Meminjam
istilah “guru sekaligus senior” saya, Bens Leo, ini memang tugas negara! So
berangkat dengan very first flight
dari kota Medan. Begitu kelar festival saya di North Sumatra Jazz Festival yang
digelar di hotel JW. Marriot Medan, langsung cabsss menuju bandara Kuala Namu, dengan kereta api nyamannya itu.
Ngantuk
dong, eh apa udah seger? Ngantuk
pastinyalah. Sendirian bro. Masuk Jakarta pagi hari sekitar jam 08.00, lalu
berpindah terminal di bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Untuk menumpang pesawat,
ganti airlines, yang akan
menerbangkan saya ke kota Solo. Tujuannya adalah Boyolali! Ini kali pertama
saya bakal menyinggahi kota Boyolali lho.
Eh
di bandara, bertemu sebagian rombongan grup musik Bintang Indrianto Festival, yang akan menuju kota Ponorogo, untuk
tampil di sebuah festival jazz juga. Serunya kan, ada 2 festival jazz yang
diadakan pada waktu bersamaan, ya Sabtu dan Minggu juga, 21 dan 22 Oktober!
Mereka
adalah Sofyan sulingist, Denny Chasmala, Ronald perkusi dan Muhamad Madun
sebagai pemain gendang. Kami malah lantas satu pesawat, menuju Solo. Dan
setelah melalui penerbangan “kurang menyenangkan”, karena cuaca sih, kami
sampailah di bandara Adi Soemarmo. Kami berpisah, mereka menuju Ponorogo,
dengan ada jemputan.
Saya
sorangan wae, menuju kota Boyolali.
Tanpa jemputan, jadi mengambil saja taksi resmi bandara, untuk menghantar saya
ke Boyolali. Bayangan saya, kota Boyolali itu sudah teramat dekat dengan
bandara. Lho, bandara Adi Soemarmo sebenarnya berada di daerah Boyolali kan?
Dekat dong?
Salah
besar! Lumejen bung. Lihat aja
“argometer” yang dikenakan perusahaan taxi tersebut. Di atas angka cepek-ceng. Ealaaaa, jauh juga! Dan kurang lebih hampir 45 menit memang saya
tiba di penginapan, yang menjadi markas dari penyelenggara Boyjazz 2017. Itu pakai acara, agak kesasar sedikit....
Yup,
saya memenuhi jadwal “tugas kenegaraan” dengan terbang langsung dari kota
Medan, via Jakarta ke Boyolali. Demi menyaksikan pentas Boyjazz, Boyolali
International Jazz Festival. Ini perhelatan festival jazz pertama di
situ. Rencananya Boyjazz digelar dua
hari, ya di 21 dan 22 Oktober tersebut.
Boyjazz
mengambil tempat di alun alun kidul kota Boyolali, yang berdampingan dengan
kantor pemerintahan kabupaten Boyolali. Areal alun alun kidul tersebut lumayan
luas, dan kabarnya buru-buru diselesaikan pembangunannya untuk menjadi arena
penyelenggaraan festival.
Well,
pertama kali mengetahui ada festival jazz di Boyolali, saya kaget dan
terkagum-kagum juga. Oho, ada lagi festival jazz baru. Indonesia makin jazzy
saja. Walau langsung juga teringat, ada berapa ya festival jazz yang ternyata
hanya berusia singkat, sekali atau dua kali, paling banyak juga tiga kali,
terselenggara. Lantas hilanglah kabar beritanya.
Kasusnya
sama, yang menimpa festival jazz yang terhenti itu. Dana dari pemerintah
setempat dihentikan, dengan berbagai alasan tentunya. Maka pihak yang
bekerjasama untuk menyelenggarakan festival tersebut, semacam event organizer begitulah, tak bisa
berbuat apa-apa. Selain gigit jari, dan tak lagi datang ke kota-kota tersebut.
Nah
Boyolali, ini kali pertama. Kabar yang saya dapatkan dari pihak pengundang,
bapak Bupati Boyolali, drs. Seno Samodro,
serius betul untuk menyelenggarakan sebuah festival jazz. Beliau bahkan sudah
menjanjikan, ini bakal menjadi agenda tetap tahunan, dan akan terus terjaga
keberlangsungannya paling tidak selama beliau masih menjabat sebagai bupati.
Kayaknya
pernyataan mantan jurnalis yang lantas jadi pengusaha dan kemudian menjadi
kepala daerah tersebut, bisa dipegang. Beliau memang penggemar musik. Ada
beberapa event musik berskala relatif besar, pernah digelarnya di kotanya, demi
menghibur masyarakatnya. Baik itu rock maupun pop. Tetapi jazz, ini kali
pertama.
Melihat
line-up talent yang dihadirkan di
Boyjazz, cukup mengagumkan. Boyjazz sanggup mendatangkan superfusionband, Krakatau
versi Reunionnya. Kelompok 1985-an
yang sedang aktif-aktifnya ber-reuni ini, saat ini termasuk grup fusion-jazz
terlaris. Ditanggap main di pelbagai festival. Lancar betul jalannya. Ngebut
malah!
Padahal,
ini terpenting, bandrol mereka masuk pada kategori premium-class. Bisa dipahami, maklum ke-6 personilnya adalah para
master di posisinya masing-masing saat ini, tentu saja dengan jam terbang
ekstra tinggi.
Nah
itu bisa diartikan, bisa jadi bukti konkrit bahwa bupati Seno Samodro jelas
serius dalam menghadirkan sebuah festival jazz di daerahnya. Apalagi ada juga 2
rombongan musisi internasional yang didatangkan, khusus untuk Boyjazz kali ini.
Dari USA pula, selain dari Eropa. Belum lagi ada nama terdepan di skena blues
Indonesia, Gugun Blues Shelter yang
diundang untuk main.
So,
begitu sampai di kota Boyolali, saya sempat meluruskan body sesaat. Pamit sebentar, setelah bertemu sahabat-sahabat saya.
Adalah Tompel Witono, yang saat itu
lantas bertugas menjadi supervisor
production dan stage management,
bersama Kerto. Tompel-lah yang sudah
sejak lebih dari sebulan sebelumnya melemparkan undangan kepada saya. Elo
datang ya bro, tiket dan hotel disediain, nanti gw kabari lagi detilnya!
Ia
dan Kerto memang sudah saya kenal dekat sejak lama. Dan niat Tompel direstui
oleh “korlap” Boyjazz, pakde Toro Cocomeo. Yang memang kali ini
sengaja juga mengundang datang beberapa wartawan senior, eh yang ternyata satu
almamater saat kuliahnya dulu. Karena itulah, saya pun bisa terbang ke
Boyolali. Walau sampai di kota penghasil susu sapi itu, badan ini letih dan
lesu. Belum tidur, jack!
Langsung
di Sabtu 21 Oktober itu, selepas Maghrib menuju venue. Barengan ke lokasi, sekitar 15 menit dari penginapan.
Arealnya luas betul. Tapi alasnya bukan rumput, kerikil-kerikil kecil, wah tak
mungkin orang gelar tikar dong ya? Ah, nonton jazz mah berdiripun harusnya tak
masalah....
Saya
kelewatan penampilan grup-grup jazz muda setempat, termasuk grup dari kota
terdekat macam Solo, Yogyakarta hingga Semarang. Mereka di plot mengisi acara pada siang hingga sore hari, selesai sebelum
adzan Maghrib berkumandang.
Di
hari pertama itu tampil berturutan Tricotado
lalu juga ada Lost and Found, Jazz Ngisoringin (datang dari Smarang)
dan grup lokal setempat, Allegro
Sanapare. Ga tahu juga, ada berapa banyak penonton dari siang sampai sore
hari itu. Tapi mengingat itu pertunjukkan musik gratis, rasa-rasanya penonton
sudah berbondong-bondong datan sejak siang kan.
Nah
lewat jam 19.30 tampillah trio yang memainkan blues, belakangan sih malah
terasa makin ngerock sebenarnya. Gugun
pada gitar, Fajar Adi Nugroho pada
bass dan Adityo Wibowo a.k.a Bowie pada drums. Siapa lagi kalau
bukan, Gugun Blues Shelter.
Di
malam panjang, nonton blues di sebuah event festial jazz, serasa asyik juga.
Mana lagi angin bertiup lumayan kencang dan brrrrr....dingin!
Agak tak mengira, suhu udara ternyata sedingin itu.
Penontonnya
berserakan menempati areal luas yang ada. Sebagian besar malah memlilih menonton
dari kejauhan, karena bisa duduk. Hanya ratusan yang menonton sambil berdiri di
depan panggung. Jadi terkesan penonton tak banyak jumlahnya...
Selesai
dengan Gugun Blues Shelter, lantas giliran kelompok musik Tropical Transit yang datang dari Bali. Dipimpin oleh Ketut Riwin “Dacuba”, gitaris yang ex personil kelompok vokal Pahama. Ia membawa
antara lain Al Ismono (perkusi dan
vokal), Jimmy Silla (bass), Tri Agus Mantoro (drums) dan Yuhono Bakti Jaya (kibor).
Dan ada penari nan enerjik, yang mendukung penampilan Tropical Transit kemarin. Namanya Erwin Ardian. Lebih dikenal dengan nama panggungnya, Tebo Umbara. Ia menarikan spinning dance, menimplai musik meriah dari Riwin dan kawan-kawan.
Dan ada penari nan enerjik, yang mendukung penampilan Tropical Transit kemarin. Namanya Erwin Ardian. Lebih dikenal dengan nama panggungnya, Tebo Umbara. Ia menarikan spinning dance, menimplai musik meriah dari Riwin dan kawan-kawan.
Selain
itu ada juga vokalis lain, Anthony
Rosadi, yang juga memainkan djembe. Serta vokalis perempuan, Tellywati. Serta didukung pemain flute,
Carolena Cohen.
Musik
mereka memang jazzy tapi juga ada nuansa musik macam-macam lainnya, reggae
misalnya, atau latin. Suasana musiknya riang, groovy, sehingga bikin penonton
kayaknya lebih pas merespon musiknya, sambil bergoyang-goyang. Goyang kecil tak
apa, yang penting kan....lemesin aja.
Selepas
suasana santai kek dipantai, dengan nyiur melambai dan kalau mau, rambut bisa
digimbalkan, kembali ke suasana blues. Dari Riwin dan Tropical Transit, berganti
dengan Jan Korinek and Groove, trio
dari Czech. Trio blues muda dengan formasi Jan
Korinek pada hammond organ.
Ditemani oleh Jiri Marsicek
(electric guitar) and drummer, Tomas
Vokurka.
Ada
suasana blues berbeda lagi, dibandung apa yang disajikan GBS, sebelumnya.
Suasana tambah hangat saat naiklah penyanyi tamu, very special guest, Lorenzo
Thompson. Kemudian juga ada Sharon
Lewis, direct from USA. Blues era 1960-1970an mewarnai betul musik
yang disajikan oleh dua vokalis berkulit hitam tersebut.
Selesai
jelang jam 24.00, dan kamipun kembali beramai-ramai balik ke hotel.
Beristirahatlah. Masih ada esok, sebagai hari kedua. Dan hari kedua, jadwalnya
sama, ke venue selepas Maghrib, dan beramai-ramai.
Saya
kembali melewatkan penampilan grup-grup muda seperti Sojazz dari komunitas jazz
Solo, lalu ada Jazz Mben Senen dari Yogyakarta, serta kelompok Absurdnation
yang datang dari kota Semarang.
Selepas
Maghrib, panggung diisi oleh Reagina
Maria bersama grupnya, Everyday.
Mereka terbilang grup muda potensial dari kota Yogyakarta, salah satu yang muncul
dari komunitas Jazz Mben Senen, yang selalu tiap Senen ada panggung terbuka
untuk kumpul-kumpul.
Suasana
santai dan rileks, musiknya Everyday terasa renyah, ringan dan empuk gitu untuk
ditangkap masuk telinga penonton. Setelah Everyday, lalu giliran gerombolan
lain yang datang dari Eropa. Grup musik ini terdiri dari beberapa musisi yang
datang dari lain negara.
Dipimpin
kibordis dan vokalis, Juan Ostos
dari Venezuela. Dengan para musisinya, Norberto
Fuentes, berasal dari Cuba dan memainkan conga dan flute serta
menyanyi. Lalu ada Nicolo Loro Ravenni asal Italia, pemain sax. Kemudian Carlo Grandi, juga dari Italia, memainkan
trombone. Ada pula, Hamlet Foirilli,
painis dan vokalis, berasal dari Kolumbia dan Italia.
Pemain
bassnya adalah musisi asal Itala, Alberto
Lovison. Untuk perkusi dan timbales, ada musisi dari Italia lainnya, Matteo Alvatori. Nama kelompok ini Sol Caribe
dan mereka datang dari Austria! Jadi rupanya, mereka para musisi yang dari
berbagai bangsa dan negara itu, bertemu kemudian berkumpul justru di kota Wina,
Austria.
Musiknya
ramai, ada suasana keriuhan musik Karibia dan Brazil yang semarak.Lumayan dalam
mengangkat gairah penonton dan tentu sekaligus, menghangatkan badan dari
terpaan angin dingin yang berhembus lumayan dingin itu. Saat itu, Boyolali di waktu malam, wuih...jangan lupa sweater lah!
Dan
sebagai penutup acara, sekaligus acara terpuncak dari Boyolali International
Jazz Festival 2017 itu, tampillah Donny
Suhendra (gitar), Prasadja Budi Dharma
(bass), Dwiki Dharmawan (kibor), Trie Utami (vokalis), Indra Lesmana (kibor) dan Gilang Ramadhan (drums). Yes, merekalah
kelompok yang bisa jadi, paling ditunggu-tunggu penonton Boyjazz 2017, Krakatau Reunion.
Merekapun
segera melepaskan pelbagai hits mereka yang sudah populer sejak akhir 1980-an
itu. Menyelipkan juga beberapa buah lagu baru sih, yang juga disambut antusias
penonton. Tentu saja penonton sangat menanti-nanti Tri “Iie” Utami dan grupnya,
membawakan hits terpopulernya seperti, ‘Gemilang’, ‘La Samba Primadona’, ‘Kau
Datang’, ‘Sekitar Kita’ dan lainnya.
Seperti membawa penonton dan semua hadirin, bernostalgia. Lalu juga bergembira ria. Apalagi yang mau diceritakan tentang Krakatau Reunion? Saya sendiri sudah akrab dan dekat dengan mereka, sejak masa terawalnya dulu. Dan senantiasa, well suka banget dengan penampilan musik mereka. Ini namanya temen jadi fans atawa, fans jadi temen baik?
Seperti membawa penonton dan semua hadirin, bernostalgia. Lalu juga bergembira ria. Apalagi yang mau diceritakan tentang Krakatau Reunion? Saya sendiri sudah akrab dan dekat dengan mereka, sejak masa terawalnya dulu. Dan senantiasa, well suka banget dengan penampilan musik mereka. Ini namanya temen jadi fans atawa, fans jadi temen baik?
Dan
setelah Krakatau menyelesaikan tugas dan kewajibannya, acara inipun berakhir
sudah. Dan akhirnya memang, Boyolali pun bisa memiliki sebuah festival jazz.
Semoga event tersebut, dapat ikut menaikkan kota Boyolali, terutama dari sisi
pariwisata. Selain sisi ekonomi, sosial dan budaya lainnya.
Kabarnya,
di tahun mendatang, Boyjazz akan dipindahkan sebuah venue yang juga baru,
berupa hutan dengan pepohonan rindang, seperti tropical forest gitu. Hutan tersebut tengah dipersiapkan sejak
tahun silam sebenarnya.
Kita
bersama-sama tunggu dan lihat saja nanti, apakah Boyjazz akan dapat
terselenggara dengan baik untuk seterusnya? Harusnya memang dijaga
konsistensinya. Pasti baiklah, dalam meramaikan musik panggung Indonesia. Selain
itu juga lebih mempopulerkan musik jazz, dalam format sebuah festival.
Sebagai
langkah terawal, plus dan minus adalah hal sangat lumrah. Bagus diambil
hikmahnya, dan menjadi bahan pembelajaran yang tepat. Sehingga di tahun
mendatang, pihak bupati dan kabupaten Boyolali dapat kembali menyelenggarakan
festival ini. Namanya sebenarnya sih kuat dan “sangat menjual” deh, Boyjazz!
Eh penting dong soal nama. Brand itu pegang peranan vital lho! Boyjazz itu kan mudah diucapkan, pastinya mudah diingat. Modern juga kesannya. Ngejazz kan ya? Modal nama itu, aduh mahal betul!
Ketika nama yang sangat familiar atau catchy ditempelkan dengan konsep yang matang, bisa dahsyat hasilnya! Apalagi dengan pola penyajian yang lengkap dan detil. Misal bagaimana sound, bagaimana panggung megahnya serta juga tata cahaya. Karena soal itu, di kali pertama kemarin, Boyjazz terbilang mendekati sempurna!
Eh penting dong soal nama. Brand itu pegang peranan vital lho! Boyjazz itu kan mudah diucapkan, pastinya mudah diingat. Modern juga kesannya. Ngejazz kan ya? Modal nama itu, aduh mahal betul!
Ketika nama yang sangat familiar atau catchy ditempelkan dengan konsep yang matang, bisa dahsyat hasilnya! Apalagi dengan pola penyajian yang lengkap dan detil. Misal bagaimana sound, bagaimana panggung megahnya serta juga tata cahaya. Karena soal itu, di kali pertama kemarin, Boyjazz terbilang mendekati sempurna!
Trie Utami dari atas panggung juga sempat berceloteh riang dan tegas, festival jazz yang bagus dan rapi akan percuma kalau tidak ada penontonnya. Artinya, ia memohon supaya publik kota Boyolali dan sekitarnya, terutama, akan memberi atensi dan dukungan aktif. Sehingga festival jazz ini, dapat terus menjadi event kebanggaan setahun sekali kota Boyolali.
Ok
sampai bertemu lagi dan jangan lupa mengundang lagi lhoooo..../*
Once again, thank you
very much for the invitation and services and hospitality in Boyolali during the
Boyjazz2017, epspecially Mr. Tompel Witono, and Mr. Toro Cocomeo..
No comments:
Post a Comment