RAJAKELANA,
adalah sebuah perjalanan selebrasi Mondo
Gascaro. Tentang segala eksplorasi, kekebasan, penjelajahan musik, tentang
hijrah. Bagaikan perjalanan angin, yang menempuh jutaan kilometer, yang
meniupkan kabar baik ini sampai jauh....akhirnya, ke laut. Musim kemarau....
Itu
di atas saya adalah semacam reinterpretasi saya saja, terhadap tulisan dalam
press-release yang saya terima. Iya, iya bukan begitu sih tepatnya. Yang di
atas itu sudah masuk pemahaman saya sendiri, yang membungkus apresiasi, dengan
secuil keisengan. Biar enak dibaca oleh teman-teman yang suka membuka,
memperhatikan, membaca website
saya.... Jahil! Ga kok, iseng tepatnya.
Ok
Mondo Gascaro adalah Sore. Bukan
pagi, apalagi siang. Juga tak sampai malam. Sore adalah sebuah grup band muda
yang pemunculannya, lumayan mendapat tempat di hati para penggemar musik muda
usia. Band indie, salah satu yang terdepan, dengan keunikan semua personilnya
bermain kidal.
Saya
sendiri, eh tepatnya pernah berduaan, bertiga juga, sudah menyaksikan performa
Mondo Gascaro di atas panggung. Anak muda ini, dengan raut muka rada
oriental,oh dia berdarah Jepang ternyata. Sama dong! Sama dengan orang-orang
lain, yang juga punya darah Jepang mengalir dalam sebagian darahnya maksudku.
Saya
membuka cover album RAJAKELANA nya. First impression, apa lagi “raja kelana”?
Eh ternyata, diambil dari syair lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ lho. Ah, cerdiknya.
Rajakelana, jangan dipisah sih, berarti angin tho? Wind inspiration?
Angin
keras, diiringin hujan atau sepoi-sepoi membelai kulit tubuh, menerbangkan
ringan rambut? Selonjoran di tepi pantai? Matahari pagi banget, berjemur, sunbathing. Dengarin walkman gitu? Walkman? Sangat 80-an...!
Tetapi
begini, di kala mendengar track
pembuka, ‘Naked’, suasana sound
pembuka saja memang riak ombak tepi pantai gitu. Nyaman. Dan tak hanya sampai
di situ sih. Saya tuh terlena sebetulnya lebih pada pilihan sound keyboardnya.
Dan itu “memperkuat”, eh tepatnya mempermanis mungkin ya? Ya, itu menurut
kuping dan hati saya ya.
Irama
dalam album, bak “Irama Lautan Teduh”. Ahay, semacam program Hawaiian Senior di
TVRI Tahun 1970-an? Saya pilih, ini menurut hati, pengalaman, pola pikir dan
tentunya kuping saya, soundnya membawa saya ke suana 70-80’s. Early 80’s. Sound
khas musik jazzy yang American gitu.
Teristimewa
pada pilihan sound keyboardnya. Mondo, di satu kesempatan di atas panggung,
pernah bilang ia memag juga terinspirasi pada Steely Dan. Tahu Steely Dan ga?
Itu lho grupnya Walter Becker dan Donald Fagan. Band yang sudah berdiri sejak
1970-an, lalu secara tak diduga eh ketiban Grammy Awards di tahun 2000, dengan
album Two Against Nature.
Apa
lantas berarti Steely Dan mirip Mondo, aduh kebolak, Mondo “mengambil” warnanya
Steely Dan? Secara kreatif, dan itu wajar-wajar saja, saya bisa saja setuju. Saya
sih menangkapnya, ada suasana Steely Dan. Tapi tak mendominasi.
Abis
itu balik dengerin albumnya ya. ‘Dan Bila...’, lebih sedikit naik temponya.
Menarik juga dan bikin saya, tak bisa tidak, harus mendengarkan track berikutnya nih. Oh ya, eh ada lagu
sebelumnya, ‘A Deacon’s Summer’. Lirik Inggris. Santai. Di sebuah bungalow tepi
pantai, buka botol bir yang dinginnya maksimal, kayaknya....klop nih. Ah, seventees bingits, jack!
Sambung
dengan suasana lebih mellow, ada
suara timpani juga lamat-lamat. Eh itu timpani apa floor tom diameter besar? Suara flute dan trumpet, bikin pas buat
leyeh-leyeh, menikmati pemandangan jalan. Lho, udah ga di tepi pantai lagi?
Kapan jalannya? Maksudku, boleh aja, mau di tepi pantai kek, di tengah
perjalanan juga kek, asyik....
‘Strum
und Drang’, bahasa Jerman dari Strom and
Drive, adalah track berikutnya. ‘Into the Clouds, Out of the The Ocean’
yang ada suara Alexandria Deni,
mantan member dari The Monophones,
grup pop asal Yogyakarta,menjadi lagu berikut.
Tracks
selanjutnya ada, ‘Oblivion, Oblivion’, ‘Butiran Angin’. Sentuhan mendayu nan
lembut, menyejukkan dengan ‘Lamun Ombak’ bersama vokal dari Aprilia Apsari, dari White Shoes and
the Couples Company. Dan lagu pengunci, ‘Nyender’...beneran pas buat nyender di late afternoon, tepi pantai, ditemani beberapa botol bir kosong
sambil memandang deburan ombak...
Ah
musik yang santai. Ada nuansa apa sih, soft rock ya? Sedikit touch
electronic-rock 70’s gitu. Berbalutkan “selimut” ballad, jazzy, tropical-music. Buat saya, ada kesan eksotisnya,
cantiknya, sedikit menggoda, agak-agak manja. Tapi memang cukup memberi suana
tertentu, dalam situasi tertentu.
Misal
gini deh, seperti yang telah saya kemukakan dengan gambaran di pinggir laut itu
di atas. Bisa bikin bir menjadi lebih dingin, artinya lebih nyessss membasahi tenggorokan. Pegal
linu di betis, tempurung dan pergelangan kaki, setelah lelah menyusuri pantai
seharian, bisa terobati. So, bikin rileks lebih maksimal.
Oh
ya ada beberapa nama memang yang membantu terwujudnya album ini. Dari Bonita Adi, “nyonya besar” nan baik
hati dari Bonita and the Husband yang bersuara emas itu. Jay Afrisando, saksofonis dari kota Jogjakarta. Kemudian Petrus Bayu Prabowo (bass), Belanegara Abimanyu (perkusi), Lafa Pratomo (gitar) dan Dimas Pradipta (drums).
Menurut
rilis yang saya terima langsung dari Ramondo Gascaro, begitu nama lengkapnya,
albumini dimulai dengan single, ‘a Deacon’ Summer’. Single dirilis 20 Mei 2016.
Single itu langsung merampas perhatian publik, pun juga para pemerhati musik Indonesia
serta media massa. Berlanjut dengan rilis versi digital album pada 25 November 2016.
Dan
pada 21 Januari 2017, versi fisik atawa compact-disc
album RAJAKELANA pun dirilis resmi. Kabarnya, album ini juga akan dirilis
sebuah label, Production Dessinee, untuk wilayah Jepang.
Mondo,
kelahiran Jakarta 22 Agustus 1975 ini, menjalani proses yang lumayan seru dalam
menggarap solo albumnya ini. Kabarnya, tak kurang dari 10 studio rekaman,
menjadi tempatnya untuk tracking,
atau pengisian rekaman ini.
Sebelumnya,
Mondo dengan Ivy League Music-nya,
telah membuka serial rilis solo album ini dengan merilis ‘Saturday Light’.
Sebuah single yang dirilis secara digital pada Agustus 2014. Itu berarti, 2
tahun-an setelah Mondo pamit mundur dari grup bandnya, Sore. Lalu diikuti
single b-side, ‘Komorebi’, di awal
2015.
Lumayan
berliku proses yang dijalani putra dari pasangan Tripartito Haroyo dan Yoko
Oshika ini. Dan memang menarik untuk mengamati sepakterjangnya, dimana publik
nampaknya cukup sabar menunggu rilis album suami dari Sarah Ayu Utami ini.
Mondo
yang ayah dari Joao Komorebi Gascaro, Jaime Petrichora Gascaro serta Janeiro Oshika
Gascaro ini, mungkin memang menyerap dengan “baik dan benar”, apa yang pernah
dialaminya dalam hidupnya. Baik darah Jepang-nya,dimana ia menyelipkan
instrumen khas Okinawa, Sanshin, di lagu ‘Butiran Angin’ misalnya.
Pun
juga suasana apa yang di atas saya sebut soft rock, macam retro-sound 70’s to early 80-an, apa yang banyak dibunyikan musisi
di Amerika. Kabarnya, pernah bermukim di negeri paman sam tersebut.
Eh
bikin saya tuh jadi teringat film-film seri yang diputar di TVRI di masa kecil
dulu, misalnya apa ya, Baretta. Apa lagi ya, inget-inget dulu nih.... Baa Baa Blacksheep, Barnaby Jones, Mannix, The Jefferson’s, Mork and Mindy atau Odd Couple. Ya film-film Amerika, movies series 1970-an gitulah.
Satu
ketika saya juga pernah tanya ke Mondo, musik apa yang kira-kira cukup nyangkut
lama di hati dan pikirannya.Menjadi semacam ide-ide dasar dari konsep
bermusiknya, yang tertuang di dalam albumnya itu.
Mondo
menyebut antara lain, The Beatles yang pasti. Lagu dengan sound khas tahun
1970-1980an seperti, ‘Antonio’s Song’ nya Michael Franks atau ‘Your Song’ nya Elton
John, juga cukup nempel. Mungkin karena lagu-lagu seperti itu, didengerinnya
sejak masa kecilnya, terus menerus. Tentu dari keluarganya.
Mau tanya beberap hal lainnya. Tapi ah nanti saja deh. Saya simpen saja dulu, nunggu waktu Mondo tak terlalu sibuk.....
Pemunculan
Mondo memang tak pelak, memperkaya khasanah musik Indonesia.Memberi alternatif
bunyian yang lain lagi. Ga terlalu baru, tapi saya berani menyebutnya punya
potensi untuk memperoleh semacam kekhasan yang unik.
Saya
suka, karena Mondo Gascaro, seperti banyak musisi muda lain yang berani tampil
lewat jalur indie,menyodorkan tawaran alternatif musik segar. Secara ide, perlu
dipuji. Dan harus dipuji atas keberaniannya menyebarluaskannya ke publik.
Publik
terkesan, jadi suka. Cukup sukses untuk mulai nyantel di hati. Musiknya sekilas
terasa sederhana. Sederhana di sini, maksudnya ringan untuk masuk dalam
telinga. Kemudian membuai. Kan seperti yang saya bilang di atas tuh, bikin
tambah rileks.
Jadi
pengen nonton lagi...BJ and The Bear
atau.... Grease? Atau apa lagi ya, Fame? Eh, joged-joged di atas meja dong,
atau dance groups era masa sekolah
taon 70-an..... /*
1 comment:
Jujur, saya belum pernah tau tentang beliau. Harapan saya, semoga musik berkualitas indonesia makin berkembang. Karena membaca nama White Shoes lah saya tertarik.
Post a Comment