Monday, October 2, 2017

Solo City Jazz 2017. Jazznya Wong Solo?




Dan karena perkenan Sang Khalik, Solo City Jazz (SCJ) telah hadir,  menghibur masyarakat kota Solo pada Jumat 29 September dan Sabtu 30 September 2017 kemarin. Dari seperti yang telah diketahui, bahwa SCJ pertama kali diadakan, pada 4 dan 5 Desember 2009, bertempat di areal pelataran pasar Windujenar-Ngarsopuro.
Berlanjut terus. Menjadi agenda tetap tahunan kota Solo. Dengan satu kali skip pada 2010, karena adanya musibah hujan abu paska erupsi Merapi. Solo City Jazz (SCJ) terus diadakan, dan menjadi salah satu agenda tetap saban setahun sekali kota Solo.




SCJ tetap mempertahankan konsep dasar berformat a la festival. Dengan hidangannya meliputi : musik jazz, art, heritage dan batik. Konsep dasar tersebut terus dihadirkan sejak 2009. Bermacam-macam  jazz dengan aneka “sub-genre”nya. Dengan di antaranya, selalu diberikan  porsi khusus pada kelompok yang mengedepankan eksplorasi eksperimentasi jazz dengan unsur-unsur eksotika tradisi Nusantara. Selain, bagaimana para musisi dan penyanyi, melakukan reintepretasi tersendiri masing-masing terhadap jazz. Hidangan lengkap itu kami menyebutnya sebagai, “jazz-nya wong Solo”.
Venue senantiasa adalah saran yang datang dari pemerintah kota Solo. Mengetengahkan spots heritage kota Solo. Dan batik, adalah menjadi kostum “wajib” bagi setiap performers yang tampil pada SCJ sejak pertama kali, di 2009 lalu.
Perlulah digaris bawahi, bahwasanya adalah pemerintah kota Solo, yang dalam hal ini langsung memperoleh restu pula dari Walikota, yang menjadi pendukung utama dari acara ini. Sejak kali pertama diadakannya.
Hal itulah sebagai pembeda, yang senantiasa dipertahankan sebagai identitas Solo City Jazz (SCJ). Membedakan SCJ dengan puluhan festival jazz lain, yang menjamur di Indonesia, di seluruh penjuru Nusantara, paling tidak dalam 10 sampai 12 tahun terakhir ini.
Juga dipertahankan suasana yang menimbulkan kesan  guyub, akrab dan intim. SCJ selalu di udara terbuka dan gratis. Ya, tak ada tiket untuk dapat menontonnya. Semua boleh menonton, semua bisa menikmati. Dan dari manapun!
Well, kudu ada identitas yang menjadi ciri tersendiri. Menghindari keseragaman, sehingga sulit membedakan satu festival dengan festival lain. Ya tentunya, bagaimana acara festival tetap seperti bersinergi dengan kota yang dipilih sebagai tempat diadakannya festival tersebut. Jangan membuat sebuah festival, aduh apalagi jazz, tapi “bertolak belakang” atau apa ya, seolah berdiri sendiri. Dikawatirkan, malah menjadi asing kan? Padahal festival jazz itu, memakai nama kota tersebut.
Lantaran  sifat gratisnya itu, maka sajian jazz yang dihidangkan, memang juga diupayakan memiliki unsur hiburan, yang semoga dapat dicerna mata dan telinga masyarakat penonton yang heterogen. Alhasil, siapapun boleh menonton dan bisa menghibur diri....
Misi SCJ lantas menjadi bagaimana memberi tambahan event istimewa, menambah daya tarik kota Solo, sebagai salah satu kota tujuan wisata eksotis. Sekaligus bagaimana memperkenalkan jazz, sebagai salah satu musik hiburan masa kini, yang dapat disukai publik kebanyakan. Proses panjang memang, itu sangat disadari.
Bagaimana jazz yang dihidangkan dalam format festival dengan balutan unsur art yang berbeda, menjadi sebuah mata acara andalan kota Solo. Proses yang harus senantiasa dijaga kontinuitasnya, dipertahankan semaksimal mungkin keberlangsungannya.

****Donny Suhendra Project, Ivan Nestorman, Andien, Maya Hasan – Tiwi  Shakuhachi,
Wayan Sadra & Sono-Seni Ensemble, Yovie Widianto Fusion, 57Kustik,
Dian Pramana Poetra & Deddy Dhukun, Akordeon : 3-Bass Bintang Indrianto – Roedyanto Wasito – Rindra Risyanto, Prabumi, Donny Koeswinarno Project, Van Java,
Clorophyl & the New-Generation, Sahita, Tesla Manaf & Mahagotra, Balawan & Gamelan Maestro,
Emerald-BEX, Iwanouz, Mus Mujiono, Slamet Gundono, Michelle Kunhle, Fusion Stuff,
Gugun Blues Shelter, Matthew Sayersz, Hajar Bleh Bigband, Endah Laras & Woro Mustika Siwi,
Vickay, Sruti Respati, Tompi, Pecas Ndahe ****

Di atas adalah, deretan sebagian nama-nama ternama, para musisi dan penyanyi yang telah meramaikan ajang SCJ sejak edisi pertama. Dimana SCJ akan memasuki tahun ke-9, penyelenggaraan ke-8, di tahun 2017 ini.
Adapun acara berformat festival ini digagas dan tetap diadakan oleh C-Pro Jakarta. Dengan dipimpin langsung oleh Wenny Purwanti, sebgai Chairman. Yang dibantu sepenuhnya, sebagai Festival Director, Gideon Momongan, eh eh eh ya saya sendiri.. Bersama Indawan Ibonk, sebagai Production Director.




 



Lalu bagaimana dengan SCJ 2017 yang telah digelar pada akhir pekan terakhir di September kemarin? Tetap dipertahankan konsep “minimalis tapi efektif”. Yaitu konsep sepanggung, dengan pengisi acara yang beragam. Kami menyebutnya sebagai, sajian jazz and the-Others. Arti lain, jazz dan aneka macam musik “di seputaran” jazz....
SCJ 2017 di acara puncak, Sabtu 30 September, memperkenalkan kepada khalayak Solo, bintang-bintang muda potensial asal ibukota. Yaitu ada Ben Sihombing, serta grup unik yang adalah tiga dara cantik dan seru dan penuh semangat dan sehat, Nonaria. Lalu dimeriahkan acara dua kelompok musik yang tak kalah menariknya, asal Solo sendiri, duo Jungkat Jungkit dan trio Fisip Meraung.
Lainnya akan ada nama-nama Vibes, Horse Race Ska, Destiny, yang adalah grup band muda usia yang datang dari Solo dan daerah lain di Jawa Tengah. Serta satu kelompok PILIPE, Komunitas jazz senior, Pinggir Kali Pepe, juga dari Solo.
Sebuah tawaran suguhan yang asli, warna-warni bingits. Jazz dan non-jazz. Ya sebuah upaya yang dipikirkan serius, bagaimana menghidangkan sebuah tontonan dengan “mengandalkan” embel-embel jazz segala, tapi sekaligus tidak terkesan menutup diri dari potensi musisi muda lokal.
Kan tantangan seru dari sebuah perhelatan festival jazz di masa sekarang, di Indonesia itu, ya di situ itu. Kadung pakai “label” jazz, sejatinya haruslah pandai-pandai bersiasat, tanpa terlihat upaya mengelak dari tanggung jawab.
Tanggung jawab apaan sih? Jazznya mana? Sementara sudah diketahui bersama, menyoal pada jazz tersebut,sebagai jenis musik, perlu waktu rasanya untuk diandalkan sepenuhnya menjadi magnet untuk mendatangkan publik.





Dari sisi SCJ, karena gratisan-nya, sebetulnya pas dan cocok untuk sekaligus menjadi “etalase” musisi yang, sebut saja, “lebih ke jazz”. Etalase yang menjadi media edukasi,memperkenalkan jazz dan mendidik publik untuk at least mengenal dulu, kenalan dulu dong, dengan jazz. Proses panjanglah itu pastinya.
Kalau ternyata hasil akhirnya, SCJ lantas menyajikan aneka warna musik, itulah strategi. Merangkul publik, membuka pintu sekalian memberi apresiasi bagi para musisi muda yang ada. Susah lho di sisi ini, untuk menerangkan “pokok persoalannya”, iya tapi .... apakah yang tampil jazz atau bukan?
Pemikirannya deh yang kelihatannya harus jazzy. Syukur-syukur juga kalau para musisi yang mau tampil, terutama para musisi muda setempat, untuk mau berpikir secara jazzy juga. Agar supaya “frekwensi” organizer atawa penyelenggara dengan para performers itu sama.
Misal, di titik yang simple deh. Biarkanlah organizer mengatur jadwal main dengan sebaik-baiknya. Mengatur rundown, tak bisa semena-mena, asal bikin. Terkait betul dengan urusan flow, memperhitungkan “kenikmatan” para penonton. Sajiannya kan warna-warni, gimana mengaturnya biar enak dilihat, dipandang, didengar, ditonton, dinikmati satu demi satu. Dan sampai acara puncak, terakhirnya.
Macam hidanganlah. Kan ada makanan pembuka, light mealsnya. Mungkin makanan sesi kedua. Makanan utamanya. Dan ditutup dengan hidangan pencuci mulut. Biar kenyangnya lengkap, mendekati sempurna dan...bikin lalu bisa tidur dengan nyenyak.
Penaklukkannya susah-susah gampang. Gampang sebetulnya, kenapa kok ya dibikin susah? Bisa lho jadi susah, kalau misal ada talent yang rada memaksakan diri harus tampil di jam segini. Itu harga mati, sudah ketok palu! Rundown dianggapnya, “haram” kalau dirubah, apapun alasannya. Padahal, mungkin saja penataan ulang harus dilakukan, ketika di last minute memang perlu adanya “rearrangement” yang lantaran pertimbangan kenikmatan menonton untuk publik yang datang.
Jadi susah kan? Susah sih ga, ya anggap saja, ah jazzy sekaleeee. Kalaupun lalu ada grup band ataupun penyanyi yang sebetulnya, “ga jazz”, bersikap keras hati begitu, ya itu proses dia atau mereka menjadi...lebih jazzy. Bagus untuk masa depannya. Pembelajaran!
Yes, belajar ya untuk semua. Organizer, biar punya referensi-referensi lebih lengkap, tambah lengkap akan potensi-potensi lokal,sekaligus bagaimana bekerjasama dengan baik dengan para musisi. Penontonnya belajar mengenal dan memahami “jazz-jazzan” gitu. Nah musisi atau grup band, melatih diri lebih jazzy aja dalam bersikap.
Jangan sampai terlalu keras hati kemudian meradang ataupun mungkin menjadi emosional. Kalau bersikap berlebihan, dikawatirkan itu sudah tidak jazzy lagi sih. Memang ada yang begitu di SCJ 2017 kemarin? Ga ada sih, tapi hal itu kemungkinan bisa terjadi di event-event lain.




Nglaras Jazz di Pasar Gede
Yang penting, kemauan mencari titik temu saja. Toh pada akhirnya, kerjasama kan jadinya? Biar bagaimana si grup band atau musisi telah meramaikan acara, sementara organizer memang memberi tempat untuk bisa tampil. Ada potensi, biar bisa lebih dikenal lagi oleh publik. Asyik kan kerjasama begitu ya?
Romantikanya festival jazzlah. Memberi apresiasi pada musik-musik lain, “di luar jazz”, seringkali tak mudah lho. Kasarnya sih, sudah diberi kesempatan malah “banyak maunya”. Lupain, coret, ga usah mainlah. Itu sih terlalu ekstrim, emosional juga kan? Paling jauh, sabar-sabarin kali ya, tahun-tahun mendatang, tak usahlah lagi diundang.... Waduh!
Overall, SCJ 201 telah berlangsung dengan baik. Puji syukur, cuaca cerah banget sepanjang acara. Sejak dimulai sekitar jam 16.30an sampai pada akhir penampilan dari Fariz RM yang didukung Eddy Syakroni (drums), Adi Darmawan (bass) dan Iwan Wiradz (perkusi).
Fariz RM with his Anthology Kuartet, begitu nama mereka yang dipilih oleh sang komandan, ya Fariz RM. Tentulah Fariz, nama yang sangat populer, yang dikenal sebagai musisi multi instrumentalis, penulis lagu serta aranjer dan produser musik kenamaan sejak 1980-an,


Nglaras Jazz di Pasar Klewer baru


SCJ 2017 sebenarnya dimulai pada Jumat 29 September 201. Dengan acara yang mengambil titel Nglaras Jazz. Lokasinya berbeda, bukan di areal luar dari Benteng Vastenburg. Konsep dasar Nglaras Jazz itu menggelar “jazz” secara akrab dan intim, di tengah-tengah pasar. Yaitu di areal Pasar Gede, pada pagi hari, mulai jam 09.00. Serta Pasar Klewer, mulai jam 13.30.
Dalam sesi khusus “minimalis” tersebut, tampillah Ben Sihombing dan the Rangers. Beserta musisi muda kota Solo lainnya. Sambutan publik Solo lumayan antusias. Terbukti di kedua pasar tersebut, banyak warga masyarakat Solo sengaja untuk datang menonton.
Yang bikin tambah menarik, saat di Pasar Gede, ketika beberapa pedagang di sana memberi “buah tangan” berupa buah-buahan kepada The Rangers dan Ben Sihombing. Saweran yang mengejutkan pihak band dan penyanyi, tentunya.






Kembali ke panggung festivalnya. Ah SCJ mah terbilang “festival gurem” saja. Kecil, paket hemat nan ekonomis. Tak berkesan mewah, apalagi glamor gimana gitu. Acara sendiri kemarin itu dimulai jam 16.35, ya sekitar itulah. Dibuka oleh Destiny, grup muda Solo. Lalu disambung Fisip Meraung, yang dari gegosipan penonton dan masyarakat, ini grup heboh baru, followers instagram-nya buanyaaaak. So What?
Jazz? Yang jelas, memang kedua band tersebut bermain di hadapan baru sekitar hampir 259 penontonlah. Sempat menghitung? Hanya iseng mengira-ngira saja. Begitupun ketika naik grup berikut, Horse Race Ska. Penonton memang mulai terus bertambah, tetapi jumlahnya relatif masih sedikit. Eh ada yang memainkan Ska segala? Oho.... Warna warninya berani be'eng nih....
Break Magrib dulu kan. Abis itu naiklah Vibes, masih grup setempat. Suasana mulai ramai. 4 band tersebut seperti hidangan pembuka. Suasana sih erasa tambah jazzy, walau mereka semua bukanlah grup jazz beneran ya. Ada yang berupaya mencoba “menafsirkan” jazz, tapi ada juga yang main ya seada-adanya, ya segitu itulah musiknya.
Berikutnya setelah break kli kedua, waktu sholay Isya, tampil grup senior, Pilipe. Lumayan ngejazz. Dan suasana tambah hangat memang. Pilipe membawakan lagu-lagu bertema jazz, fusion, jazzy era 190-1980an sampai 1990-an.
Diselipkan dengan kedatangan bapak walikota Surakarta, FX. Hady Rudyatmo, yang ditemani langsung oleh wakil walikota, Achmad Purnomo. Beliau memberikan speech singkat. Acara diteruskan dengan duo Jungkat Jungkit. Format duo, cowok cewek muda dan keduanya bergitar, memang lain daripada yang lain. Cukup unik.
Jungkat Jungkit lumayan menambah suasana kesegaran dan kenyamanan, walau biasalah ya grup muda usia, kudu dimatengin lagilah. Gelagatnya punya potensi, tetapi banyak-banyak bergaullah, banyakkin aje dulu frekwensi manggungnya, rasain banyak acaralah gitu. Biar jadi tambah mateng, tambah dewasa, tambah kinclong....
Masuk berikutnya ke Nonaria. Format trio, dan perempuan! Plus, memilih warna merah manyala bop do e! Nesia Ardi, vokalis dan snare drum. Nanin Wardhana, memainkan piano. Lalu Yasintha Pattiasina, memainkan violin. Kemarin ditambah dengan additional player, didatangkn dari Surabaya, yang memainkan double bass atau bass akustik.
Suasana akustikannya cerah cria, seceria pilihan warna kostum mereka itu. Suasana jadi tambah hangat lho. Penonton kayaknya sih suka. Nonaria selesai bertugas, berganti dengan Ben Sihombing. Ini adik kandung Petra Sihombing. Solo artis yang masih muda belia. Kembali lagi format minimalis yang tampil di panggung, Ben di tengah dengan gitar akustik. Di kiri cewek bermain drum elektrik. Dan sebelah kanannya kibordisnya.
Sedikit naik dan jadi hangat karena Nonaria. Begitu Ben naik, suasana jadi adem. Tenang. Melenakan, membuai. Ah kurang groovy sebetulnya, biar lebih ngangkat suasana sebetulnya gitu. Tapi sudahlah, karena Christopher Ben Joshua Sihombing lantas membawakan pula hits-nya, ‘Set Me Free’. Serta ‘Mine’, yang adalah single hitsnya bareng sang kakak, Petra Sihombing. Ini juga sih, Ben biar lebih mematangkan penampilannya saja, maklumlah masih muda.
Dan penutup acara, Fariz Rustam Munaf. Apalagi yang dituliskan soal sahabat lama satu ini  Dibuka dengan ‘Penari’, lantas menyajikan hits miliknya yang lain. Termasuk, ‘Nada Kasih’ misalnya atau, ‘Hasrat dan Cinta’. Oh ya so pasti dong, ‘Barcelona dan...’Sakura’. Itu mah lagu “bertuah”nya, hukumnya wajib untuk selalu hadir.

Mendekati jam 23.30, Fariz RM menyudahi penampilannya. Penonton langsung beranjak pula meninggalkan areal benteng Vastemburg. SCJ berakhir lancar, dari awal di sroe harinya, sampai tengah malam. Kawasan areal parkir itupun langsung segera senyap. Deretan stand-stand penjualan aneka makanan, minuman penyegar dan lain serta sederet food-truck juga lantas segera ditutup dan dibereskan dengan cepat.
Begitulah SCJ di tahun 2017. Saya pribadi, berharap hidangan cem-macem musik aneka warna, aneka rasa kemarin dapat menghibur warga masyarakat kota Solo. Atau memberi kesukacitaan kepada para penonton tentunya. Semoga tahun mendatang bisa jadi lebih baik lagi.Lebih ramai lagi. Ya lebih dan lebih ramai penontonnya, termasuk juga sajian para performersnya.
Doain saja, rikues-rikues artis tertentu dan musisi tertentu dari para penonton, untuk bisa tampil pada kesempatan mendatang, bisa dipenuhi. Biar Solo City Jazz jadi lebih jazz lagi? Aha! Sungguh, eh beneran sungguhan lhooo, maunya sih gitu..... Jazz yang menghibur semua masyarakat ya. /*  










No comments: