Kami berempat, WaspadaeMusic dan Indiejazz-INDONESIA. Saya, Erucakra Mahameru, Arsyadona Mahameru dan Indrawan Ibong |
Memang
dasarnya, tak menyangka atau tak mengira, bahwasanya project ini bisa bertahan sepanjang ini. Dimulai dengan edisi
paling awal di 2011, bertempat di ballroom Hotel Danau Toba Internasional,
Medan. 2 malam terjazzy, membuat Medan jadi sangat jazzy, mungkin itulah akhir
pekan paling jazzy di kota Medan.
Itulah
hal “sangat jazz” yang dapat saya lakukan bersama-sama dengan pasangan
suami-istri yang mesra selalu, Erucakra
Mahameru dan Arsyadona, serta
abang Indrawan Ibonk. Dan sejauh
ini, tell the truth, even us can’t make
again such a jazziest time. Too bad, isn’t it?
Boro-boro
menggelar tontonan skala festival, dengan format lebih besar. Bahkan untuk
sekedar bertahan, untuk tetap menjadi agenda tetap saban setahun sekalipun,
harus diupayakan berdarah-darah. Perjuangan ekstra keras! Sejauh ini, walau
sekilas dilihat sudah “cukup usia”nya sebetulnya, tapi saya merasa memang
tahapan establish, buat festival ini
masih lumayan jauh.
Proses
untuk bisa pas mengemas sebuah sajian jazz, berbentuk festival, terus
berlangsung. Bahkan hingga sudah memasuki tahun ke-7. Keinginan mencoba tetap
ngejazz dan spesifik, tentunya yang bercorak jazz sebagai sajian utama, selalu
berhadapan dengan kenyataan bahwa kita ga bisa lepas jauh dari unsur komersial.
Dalam hal ini terkait dengan talent-nya
yang mana. yang disukai sponsor.
Yes,
ketergantungan pada sponsor, posisi tawar yang tetap saja belum stabil itulah,
salah satu kendala terbesar bagi festival ini. Dan besar kemungkinan, juga
dialami festival-festival jazz lain di Indonesia saat ini. Dasarnya memang
begitu adanya, kami bisa-bisa bergerak limbung dan goyah, kalau tak ada sponsor
mendukung.
Maka
dari itu, ketika festival jazz justru menjamur, sementara festival yang sudah
ada rata-rata masih penuh perjuangan dengan mengucurkan “keringat darah”.
Sayapun jadi terpana dan terkagum-kagum. Sekilas gampang saja menggelar sebuah
festival jazz. Itu kalau memang target, sekedar ada, cukup 1 atau 2, yah paling
banyak 3 kali lah ya.
2 "kamerad" yang berada dibalik keberlangsungan NSJF, sejak 2011. Saya dan Erucakra Mahameru |
Kami berdua, saya dan Erucakra Mahameru. Tak menyangka sebenarnya, festival ini dapat mencapai tahun ke-7 penyelenggaraannya. |
Tapi
kemampuan mempertahankan keberlangsungan hidup sebuah proyek pergelaran musik
seperti festival jazz, memang harus dibuktikan sungguh-sungguh. Pada akhirnya,
ini lantaran idealisme, memperjuangkan seksama mulai dari berpikir konsep,
merancang segala sesuatunya, menjalankannya. Dan terus berjuang
mempertahankannya.
Ataupun
memang sekedar sebuah event, yang dapat berlangsung tanpa masa depan yang
kelihatan cerah. Repotnya kan, sebagian festival jazz di Indonesia itu, bisa
terjadi lebih karena kelatahan. Ya kelihatannya seperti begitu. Kenapa latah,
itu juga sulit dicari jawabannya. Lha kok latah jazz?
Sebagian
besar festival jazz terjadi bukan dibangun dari bawah, dirancang dengan baik,
dipersiapkan matang. Jelas visi dan misi. Bukan sekedar, kita bisa bikin
ataupun mewujudkan keinginan daerah-daerah tertentu untuk “ga mau kalah” dengan
daerah lain, ya maksudnya membuat sebuah festival jazz.
Pada
akhirnya, nanti biasanya akan terlihat. Mana yang lebih condong sebagai “proyek
jazz” atau memang festival jazz. Stamina atau umur dari festival tersebutlah
yang bakal jadi bukti. Sebuah festival jazz yang dibangun beneran, mungkin juga lantaran idealisme yang bersinergi pas. Atau,
sekadar dapat terjadi karena ada pihak yang datang sebagai semacam event organizer? Kalau dana, biasanya
dari pemerintah daerah setempat berhenti, maka bisa dipastikan kelar sudah
festival tersebut.
Ok then, so what
about North Sumatra
Jazz Festival?
Tell the truth, so far still bleeding. Need to work harder and harder, even
just to keep this festival goin’ on as an yearly event.
Bagaimana
menentukan langkah-langkah selanjutnya sih sebetulnya. Dimana idealisme bisa
terus dipertahankan, tetapi harus open
mind untuk kompromi agar supaya festival ini dapat bertahan terus. Tiap tahun
terselenggara dengan baik. Sekaligus bagaimana berjuang agar memang publik
Medan dan sekitarnya bener-bener
menginginkan festival jazz ini dapat berlangsung terus.
So,
kan memang begitulah adanya. Ada dana, ada konsep, ada band dan artis penyanyi
yang bisa ditampilkan. Tapi kalau tak ada penontonnya? Support penonton itu
vitamin dan suplemen enerji tiada terkira. Apalagi penonton yang mau datang
menonton untuk membeli tiket masuk!
Dan
NSJF 2017 kemarin akhirnya dapat berlangsung dengan relatif lancar. Dibuka oleh
Edward Van Ness, yang didukung para
muridnya yang tampil dalam format sebuah chamber. String quintet, didukung
kibordis. Edward Van Ness adalah tokoh musik klasik kontemporer barat, asal New
Jersey, USA. Sudah bermukim di Indonesia, terutama Medan, sekian puluh tahun lamanya.
Edward
Van Ness dengan violin lalu berduet dengan Erucakra Mahameru, dengan electric
guitarnya. Merekapun menyajikan karya monumental, sebut saja begitu yang
menjadi salah satu masterpiece karya
klasik kontemporer Ed Van Ness, ‘In C’.
Nah
karya tersebut adalah karya reinterpretasi Ed Van Ness atas komposisi yang
dibuat Terrence Mitchell “Terry” Riley, yang adalah tokoh musik klasik Indian.
Van Ness menghasilkan part pertama ‘In C’ beberapa tahun lalu, dan di NSJF
kemarin, ia bersama Erucakra kemudian menghasilkan karya lanjutannya,’In C,
part two’.
Setelah
penampilan Ed Van Ness yang bernuansa kolaborasi jazz dan classical music, yang
seperti memaku penonton. Sementara itu, saat sama arus penonton terus masuk ke
dalam grand ball room JW Marriot di
kota Medan, waktu itu. Giliran berikutnya adalah, Erucakra sendiri, yang tampil
bersama kelompok musiknya, C-Man.Mereka bisa disebut sebagai “resident-band” dari NSJF. Setiap tahun
pasti akan menjadi performers.
Dan
tantangan paling menarik tentunya, bagaimana Erucakra bersama C-Man, selalu melakukan ekspreimentasi
atas musik mereka, agar terus berbeda dengan keunikannya tersendiri
masing-masing,pada setiap tahunnya. Tantangan berat, mengingat Erucakra
sendiri, notabene juga adalah chairman
dari NSJF.
Adalah
Erucakra Mahameru didukung istri terkasihnya, Arsyadona Mahameru, yang aktif menjadi penggerak dan motor utama
dari NSJF ini. Dengan didukung sepenuhnya oleh saya dan Indrawan Ibong, dari Indiejazz-INDONESIA,
Jakarta. Sejak 2011, kali pertama NSJF digelar, kami berempat telah berjuang,
bahu membahu, berkolaborasi dengan penuh keringat mengucur deras tuh, demi
mempertahankan keberlangsungan festival ini.
Erucakra
dan C-Man, antara lain menyuguhkan juga karya terbaru milik Erucakra, yaitu terdiri
dari dua komposisi. Yang satu, ‘Question of the Moment’ dan ‘Hold On’. Selain
itu, C-Man juga mengiringi dua bintang muda asal Medan. Ada Chelsea Hadi, mahasiswi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Lalu berikutnya adalah Tito Arif Munandar.
Chelsea
Hadi, yang adalah mantan finalis Indonesian Idol tahun 2014, tampil menghibur
dengan, ‘I Wish’ dan ‘Isn’t She Lovely’ yang dipopulerkan Stevie Wonder.
Dilanjutkan Tito, dengan menampilkan bentuk musik jazz a la Broadway. Dimana
pada kompisisi, ‘Wak Uteh’, Erucakra dan C-Man menghadirkan lagu bernuansa
etnik Melayu yang kental dengan lirik juga berbahasa Melayu.
Selanjutnya,
tampillah bintang utama NSJF di tahun ini. Muhammad
Tulus, atau yang biasa dikenal sebagai Tulus.
Siapa pula saat ini tak kenal namanya? Ia memang menjadi magnet utama, dimana
memasang nama Tulus, memang terbukti lumayan ampuh menarik minat publik untuk
menyerbu NSJF.
Ada
10 lagu dibawakannya, dan rata-rata sukses untuk mengajak penonton untuk
menciptakan koor massal. Sebagian besar penonton muda yang hadir, kelihatannya
memang datang sebagai penggemar Tulus. Dan Tulus tampil, seperti biasalah,
elegan dengan musik popnya yang berwarna jazz. Paling tidak ada suasana
jazz(y)nya.
Seperti
mengingatkan kita dengan suasana lagu-lagu adult
contemporary di era 1980-an. Dimana warna tersebut, kerapkali juga disebut jazzy tunes. Hal itu juga yang
dikemukakan oleh promotor musik internasional, Tommy Pratama, yang kebetulan
hadir sebagai penonton malam itu.
Tulus,
tampil sangat minimalis. Paket hemat betul, dengan didukung hanya oleh sebuah
trio berisikan para musisi muda Bandung. Namun kesederhanaan penampilan Tulus,
tak begitu mengganggu antusias penonton dalam menyambut penampilan penyanyi
bertinggi 185 centimeter tersebut.
Dan
begitulah, memang sebagian besar penonton datang untuk menikmati Tulus. Begitu
Tulus selesai bertugas, maka para penontonpun lantas meninggalkan arena acara.
Padahal, seperti juga yang diingatkan oleh MC, Sherly, masih ada satu lagi performer
malam itu.
Sebagai
penutup acara, tampil di ujung adalah trio Mahasora.
Mereka menyajikan warna electronic dance
music, yang dikolaborasikan dengan elemen musik India dan Sumatera Utara.
Tokoh sentral adalah DJ, Stevan Aldo,
yang berdarah India.
Didukung
pula oleh dua personillain, Wisnu Bangun
dan Devin Geovani. Mereka menyajikan
4 karya lagunya dengan setting DJ
equipment dipertemukan dengan sebuah tambur India dan hasapi yaitu kecapi
khas Karo, Sumatera Utara. Ikut pula meramaikan penampilan Mahasora, kembali
lagi Erucakra Mahameru, tentu dengan electric guitarnya.
North
Sumatra Jazz Festival yang disingkat NSJF di tahun 2017 inipun berakhir sudah
jelang jam 24.00 wib. Sempat pula hadir Gubernur Sumatera Utara, Teuku Erry Nuradi memberikan pidato
singkatnya, di tengah-tengah acara. Memberikan restu dan dukungan atas keberlangsungan
NSJF ini, sebagai salah satu event tahunan kebanggaan kota Medan.
Akhirnya
dapat juga terselenggara dengan lumayan baik. Terpenting adalah terus dapat
menjaga konsistensi festival ini sebagai event setahun sekali. Walau tetap kami
mempunyai kesulitan, untuk dapat mematok tanggal pelaksanaan acara pada satu
waktu yang tepat, pada setiap tahunnya.
Berbagai
aspek memang lantas memberi pengaruh, atawa menjadi sebab, cem-mana NSJF ini menjadi satu-satunya event festival jazz yang tak
tetap waktunya. Belum juga berhasil untuk ditetapkan di satu waktu yang tetap.
Karena
kan hal lebih krusialnya tentulah, NSJF tetap dapat terselenggara di setiap
tahunnya. Dan terus dicoba dipertahankan sebagai event yang membanggakan, dalam
arti memberikan hiburan yang baik bagi publik kota Medan khususnya, ataupun
masyarakat di daerah Sumatera bagian utara pada umumnya.
Sekaligus
juga, tetap mempunyai ciri tersendiri, sebagai sebuah festival jazz, dengan
warna jazz yang memang mendominasi. Bukan perkara mudah. Dan hal itu, adalah
persoalan paling mendasar, karena sudah terbukti kalau sekedar bergagah-gagahan
dengan tagline jazz festival semata,
pihak sponsor tak mudah untuk terpikat.
Di
titik itulah, kudu adanya kompromay,
bahasa gaulnya “kompromi”! Suka atau tidak. Semoga saja kebersamaan kami
berempat dapat terus juga terjaga solid dan saling mendukung hingga di
kesempatan tahun-tahun mendatang.
Ah
ya yang penting, well dude..after all, .the
show must go on! Ok, see you next year on, we full hopely, more better and
better North Sumatra Jazz Festival For
your information, it will be the 8th! May
the Force be with us... /*
Arsyadona Mahameru, Edward Van Ness dan saya |
Bersama Welly, dari Happy Sound yang terus menerus mendukung NSJF dengan sound dan backlines nya. Mengapit Tommy Pratama dari Original Production. |
Kami berempat bersama Welly dari Happy Sound. |
No comments:
Post a Comment