Sunday, June 4, 2017

Fantastis! 100-an Kibordis Main Bareng! Sebuah Liputan dengan Sukacita...


Amazing, Wonderful.....Uhuuuuuyyy!


Akhirnya mengalunlah secara riuh lagu patriotik, ‘Bangun Pemudi Pemuda’. Dimainkan berbarengan semua musisi yang ada dengan durasi 1 menit 53 detik. Lagu nasional yang adalah gubahan almarhum Alfred Simanjuntak (20 September 1920 – 25 Juni 2014) itu, memang dimainkan secara serempak. Riuh tentu saja.
Bayangkanlah ada lebih dari 100 orang kibordis dengan tentunya, segenap peralatan “papan kunci”nya. Baik kibor, synthesizer atau piano. Termasuk keytar atau suka disebut, “kibor gendong” sampai akordion. Mengisi sebuah panggung besar, yang lantas diset dengan membangun trap sebanyak 4 trap.
Kabarnya, bobot yang ada memenuhi panggung, diperkirakan bisa sampai 4 ton. Jangan tanyakan berapa banyak wiring atau urusan perkabelan. Sampai pada kebutuhan channeling untuk membunyikan kibor-kibor itu, baik yang melalui amplifier ataupun DI Box.
20 Mei 2017 di Graha Bhakti Budaya, akhirnya dapat dilangsungkan pementasan dari 100 Kibordis Indonesia untuk Bangsa. Tagline nya adalah GotRoy Bermusik untuk Bangsa. Jadi ada misi kesatuan dan persatuan juga adanya, di balik tawaran acara sensasional yang memang dahsyat dan “gila-gilaan” itu.
Sensasional, gila-gilaan, dahsyat. Sebutlah apa lagi lainnya. Tapi kenyataan memang telah membuktikan, bukan tak mungkin bila ada lebih dari 100 pemain kibor bermain bersama. Memainkan satu lagu secara utuh dan “benar” ya, bukan sekedar berbunyi barengan saja.
Hal sensasional itu akhirnya bukan sekedar mimpi dengan para kibordis. Karena memang pada awalnya, kejadian yang menjadi momen langka dunia musik kita itu bak mimpi saja. Rada mustahil? Apa mungkin ya.....
Di satu ketika, beberapa orang kibordis dalam kesempatan berbeda secara tak sengaja, memang mengungkapkan rencana mereka. Ada Fadhil Indra, kibordis yang saya kenal sebagai kibordis kelompok prog-rock kenamaan, Discus. Fadhil, kini juga gabung dengan Montecristo, bertemu lalu berdiskusi dengan Iwang Noorsaid.
Iwang adalah kibordis yang dikenal lewat Big Kids dan lalu Emerald, yang kini menjadi Emerald BEX. Ada juga kemudian Krisna Prameswara, rekan main Fadhil di Discus. Krisna sendiri sekarang dikenal sebagai salah satu kibordis session player lumayan laris, kerap mendukung pentas banyak band, macam-macam musik.
Kemudian juga ada 2 Krishna yang lainnya. Entah kenapa memang, di dunia musik Indonesia ini, cukup banyak kibordis bernama depan “Krisna”. Ok, Krishna Siregar dan juga Krishna Balagita. Beberapa pertemuan-pertemuan permulaan, banyak dilakukan di rumah makan di kawasan Kebayoran Baru, yang adalah milik Krishna Siregar.
Sebentar deh, beberapa waktu lalu, di tahun sebelumnya, pernah ada niatan besar mengumpulkan banyak sekali kibordis. Ada sebuah acara terkait dengan kelautan. Waktu itu salah satu motor utamanya adalah Fadhil Indra. Banyak kibordis yang datang dan tampil kala itu, tapi memang secara jumlah tak sampai 100 orang.
Dan memang, Fadhil terlihat lumayan antusias, banyak idenya yang terlontar untuk mempersiapkan konser dahsyat ini. Paling tidak ini terlihat dari kicau-kicauan di Whats-App Group (WAG) mereka. Dimana grup itu dengan cepat membesar, terus bertambah jumlah membersnya. Biasa deh, saling mengajak dan menginvite teman-temannya.
Nah rencana yang mungkin saja bermula dari “mimpi”, mulai menampakkan titik terangnya. Harapan membuncah, ketika mereka lantas meminta Donny Hardono untuk mendukung rencana mereka. Gayung bersambutlah, Donny Hardono setuju.
Ada Donny Hardono, kemudian mereka juga bertemu Teffy Meine. Terlibat pula kibordis-kibordis lain, macam ada Andy Bayou misalnya. WAG kian membesar, dan mereka mulai intens mendiskusikan rencana dengan lebih detil. 
Satu ketika di beberapa bulan sebelumnya, saat Krakatau Reunion manggung di Rolling Stone Cafe, sebagian kibordis bertemu lagi dan berbincang serius dengan Donny Hardono. Mereka lantas mengatakan akan kejadian nih insha Allah, 100 kibordis main bareng. Awalnya sempat disebut bulan April. Lalu mundur ke Mei.
Belakanganlah, kalau tak salah di awal April, baru saya dengar disebutkan pas Hari Kebangkitan Nasional, tanggal 20 Mei, konser 100 Kibordis akan berlangsung di Taman Ismail Marzuki.
Cerita teman-teman kibordis, ketika rencana makin matang, makin banyak kibordis yang diundang dan sebagian besar menyatakan kesediaannya untuk ikut memeriahkan acara. Kibordis dari berbagai macam genre musikpun satu demi satu bergabung.
Dan sudah makin jelas terlihat bentuknya. Bahwa nanti akan ada penampilan grup-grup yang dibagi dalam beberapa genre musik. Baik itu pop, jazz, rock. Juga Electronic(a). Lalu ada world music segala. Reggae masuk juga, lalu Latin. Bahkan hingga klasik dan dangdut.
WAG mulai terbagi sesuai genre musik, atau memisahkan diri ke dalam WAG yang lebih kecil, yang merangkul para kibordis yang main pada setiap genre yang ada. Pemilihan kibordis masuk genre, ada yang memang disepakati bersama, artinya ditunjuk ataupun diminta.
Ada juga yang memang lantaran kibordis itu dikenal banget dengan jenis musik tersebut. Ada juga kibordis yang pengen banget terlibat, kalau soal masuk genre mana terserah saja. Yang penting main, kumpul-kumpul dan ....bergaul kali ya???
Ternyata persiapan itu makan waktu lumayan singkat. Setiap genre mempunyai jadwal latihan masing-masing. Ada yang beberapa kali, dengan jadwal yang disepakati bersama, walau ternyata setiap latihan tak pernah lengkap. Mau yang jadwal awalnya direncanakan  relatif banyak, atau yang “secukupnya”, kendala utama memang sulitnya menyatukan jadwal.
Biasa dan lumrahlah, karena sebagian besar kibordis yang terlibat memang punya grup masing-masing. Dengan jadwal yang bisa jadi, lumayan padat. So, untuk bisa berkumpul lengkap aduh....bener-bener deh, sangat memerah tenaga dan pikiran. Wuiiih!
Sampai ada yang begini nih ya, kumpul untuk mendiskusikan komposisi tapi makan jadwal 2-3 kali tuh. Cuma setiap kali latihan, selain tak pernah lengkap yang datang juga ada saja gangguannya. Misal ada yang seringkai mendapat telephone dan permisi harus menjawab panggilan telephone itu, ada yang sering keluar studio karena perlu....merokok.
Oh ya, setiap WAG juga lantas telah menentukan siapa-siapa “koordinator” atau apa ya, kepala gank kali  Hehehe. Mereka juga memilih siapa yang bertugas memilih lagu yang akan dibawakan grupnya. Serta siapa yang akan membuat aransemen. Siapa pula yang bertugas menulis partiturnya.
Pokoknya seru banget ceritanya. Ya maklumlah coy, 100 an orang lebih. Lelaki dan perempuan pula kan? Kebayang ga sih, keribetan-keribetan, kelucuan-kelucuan sampai romantikanya? Romantika? Maksudnya, apa kayak tetiba jadi ada...cinta lokasi? Oalaaaa....ah manusiawi dong. Emangnya ada yang terkena cinlok, bro en sis?
Ada lagi yang lebih seru, selain terus saja ada yang belakangan bergabung. Ada juga lho, yang sudah bergabung. Ketika lagu, partitur dengan aransemen dibagi-bagikan eh malah sudah hilang. Tak lagi terdengar kabar beritanya. Ada juga yang begitu itu.
Sampai cerita seorang teman, ada grup sesuai genrenya yang kehilangan begitu saja 3 kibordis. Menghilang dan tak lagi melakukan kontak. Dan eh ada yang juga buat saya lucu, ga sedikit kibordis yang sebenarnya ga terlalu jelas banget, teman segrupnya itu kibordis dari mana dan grupnya selama ini apaan sih sebenarnya....
Waduh, kalau mau dijabarin detil, sebaiknya memang para kibordis itu sendirilah yang bercerita deh. Tarik aja, ajak wawancara 15-25 orang aja, itu bisa jadi satu buku. Judulnya, Serba Serbi 100-an Orang Main Kibor bareng.... Hihihihi.
Dari sisi persiapan demi persiapan, latihan demi latihan saja jelaslah penuh dengan cerita. Tapi yang jelas ya, tetap terasa ada saling menghargai, toleransi dan rasa kebersamaan. Itu sisi paling positif dari “silaturahmi” 100-an kibordis ini.
Kebersamaan demi memperlihatkan persatuan dan kesatuan bangsa ini ya? Mereka sepakati bahwa, inilah wujud persatuan dan kesatuan dan kebersamaan itu. Mereka datang dari mana-mana, dari berbagai jenis musik, berlainan suku, agama, ras.
Dan begitu memang kenyataannya. Bahwasanya adalah musik dan kiborlah yang telah menyatukan ke 100-an lebih kibordis ini. Untuk berkumpul bersama dan main bareng. Main, bunyiin alat musiknya dengan benar lho ya.
Maka pemilihan tanggal yang pas dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei rasanya perlu dipuji. Sekaligus disyukuri. Tepat banget. Menggalang kebangkitan untuk bersatu dan bersama-sama membangun bangsa dan negara kita ini. Tanpa peduli persoalan adanya perbedaan. Berbeda itu justru asyik dan seru be’eng!


Maka datanglah the D-Day, alias Hari-H yang ditentukan itu! Dan keramaian acara sudah langsung terasa saat pagi hari di Sabtu 20 Mei 2017 di seputaran Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Ketika saya datang, itu langsung terasa ini seperti hari kibor nasional.
Dimana-mana masak sih bertebaran pemain kibor? Dari yang saya kenal baik, cukup kenal, tahu bahwa dia kibordis atau sampai ya pastinya saya ga tahu juga dia kibordis apa bukan? Hahahaha....wajarlah ya?
Bayangkanlah diperkirakan awalnya ada 132 orang kibordis Indonesia. Berkumpul. Ada dimana-mana. Wajar dong, kalau ya ada yang saya tak kenal sama sekali. Ya iya, memang akhirnya gegara acara itulah,maka saya tahu bahwa dia kibordis.
Jadi kalau misal, sebelum acara ya, saya ga tahu dia kibordis apa bukan, bolehlah saya “curigai” saja dia kibordis karena lagi ngobrol dan becanda dengan kibordis yang saya memang tahu....
Ayolah kita masuk ke dalam Graha Bhakti Budaya itu. Langsung takjub juga melihat jajaran 100-an kibor beneran lho, bertengger di atas panggung. Hebat euy, disiasatinya dengan memakai trap, ada 4 trap yang didirikan sebagai panggung di atas areal panggung.
Seharian pas sehari sebelumnya ditata begitu. Sekilas udah macam pemandangan sebuah candi saja. Yoi, candi kibor! Dengan hampir 55 kibor, berbagai merk dan jenis, adalah milik DSS. Kosonglah gudangnya langsung ya, tanya saya ke salah satu kru dari DSS.
Oh belum, masih ada kok di gudang, ga banyak lagi tapi ya ga dibawa semua kibor milik DSS, kata kru yang lainnya. Karena sebagian kecil peralatan kibor, synthesizer maupun piano disupply oleh dealer peralatan musik tertentu. Sebagian lagi, adalah peralatan dari si kibordis sendiri.


Di saat itu, abis terkesima melihat pemandangan “candi” itu saya lantas penasaran ini gimana bunyinya? Mungkinkah memang nanti bisa bunyi barengan dengan sebaik-baiknya?
Dan memang seorang Donny Hardono lah yang seolah “jenderal bintang lima” atawa panglima yang mengatur langsung di lapangan itu. Enerjik, bersemangat, terlihat cukup santai dalam arti tidak terlihat raut muka puyeng atau stress. Tapi pastinya, Donny Hardono yang ulet dan cekatan itu, fokus betul!
Satu demi satu genre lalu dicoba. Masuklah segera, saat sound check. Check line dulu, ketahuan semua line dari kibor yang dimainkan, lalu bunyi bareng. Dapat balancing awal, langsung coba dimainkan bareng. Sound yang paling ideal, lalu di lock, dan itu ditemukan sambil mereka memainkan lagu selama sound check.
Ribet? Nontonnya saja sudah kelihatan dan terasa keribetannya. Ya kompleksitasnya memang waduh banget. Tapi toh, satu demi satu genre yang akan tampil, rampung juga sound checknya dengan baik.
Masuk kemudian sound check untuk....naaaah niii die neh! Iya, tetap disiapin sungguhan, untuk semua kibordis main bareng itu.Lha ini kan puncak acaranya? Ga ada sesi main barengan itu, acara ini akan tak berkesan dong.




Persoalan timbul, karena jarum jam terus bergerak. Waktu sudah sekitar jam 19.00. Sementara kan dijadwalkan sekitar jam 20.00, konser sudah akan dimulai. Bagaimana seru dan “dramatis”nya tuh, mengatur 100an orang di atas panggung. Fadhil Indra menjadi komandan, berdiri di sisi depan menghadap panggung, di sebelah “ruang kerja” Donny Hardono di front-house.
Sementara Iwang Noorsaid, menjadi koordinator di atas panggung. Komunikasi langsung memakai microphone yang ada. Donny Hardono dengan sigap menjalankan konsep yang sudah digariskan, soal tata suara untuk rame-rame maen kibor itu. Tingkat keribetan, jelas berlipat lagi dong
Konsep awal, nanti ada sesi main bareng lagu ’Bangun Pemudi Pemuda’, tapi akan disertai juga penampilan singkat “menyelip” semua genre yang ada, memainkan lagu dengan iramanya masing-masing. Setiap genre harus menyiapkan materi untuk memeriahkan lagu penutup tersebut.
Namun dikarenakan, waktu yang makin sempit, maka langsung diambil saja “jalan tengah”. Lagu selipan tiap genre lantas ditiadakan. Saya sempat kasih masukan kepada Fadhil, hati-hati waktu kalau terlalu kompleks dan butuh waktu lebih panjang apa tidak sebaiknya disederhakan saja? Maksudnya, yang harus dijaga, karena itu hal terpenting, main bareng sungguhan lebih dari 100 kibordis itu.
Keputusan segera diambil serempak, oleh Donny Hardono dan Fadhil. Jadinya fokus saja bermain bareng kesemua kibordis yang ada. Karena kibor yang ada “hanya” 100, sedangkan kibordisnya total ada lebih dari 100. Maka ada peralatan kibor yang dimainkan sekaligus oleh 2 musisi. Eh itu memang konsep dari awalnya.
Donny Hardono lagilah, yang paling dituntut untuk bekerja maksimal. Karena seperti Donny sendiri mengatakan kepada saya, saat itu, bahwa memang semua kibor di panggung harus bunyi bareng. Benar-benar bunyi. Tapi ga boleh asal bunyi aja.
Tetap dijaga harmonisasi bunyinya. Tetap ada pembagian, mana yang “keras mana yang lebih pelan”. Mana yang sebaiknya “di depan mana yang lantas menjadi di belakang”.
Luar biasa sih melihat dan menikmati persiapan akhir itu. Seringkali Donny agak kebingungan, ini yang bunyi kibor yang mana? Satu ketika, lewat pengeras suara di panggung, Donny sempat juga becanda, ini saya juga ga tahu mana yang bunyi yang solo, mana yang ga....
Menariknya adalah, keseratusan kibordis menjalani masa persiapan terakhir dengan sukacita juga. Terkesan semua bergotong royonglah. Saling mengerti, saling mendukung satu sama lain. Dan mereka semua juga respek dan patuh banget dengan segala komando atau instruksi dari Donny Hardono.



So artinya, everybody happy for the best. Semua senang, demi hasil akhir yang sangat ok yaitu merealisasikan mimpi mereka bersama. Bagaimana 100 lebih kibordis bisa main bareng!
Dan saat jam sedikit lewat dari 20.30, konser itupun bisa dimulai dibuka oleh “pasukan biru”. Dipimpin commander on the left side, Andy Ayunir. And commander on the right side, Diddi Agephe. Mereka berdua adalah kumendan gank Electronic Music. Memang keduanya, yang bersahabat baik sejak lama itu adalah, dua tokoh utama musik electronic di tanah air.
Seluruh peralatan yang dimainkan oleh keduanya, adalah peralatan mereka masing-masing. Bawaan sendiri. Sampai pada laptop, layar monitor, segala effects. Tentu saja juga kibornya. Melihat cockpit mereka masing-masing, yang terletak di latar depan panggung, sudah sangat menarik.
Mereka membuka dengan sebuah komposisi yang mereka buat bersama. Lalu disusul dengan penampilan dari kelompok musik klasik. Yang terdiri dari selengkapnya, Levi Gunardi, Adonia Irianti Erningpraja Ananda Sukarlan, Aisha Sudiarso Pletcher, Ferdinand Marsa, Rezky Ichwan, Julian Wurangian, Esther Sitorus, Jaga Cita, Marcell Aulia, Fajri Jusran dan Indira Sari. Beserta, Iwang Noorsaid. Dan ada juga pianis senior, tokoh musik, Marusya Nainggolan.



Oh ya nama-nama di atas itu, saya peroleh dari data equipment list yang dibuat pihak DSS. Mohon maaf, sebagian nama memang ditulis hanya nama depan, terus terang karena saya memang tak tahu. Saya sempat mencoba menanyakan pada Rezky Ichwan, namun message saya tak direspon, mungkin karena sedang sibuk.

Etapi, sudah direvisi langsung via texting message oleh Rezky Ichwan langsung. Ah, saya salah menghubungi beliau ternyata. Oho ternyata, Rezky memakai whats-app message yang aktif pada nomer lain, nomer yang satunya lagi.
Saya sebenarnya, kalau menulis, untuk menuliskan nama pengennya bisa menulis nama lengkap. Ya harusnya sih lengkap deh. Itu bentuk apresiasi dan respek. Kalau misal belum kenal, ya kan bisa sekalian kenalan. Yekaaaaan?
Kontingen pembuka, dari klasik ini, didukung pula oleh Kak Nunu bersama anak-anak asuhnya. Mereka berkolaborasi dengan para pianis. Dengan Kak Nunu sendiri juga bermain pianika.
Setelah klasik, kemudian pop. Ini gerombolan terbesar. Bener-benerlah “gerombolan”. Tapi tentu saja, gerombolan yang positif karena cinta damai, welas asih dan penuh persahabatanlah. Banyak nih anggotanya. Paling tidak ada “oom” Nyong Anggoman, sebut saja sebagai tetua adat pop.



Lalu ada teteh geulis yang agak ceriwis, Tiwi Shakuhachi. Lalu kibordis jenaka, Trias Anugrah. Blocking gerombolan ini, di latar depan ada para “gitaris”, yang menemani neng geulis Tiwi itu. Ada Bambang Wijonarko, Vicky Bagus, Triono Puji Susetio, Irwan “opung” Simanjuntak.
Lainnya adalah, Robert Joko, Wijang Tio, Bung Karno, Alvin Presley, Mega Pratiwi, Baliyanto, Ika Maya, Reza “pianis abadi”, Ochi Maulana Saat, Hanny Putra, Dandy Lasahido, Andhiko Buwono, Xiao Pinpin, Steve Tampilang, Nico Ajie Bandi, Agung Munthe, Peter Lawdenk  Dan eh ada Edwin Saladin juga.
Selesai pop meramaikan suasana, dengan kostum warna manyala bop nya, giliran berikut tampillah perwakilan keluarga jazz. Mereka terbagi dalam 2 tim tepatnya. Tim pertama terdiri dari pianis Ade Irawan, Otti Jamalus, Krishna Balagita, Joseph Sitompul,. Dengan didukung drummer, Demas Narawangsa dan bassis, Yance Manusama.





Lalu tim kedua didukung Erik Sondhy, David Klein, David Manuhutu, Doni Joesran, Irfan Chasmala, Andy Gomez Setiawan, Kevin, Tedjo Bayu, Agus Handiman dan Ekka Bhakti. Kembali dibantu Demas Narawangsa. Sementara bass oleh Shadu Syah Rasjidi.
And, ok deh...Jazz sudah meramaikan panggung tuh. Lantas panggung tambah penuh gairah, dengan dominasi warna kebiruan. Pada tata cahaya. Tetapi pada kostum, mereka sepertinya sepakat memilih tema rada silver atau putih mengkilat. Aiiih!
Mereka ini datang dari planet lain. Hehehehe....kesannya begitu. Pasukan outerspace ini adalah pasukan selengkapnya electronic music. Payung besar sebagai “subgenre” utama sebenanya dikenal sebagai Electronica. Tetapi mereka lebih suka menyebut sebagai “Electronic Music” saja, karena tidaklah selebar apa yang disebut Electronica itu.




Tetap menokohkan Diddi Agephe dan Andy Ayunir. Kini pada sisi kiri, Andy ditemani Rio Zee. Di sisi kanan, Diddi ditemani Ammir Gita Pradana dengan topeng besarnya dan Wiwie GV.
Di areal panggung sebelah dalam, “berserakanlah” pasukan “dari peradaban lain” ini. Yaitu ada Popo Fauza, Iso Eddy, Arif Djati Prasetyo, Krish XP, Danar Rahadian, CinCin Lopez, Ulli Madewa, Rully Madewa, Rolly Anwari.
Setelah lumayan sukses membirukan suasana, giliran berikut adalah kelompok paling minimalis. Maksudnya pada jumlah musisinya. Yaitu genre Latin, yang disatukan dengan Reggae. Tapi kelompok terkecil ini tampil paling berbeda, karena ada tayangan videonya, mengiringi penampilan mereka.
Video itu dibuat oleh pemain akordion, yang tampil malam itu, Rudy Octave, yang selama ini dikenal lewat Sol-Project. Ada juga Rio Moreno Rusadi. Andy Jibron. Selain itu juga Estu Pradhana, seorang session player yang pengembaraannya lumayan luas itu.




Serta didukung pianis jazz senior, khusus mudik dari Singapura, Candra Darusman! Kelompok ini menampilkan pula vokalis, Carlo Camelo, vokalis “naturalisasi” dari negeri Kolombia. Naturalisasi? Dia vokalis apa...striker?
Kelompok gabungan latin dan reggae ini mendapatkan dukungan dari bassis bertubuh cukup subur dengan badan besar tapi kenyalnya itu, Harry Toledo. Sedangkan pada drums, dibantu drummer Inang Noorsaid. Inang juga yang membantu drums untuk genre pop. Ia juga tampil di lagu pengunci acara.
Beres genre Latin yang disandingkan dengan reggae, giliran berikut yang naik ke atas pentas adalah Dian Hadipranowo, Meidy Ratnasari, Astrid Lea, Irsa Destiwi, Cindy Sater, Yoana Theodora. Ini cewek-cewek dengan tema kostum sama, ethnic lah. Mana manis-manis pula!
Eh ga semua cewek, ada menyelip dua pria yaitu Vicky Sianipar dan Rafael. Mereka ini adalah kontingen dari “Daerah Istimewa” World Music! Memberi kesan tersendiri dong tentu saja. Artinya,jelas unik dan tak kalah gayalah.



Pendekatan mereka lebih pada bentuk komposisi yang berasal dari lagu-lagu darah. Jadi bukan pada bentuk world music, yang bernuansa “barat dan timur”.Misalnya juga dengan menyertakan instrumen tradisi Nusantara. Karena tampilan itu yang kayaknya lebih dikenal orang dari world music, when west meet east.
Dan suasana tambah meriah deh, gegara legiun kecil dangdut ikut dapat kesempatan. Menariknya, karena ada dua musisi senior yang “memimpin”. Tokoh musik, jazz dan pop, Tamam Hussein. Sekedar mengingatkan, dulu Tamam Hussein adalah salah satu tokoh penting di balik acara bergengsi, kompetii band Light Music Contest!
Serta muridnya Tamam, begitu ia mengaku, Anton Seva. Ada juga musisi jazz lain, Eramono Soekaryo, yang masuk di kontingen dangdut ini. Eramono, selama ini dikenal sebagai pendiri Spirit Band, dan belakangan sering tampil di acara Tribute to TOTO. 






Selain itu ada juga, Stevanus, Pupun, Dhidhi Ciam Keysa, Agus DJ, Jati. Kontingen dangdut ini juga didukung vokalis. Yang satu, cowok, yaitu host acara ini, Teffy Mayne. Sementara satu lagi, penyanyi cewek masih muda banget, Ardina Glenda.
Heboh dong! Itu dia kerennya acara ini, semua harus ada wakilnya. Diupayakan semua bisa hadir, ada wakilnya. Porsinyapun semua sama. Ga ada yang dibeda-bedain. Ciri khasnya ditonjolinlah. Kayak dangdut itu, ya ada penyanyinya gitu.
Dan kontingen atau keluarga terakhir yang memeriahkan acara ini adalah, genre rock! Pas bener jadi penutup! Saking banyaknya, sampai terbagi dalam 3 pasukan. Yaitu squad yang pertama adalah


Abadi Soesman, Tony Wenas, Harry Budiman, Fadhil Indra, Gatot Gatz, Wiwiex Soedarno, Hafid Andriono, Dery Intjemakkah, Ananda Keys.
Squad 2 dengan Tommy Wasis, Welly Siahaan, Mohamad Syarif, Ariev Baginda Siregar, Andy Bayou, Yessi Kristianto, Meity Yusuf, Rio Ricardo, Juga mendukung pasukan rock kedua adalah Adi Adrian.
Sementara itu pada squad nomer tiga dari rock, muncullah Yockie Suryoprayogo dengan Fariz RM. Bersama Daruwijaya, Eghay, Dimas Anindito, Raden Agung Hermawan, Dave Lumenta, Reynold Silalahi dan Krisna Prameswara.



Pada pasukan ketiga ini ada menyelip kibordis perempuan, Z Karbilla Nasution, yang adalah putri dari kibordis kawakan, Debby Nasution. Jadi, sang ayah yang terpaksa absen karena ada acara lain, diwakilkan oleh putrinya sendiri.
Pada ketiga tim wakil genre Rock ini, ada dukungan bassis, yang “ganteng-ganteng srigali”, Soebroto Harry Prasetyo. Dengan drummer, yang ini bener-bener cantik dan imut, Jeane Phialsa, yang lebih dikenal dengan panggilan, Alsa.
Begitulah data nama-nama dan kelompok yang tampil. Mohon maaf saja, kalau ada yang tercecer yang belum sempat kesebut. Data-data nama di atas itu, saya memang dapatkan dari berbagai sumber. Antara lain, dapat dari koordinator dari setiap genre yang tampil.
Nah gini, kalau saja ada pembaca tulisan ini iseng menghitung deretan nama yang saya tulis di atas ya. Total itu ada 122 nama sebenarnya. Jadi menurut Fadhil, kalau nama yang tercantum pada poster acara, total ada 132 atau 133 kibordis. Berarti, tambah Fadhil, ada sebagian nama hilang. Absen, ga jadi tampil.
Alasannya sih ga jelas. Mungkin saja, termasuk 3 nama yang saya sebut di atas itu. Ternyata ada beberapa lainnya juga yang urung hadir mendukung acara ini. Tapi walau begitu, tetap saja jumlah sedemikian besarnya adalah catatan rekor yang lumayan mencengangkan.
Dalam list awal, tersebut juga nama Dwiki Dharmawan, di kelompok jazz. Tapi Dwiki urung hadir, karena masih dalam perjalanan pulang dari Barcelona, Catalunya! Abis ketemu Messi, Neymar dan Suarez kah? Atau ikut pesta perpisahan Luis Enriquez?
Bukan dong, emangnya Dwiki pengurus PSSI? Tapi yang hebatnya, di saat lagu pamungkas yang semua kibordis main bareng itu, Dwiki ada ikut main! Menyelip di pojok kanan, berbagi kibor dengan Wiwie GV, bertetangga dengan Diddi Agephe.
Ia memang serius pengen tampil. Jadinya, ia terbang dari Barcelona via Zurich lalu Singapura. Sampai di Bandara Soekarno Hatta jelang 21.30. Ia lalu langsung meluncur ke Graha Bhakti Budaya! Syukurlah, masih kebagian tampil di lagu terakhir itu!


Dan akhirnyalah, lewat sebuah pengorganisasian acara berlandaskan kebersamaan dan persahabatan, bisa mengundang lebih dari 100-an kibordis untuk tampil bareng, jelas suatu prestasi yang harus masuk sejarah. Sah itu mah!
Dan peristiwa main barengnya 122 orang kibordis itupun lalu telah disahkan dan diakui oleh sebuah badan pencatat rekor internasional. Badan tersebut, Record Holder Republic (RHR) lalu memberikan sertifikat pengakuan tercatatnya sebuah rekor dunia. Sertifikat itu memuat catatan 100 orang kibordis dan pianis yang bermain bersama.
Sertifikat diserahkan perwakilan resmi dari RHR Indonesia, Bapak Halim, langsung kepada Donny Hardono. Donny Hardono memang bertindak sekaligus sebagai promotor atau penyelenggara acara ini. Piagam rekor dunia itupun lalu dipegang secara estafet oleh ke 122 kibordis yang telah tampil.
Ya, ini memang acara gila-gilaan. Dan dibalik sebuah konser gila-gilaan begini, harus ada orang “gila” yang bersedia mengadakan. Itu artinya, seorang yang “cukup gokil”-nya, untuk mewujudkan mimpi fantastis itu!
Tak pelak, seorang Donny Hardono lah yang tingkat kegilaannya terbilang ok...maksimal! Hehehehe. Kegilaan dalam konotasi positif dong. Dimana dia yakin untuk bisa merealisasikan gagasan edan para kibordis. Dan ternyata kan, berhasil!
Saya senang dan bangganya dengan teman-teman kibordis itu. Kebersamaan mereka itu luar biasa. Dan bisa bersatu kan? Gotong royong dengan relatif baik. Kalau ga baik, mana bisa kejadian cooooyyyy.....
Well, betullah itu. INDONESIA memang hebat! Kalau benar bisa bersatu, segala sesuatunya sangat mungkin untuk diadakan. Hasilnya kan dahsyat tapi juga menghibur. Penting itu lho, bukan sekedar mengejar catatan rekor dunia. Tapi bagaimana orang-orang yang telah datang menonton, juga terhibur karenanya.


Dan ini adalah kali kedua, saya ada dan langsung melihat dan merasakan, lalu memuji, aksi dahsyat para musisi. Di sekitar 2004, saya juga menjadi saksi langsung dari 477 orang pemain perkusi nasional yang bermain bersama.
Kejadian 477 perkusi itu diadakan dalam rangka HUT DKI Jakarta ke 477, diadakan di sebuah panggung raksasa yang dibangun persis depan area Hotel Indonesia yang legendaris itu, dengan menghadap pada air mancur selamat datang.
Para pemain perkusi Indonesia itu, juga dicatat dan diakui sebagai sebuah rekor baru, tingkat internasional. Pencatat rekor dan pemberi piagam rekor adalah dari MURI (Museum Rekor Indonesia). Sampai hari ini, setahu saya belum terpecahkan.
Bedanya hanyalah, waktu 477 perkusionis beraksi luar biasa itu, saya memang terlibat langsung secara aktif dalam organizer penyelenggara. Rangkap merangkap jabatan sih waktu itu. Antara lain nih, menjadi liasion officer khusus sesuai permintaan yang bersangkutan. Yaitu Harry Roesli, yang untuk acara itu, diminta menjadi dirigen.
Padahal sejatinya, saya talent coordinator. Yang pada acara puncaknya, lalu ikut turun tangan langsung dalam tim stage management. Ya itu kan keusilan yang khas dari seorang Harry Roesli. Dan itu adalah pertemuan dan kerjasama hangat saya terakhir dengan Harry Roesli.
Karena acara itu dilangsungkan pada Juli 2004. Dan pada 11 Desember, berarti 5 bulan kemudian, Harry Roesli berpulang karena sakit. Tentunya membuat momen acara itu menjadi sungguh spesial, terutama untuk saya.
Nah waktu penyelenggaraan konser 100 Kibordis untuk Bangsa kemarin itu, saya hanya jadi penonton. Yang bawa kamera. Lalu sibuk jeprat-jepret aja. Dapat ID Card khusus langsung dari Donny Hardono. Kemudian ya...hitung-hitunglah ikutan gaul deh....

Kembali ke 122 pemain kibor nasional itu, sebuah catatan prestasi yang membanggakan sebenarnya. Saya menyetujui betul tulisan teman saya di Facebook, Sungguh tak ternilai...Tapi sangat terukur, sejauh mana implikasi yang akan diperoleh dari aksi "gila" yang mengesankan ini. Rasa bangga, haru dan hormat pada Mas Donny Hardono serta 132 kibordis lainnya. Dan tentu saja pada semua jurnalis yang merekam peristiwa pop culture terbaik ditahun 2017 ini.
Tulisan itu adalah komen dari sahabat baik, jurnalis musik, Buddy Ace. Namun sayangnya, review ataupun liputan acara ini tak ada sama sekali. Sampai tulisan saya ini dibuat, 2 minggu setelah acara berlangsung, saya googling dan tak berhasil menemukan liputan acara tersebut.
Sebelum acara berlangsung, memang ada cukup banyak tulisan mengenai konser 100 kibordis ini yang akan diadakan pada 20 Mei. Namun sayangnya, justru pas kejadian acara berlangsung dengan sukses, malah ga ada media yang meliputnya.
Padahal ini kan kejadian langka dan dahsyat ya.... Apapun yang terjadi, selamat untuk ke 122 kibordis atas prestasinya. Juga tentunya untuk penyelenggara yang bener-bener berjuang dan “berjibaku”, Donny Hardono dan DSS Production! Ditunggu pergelaran keren, asyik dan....fantastis yang lain!
Salam Musik!*









2 comments:

Unknown said...

om Dion Momongan....
gilaaaaa tulisanya gokil....
mantabh2... salute2... foto2 jepretannya juga cakep2...
terimakasih om...
salam sehat2 & hepi2 selalu
🙏 anton seva

Peter J. Siwi said...

deskripsinya RUAR BIASA !!!