuk
main-main saja, ada yang menengah, ada yang untuk profesional.”
Dia
lantas menunjukkan contoh, sekarang banyak saxophone yang bagus, keren,
mengkilat. “Ya bagus, lebih menarik. Biar saja, bagus untuk bikin orang jadi
suka kan? Untuk bikin orang jadi pengen belajar. Nanti kalau mau serius, baru
cari yang memang untuk beneran, untuk profesional. Persoalannya, peralatan
kayak saxophone yang bagus itu memang sih ga murah...”
Menyangkut
Arief, memang ya uniknya begitu. Pemain piano sebetulnya. Ia pernah belajar
piano klasik, beberapa waktu. Semua anak belajar musik, begitu ceritanya. Ga
heran sih, ayahnya itu memang pemain biola dan ibunya sempat menyanyi. Tapi
dari piano lalu pindah ke flute, dan saxophone. “Pernah dikasih sebuah
saxophone sama keluarga saya, jadi makin seneng maininnya. Sekarang sih udah ga
ada saxophone itu,”ceritanya.
Ia
saya temui pertama kali di Bumi Sangkuriang. Waktu ia masih menjadi pianis Wachdach, itu lho grup legendaris
Bandung. Kalau di Jakarta pernah ada Gold Guys di Green Pub, nah di Bandung itu
Wachdach. Arief “Jesus” adalah pianisnya. Saya mah cuma nonton aja. Lihat,
sambil nongkrong dengan teman-teman.
Jadi,
di Wachdach juga, kemudian Arief pindah instrumen, ya ke tiup. Flute dulu, baru
saxophone. Dari Wachdach, grup
berikutnya adalah Straight Ahead.
Dan kemudian, penggemar Scott Hamilton dan Oscar Petterson ini, baru saya
ketemu lagi di...studionya Bintang
Indrianto. Waktu itu mereka rekaman Jazzy
Duet.
Dari
situlah, persahabatan begitu lengketnya dengan Bintang Indrianto dimulai. Ya,
sampai ini harilah. Rekaman Jazzy Duet, lantas Jazzy Sax, sebagai solo album pertamanya. Ia mengisi banyak rekaman
lain, yang diproduseri Bintang. Namanya juga, bassis paling aktif en paling
kreatif. Soal itu, Arief juga langsung bilang, Bintang mah susah dicari
tandingannya soal aktif, kreatif.
Idenya
banyak banget. Dan suka ngagetin dan mendadak, juga unsur spontannya gede.
“Asyik dan seru kalau dengan Bintang. Baik soal ide, juga mainnya. Kalau soal
main, ga pernah sama mainin satu lagu itu...,” Arief terkekeh-kekeh.
Salah
satu kegilaan Bintang adalah membentuk Phylosophy
ABG Trio. Namanya itu, sekian waktu Bintang aja ga ketemu. Mungkin lebih
tepatnya,kurang begitu peduli. Yang penting memang musiknya. Cerita Arief,
saking free-nya musiknya itu, sampai
rekaman aja di stasiun! Dilihatin orag, ah udah hajar aja, musisi kan kita....
Hahahaha, musisi niii yeeee.
Dan
kerjaan rada iseng itu, rekaman di stasiun, eh beneran masuk album. Itu album
pertama ABG Trio, yang bertajuk Phylosophy.
Dimana cover depannya adalah...VW kodok 1967 milik Arief! Masih ada yang lebih
seru, Trio itu mau main di Salihara, dalam waktu sangat cepat, Bintang minta
Arief dan Gerry Herb untuk bikin
solo album! Buat apaan?
Ya,
buat dijual waktu di Salihara itu. Jadilah album paling unik. Yaitu ketiga
personil Trio itu, masing-masing ada album solo. Isinya? Ya saxophone saja,
drums saja dan bass saja. “Bintang bikin dengan cepet banget. Gendeng sih, tapi
asyik banget kan? Mana pernah kebayang, bikin solo album asli saxophone aja?”
Arief lagi-lagi senyum lebar.
Saya
juga baru inget ide gokil itu. Bintang tetiba saja punya ide itu. Rekaman
dibuat sangat cepat, langsung di duplikasi. Jadilah album. Ya memang ada 3
album. Saya inget, Bintang pernah bilang,”Nanti kita lihat saja, siapa yang
paling laku albumnya, berarti dia paling banyak fansnya...” Hahahaha. Ada-ada
saja.
Arief
juga pernah mengembara di Australia, ngendon beberapa tahun di Sydney. Ia
sempatkan belajar dengan gurunya, Dan Burrows. Iya, jadi ceritanya dia kursus
dengan gurunya itu. “Lha sering ketemu, malah diajak main bareng. Ya gitu deh,
saya mah seneng-seneng aja.”
Pulang
dari negeri Kangguru itu, Arief balik jadi musisi lagi. Nah ia makin sering di
Jakarta jadinya, malah pindah menetap di Depok. Bandung dia tinggalin. Sampai
di 1996 dan 1997, dia sempat tampil di North Sea Jazz Festival, Den Haag.
Dia
inget, dia tampil di Belanda antara lain dengan Oele Pattislanno, Yance
Manusama, grupnya namanya Mahadewa.
Penyanyinya itu, Warren Wiebe, yang
ditemenin kibornya. “Saya lupa nama kibordisnya. Tapi saya inget-inget, waktu
itu drummernya Inang Noorsaid, kalau
ga salah. Ada juga Eka Bhakti ikut
main.”
Catatan
saja, Warren Wiebe itu penyanyi yang diajak kerja bareng David Foster.
Lagu,’This Must Be Love’ dari album River
of Love, dinyanyikan oleh Wiebe bersama Jeff Pesceto. Dalam album yang
dirilis oleh Atlantic di penghujung
tahun 1990 itu, Wiebe juga menyanyikan lagu lain seperti,’Living for a Moment’
dan ‘Is There a Chance’. Salah satu album David Foster yang cukup populer di
sini.
Nah
tragisnya, setahun setelah mereka main di North Sea itu, jadi di 1998, Wiebe
ditemukan meninggal pada 25 Oktober. Ia meninggal karena bunuh diri, dengan
menembak pakai pistol. Menurut kabar, ia diduga stress berat saat itu.
Kembali
kita menjumpai akang yang bijaksana dan jago maen alat tiup ini. Padahal dia
sebenarnya,bisa dibilang, multi-instrumentalist euy.Semua alat juga bisa.
Bahkan...tak ada akar, kayupun berguna.Eh, ga kebalik? Ah gini yang penting,
tak ada saxophone, tas plastik kresek juga bisa dipakai.
Buat
bawa barang belanjaan, ya kan? Ga lagi gratis lho, sekarang. Bukan itu.Tas
plastik kresek itu bisa jadi...alat musik! Di tangan Arief, tas plastik
begituan bisa diberdayagunakan dengan maksimal. Dasar orangnya kreatif dan
kritis! He he he.
Emang
bisa dipakai dong, jadi kayak alat perkusi,begitu ungkapnya. Ketika dia
bunyikan, mirip suara shaker. Atau
juga, cabassa ya? Dia mengaku, dia
melihat musisi di Australia memakai alat musik plastik kresek gitu. “Udah lama
lupa euy. Eh baru keinget lagi. Jadi sering sengaja nyiapin tas plastik begitu,
masukkin kantong celana,” lanjut Arief lagi.
Saat
ini, Arief masih terus main dengan rutin. Sesekali, masih bermain dengan Indra
Lesmana Reborn, dengan catatan kalau memang diajak, begitu jelasnya. Tapi grup
tetapnya memang Phylosophy ABG. Selain itu dengan Nial Djoeliarso.
Masih
ada juga, grup akustikan gitu. Dimana Arief bermain dengan Oele Pattiselanno
dan Jeffrey Tahalele. Awalnya, formasi lengkap dengan drummer Jacky
Pattiselanno dan pianis Glenn Dauna juga. Tapi saat bung Jacky sakit, akhirnya
diteruskan dalam format trio saja.
Ia
juga masih mengajar. Di sekolah musiknya Otti
Djamalus dan Yance Manusama, di
kawasan Radio Dalam. Menurutnya, selalu ada saja anak-anak yang kepengen
mencoba belajar saxophone. Sebagian sih ada yang terus dan jadi musisi tiup
beneran. Walau ada juga yang kelihatannya, hanya pengen tahu saja. Tapi
bagusnya, lanjut Arief, sebagian besar anak-anak muridnya sekarang sudah
mempunyai saxophone sendiri. Modal mereka lumyan kan?
Selain
itu, ia sesekali kerap mengajarkan secara private
untuk orang-orang tua. Ya ada juga yang kayak pejabatlah, petinggi gitu. Yang
kepengen bisa main saxophone. Banyak yang serius lho, jelasnya.
Menurut
Arief, ia sendiri melihat, tetap ada generasi penerus potensial untuk musisi
tiup. Ia menunjuk pada Ricad Hutapea dan Eugen Bounty misalnya. Didiek SSS dan
Agus, dua adik kandung dari almarhum Embong Rajardjo, juga masih aktif main
saat ini. Yang penting kan, belajar dengan baik dan berani untuk tampil saja.
Ia
juga menunjuk, banyak musisi tiup muda, yang belajar di sekolah-sekolah musk
formal. Mereka juga sekarang aktif main di orkestra-orkestra. “Banyak kok
anak-anak muda sekarang, yang belajar serius alat tiup, baik flute, saxophone.
Atau ya trumpet, trombone, dan alat tiup lainnya. Generasi penerus itu banyak,
semua mereka rata-rata semangatnya bagus.”
Mengenai
jenis musik, Arief melihat, kalau baru mulai tak perlu buru-buru langsung pilih
musik tertentu. Belajar aja dulu, mengenal alat musik tiupmu dengan benar. Lalu
bunyikan dengan benar dulu deh. Abisitu, coba mainkan nada-nada. Kalau soal
jenis musik, nanti saja. Nanti akan kebentuk dengan benar, insya Allah. Jangan
buru-buru langsung pengen jadi pemain tiup jazz misalnya.”
Tapi
kan kalau mereka pengen main jazz dengan baik, boleh dong Arief Setiadi ajarin?
Arief hanya senyum, ya boleh. Mau mainin musik apapun, hayiuks aja. Saya mah
bukan peniup saxophone jazz. “Gw itu, memainkan musik dengan alat tiup gw,
musik yang pengen gw mainin. Dan ketika saya tuh ikut main, ya harus bisa bikin
musik di lagu itu jadi makin enak didengerin, enak dinikmatin...”
Kalau
pengen bisa mainin bariton saxophone, kayak yang Arief mainin lebih banyak
sekarang? Arief senyum lebar, ah sudah nanti deh. Bertahaplah. Tapi memang,
saat ini saya jadi lebih suka bariton ini, soalnya kan jarang yang mainin. Biar
keren aja, begitu ia becanda sambil tertawa lebar.
Udah
ah, kang. Hatur nuhun untuk obrolannya. Punya duit ga? Ia langsung menjawab,
kayak elo punya duit aja, via whats app
messenger. Memang,obrolan iseng-iseng seru saya dan Arief itu, lewat whats
app kok...../*
1 comment:
Thoughtful blog thanks for sharing.
Post a Comment