Friday, October 27, 2017

North Sumatra Jazz Festival 2017. Thank GOD, We did it...

Kami berempat, WaspadaeMusic dan Indiejazz-INDONESIA. Saya, Erucakra Mahameru, Arsyadona Mahameru dan Indrawan Ibong


Memang dasarnya, tak menyangka atau tak mengira, bahwasanya project ini bisa bertahan sepanjang ini. Dimulai dengan edisi paling awal di 2011, bertempat di ballroom Hotel Danau Toba Internasional, Medan. 2 malam terjazzy, membuat Medan jadi sangat jazzy, mungkin itulah akhir pekan paling jazzy di kota Medan.
Itulah hal “sangat jazz” yang dapat saya lakukan bersama-sama dengan pasangan suami-istri yang mesra selalu, Erucakra Mahameru dan Arsyadona, serta abang Indrawan Ibonk. Dan sejauh ini, tell the truth, even us can’t make again such a jazziest time. Too bad, isn’t it?
Boro-boro menggelar tontonan skala festival, dengan format lebih besar. Bahkan untuk sekedar bertahan, untuk tetap menjadi agenda tetap saban setahun sekalipun, harus diupayakan berdarah-darah. Perjuangan ekstra keras! Sejauh ini, walau sekilas dilihat sudah “cukup usia”nya sebetulnya, tapi saya merasa memang tahapan establish, buat festival ini masih lumayan jauh.
Proses untuk bisa pas mengemas sebuah sajian jazz, berbentuk festival, terus berlangsung. Bahkan hingga sudah memasuki tahun ke-7. Keinginan mencoba tetap ngejazz dan spesifik, tentunya yang bercorak jazz sebagai sajian utama, selalu berhadapan dengan kenyataan bahwa kita ga bisa lepas jauh dari unsur komersial. Dalam hal ini terkait dengan talent-nya yang mana. yang disukai sponsor.
Yes, ketergantungan pada sponsor, posisi tawar yang tetap saja belum stabil itulah, salah satu kendala terbesar bagi festival ini. Dan besar kemungkinan, juga dialami festival-festival jazz lain di Indonesia saat ini. Dasarnya memang begitu adanya, kami bisa-bisa bergerak limbung dan goyah, kalau tak ada sponsor mendukung.
Maka dari itu, ketika festival jazz justru menjamur, sementara festival yang sudah ada rata-rata masih penuh perjuangan dengan mengucurkan “keringat darah”. Sayapun jadi terpana dan terkagum-kagum. Sekilas gampang saja menggelar sebuah festival jazz. Itu kalau memang target, sekedar ada, cukup 1 atau 2, yah paling banyak 3 kali lah ya.
2 "kamerad" yang berada dibalik keberlangsungan NSJF, sejak 2011. Saya dan Erucakra Mahameru


Kami berdua, saya dan Erucakra Mahameru. Tak menyangka sebenarnya, festival ini dapat mencapai tahun ke-7 penyelenggaraannya.
Tapi kemampuan mempertahankan keberlangsungan hidup sebuah proyek pergelaran musik seperti festival jazz, memang harus dibuktikan sungguh-sungguh. Pada akhirnya, ini lantaran idealisme, memperjuangkan seksama mulai dari berpikir konsep, merancang segala sesuatunya, menjalankannya. Dan terus berjuang mempertahankannya.
Ataupun memang sekedar sebuah event, yang dapat berlangsung tanpa masa depan yang kelihatan cerah. Repotnya kan, sebagian festival jazz di Indonesia itu, bisa terjadi lebih karena kelatahan. Ya kelihatannya seperti begitu. Kenapa latah, itu juga sulit dicari jawabannya. Lha kok latah jazz?
Sebagian besar festival jazz terjadi bukan dibangun dari bawah, dirancang dengan baik, dipersiapkan matang. Jelas visi dan misi. Bukan sekedar, kita bisa bikin ataupun mewujudkan keinginan daerah-daerah tertentu untuk “ga mau kalah” dengan daerah lain, ya maksudnya membuat sebuah festival jazz.  
Pada akhirnya, nanti biasanya akan terlihat. Mana yang lebih condong sebagai “proyek jazz” atau memang festival jazz. Stamina atau umur dari festival tersebutlah yang bakal jadi bukti. Sebuah festival jazz yang dibangun beneran, mungkin juga lantaran idealisme yang bersinergi pas. Atau, sekadar dapat terjadi karena ada pihak yang datang sebagai semacam event organizer? Kalau dana, biasanya dari pemerintah daerah setempat berhenti, maka bisa dipastikan kelar sudah festival tersebut.
Ok then, so what about North Sumatra Jazz Festival? Tell the truth, so far still bleeding. Need to work harder and harder, even just to keep this festival goin’ on as an yearly event.
Bagaimana menentukan langkah-langkah selanjutnya sih sebetulnya. Dimana idealisme bisa terus dipertahankan, tetapi harus open mind untuk kompromi agar supaya festival ini dapat bertahan terus. Tiap tahun terselenggara dengan baik. Sekaligus bagaimana berjuang agar memang publik Medan dan sekitarnya bener-bener menginginkan festival jazz ini dapat berlangsung terus.
So, kan memang begitulah adanya. Ada dana, ada konsep, ada band dan artis penyanyi yang bisa ditampilkan. Tapi kalau tak ada penontonnya? Support penonton itu vitamin dan suplemen enerji tiada terkira. Apalagi penonton yang mau datang menonton untuk membeli tiket masuk!

Dan NSJF 2017 kemarin akhirnya dapat berlangsung dengan relatif lancar. Dibuka oleh Edward Van Ness, yang didukung para muridnya yang tampil dalam format sebuah chamber. String quintet, didukung kibordis. Edward Van Ness adalah tokoh musik klasik kontemporer barat, asal New Jersey, USA. Sudah bermukim di Indonesia, terutama Medan, sekian puluh tahun lamanya.
Edward Van Ness dengan violin lalu berduet dengan Erucakra Mahameru, dengan electric guitarnya. Merekapun menyajikan karya monumental, sebut saja begitu yang menjadi salah satu masterpiece karya klasik kontemporer Ed Van Ness, ‘In C’.
Nah karya tersebut adalah karya reinterpretasi Ed Van Ness atas komposisi yang dibuat Terrence Mitchell “Terry” Riley, yang adalah tokoh musik klasik Indian. Van Ness menghasilkan part pertama ‘In C’ beberapa tahun lalu, dan di NSJF kemarin, ia bersama Erucakra kemudian menghasilkan karya lanjutannya,’In C, part two’.



Setelah penampilan Ed Van Ness yang bernuansa kolaborasi jazz dan classical music, yang seperti memaku penonton. Sementara itu, saat sama arus penonton terus masuk ke dalam grand ball room JW Marriot di kota Medan, waktu itu. Giliran berikutnya adalah, Erucakra sendiri, yang tampil bersama kelompok musiknya, C-Man.Mereka bisa disebut sebagai “resident-band” dari NSJF. Setiap tahun pasti akan menjadi performers.
Dan tantangan paling menarik tentunya, bagaimana Erucakra bersama C-Man, selalu melakukan ekspreimentasi atas musik mereka, agar terus berbeda dengan keunikannya tersendiri masing-masing,pada setiap tahunnya. Tantangan berat, mengingat Erucakra sendiri, notabene juga adalah chairman dari NSJF.
Adalah Erucakra Mahameru didukung istri terkasihnya, Arsyadona Mahameru, yang aktif menjadi penggerak dan motor utama dari NSJF ini. Dengan didukung sepenuhnya oleh saya dan Indrawan Ibong, dari Indiejazz-INDONESIA, Jakarta. Sejak 2011, kali pertama NSJF digelar, kami berempat telah berjuang, bahu membahu, berkolaborasi dengan penuh keringat mengucur deras tuh, demi mempertahankan keberlangsungan festival ini.

Erucakra dan C-Man, antara lain menyuguhkan juga karya terbaru milik Erucakra, yaitu terdiri dari dua komposisi. Yang satu, ‘Question of the Moment’ dan ‘Hold On’. Selain itu, C-Man juga mengiringi dua bintang muda asal Medan. Ada Chelsea Hadi, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Lalu berikutnya adalah Tito Arif Munandar.
Chelsea Hadi, yang adalah mantan finalis Indonesian Idol tahun 2014, tampil menghibur dengan, ‘I Wish’ dan ‘Isn’t She Lovely’ yang dipopulerkan Stevie Wonder. Dilanjutkan Tito, dengan menampilkan bentuk musik jazz a la Broadway. Dimana pada kompisisi, ‘Wak Uteh’, Erucakra dan C-Man menghadirkan lagu bernuansa etnik Melayu yang kental dengan lirik juga berbahasa Melayu.
Selanjutnya, tampillah bintang utama NSJF di tahun ini. Muhammad Tulus, atau yang biasa dikenal sebagai Tulus. Siapa pula saat ini tak kenal namanya? Ia memang menjadi magnet utama, dimana memasang nama Tulus, memang terbukti lumayan ampuh menarik minat publik untuk menyerbu NSJF.
Ada 10 lagu dibawakannya, dan rata-rata sukses untuk mengajak penonton untuk menciptakan koor massal. Sebagian besar penonton muda yang hadir, kelihatannya memang datang sebagai penggemar Tulus. Dan Tulus tampil, seperti biasalah, elegan dengan musik popnya yang berwarna jazz. Paling tidak ada suasana jazz(y)nya.
Seperti mengingatkan kita dengan suasana lagu-lagu adult contemporary di era 1980-an. Dimana warna tersebut, kerapkali juga disebut jazzy tunes. Hal itu juga yang dikemukakan oleh promotor musik internasional, Tommy Pratama, yang kebetulan hadir sebagai penonton malam itu.

Tulus, tampil sangat minimalis. Paket hemat betul, dengan didukung hanya oleh sebuah trio berisikan para musisi muda Bandung. Namun kesederhanaan penampilan Tulus, tak begitu mengganggu antusias penonton dalam menyambut penampilan penyanyi bertinggi 185 centimeter tersebut.
Dan begitulah, memang sebagian besar penonton datang untuk menikmati Tulus. Begitu Tulus selesai bertugas, maka para penontonpun lantas meninggalkan arena acara. Padahal, seperti juga yang diingatkan oleh MC, Sherly, masih ada satu lagi performer malam itu.
Sebagai penutup acara, tampil di ujung adalah trio Mahasora. Mereka menyajikan warna electronic dance music, yang dikolaborasikan dengan elemen musik India dan Sumatera Utara. Tokoh sentral adalah DJ, Stevan Aldo, yang berdarah India.
Didukung pula oleh dua personillain, Wisnu Bangun dan Devin Geovani. Mereka menyajikan 4 karya lagunya dengan setting DJ equipment dipertemukan dengan sebuah tambur India dan hasapi yaitu kecapi khas Karo, Sumatera Utara. Ikut pula meramaikan penampilan Mahasora, kembali lagi Erucakra Mahameru, tentu dengan electric guitarnya.


North Sumatra Jazz Festival yang disingkat NSJF di tahun 2017 inipun berakhir sudah jelang jam 24.00 wib. Sempat pula hadir Gubernur Sumatera Utara, Teuku Erry Nuradi memberikan pidato singkatnya, di tengah-tengah acara. Memberikan restu dan dukungan atas keberlangsungan NSJF ini, sebagai salah satu event tahunan kebanggaan kota Medan.
Akhirnya dapat juga terselenggara dengan lumayan baik. Terpenting adalah terus dapat menjaga konsistensi festival ini sebagai event setahun sekali. Walau tetap kami mempunyai kesulitan, untuk dapat mematok tanggal pelaksanaan acara pada satu waktu yang tepat, pada setiap tahunnya.
Berbagai aspek memang lantas memberi pengaruh, atawa menjadi sebab, cem-mana NSJF ini menjadi satu-satunya event festival jazz yang tak tetap waktunya. Belum juga berhasil untuk ditetapkan di satu waktu yang tetap.
Karena kan hal lebih krusialnya tentulah, NSJF tetap dapat terselenggara di setiap tahunnya. Dan terus dicoba dipertahankan sebagai event yang membanggakan, dalam arti memberikan hiburan yang baik bagi publik kota Medan khususnya, ataupun masyarakat di daerah Sumatera bagian utara pada umumnya.
Sekaligus juga, tetap mempunyai ciri tersendiri, sebagai sebuah festival jazz, dengan warna jazz yang memang mendominasi. Bukan perkara mudah. Dan hal itu, adalah persoalan paling mendasar, karena sudah terbukti kalau sekedar bergagah-gagahan dengan tagline jazz festival semata, pihak sponsor tak mudah untuk terpikat.
Di titik itulah, kudu adanya kompromay, bahasa gaulnya “kompromi”! Suka atau tidak. Semoga saja kebersamaan kami berempat dapat terus juga terjaga solid dan saling mendukung hingga di kesempatan tahun-tahun mendatang.
Ah ya yang penting, well dude..after all, .the show must go on! Ok, see you next year on, we full hopely, more better and better North Sumatra Jazz Festival  For your information, it will be the 8th! May the Force be with us... /*
Arsyadona Mahameru, Edward Van Ness dan saya

Bersama Welly, dari Happy Sound yang terus menerus mendukung NSJF dengan sound dan backlines nya. Mengapit Tommy Pratama dari Original Production.

Kami berempat bersama Welly dari Happy Sound.

Kami berempat berfoto bersama para pendukung lain NSJF 2017. Ada Rio, paling kiri dari Waspada eMusic serta 2 orang dari Soulmate, sebagai event organizer pelaksana yang dimintai tolong oleh Arsyadona dan Erucakra untuk membantu sepenuhnya pelaksanaan NSJF 2017 ini.

(foto-foto oleh INDRAWAN)









No comments: