Yang
pertama dulu, GENESIS. Mereka,
seperti yang fans fanatiknya telah ketahui, adalah grup yang didirikan di
Charterhouse School, Godalming, Surrey.
Letak persisnya di kawasan
tenggara London.
Para
pendirinya, yaitu Mike Rutherford
(gitar), Tony Banks (kibor), Peter Gabriel (vokal), Chris Stewart (drums) dan bassis, Anthony Phillips. Umur mereka waktu
itu, masih remaja tingting, 15-an
sampai 17-an tahun.
Eh
eh salah apa ilmu, sampai mereka tuntut?
Eeeaaaaa.. Usianya masih kategori, kinyis-kinyislah. Tahun berdirinya adalah 1967. Edun kan, sudah 50 tahun usia mereka.
7
Maret 1969, mereka merilis album perdana. Dan mentahbiskan nama grupnya menjadi
Genesis. Album itu bertitle From Genesis
to Revelation. Melalui label, Decca Records. Stewart lalu digeser John Silver. Yang mana Silver pun
digantikan oleh John Mayhew. Mayhew
masuk, setelah debut album itu selesai diproduksi. Saat itu mereka mulai memastikan
karir musik mereka secara serius dan become
professional musicians.
Formasi
Rutherford, Banks, Gabriel bersama Phillips dan Mayhew hanya bertahan untuk
album kedua mereka, Trespass yang
dirilis 1970. Album tersebut dirilis oleh Charisma. Dan pada sisi musik,
dianggap sudah bergeser ke arah bentuk-bentuk bersuasana art rock. Berbeda dari debut album mereka, yang dirilis setahun
sebelumnya itu, yang lebih cenderung agak ngepop.
Masuklah
kemudian nama Phil Collins dan Steve Hackett, saat mereka menyiapkan
album ketiga, Nursery Crime. Album
itu dirilis pada 1971. Musik mereka secara keseluruhan juga makin tegas ke arah
art rock, meninggalkan suasana folk-flavoured
yang masih terasa di album keduanya.
Dari
album ketiga, yang bisa dianggap album “originally”
Genesis with their art rock spesific
sound tersebut, muncul lagu seperti ‘The Musical Box’, bak sebuah ballad-folk symphonic berdurasi lebih
dari 10 menit, dan ‘Seven Stone’. Lewat album ini, Gabriel lantas mulai dikenal
lewat penampilan on stage nya yang
teatrikal.
Penampilan
mereka sebagai sebuah grup art rock, yang pada masa kini dikenal sebagai progressive rock tersebut, kemudian
muncul sebagai salah satu grup dengan performance
yang menarik. Memperhatikan sisi kostum, make-up
bahkan hingga tata cahaya dan multimedia.
Masuk
ke album berikut, Foxtrot. Inilah
album mereka yang paling sukses, dibanding ketiga album sebelumnya. Walau masih
sebatas UK dan Eropa. Dalam album ini mereka merilis sebuah epic berdurasi 23 menit, ‘Supper’s
Ready’ nan fenomenal itu. Situs musik, allmusic
menyebutnya sebagai, “Undisputed
Materpiece”.
Kemudian
pada 1973, muncullah lagu-lagu hits mereka berikutnya. Macam antara lain,’Fifth
of Firth’, ‘Dancing with the Moonlit Knight’ atau ‘I Know What I Like (In Your
Wardrobe)’. Lagu-lagu itu ada dalam album kelima mereka bertitel, Selling England by the Pound. Album
yang akhirnya bisa sukses secara komersial juga di Amerika Serikat. Dan
sekaligus, berbunyi dimana-mana.
Album
yang diberi sertiikat gold oleh British Phonographic Industry (BPI) dan Recording Industry Association of America (RIAA),
kabarnya disebut oleh gitaris Steve Hackett sebagai album Genesis yang faling
dipaporitkannya. Eh maksudnya, album paling favoritnya.
Etapi
sejauh ini, teman-temanku yang baik, mungkin menunggu-nunggu ya? Cerita tentang
COCKPIT nya mana? Iya, iya sabar
dulu. Saya kasih intro cukup panjang dulu soal Genesis. Karena gini bro en sis, harus juga kenal Genesis
kan, kalau mengaku fansnya Cockpit. Setuju, saudara-saudara sekalian? Kalau
setuju, seruputlah kopinya.....
Kalau
menyoal pada Cockpit, berarti titik awalnya adalah Batara Band. Eits, jangan salah sangka dengan, Bharata. Batara
memilih memang meng-cover lagu-lagu
Genesis. Bharata kan ke Beatles. Itu awal 80-an, dimana personilnya adalah Oding Nasution, Yaya Moektio, Freddy Tamaela,
Harry “Kuda” Minggoes dan Debby Nasution.
Batara
kemudian menjadi Cockpit. Cockpit yang 80-an. Karena di era 1970-an ada juga
Cockpit. Tapi beda banget, dan sama sekali tak ada hubungannya. Cockpit itu
adalah Batara tetapi dengan Debby Nasution digantikan Roni Harahap.
Katanya
sempat juga ada Harry Anggoman. Kalau menurut Oding, pertama kali Cockpit main
dengan kibordisnya, Harry Anggoman.
Ok pokoknya, Cockpit sendiri didirikan tahun 1982, main pertama kali di sebuah
acara musik di TIM. Acaranya Sys NS kah? Dan kabarnya, mereka langsung dapat
fans waktu itu.
Saya
sempat googling juga, ada yang
menulis bahwa Cockpit didirikan oleh Oding, Yaya, Dadan Izal dan Joseph Martam,
sebagai Batara Band di awal 1980. Dimana mereka mengajak serta Freddy Tamaela sebagai vokalis.
Di
belahan dunia lain, Genesis sendiri memasuki 1980 itu tersisa 3 original membersnya saja. Yaitu Banks,
Rutherford dan Collins. Gabriel hengkang selepas rilis album The Lamb Lies Down on Broadway, yang
seolah menggariskan berhentinya era Gabriel di musik Genesis.
2
tahun kemudian dirilis A Trick of the
Tail, yang mengedepankan Phil Collins sebagai lead vocalist. Dimana untuk performance
di panggungnya, mereka kemudian didukung pula oleh Bill Bruford, ex Yes. Masih di tahun sama, tapi di penghujung
tahunnya, Genesis melepas Wind &
Wuthering, ini album terakhir yang didukung Steve Hackett. Lalu pada tour
mereka, diperkenalkanlah additional
drummer, Chester Thompson.
Nah
setelah itu, dirilislah ...And Then
There Were Three... Dimana memang tersisa 3 personilnya saja. Ini adalah
album yang dianggap lebih poppish.
Lebih bisa “dinikmatin” oleh fans musik umum. Secara komersial, album ini
memang terbilang sukses, menjadi album pertama mereka yang diberi sertifikat
platinum oleh RIAA.
So
jadinya, Genesis sudah berusia 15 tahun-an, barulah Cockpit muncul. Dan Cockpit
memang penggemar berat Genesis. Kabarnya justru memang di Gabriel’ Era. Tapi menariknya kan, justru saat Cockpit muncul
Gabriel sudah hengkang, musik Genesis pun bergeser.
Seperti
juga dengan grup art rock atau progressive rock lain, Yes, maka Genesis jelang 80-an dan setelahnya dianggap lebih
berorientasi komersil. Mereka menghasilkan lagu dengan musik lebih bertendensi,
lebih light. Misal meninggalkan
lagu-lagu berdurasi panjang, yang tidak “radioable”.
Sebagian
fans fanatik Genesis, apalagi yang sangat mengidolakan Peter Gabriel rada
kurang bisa terima dengan perubahan musik grup idolanya. Tapi kenyataannya,
Genesis setelah album kesembilannya yang dirilis 1978, justru makin populer. Hits mereka menembus charts terkemuka.
Artinya
juga, mereka sukses dalam hal meluaskan penggemar. Genesis pun makin banyak
fansnya. Seingat saya, bahkan untuk di Indonesiapun, Genesis baru bisa dibilang
populer di era 1980-an.
Uniknya,
yang memperkenalkan Genesis di sini sejatinya adalah Cockpit! At least gini, Cockpit seolah membawa
penggemar mereka lantas makin menyukai Genesis dan jadi loyal, dalam hal
membeli album-album mereka.
Pengalaman
saya di era 1980-an itu, tidak sedikit anak-anak muda sebaya, mengenal Genesis
karena Cockpit! Atau, mereka baru membeli 1-2 album Genesis, akhirnya lantas
rutin menunggu rilis album-album baru selanjutnya.
Kayak,
Duke, rilis 1980. Dalam album ini
kan muncullah, ‘Turn It On Again’, ‘’Misunderstanding’, ‘Duchess’ atau ‘Behind
The Lines’. Album ini dihasilkan setelah ketiga personil tersisa, masing-masing
sempat menghasilkan solo album. Yang mana, yang paling sukses tentunya Phil
Collins.
Sekedar
mengenang aja sih ini, Philip David Charles Collins menghasilkan Face Value di tahun 1980. Disusul 2
album solo lain yang lebih sukses lagi, Hello
I Must be Going (1982) dan No Jacket
Required (1985).
Sementara
Michael John Cloete Crawford Rutherford, menghasilkan Smallcreep’s Day (1980_ dan Acting
Very Strange (1982). Ia lebih sukses lagi setelah muncul dengan solo band
project-nya, Mike + The Mechanics, dimana
debutnya dirilis 1985. Sejauh ini tercatat sudah menghasilkan 8 studio albums.
Berikutnya,
Anthony George Banks, juga tak ketinggalan mengerjakan solo album. Di 1979 ia
menghasilkan A Curious Feeling dan 3
tahun kemudian menghasilkan The Fugitive.
Selanjutnya ia menghasilkan 3 lagi solo album. Selain menggarap film scoring.
Kembali
ke tanah air, tentu saja dengan Cockpit. Jadi Roni Harahap masuk di akhir 1982
menggeser Harry Anggoman. Pada 1984, bassis Harry “Kuda” digantikan oleh Raidy Noor. Nah di era 1980-an
pertengahan itu nama Cockpit menjulang sangat tinggi.
Mereka
bersaing serius dengan cover-bands
lain, seperti Solid 80, Acid Speed Band. Yang mana menariknya, mereka
masing-masing punya fans fanatik masing-masing. Eh soal Acid Speed dan Solid
80, sudah pernah saya tulis profilenya. Silahkan buka-buka saja website saya
nan sederhana ini.
Yang
“membedakan” Cockpit dengan cover-bands “saingan” mereka adalah, Cockpit itu grup
dengan stamina main di atas panggung, terhitung extraordinary! Mereka pernah main sampai 3 jam, dan itu ga hanya
sekali dilakukannya. Main aja, capek ga capek ya terus aja. Kalau belum
berhenti ya kita terusin, apalagi kalau penontonnya yang minta, begitu kenang
Yaya Moektio.
Oding
menambahkan, biasanya kita jadi main terus dan bablas ya karena penontonnya
juga. Penonton minta nambah terus, ya kita kasih. Cuma karena kita sudah kayak
kerasukan gimana gitu, maksudnya lupalah sama capek, minta tambah 1-2 lagu
bisa-bisa kita kasihnya malah 5- lagu....! Sambung Oding lagi, diiyakan baik
oleh Yaya dan Raidy Noor.
Pengalaman
saya sendiri mengenai Cockpit, menonton mereka pertama kali di Balai Sidang.
Dan itu langsung membuat saya terkesima. Edan, penonton sing-a-long. Antusias dan enerjik betul merespon semua lagu yang
dibawain Cockpit. Yang namanya broer Freddy Tamaela, bener-bener udah
jadi....macam, Freddy Collins! Wuah, Freddy bisa membuat penonton histeris
waktu itu.
Seinget
saya, saya memang sudah menyukai Genesis. Makanya lalu pengen banget lihat
Cockpit. Untuk nonton dan dengerin dan...seneng-senenglah. Tapi asli referensi
mah terbatas, hanya palingan 1-2 album di era Gabriel serta album mereka yang
sudah bertigaan saja.
Saya
rasa, saya kayak penonton-penonton Cockpit lain waktu itu. Langsung kesengsem
dan suka dengan mereka, dan jadi kadung menganggap mereka ya gini deh, nonton
Cockpit udahlah kayak nonton Genesis. Di saat itu kan, mungkin juga
terpikirlah, mana mungkin ya bisa menyaksikan langsung konsernya Genesis?
Cockpit
ya Genesis. Genesis itu Cockpit. Dan mereka memang aslilah mengandalkan
lagu-lagu tahun 1980-an. Ya sebut deh, lagu-lagu hits dari album 1978, 1980
yang sudah saya tulis di atas. Apalagi dari Abacab, yang disebut album tersukses pertama Genesis karena
menembus puncak tangga di UK dan Top-10 di USA.
Lagu-lagu
dari album yang dirilis 1981 oleh Charisma Records itu dikenal luas
dimana-mana, ya so pasti di sini. ‘Abacab’, ‘No Reply at All’, ‘Me and Sarah
Jane’, ‘Dodo/Lurker’, ‘’Man on the Corner’, ‘Like It or Not’ misalnya.
Sambung
kemudian dengan selftitled album Genesis. Dirilisnya 2 tahun berselang.
Dari album ini muncul, ‘Mama’ yang terkesan anthemic
itu. Lalu, ‘Home By the Sea’, ‘That’s All’. Ada juga, ‘Illegal Alien’, ‘Just a
Job to Do’, ‘Silver Rainbow’ sampai ‘It’s Gonna Get Better’.
Kalau
Abacab terjual lebih dari 2 juta copies,
maka Genesis malah terjual 4 juta copies. Juga masuk urutan puncak di UK dan
kembali menembus Top-10 USA, bertengger di posisi 9.
Mereka
memang menghidangkannya relatif persis dengan apa yang dihasilkan Genesis sih.
Terutama memperhatikan betul pada sound,
terutama sekali pada kibor dan gitar. Tak lupa pola gebukan drums dari Phil
Collins atau Chester Thompson, yang sudah signature
sound itu.
Ditambah
lagi, meneer Freddy Tamaela, tak lupa
sampai membawa juga peralatan sound-effect,
yang membuatnya bisa menghasilkan voice
lengkap dengan echo. Itu jadi sangat
bernuansa lagu, ‘Mama’ nya Genesis itu. Dandanannyapun kerapkali rada
teatrikal, mengingatkan kita pada Peter Gabriel dong.
Cockpit
masuk jelang era 1990-an mulai terasa sedikit slowdown. Mungkin bisa diartikan, istirahat sejenak, menghela nafaslah.
Tetapi pada 1990 itu, Cockpit malah ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh
vokalis karismatisnya, bung Freddy
Tamaela. Freddy wafat karena penyakit paru-paru basah.
Foto : Istimewa (google) |
Foto : Istimewa (google) |
Kehilangan
Freddy memang membuat Cockpit rada “klimpungan”.
Maklumlah, karakter Freddy itu khas betul, dan sudah kadung dianggap “paling
mendekati” vokalnya Phil Collins.
Jadi
soal Cockpit ini, emang kudu tanya the
rest of their 2 original members. Odink Nasution dan Yaya Moektio. Oding,
sebelum dengan Cockpit seperti diketahui pernah masuk formasi God Bless. Itu
era dimana pada satu masa, God Bless didukung Nasution bersaudara, ya Oding,
Keenan dan Debby.
Oding
sendiri lalu juga terlibat dengan Guruh Gypsi, diterusin dengan Badai Band.
Tentunya juga Gank Pegangsaan. Salah satu gitaris rock era 1970-an yang paling
menonjol saat itu, dan tetap eksis sampai sekarang.
Cerita
Oding, ia mulai suka dengan Genesis sejak sekitar 1973. Itu era dimana ada
album Selling England by the Pound, yang lantas menjadi album terfavoritnya.
Album itulah, yang membuatnya jadi suka dan doyan banget Genesis. Sampai mulai
mengulik sound-sound gitar Genesis.
Genesis
itu musiknya kompleks, rada susah tapi mengasyikkan untuk dimainin, begitu terang
Oding. Ia karena suka, memang lantas kepikiran kumpul dengan teman-teman musisi
yang suka Genesis juga.
Ya
gitu, ketemulah dengan beberapa teman. Jadilah Batara. Tetapi lanjut kemudian
dengan Cockpit, karena kepengen lebih serius lagi. Dan dia sungguh tak
menyangka, bisa terus bertahan bahkan hingga sekarang.
Ya
main sih main aja. Chemistry-nya pas,
karena paling ga dia dan Yaya memang doyan Genesis. Ketemu Raidy yang kuat di
progressive rock juga. Dari Harry ke Roni, lalu ke Krisna dan Dave, ya untung
dapat kibordis yang memang suka ngulik sound.
Karena
kan salah satu bentuk utamanya Genesis ya pada sound kibor itu. Susah-susah
gampang nyari pengganti Roni, karena sempat kita merasa pas dan klop kan.
Untunglah dapat Krisna Prameswara itu. Krisna kita udah kenal lama sih, jaman
studio Cockpit dulu di daerah Blok A.
Cuma
Krisna bandnya banyak banget, jadi jadwal lantas jadi suka ga pas. Cerita Oding
lagi, kemudian ya ketemu Dave Lumenta. Dua-duanya ganti-gantianlah bantuin
kita. Kalau soal vokal, ya ketemunya dengan Arry, yang penting Arry suka dan
tau lagu-lagu Genesis.
Yaya
Moektio juga memang menjadikan Phil Collins sebagai salah satu drummer yang
paling menginspirasinya. Selain itu juga kemudian Bill Bruford. Karena drumsnya
itu, nyanyi banget, bukan karena Collins main sambil nyanyi.
Buat
Yaya, Chester Thompson, sebagai
addtionalnya Genesis juga melebur ke dalam musiknya Genesis. Maka dia juga suka
Chester, terutama pada pola-pola rhythmnya itu. Genesis itu khas pada drumsnya
sebenarnya, terang Yaya.
Yaya
sendiri mengatakan suka Genesis udah lama banget. Bisa jadi sama dengan Oding.
Walau kalau ditanya album favoritnya, rada susah. Ia menyebut, semua album
Genesis dia dengerin dan dia sukai kok. Walau, kalau boleh memilih, dia lebih
suka dengan album-album yang era Gabriel, yaitu album-album hingga sekitar
pertengahan 1970-an itu.
Pola
rhythm Genesis yang khas, lewat drums memang lantas mendarah daging pada Yaya. Itu
diakui banyak musisi. Satu ketika Indra Lesmana juga pernah mengajak main
bareng, karena gaya permainannya unik. Konon kabarnya, ketika Yaya masuk
formasi God Bless, mainnya membuat God Bless memang jadi beda.
Tapi
perbedaan itu, justru bikin “tidak nyaman”. Pola permainannya sudah terlalu
Genesis”, banyak memainkan pola notasi tempo yang dianggap tak masuk dengan God
Bless. Yaya bagus, tapi kurang pas untuk rock-nya God Bless, begitu pernah
terdengar. Artinya ya, memang Yaya sadar atau tidak, sudah kadung punya style tersendiri.
Yaya
itu salah satu roh terpentingnya Genesis eh Cockpit maksudnya. Tanpa Yaya,
Cockpit akan jadi sangat berbeda. Pernah terbukti, saat Yaya menghilang, “masuk
sekolahan”. Bahkan sampai Cockpit perlu “mengakali” dengan format duo-drummer,
salah satunya adalah putra Yaya sendiri, Rama
Moektio.
Kemudian
adalah Raidy Noor. Sebelum dengan Cockpit, ia terlibat dengan Rara Ragadi,
bersama kaka-beradik alm. Iwan dan Riza Arshad. Dimana ia sebenarnya
mengawalinya dengan bermain gitar, bukan bass. Raidy masuk, menggantikan
bassis, Harry Minggoes, di tahun 1984.
Menurut
penggemar musik, sound dari bass headless-nya
Raidy itu unik. Itu juga yang memberi warna tersendiri pada musiknya Cockpit.
Pola permainan rhythm-nya Raidy juga dianggap “ga biasa”. Memang terasa
progressive sih. Itu juga yang membuatnya pas dengan Cockpit.
Selain
dengan Rara Ragadi, sebelum Cockpit ia main dengan Staff Band, sebuah fusion
rock band dengan Addie MS, Ikang Fawzy, Cendi Luntungan. AIR, Addie, Iakng dan
Raidy yang mengawali Staff itu sebenarnya, band jaman SMA-nya. Ia juga masuk
formasi Kasran Frontal, yang sebetulnya juga mengcover Genesis, waktu itu
dengan Musya Joenoes, Uce Haryono, Budi
Moetio dan lainnya.
Buat
Raidy, Cockpit itu awalnya buatnya untuk kepuasan tanpa batas, refreshinglah.
Kan waktu itu, ia juga banyak menjadi music
director atau producer banyak
album, terutama album berkonotasi “pop kreatif”. Kan di wilayah rekaman begitu,
suasana musiknya banyak berhadapan atau ketemu rambu-rambu komersial.
Nah
buat Raidy, kalau sekarang itu, Cockpit menjadi arena gaul, nambah pertemanan.
Itu susah didapat dalam suasana lain. Soal satu itu, juga diakui Yaya maupun
Oding. Mereka mendapat teman-teman baik banget, menjadi sahabat dekat malah, ya
dari yang pertama kali itu awalnya fans mereka.
Ketemu
terus dengan orang-orang yang rajin menonton mereka, bahkan dari jaman tahun
1980-an, itu kenikmatan tiada terkira, buat Raidy. Seneng kan, bahwa ada yang
suka dengan musik grup kita?
Pindah
ke Krisna Prameswara. Mengawali perjumpaannya dengan Cockpit, saat ia masuk
formasi Cockpit Junior. Cockpit Junior itu diasuh Cockpit yang senior. Latihan
mereka bareng tempatnya, di studionya Cockpit di kawasan Blok A, Jakarta
Selatan.
Cerita
Krisna, waktu itu band waktu SMP-nya juara kompetisi band antar SMP-SMA yang
memang dibikin Cockpit Enterprise, pada tahun 1985. Jadi mereka ditarik dan
lantas dimasukin jadi Cockpit Junior itu. Dari waktu itu, dia mulai diminta
bantuin Cockpit, terutama bila Roni Harahap berhalangan.
Awal
banget, kalau ga salah, ia main dengan Cockpit di Parkir Timur Senayan, acara
malam tahun baru. Itu acara berlangsung tahun 1988. Tapi resminya masuk di
tahun 2007, untuk menggantikan Roni Harahap yang mundur.
Sebelumnya
sebenarnya, ia rutin membantu Cockpit, terutama sebagai programmer membackup
Roni Harahap. Bantu Roni menyiapkan sound-sound dan keyboards-nya, sekitar
tahun 1999. Waktu itu, pas Cockpit mulai kembali main lagi dengan serius.
Krisna
sendiri mengaku, ia awalnya lebih cenderung suka dengan Yes. Karena Yes itu kan
pakai jubah, kostum-kostum yang lebih ngeband. Dibanding Genesis, lewat video Three Sides Live-nya yang, buat Krisna,
penampilannya ga ngeband. Kayak oom-oom dan mas-mas, dengan hanya t-shirt biasa
gitu, katanya lagi sambil ketawa.
Dia
jadi suka Genesis, setelah tahu dan dengarkan album-album era Peter Gabriel. Ia
mengakui jadi ngefans sampai sekarang. Album favoritnya, ia pilih The Lamb Lies
Down on Broadway. Ada beberapa lagu yang ia sukai antara lain, ‘Mad Man Moon’
dan ‘Supper’s Ready’.
Tahan
dulu, tahan. Dari Cockpit ke Genesis lagi ya. Nah dirilislah Invisible Touch, yang untuk kritikus
musik barat, lebih dianggap sebagai album pop rock atau synthpop yang beraroma
prog-rock. Dan ini album paling sukses mereka. No. 1 di UK dan mencapai nomer 3
di USA.
Album
yang terjual sampai sekitar 7,2 juta copies di seluruh dunia itu menghasilkan
hits kayak, ‘Invisible Touch’, ‘In
too Deep’, ‘Tonight Tonight Tonight, ‘Land of Confusion’, ‘Throwing it All
Away’. Juga ada lagu ‘Domino’ yang dibagi dalam 2 part itu.
Album
tersukses ini dirilis setelah masing-masing members
tersisa Genesis menyelesaikan solo albumnya. Seperti misal, Phil Collins yang
setahun sebelumnya merilis No Jacket
Required, yang menjadi solo album ketiganya dan juga yang tersukses, dengan
hitsnya seperti, ‘Sussudio’, ‘Don’t Lose My Number’ dan ballad, ‘One More
Night’
Setelah
Invisible Touch dirilis, diikuti serangkaian world tour panjang, kabarnya mencapai 112 show, Genesis bisa
dibilang tidur lagi. Lumayan juga, karena baru di 1991 mereka merilis album, We Can’t Dance. Album ini juga lumayan
sukses, terjual sampai 4 juta copies.
Setelah
album ini dirilis, diikuti 55-dates tour
di Eropa dan USA, Genesis lantas ditinggal oleh Phil Collins. Collins memilih
berkonsentrasi saja di solo project-nya, dimana memang ia sukses juga, dan
lantas disibukkan serangkaian tour show. Kata Collins,ini saatnya ia
berkecimpung di musik untuk film, beberapa jazz
projects dan tentu saja, aktifitas solo albumnya.
Dan
1997, Rutherford dan Banks ternyata tetap mencoba mempertahankan Genesis. Lewat
audisi, akhirnya mereka mendapatkan Ray Wilson. Vokalis kelompok rock,
post-grunge, Stiltskin asal Inggris juga, diumumkan resmi sebagai pengganti
Phil Collins pada Juni 1997. Dan 3 bulan kemudian, dirilislah, Calling All
Stations.
Tak
hanya masuknya Ray Wilson, pada musisi pendukung juga ada pergantian. Daryl
Stuermer dan Chester Thompson pun digantikan oleh drummer Nir Zidkyahu dan gitaris, Anthony
Drennan. Kedua musisi itu muncul pada kesempatan konser dan terutama tour
show album tersebut.
Album
tersebut, dianggap kurang sukses. Padahal dari sisi musik, dirasakan bahwa
Genesis seperti kembali ke bentuk musik yang mengingatkan publik pada warna
musik mereka di tahun 1970-an. Suasananya paling tidak memang berbau ke musik
Genesis 1970-an. Mungkin kekurang suksesan penjualannya, karena album ini tak
meneruskan warna lebih ngepop?
Ray
Wilson berhenti sebagai vokalis Genesis di 1999. Lalu di November 2006,
Rutherford, Collins dan Banks menggelar jumpa pers untuk merilis rencana reunion tour-nya, Turn it On Again Tour di 2007. Mereka kembali lagi dengan juga
menyertakan Darryl Stuermer, sebagai
gitaris dan bassis pendukung. Dan di drums, kembali lagi, Chester Thompson.
Sayang
tur sukses itu, tak diikuti untuk kembali mereka memang bermain bareng. Apalagi
di 2011, Collins juga menyatakan istirahat sejenak dari dunia musik. Dan yang
pasti, ia tak bisa lagi bermain drums, karena alasan kesehatan. Setelah itu,
Genesis menghilang.
Sebenarnya
sempat ada rencana touring formasi
The Lamb Lies Down on Broadway, dimana Steve Hackett dan Peter Gabriel
digadang-gadang akan melakukan reuni dengan Collins, Banks dan Rutherford. Tapi
rencana yang sempat terdengar di sekitar 2004 itu tak terjadi.
Lalu
kembali ke Cockpit nya kita nih. Arry Syaff, vokalis, masuk resmi Cockpit di
Juni 199. Yang ia ingat, show pertamanya dengan Cockpit adalah di Poster Cafe,
itu acara Collector’s Item dari Radio rock, M97 FM. Menurut Arry, itu juga show
pertama dari Cockpit setelah vakum cukup panjang, paska perginya Freddy
Tamaela.
Dia
suka banget Cockpit, bahkan sejak masa SMP. Kalaupun harus mengantri untuk beli
tiket, ia bela-belain. Lantas “Papi Raidy” lah yang menawarkannya menjadi
vokalis Cockpit, walau harus diaudisi dulu. Ia langsung menjawab iya dan seneng
banget!
Karena
sedari dulu, sudah suka Cockpit, jadi penontonnya. Dan juga memang kepengen
bisa satu waktu, menjadi vokalis dari band idolanya itu. Akhirnya,
alhamdulillah kesampaian.
Menurut
Arry, bawain lagu-lagu Genesis itu sama nilainya dengan kayak bawain
karya-karya komposer musik klasik dunia, buatnya. Ya karya-karya besarnya
Mozart, Bach, Beethoven lah. Lumayan memerlukan perhatian dan konsentrasi,
untuk bisa membawakannya dengan baik.
Lagu-lagu
Genesis yang dibawakannya dengan Cockpit menuntut skill tertentu, perlu sense dan bener-bener mempunyai citarasa
tersendiri. Attitude musiknya Genesis
itu khas banget. Ga gampang, tapi ia memang sangat menikmatinya.
Arry
mengaku susah kalau ditanya album favorit dan juga lagu yang paling dia sukai
dari Genesis. Karena, bagi dirinya, ia menyukai dan sampai mengidolakan Genesis
secara keseluruhan. Baik era Gabriel maupun ketika mereka tersisa tiga orang
saja.
Kita
terusin yiuuuks dengan Dave Lumenta. Ia mulai mendukung Cockpit setelah
memasuki dekade 2010-an. Sebelum dengan Cockpit, iapernah ngeband dengan banyak
musisi lain juga sebenarnya. Semasa kuliah misalnya, di Universitas Indonesia,
ia ngeband dengan Once Mekel, Fajar Satritama dan Kiki Caloh, di sekitar 1991
sampai 1995-an. Itu band rock tapi ya band kampuslah.
Ia
juga pernah barengan dengan Krisna Prameswara dan drummer Ossa Sungkar bikin
Art Rocker, dari 1991 sampai sekitar 1997. Sebelum itu bantuin juga Brawijaya
Band, atau band di SMA Pangudi Luhur, yang lanjut ke Universitas Indonesia.
Ia
juga sering menggarap kerjaan film scoring, yang dianggapnya sebagai semacam
sambilan yang bermanfaat. Ia memang menyebut, pekerjaan utamanya kan
sebenarnyalah adalah dosen di Anthropologi Universitas Indonesia. Musik jadinya
memang tidak bisa prioritas utama.
Dibagilah
waktunya, sebaik-baiknya. Karena itulah kalau ada pekerjaan terkait posisinya
sebagai dosen itu, misalnya penelitian-penelitian ke daerah, posisinya kalau
Genesis pas harus main diisi oleh Krisna Prameswara. Sesekali memang ia jadi
bergantian menjadi kibordisnya Cockpit, dengan Krisna.
Krisna
memang terpaksa digantikan di Cockpit, karena ia sibuk. Bandnya banyak, ia juga
rajin kemana-mana sebagai session player
untuk show juga rekaman. Karena itulah, Cockpit dengan sangat terpaksa harus
mencari pengganti.
Menariknya,
kedua kibordis itu memang tipikal kibordis yang doyan mengulik sound-sound
tertentu. Dave mengaku, dalam Cockpit itu adalah penyaluran utamanya, karena
kesukaannya dengan sound design.
Mainin lagu-lagu Genesis itu seru, asyik dan memang menantang banget dalam
membuat sound-sound khasnya lewat kibor.
Ia
juga kebetulan suka dengan Genesis. Ia juga telah menyaksikan Cockpit
sebelumnya. Jadi ketika ia ditawari masuk Cockpit, ia langsung bersedia.
Menurut Dave, memainkan musik progrock, seperti musiknya Genesis itu, memang
tidak pernah bisa santai. Mengulik itu perlu waktu dan perhatian. Buat dia, itu
baik lho untuk menunda proses penuaan....
Jadi
begitulah, Cockpit terus berjalan. Walau kemarin itu, pada Juli silam, Oding
Nasution sempat terkena penyakit gula. Yang menyebabkan ia harus memperoleh
perawatan serius dari rumah sakit. Alhamdulillah, proses penyembuhannya
terlihat relatif cepat dan lancar.
Maka
Oding pun lantas bisa kembali tampil dengan Cockpit, pada awal September lalu
di Titan Centre, Bintaro. Cockpit tampil dalam acara Cockpit Plays The Greatest Hits of Genesis and Members (Phil
Collins, Mike Rutherford / Mike The
Mechanic dan Peter Gabriel).
Dan
seperti biasa, penonton penuh. Mereka menyajikan sekitar 15 lagu sepanjang
hampir 2 jam. Dengan sebelumnya didahului penampilan grup band pembuka, Raidy Noor Experience, yang mengiringi
beberapa penyanyi, termasuk Harmoni 8,
dan duo Kadri-Jimmo.
Saat
itu, karena Oding yang baru sembuh sakit. Sebenarnya tepatnya, sedang menjalani
proses penyembuhan jadi belum bugar seperti sebelum sakitnya. Maka ada gitaris
lain, yaitu Nada Noor dan Alif, yang sempat memainkan beberapa lagu, termasuk ‘Abacab’.
Tapi Oding tetap memainkan lebih banyak lagu.
Cockpit
juga pada kesempatan itu, mengajak serta penyanyi rock perempuan, yang ngehits
di era 1980-an, Atiek CB. Atiek yang kini berdomisili di USA itu, tampil
berduet dengan Arry dalam salah satu hits dari Peter Gabriel, ‘Don’t Give Up’.
Seperti diketahui, lagu aslinya, Gabriel berduet dengan penyanyi bersuara khas
dan eksotis, Kate Bush.
Well,
Cockpit tetap eksis. One of a kind. Mereka menjalani perjalanan bermusiknya
dengan sukacita. Walau hanya merekalah, cover band yang sampai hari ini belum
menghasilkan album solo.
Mereka
di 2015 sempat melepas single, ‘Haruskah Aku Berlari’. Lagu hits itu sebetulnya
ditulis Maria Fioole dan dibawakan Freddy Tamaela dalam solo albumnya. Tapi
semasa hidupnya, lagu itu lantas sempat dibawakan di panggung juga oleh Freddy
bersama Cockpit.
Single
lagu tersebut masuk di sebuah album kompilasi fenomenal, yang didominasi genre
musik progressive-rock, yaitu album Indonesia
Maharddhika. Album tersebut diproduseri oleh Yenninotz Journey.
Mungkin
ada baiknya sebagai sebuah dokumentasi, sebut sebagai warisan kelak, perlu juga
Cockpit menghasilkan album rekaman. Biar bagaimanapun juga mereka cover band,
imitator atau epigon yang pernah mencatat prestasi lumayan fenomenal. Seperti yang
ditulis di atas itu, bermain bahkan hingga 3 jam full non stop, disaksikan
ribuan penonton yang terus bernyanyi dari awal hingga akhir bersama mereka.
Kita
berharap bisa terjadi, ada kesempatan mereka akhirnya bisa membuat sebuah album
rekaman. Sehingga sampai kapanpun Cockpit tak akan pernah hilang, paling tidak
musik mereka akan everlasting, dapat didengar dan dinikmati generasi kemudian.
Biar senantiasa diketahui adanya Genesis-nya Indonesia ini, yang eksis begitu
panjangnya.
Cockpit
memang Genesis. Mereka pas, pleksek
sebagai Genesis cover-band. Walau belakangan ada juga yang menyebut, kalau
didengerin baik-baik, lagu-lagu Genesis yang dimainkan Cockpit itu malah ada
yang jadi lebih ribet dari aslinya!
Musik
dan soundnya malah jadi lebih kompleks. Tapi bukan berarti menjadi tidak nyaman
didengar lagi. Hasilnya itu ya akhirnya membuat lagu-lagu Genesis menjadi beda
lagi aja. Toh terkesan, penonton atawa penggemar fanatik mereka tak terlalu
mempersoalkan hal tersebut.
Dan
akhirul kata, Long Live Cockpit! Biar
Genesis sudah tiarap atau terkapar, atau ya sebut saja mungkin sudah berakhir.
Toh musiknya tetap akan terus berbunyi dimana-mana, terus sampai .... akhir
jaman! /*
No comments:
Post a Comment