-rewrite-
And oho, what’s the
meaning of that? Let him describe that such things, ok bro?
Erucakra Mahameru, begitulah nama
lengkapnya. Dan iapun tersenyum, lalu menjawab, “Aku beri penjelasan sedikit
ya. Aku memang memainkan musik yang di dalamnya mengandung banyak unsur musik,
yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Basically, aku suka jazz dan rock... “
Oh
ya, aku juga suka blues, tambahnya buru-buru. “Unsur itulah menjadi semacam
elemen dasar dari musik yang aku mainkan, muncul di lagu-lagu yang aku tulis
dan buat. Sentuhan progressive rock,
terutama 1980-an juga ada, termasuk unsur electronica.
Space music ada juga terselip, eh itu
yang orang bilang. Aku sendiri lebih memilih, memainkan musik yang ingin aku
mainkan.”
Menurutnya,
percampuran pelbagai elemen musik itu, memang menonjolkan pada komposisi. Tapi
saat implementasinya, pada bentuk suara band yang memainkan, harus ada kesatuan
dan kesamaan dalam sudut pandang tiap musisinya. “Feels nya harus sama, jadi hasilnya enak. Maksudnya enak di sini,
ya untuk kami mainkan dan untuk dinikmati kuping penonton. Tapi istilah jenis
musik itu sebenarnya diberikan oleh
teman-teman penulis musik saja.”
Ia
memberikan gambaran lain, bahwa ia sangat menyukai banyak sekali kreatifitas
musik dari seorang maestro, Miles Davis.
Ia juga menyukai banget sebuah kelompok UK dimana Allan Holdsworth sang living
legend guitarist itu bertemu dengan Bill
Bruford, drums. Dibantu John Wetton
pada bass dan kibordis, Eddy Jobson.
“Aku
penikmat dan penyuka Allan Holdsworth dari dulu. Ia memberi inspirasi padaku
terutama soal sustaining distorted tone.
Aku juga menyukai Ritchie Blackmore,
yang menginspirasiku untuk how to play
single note effectivily. Kemudian aku juga terinspirasi soal uptempo bebop technique, dari yang
namanya, Pat Martino,” jelasnya. So,
kita punya gambaran lebih konkrit kemana tujuan musiknya.
Erucakra,
kelahiran Medan, 12 November 1968. Berambut agak ikal, panjang lewat bahu.
Berpenampilan sebagai rocker nan rapi, sehingga kalau disebut jazzer mungkin ia
lebih sesuai. Sekali lagi, kalau menilik dari pilihan penampilan di atas
panggungnya. Ia relatif “bersih” memang, dalam hal penampilan. Tak bertato, tak
memakai asesoris terlalu banyak, sepatu kulit mengkilap. Seems, such a “gentleman of fusion jazz, or, good boy”?
Tapi
soal ekspresi, nah rocker-nya tersembullah keluar. Ia lumayan galak di
panggung. Atraktif karena, “Kan kita itu di panggung, melampiaskan kegembiraan
kita. Gembira, senang, keluarlah dalam aksi panggung kita tak tertahankan. Itu
yang menggerakan ekspresi dan gerakanku,” jelasnya lagi.
Tapi
Eru, begitu panggilannya, buru-buru menambahkan,” Tapi point terpenting tetap konsentrasi pada penampilan permainan kita.
Kita masing-masing dengan alat kita, lalu memperhatikan band, bagaimana kita
menyatu dan melebur. Kalau missed di
sisi itu, penonton bisa saja merasa terganggu.”
Walaupun,
ketika kita mendapat kesempatan untuk show, saat di panggung well apa ya, “Let it be. Kita rasakan dan nikmati
saja. Kalau saja kita commit dalam
bergerak bersama di satu band, dimana berlatih bukan lagi kewajiban yang
memberatkan dan menyusahkan karena kan kita sepakat dan memahami musik yang
akan kita mainkan bersama. Ngeband
itu menyatukan enerji,” jelasnya.
Nah
bagus banget, ngeband itu menyatukan enerji. Dan menjadi kebutuhan dasar ya
harusnya? Jadi bukan kewajiban yang nyusahin. Point bagus itu, suka alpa
dipahami banyak musisi yang terlibat dalam satu band kan?
Saat
ini, Eru mempunyai grup band sendiri yang dia pimpin, C Man namanya. Awalnya bersama Johan
Mustika (kibor), Rusfian Karim
(drums), Eddy Syam (bass) dan Jenesbi (saxophone). Saat ini,C Man
bersama bassis Dian,kibordis Herry Syahputra ditambah perkusionis, Febri. Semua asal Medan.
C
Man dibentuknya tahun 2010, yang dibentuk untuk mengikuti proyek mastering lagu, ‘Aranti’s Code’ karya
Eru. Lagu itu masuk dalam C Man,
Marathon Journey Music. Edar internasional dan versi digitalnya di iTunes, menembus charts tertinggi di sektor Jazz di Amerika Serikat dan Eropa.
Mastering tersebut dikerjakannya di studio Abbey Road,London, ditangani Adam Nunn.
Putra
sulung dari 3 bersaudara dari pasangan alm. Dr. H. Syafrin Y SKM (MPH) dan Dr.
Hj. Rayati Syafrin MM MBA ini mengatakan juga, ia kini tengah membangun lagi
sebuah kelompok musik yang baru, Clown
at the Circus, Ia mempersiapkan diri untuk menyelesaikan album rekaman
terbarunya. Ia hanya berucap, nanti lihat saja akan seperti apa suguhan bentuk
musik album itu nanti.
Ia
kemudian bercerita mengenai bagaimana ia mengenal gitar. “Awalnya dulu melalui
paman yang terlebih dahulu, memperkenalkan ukulele dengan 4 senar. Lalu aku
jadi suka gitar, kursus gitar klasik di Yayasan Musik Indonesia Medan,
sebelumnya di Era Musika.
Lalu
iapun memperlajari sendiri, melatih sendiri, bermain electric guitar, sejak masih SMP, di Medan. Berikutnya, ia cabut ke
Amerika Serikat, ia memperoleh pengajaran blues
guitar dari great blues guitarist,
yang juga adalah pembalap mobil ternama Jepang, Masayoshi Asanuma, di Pittsburg, Kansas. Itu dari 1987 sampai 1990.
Kemudian,
ia melanjutkan, “Aku mulai mengenal dan mempelajari Intervallic Jazz Fusion Guitar dari Don Mock, yang adalah pendiri atau founder dari Guitar
Institute of Technology. Itu lewat konsultasi informal gitulah, bersama
musisi, Thomas Ham, di Boston. Tahun
1991 sampai 1994. Kemudian mengembangkan Advanced
Modal Harmony untuk jazz gitar dari seorang mahaguru jazz composition dan conceptor,
Dave Johnson di Berklee College of
Music, Boston.
Eru
mengenyam pendidikan musik di sekolah musik kenamaan di Boston itu dari 1991
hingga 1995. Di Berklee itu pula memperoleh pengakuan dalam menemukan aransemen
jazz unik, melalui teori pengembangan motiv atau Motivic Development, dalam Harmonic
Consideration in Jazz Improvisation. Gurunya itu, Ed Tomassi, yang sekarang menjadi Guru Besar di Berklee. Oh iya,
Erucakra mengaku, ia juga memperoleh pujian, “Sophisticated Guitar Improvisation”, dari seorang Kenneth Taft. Asal tau saja, Taft itu
salah satu guru dari gitaris kenamaan, Steve Vai! Waow!
Secara
keseluruhan, menurut Eru, permainan gitarnya sebenarnya lebih terpengaruh
permainan saxophonis legendaris John
Coltrane. “Ya begitulah, aku juga sangat menyukai musiknya Coltrane dan
termasuk tentu saja permainan saxophonenya ya...”
Sejauh
ini Eru, pernah bergabung dalam High
Pitch di Medan, tahun 1984-1985. Lalu Erucakra
& The Greats di Medan, 1986-1987. Ia pernah berkolaborasi dengan Jan Hammer dalam Erucakra Mahameru & Jan Hammer Project feat. Hiro Iida di Boston, pada 1994-1995. Cakra Band di Jakarta, Medan dan
Bandung, pada sekitar 1995-1996. Berlanjut lagi dengan The Matrix Project pada 1996 di Medan. Kemudian, Silengguri (The Rite Musician) di Medan pada 2000 sampai 2001.Berlanjut lagi
dengan Medan Jazz Community mulai
2009.
Suami
dari Arsyadona Nasution Ssi MM, ayah dari Hafizian Miqraj Mahameru (sekarang 17
tahun) dan Aqsa Vodhra Mahameru (15 tahun), berhasil menamatkan studi formal
lain non musik, program Magister Management S2 di Universitas Sumatera Utara,
dari 2002 hingga 2007.
Ia
bercita-cita melanjutkan pengembangan pendidikan tentang Publishing Music dan Music
Bussiness and Technology Music. Karena terus berkembang dan penting dalam
industri musik dunia. Khususnya tentu saja ia ingin memfokuskan diri pada
potensi musik di Medan.
Ia
juga membuat ajang North Sumatra Jazz
Festival, sebagai sebuah forum etalase musik jazz yang tak hanya
menampilkan pergelaran festival, tapi juga mengandung nilai edukasi. Maksudnya,
Erucakra menjelaskan lebih rinci, dengan adanya NSJF yang menampilkan para
musisi dan grup jazz terbaik Indonesia dan internasional, dapat merangsang
tumbuhnya bibit-bibit muda potensial musisi jazz di Medan dan Sumatera Utara.
NSJF
yang dibuatnya lewat bendera WeM dan bekerjasama dengan indiejazzINDONESIA,
bukan sekedar sebuah konser berkonsep festival jazz. Unsur hiburan ada, itu
penting juga, kata Erucakra. Tapi kami senantiasa melengkapi dengan program workshop, sebagai ajang para musisi muda
Medan menambah pengetahuan yang baik dan benar, serta memperluas wawasan jazz
mereka. NSJF itu pengennya menjadi arena hiburan jazz yang sehat bagi para
pencinta musik di Medan dan Sumatera Utara, dan sekitarnya.
Dan
idealnya memang, tak berhenti hanya dengan 3 atau 4 kali penyelenggaraan. “Saya
berkeinginan NSJF jadi kalender acara tahunan tetap untuk seterusnya. Jadi
event kebanggaan kota Medan dan Sumatera Utara. Bukan besarnya yang kita tuju, rasanya
tak harus gede-gedean. Tapi terpenting esensinya, isinya yang di dalam. Konsep
utama memang di situ. Nonton jazz dengan tenang, bisa mengapresiasi dengan
nyaman. Performers nya juga pilihan, yang tentunya berkwalitas,” tambah
Erucakra. /*
No comments:
Post a Comment