Cerita
mulanya ya seperti anak-anak pada umumnya. Bersekolahlah ia, mulai dari TK, SD,
SMP. Semuanya di sekolah sama, semua di St. Fransiskus, di daerah Kampung
Ambon. Baru SMA berpindahlah dia ke di Don Bosco II, walau masih di daerah
berdekatan, ya sekitaran itu juga,
wilayah Pulomas.
Apakah
saat bersekolah seorang Andre Dinuth, rajin belajar, rajin menabung, tak pernah
tak masuk sekolah selain kalau sakit? Mohon maaf, saya tak sempat menanyakan hal
itu. Bisa jadi ia rajin belajar, rajin membaca buku, rajin menulis. Sekali lagi
saya tegaskan ya, bisa jadi. Artinya, ya kira-kira aja ndirilaaaah....
Jadi
cerita mulai dari mana ya baiknya? Gini deh, waktu kecil pengen jadi pilot. Begitu
cerita masa kecilnya. Sampai koleksi model pesawat, ia tuh bahkan sampai
belajar basic tehnik pesawat gitu.
Juga suka dengan komputer, pernah sampai kursus di sebuah lembaga pendidikan
komputer terkemuka dulu.
Nah
soal ke-pesawat-an itu, mungkin karena ia suka ikut ayahnya ke bandara Halim
Perdanakusuma, Ia senang betul. Kayak lihat-lihat pesawat Hercules. Kemudian
sampai nonton Air Show tahun 1996, dengan antusias banget.
Oh
berarti sempat dulu tuh mau jadi pilot ya, kalau begitu ceritanya kan?
Lagi-lagi, saya hanya bisa katakan, bisa jadi. Maaf, saya tak menanyakan hal
itu. Point utamanya sih, dulu waktu
kecil sukanya apaan bro?
Lalu
ada sepupunya. Sepupunya tuh lagi asyik main-mainin gitarnya, waktu sang sepupu
lagi main ke rumah Andre. Sepupunya sih masih belajar juga sebenarnya. Tapi dia
kok jadi pengen main gitar?
Lantas
dia tertarik untuk mau belajar juga. Doski
beli deh gitar akustik, merk Osmond. Lalu beli buku chord dasar di toko buku Gramedia.
Dan dia kemudian diajarin pertamakali oleh supir dinas ayahnya, kayak
kunci-kunci gitu. G, C, D walau masih terbata-bata. Tapi dia sudah menikmati.
Mulai nemuin keasyikan bergitar.
Kemudian
iapun masuk sekolah musik, Chic’s di awal 1997. Ia mendapat gurunya, Ridho Hafiedz.. Lalu tamat SMA, ia
melanjutkan langsung ke Universitas Pelita Harapan, mengambil jurusan Musik.
Iapun
belajar dengan Ridho, sampai lebih dari 3 tahun. Yang paling dia inget dari
Ridho adalah Ridho kasih ke dia 2 lick
gitar dasar,”Jangan lupa selalu latihan dua lick ini setiap saat elo ambil
gitar buat warm-up”. Itu alternate
lick. Simple sebenarnya,lanjutnya, tapi modal dasar yang bagus banget. Ia
selalu ingat dan...lakukan itu!
Ridho
lah yang bisa dibilang, gitaris favorit pertama dia. Karena dia merasa,
stylenya itu sama, jadi cocok. Sama-sama suka blues dan rock. Lalu lihat Donny Suhendra, pertama kali di Jamz
Cafe. Waktu itu Jamz masih ada, bandnya waktu itu Pentatones, main di lantai bawah. Di atasnya ada Nera, dimana Donny
Suhendra main. Ia menonton dan lantas mulai jadi suka dengan fusion.
Dari
awalnya blues rock based guitarist, ia
kemudian pelan-pelan mulai mendalami juga fusion. Gitaris selanjutnya yang
dikaguminya adalah Tohpati Ario. Ia
belajar banyak soal ketekunan dalam berlatih instrumen, gitar dalam hal ini.
Akurasi ryhtm dan temponya terjaga.
Makin
getol dong jadinya sama fusion kan? Soalnya kan ketemunya dari Donny Suhendra eh
abis itu Tohpati Ario. Tapi ia kasih catatan juga, terutama soal Tohpati Ario,
dimana membuatnya jadi belajar juga mentransisikan antara bermain pop sebagai session player, juga arranger. Tapi juga di lain waktu, main
musik gayanya sendiri.
Kemudian
bro, kalau omongin gitaris luar, gimana? Favorit utamamu? Ia langsung menyebut,
Scott Henderson. Selain itu juga nama lainnya adalah Steve Morse, Steve
Lukather dan Pat Metheny. Itu 4 gitaris yang top-one buatnya. Semuanya memberi pengaruh pada permainan gitarnya.
Lalu
ia menjelaskan dengan lebih detil. Mulai dari seorang, Scott Henderson yang
buatnya, dia suka banget karena , “I can
relate as my background as a blues rock first, learn the way he use pentatonic
scales. And then, mutated it into scales that were outside the usual
pentatonic.” Juga mengenai phrasingnya.
Dia
suka Steve Morse karena penggunaan chromatic
scales-nya. Juga soal alternate
picking dimana dia memfusikan phrasing
bluegrass ke dalam idiom rock.. Ya
unik dan beda lagi kan? Sementara Steve Lukather, nah karena Lukather ini
menarik untuk all his session works,
juga soundnya..
Nah
kalau Pat Metheny lain lagi nih. Ia menikmatinya dan lantas mengambil pelajaran
dari soal komposisinya. Itu juga memberi pengaruh kuat buatnya, terutama saat
ia menulis lagu. Pat Metheny juga dikaguminya untuk sisi aransemen closes voicing-nya, dan oh ya komposisi
akustiknya.
Dia
lalu ingat konser Toto di 2004 dan konser Tribal Tech di tahun 2012. Keduanya
dia tonton di Jakarta. Dan ia ingat banget. Terkesan soalnya! Yang membuatnya
terkesan pada kedua konser itu adalah, musicianship-nya.
Bagaimana
they all interlocks together, mungkin
karena mereka semua sering man bareng ya. Jadi udah saling mengunci dan paham rhythm-nya, tahu porsi masing-masing dan
saling support.
Kita
obrolin berikutnya, soal album rekaman deh ya. Soal album yang disukai, ada
beberapa. Tapi dia bilang, dia harus sebut, What If dari Dixie Dregs.
“Gw beli waktu masih SMA, di toko kaset Aquarius tuh. Suka karena komposisinya.
Ada satu lagu, ’Nights meet Light’. Juga ‘Ice Cakes’. Suka banget, karena kompisisinya
itu terasa Steve Morse memfusikan classical
dan fusion, juga mengenai bagaimana dinamisnya lagu itu”, terangnya dengan
lancarnya.
Betewe,
sejauh ini Andre Dinuth sudah menghasilkan 2 album rekaman lho. Selftitled album, Andre Dinuth, yang dirilis tahun 2014. Here With You, 2016. Album pertamanya itu dikerjakannya dari bulan Oktober
2015 sampai Februari 2016, itu dikerjakan di sela-sela persiapan Glenn Fredly
20 tahun.
Kalau tak salah, juga saat itu, ia sedang aktif juga ya bermain bareng para gitaris lain. Sebut saja, Aria Baron, Eros Chandra, Dewa Budjana, Baim, Tohpati Ario. Tau dong grup para gitaris itu apaan? Yes, Six Strings! Yang ternyata sudah tak didukungnya lagi itu saat ini.
Bisa jadi, karena kesibukannya juga terbilang tinggi. Ia kan tercatat, mendukung beberapa band pengiring penyanyi-penyanyi solo, baik sebagai musisi tetap atau additional. Salah satu di antaranya adalah, Rio Febrian.
Ada
sih faktor kesulitannya, kalau soal pengerjaan albumnya. Ya biasalah, pasti ada dong. Kasih tantangan kan? Tapi
sebenarnya sih. relatif ya. Tapi kalau disebut sulit, tingkat kesulitannya
berlebih gitu ya, lebih pada album keduanya.
Karena
saat pengerjaan album itu, ibunya yang tercinta terkena serangan stroke. Lalu kemudian ibunya meninggal
dunia. Terus terang, itu suasana yang sangat berat. Dan tentu saja menyebabkan
konsentrasi terpecah. Maka proses pengerjaan album tersebut mau ga mau jadi
tersendat-sendat.
Dan
kemudian, album berikutnya, sudah dipersiapkan? Oh iya nih. Sekarang dia mengaku
lagi mulai persiapan bikin album ketiga. Sejauh ini sih sudah terkumpul 5 lagu.
“Aku pengennya, kalau bisa ya di penghujung tahun 2017 ini juga bisa
diselesaikan produksi rekamannya. Doain aja ya...”, begitulah harapannya.
Sekarang
soal gear-nya. Atawa “peralatan
tempur”nya nih. Weapon elo sebagai
gitaris apa aja? Yoih dong, maksudnya gitar andalannya apa aja gitu. Ok, dia pilih
lebih sering pakai Tom Anderson sekarang ini. Untuk pelbagai acara ya.
Terutama
banget yang tipe, Blue Anderson Tele
Model. Lanjutnya, “Lalu aku memilih hanya pakai Fractal Audio AX9 direct to
mixer. Soundnya buatku, great.
Dan terpenting sih, friendly cost dan
airline friendly. Jadi kan, gampang
dibawa-bawa kemana-mana gitu, itu harus diperhitungkan lho.”
Andre
Dinuth punya keinginan atawa angan-angan, yah pastinya asyik bisa main bareng dengan idola-idolanya, musisi
luar yang telah disebut di atas itu. “Main di panggung, juga rekaman tentu. Itu
aja cita-citaku di musik yang belum kesampaian, ga tau deh kesampaian atau ga
ya, hehehehe...”
Eh
eh tau ga teman-teman, Ande Dinuth ini punya hobi lain lho, ya so pasti di luar
musik. Sekarang
ini dia megakunya, sangat suka fotografi! Lagi demen-demennya nih, ucapya
sambil senyam-senyum.
Walah,
jadi kompetiter dah ini mah... Hehehehe. Ia berkata begini, “Aku akan sangat excited kalau main di luar kota, datangnya sehari sebelum show. Kan jadi ada waktu cukup untuk
jalan-jalan keliling. Bisa diisi hunting
photo dong? So, ga pernah lupa bawa kamera sekarang...”
Kalau
doi serius jadi fotografer, alamak
kenapa sih musisi dan penyanyi jadi pada doyan jadi fotografer juga? Ini
masalah seriuuuussss. Hahahaha.
Saingan bertambah moloooo jadinya.
Aha! Mendingan sih kita hunting bareng aja ya, bro Andre?
Well,
begitulah seorang gitaris session-player yang seringkali bila di panggung selalu saja ya,
diperkenalkan sebagai gitaris yang...jomblo! Emang masih jomblo, bro? Udahlah, silahkan tanya aja sendiri ke dia deh. Boleh
tanya kan ya bro? Jawabnya sambil cengengesan,
“Maaf, aku permisi dulu, ini udah musti naik panggung....” /*
No comments:
Post a Comment