Monday, March 20, 2017

Philosophy Gang, Lamunaj, Layala, Lahami dan la Vinyl


Tapi yang jelas, saya dari dulu tertarik dengan keberadaan DKSB alias Depot Seni Kreasi Bandung. Kayaknya ini komunitas seni yang seru banget. Rada mbeling, sedikit ngaco tapi asoy. Terkesan ngawur gimana gitu tapi pasti dan jelas.
Itu mah persis sang leader sendiri. Terkesan bandel banget, sering ngaco, ngawur.  Hampura, saya pernah omong ini langsung juga ke almarhum. Doski hanya ketawa lebar. Bukan marah, tapi malah ajak hayoooo kita makan dulu. Padahal baru 2,5-3,5 jam sebelumnya kita makan bersama lho.... Hehehehe.
(Silahkan buka deh website saya ini, pada Desember 2016, saya pernah tulis dan so pasti sudah di-upload di sini mengenai DKSB. Dari acara reuni besarnya di Bandung, waktu itu...)

Ya begitulah, kesan saya terhadap almarhum Djauhar Zaharsjah Fachruddin Roesli. Yang lahir 10 September 1951 dan berpulang ke rumahNYA pada 11 Desember 2004. Better known as, Harry Roesli. Yang sepeninggalnya, ternyata harta karun seabrek karya-karyanya, lantas memperoleh apresiasi dari khalayak.
Rupa-rupa bentuk apresiasi terhadap segala sepakterjangnya selama hidupnya. Tentu saja, salah satunya adalah mendengar atau memutarkan kembali, mendengarkan bersama karya-karya. Bisa juga semacam, berbagi dengar. Membahas lagi. Antar lingkungan tertentu, ataupun komunitas tertentu.
Ya belum jauh sampai masuk radio-radio sih. Televisi pun, mungkin bisa dibilang, masih terbatas-tas. Maklum, Harry Roesli memang, non-mainstream, sudah “dari lahir” kaliiii. Stigma, bahwa dia ada di luar pagar jalur utama musik hiburan, keburu di”pahami” sekian waktu.
Kalau sudah begitu, harap maklumi kalau stasiun-stasiun televisi rada enggan memutarkan lagu-lagunya, misal model apa ya, video kliplah. Demikian pula halnya dengan stasiun-stasiun radio “mainstream”, yang puyeng menyiasati memutarkan lagu-lagu yang digubah almarhum. Selain banyak yang berdurasi panjang, juga ga pop sih. Dikawatirkan mengganggu aktifitas para pendengar radio tersebut. Astaga!
Hahahaha, tidak begitu juga sih. Itu hanya candaan usil saya aja. Sama usilnyalah dengan almarhum. Kalau boleh saya ulangi cerita di tahun 2004, beberapa bulan sebelum ia kembali ke alam baka. Dengan usil, ia menunjuk saya menjadi liasion officer-nya, di acara Pentas Perayaan HUT Jakarta ke 475, dengan pentas 475 orang perkusionis di bunderah Hotel Indonesia.
Betapa tak usil, ia tahu saya sebetulnya ada di panitya inti. Saya ditunjuk menjadi talent coordinator di acara itu, dengan nantinya juga jadi bagian dari stage management, saat acara berlangsung. Harry Roesli sudah tahu itu. Tapi ia kepengen aja, saya yang mendampingi dia langsung!
Usilnya itu bikin saya geleng-geleng kepala. Juga keusilan,kebadungan, kengacoannya yang diceritakan keluarga, teman-teman dekatnya, kerabat yang mengenalnya. Dan asli bro, sayapun makin apa ya tepatnya. Terkekeh-kekeh sambil geleng-geleng kepala, elus dada dikit, menyisir rambut juga.... Apa sih?
Iya, gimana ga terkekeh-kekeh mendengarkan cerita mengenai rilis vinyl dari Gang of Harry Roesli, album Philosophy Gang di tahun 1973. Cerita tentang Lions Record, Robert Wong Jr. Piringan hitam yang ditumpuk di bawah tempat tidur besi. Juga menyenggol soal pentas-pentas awalnya Gang of Harry Roesli....
Jadi album perdana Harry Roesli, dengan Gang of Harry Roesli-nya itu memang berupa sebuah piringan hitam. Title-nya ya Philosophy Gang. Kemudian setelah hampir 45 tahun kemudian, dirilis ulang oleh kaum muda! Hebat euy, mas Harry!
Anaknya, Layala Roesli pun menyebutnya, selamat datang kembali Harry Roesli. Welcome back, father. Hehehehe. Betewe, aduh itu Yala Roesli, dari badan, potongan rambut, muka juga eh sampai cara celotehan mangkin aja mirip aslik dengan sang bapak!
Nah menyoal dari re-release vinyl album Gang of Harry Roesli itu, sudah menarik dari cerita awal. Jadi diceritain 2 original member tersisa dari grup itu, Indra Rivai (kibordis) dan Hari Pochank (harmonika). Setelah para pendukungnya yang lain tiada seperti Dadang Latief dan Janto Soedjono. Selain ya tentunya, Harry Roesli.
Menurut kang Indra, sejatinya album ini setau dia tidak dijual. Dibikinkan versi piringan hitam, tapi tidak dijual. Hanya disimpan, terutama dia yang kebagian jadi gudang. Jadilah, tumpukan piringan hitam album itu masuk di kolong tempat tidur besi di kamarnya.
Setiap ada temannya datang,masuk kamarnya, lihat tumpukan vinyl itu. Pasti tanya, itu apa. Ia kemudian akan bertanya, mau ga? Kalau mau, ya ambil saja. Jadi kayak begitulah. Dikasih-kasihkan saja ke yang mau. Selan dibagi-bagikan ke penonton, waktu mereka manggung.
Begitu ceritanya. Sampai ya habis saja. Mungkin juga, tambah kang Indra, ada yang ambil diam-diam ya bisa jadi sih. Habis deh. Cerita berkembang jadi lebih unik lagi, Indra pun ga punya vinyl itu. Beberapa tahun lalu, ia berminat untuk memilikinya. Cari-cari info deh, anaknya yang diberi tugas.
Dapat dong! Sudah tanpa sampul pula. Dan harganya, ia terbelalak. Terkagum-kagumlah. Gimana ga, lha ia harus membelinya seharga...750.000! Lucu dong, album itu jadi “harta karun” ternyata puluhan tahun kemudian! Dengan bandrol harga,oho mengejutkan!! Padahal dulunya, tidak dijual, hanya dibagi-bagiin....


Rezeki buat para pedagang vinyl sekarang deh jadinya. Kabarnya, di pasaran, harga vinyl itu sekarang sudah mendekati angka 900.000. Alamak! Ade nyang beli? Kalau ga ada yang minat sih, harganya pasti dong ga setinggi itu....
Lebih seru lagi denger cerita satu ini. Rekaman di Musica Studio, Jakarta. Yang edarin Lion Records, Singapura. Adalah Rendy dari Lamunaj, pihak yang “berjibaku” untuk menerbitkan ulang vinyl ini. Anak muda bray. Gigih dan kreatif. Cinta tanah airlah, so pasti!
Rendy, atas saran pihak keluarga Harry Roesli , menelusuri keberadaan Lion Records itu. Sampai Singapura! Karena harus bisa memperoleh izin resmi, daripada ada problem di kemudian hari kan? Apa yang didapat? Perkiraan alamat kantor Lion Records di Singapura itu ternyata toko. Dan ditelusuri lagi, dari dulu memang toko. Ga ada kantor record label...
Menurut Yala dan Hami, ada info, pemilik dari Lion Records itu adalah teman baik dari kakek mereka. Tapi ya itu teman lama banget. Dan ajaibnya, selepas merilis Philosophy Gang, eh Lion Records-nya pun tutup.
Jadiiiii, siapakah Lion Records dan Robert Wong Jr, yang kabarnya adalah pemiliknya? Ada ga sih, dan siapa mereka? Hari Pochang sambil tersenyum lebar bilang,mungkin itulah hoax pertamakali di sini. Hahaha.
Daripada bingung untuk memahami misteri di atas itu, lebih lucu kalau menelusuri dan memahami apa candaan Yala Roesli. Memang Lamunaj yang dapat akhirnya merilis, karena kan sama dengan kami, anak-anaknya Harry Roesli. Layala dan Lahami! What a coincedence....



Cerita misteri Lion Records itu ada korelasi dengan cerita lain dari Indra Rivai  Sebelum album dibuat, mereka main beberapa kali. Selalu mereka dapat bayaran. Sebenarnya, cerita Indra, ga terlalu jelas memang mereka dibayar? Undangan, main di acara yang gimana ya, yang bikin biasanya teman mereka juga.
Tapi selalu, abis main, Harry Roesli membagi-bagikan honor. Indra lanjutkan, nah ga jelas. Ini kita itu dibayar atau Harry aja yang rogoh koceknya sendiri dan kasih uang ke kita?
Lalu hubungan dengan Lion Records? Kenapa rekaman malah di Musica Studios Perdatam, atas ijin koh Amin, pemiliknya. Tapi diedarkan label Singapura? Dengan tambahan, catatan perjalanan record label dari Singapura itu juga ga jelas sebenarnya....
Misteri memang. Misteri itu kenyataannya membawa nikmat. Nikmat bagi para pelaku alias pe-de-ge di pasar vinyl atau tepatnya,vinyl-vinyl 2nd hand. Sebuah cara unik berbagi dari seorang Harry Roesli, bahkan saat ia sudah tiadapun....
Urang mah angkat topi deui, mas Harry. Ya mas Harry teh selalu punya cara unik, nyeleneh, ngaco tapi asyik. Bahkan ketika itu catatan masa lalu,dan kini jadi cerita menarik di antara teman-teman yang masih ada sekarang. Dan bikin yang mendengar, terutama generasi sekarang ya, tersenyum.
Sementara tersenyum-senyum sendiri, mungkin kalau ada temannya ya berpandangan, saling lempar senyum. Padahal juga, teu ngerti. Siapa sih Harry Roesli itu? Padahal juga, baru tahu isi debut albumnya Harry Roesli. Hehehehe.

Yang mana isi album itu sendiri, sebagian besar spontan di dapat di studio saat rekaman berlangsung. Hanya ada 2-3 lagu, yang sempat diketahui para musisinya sebelum direkam.Selebihnya mah, spontanitas.
Ada cerita selipan dari Hari Pochang, Harry itu juga dia amati, sering dapat ilham dari kamar mandi alias WC. Tetiba ia bisa diam-diam masuk kamar mandi. Keluar dari kamar mandi eh dapat ide.  Sebagian lagu di album itu, datang dari Harry dengan cara begitu itu.
Lalu menyoal isi musiknya. Album tersebut, bisa dibilang memuat lagu-lagu yang tak biasa. Maksudnya ya, bisa dibilang ga dikenal di sini. Cerita Indra dan Hari Pochang, ketika orang-orang muda jaman itu dengerinnya Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin gitu. Harry mah memilih mendengarkan Gentle Giant, Frank Zappa dan sejenisnya.
Tapi, tambah Hari Pochang, bukan berarti musik lain ga didengerin atau ga disukai. Harry juga tahu dan menyimak The Beatles. Tapi dia lebih banyak mendengarkan yang lain-lainnya.
Dari video teaser, yang sempat ditayangkan sebagai pembuka acara, ada quote dari Glenn Fredly. Harry Roesli itu ya kayak ga ada di rock, jazz, blues dan lain-lain. Ga jelas betul ia dimana, Harry seperti ya tersendiri. Ia satu-satunya kayaknya yang begitu,di sejarah musik kita.
Sebagian kalangan, terutama kaum kritikus musik mengatakan musik Philosophy Gang sangat kontemporer. Atau avant garde. Sangat “di luar yang biasa terdengar”. Pada mencoba mencari istilah pas, dari isilah “standard betul”, musiknya ribet, aneh, ajaib, susah dimengerti, ga gampang dicerna en sebangsanya....
Kalau buat saya mah, ah saya kan bukan kritikus musik. Ya lucu aja, ikut menilai gimana musiknya. Karena buat saya, secara kebetulan pernah juga mengenal cukup dekat almarhum Harry Roesli, ah sudah aja.Mas Harry itu usil, nyeleneh, mbeling, badung, nakal.
Semua itu tercermin dari musik-musiknya, pergelaran-pergelaran atau konser-konsernya. Juga termasuk dari celotehan dia, di radio sampai di televisi. Bahkan juga dari becandaannya langsung, ketika ngobrol dengan dia. Bahkan ngobrol berduapun, mas Harry tetap saja usil dan badung. Badung dalam melawan pemerintahan waktu itu, era orde baru.
Ya juga sama badungnya dengan...kegilaannya untuk makan! Kadar gula tinggi, bahkan tinggi banget, ia tetap saja cuek. Tak terlalu ambil pusing dengan hal itu. Pola makan tetap terus saja... ya badung itu!



Sekedar merunut ke belakang, sebagai tambahan gambaran dari album ini. Saya ingat, di saat itu, yang mainin rock dengan lagu bikinan sendiri, nyaris ga ada. Harry pede aja. Lawannya waktu itu kan, grup-grup pop macam Koes Bersaudara atau Koes Plus deh, The Mercy’s juga kali ya dan Panbers? Mereka grup pop semua.
Pop yang sebenarnya, kalau di atas panggung, bisa ngerock juga. Sementara grup-grup rock domestik masa itu, lebih memilih membawakan lagu-lagu cadas milik band-band luar negeri ternama. Cover version band lah, kira-kira begitu deh isitilahnya.
Dan grup-grup rock lokal, waktu itu, terutama kayak di Jakarta, dibesarkan dari party-party rumahan. Acara-acara pesta di rumah, dengan alat band, jadi hiburannya ya live-band. Mereka pastinya,bawain lagu-lagu luar yang nge-hits dong.  
Lha tetiba musisi Bandung yang mahasiswa tehnik ITB ini muncul dengan album yang berisi lagu-lagu sendiri. Dengan musik yang ajaib, seperti tiada batas gitu. Apalagi lantas disusul dengan berikutnya,pergelaran Rock Opera segala!  Itu lho, Rock Opera Ken Arok. Disusul ada Titik Api dan yang lain-lain.
Sebelum kemudian muncul Guruh Gypsy di Jakarta, di Bandung sebenarnya juga muncul hampir bersamaan dengan Philosophy Gang, yaitu kelompok Shark Move. Iya, dulu ada God Bless juga, tapi ingat aja God Bless era awal itu, sampai tahun 1990-an ya, banyak membawakan lagu-lagu karya luar.
Bandung melahirkanlah sosok seniman besar, baik karya maupun fisiknya, Harry Roesli. Dan lantas Jakarta memunculkan Guruh Sukarno Putra disusul dengan Yockie Suryoprayogo. Itu secuil ilustrasi “bebas”, pandangan saya deh.

Oh iya, acara rerelased-party dari Gang of Harry Roesli, Philosophy Gang diadakan Jumat kemarin. Tepatnya tanggal 17 Maret di auditorium SAE Institute, Pejaten Barat, Jakarta. Berisi talkshow dengan moderator Wendi Putranto, redaktur dari majalah Rolling Stone.
Para pembicara adalah David Tarigan, Khemod “Cerah Hati dan Seringai” yang menamani kang Indra Rivai, kang Hari Pochang. Serta si kembar, Layala dan Lahami Roesli. Vinyl versi rerelease itu diproduksi oleh Lamanay. Diramaikan dengan performance spesial dari kelompok Rumah Musik Harry Roesli serta duet Gang of Harry Roesli yang tersisa itu, Indra Rivai dan Hari Pochang.
Vinyl dari rilis ulang Philosophy Gang kemarin itu dijual, dan dilepas perdana dengan bandrol 350.000. Peminatnya lumayan, karena sebagian penonton yang hadir, langsung menyerbu counter penjualan vinyl tersebut.
Nah beberapa tahun terakhir,mungkin sekitar 10-11 tahun-an ini,kira-kira deh ya, memang menarik banget. Dikarenakan adanya semacam gerakan untuk peduli dengan musik Indonesia di masa lalu. Masa lalu yang “tak terhingga”. Sehingga lantas menjadi bentuk pelestarian juga adanya.
Dasar dari pelestarian itu tentunya adalah, kecintaan. Yang dimulainya dari menyolek dulu, kepedulian. Bersama-sama mencari-cari, mengumpulkan, mendengarkan bersama-sama.
Gerakan itu, yang langsung maupun tak langsung, membangkitkan minat publik untuk memperhatikan lagi bentuk rilisan piringan hitam. Di masa sekarang lebih suka disebut vinyl. Mungkin dikarenakan, album-album rekaman masa lalu, sebagian besar direkam dalam format piringan hitam itu, atau kaset.
Compact disc atawa cakram rekam mah belum ditemukan. Blue-ray? Yeeee, apalagi itu. Mp3 juga belum dikenal kan ya? Hehehe. Dan memburu vinyl dari album langka itupun, menjadi sebuah aktifitas baru yang seru, bagi sebagian orang. Belakangan muncul satu demi satu, orang yang menjadi kolektor.
Kolektor itu cem-macem. Kalau yang terkait musik, baik yang hanya membatasi pada musik Indonesia saja atau juga mengkoleksi rekaman musik luar negeri. Format kaset, atau vinyl. Dulu, tahun 1960-1970an ada juga dikenal format cartridge, sebagai wadah untuk “mengumpulkan” rekaman musik.
Pada akhirnya, waktu bergerak terus, lalu format vinyl juga menjadi tujuan untuk musisi atau penyanyi yang baru merekam album di masa sekarang. Mulai deh, satu demi satu rekaman vinyl album barupun, mewarnai pasar musik kita. Menemani format cd dan juga kaset, dimana kaset juga mulai diperhatikan lagi.
Bersamaan dengan rilisan vinyl grup band atau penyanyi masa kini, juga diikuti rilis ulang vinyl-vinyl bersejarah. Yang bikin tambah menarik scene rilisan vinyl ini, harganya bisa mengejutkan banget.
Bukan sekedar terkejut, juga terksima dan terkagum-kagum. Kenapa, harganya bisa saja dianggap, aduh di “luar nalar”! Harga itu betul-betul “pasar” yang menentukan. Pasar itu siapa? Semacam “perkongsian”lah, antara supply dan demand, atawa penjual dan pembeli.
Rilis awal bisa saja 250.000-an atau 300.000-an. Begitu “ludes”, alias animo pasar ternyata hangat betul. Polanya bisa begini,”barang” lenyap sesaat dari pasar. Ya kan, ludes disikat pembeli? Tetapi kemudian muncul lagi, tentu dengan bandrol harga “baru”. Bisa saja langsung dua kali lipat harganya, yang pelan tapi pasti merangkak naik terus seperti...”tak tertahankan”.
Jangan kaget ada vinyl yang dibilang “sangat langka”, saat ini kalau “beruntung” bisa mendapatkan, bandrolnya bisa sampai 1,5 juta-an! Catet ya, itu hanya terjadi untuk rekaman lokal alias Musik Indonesia lho. Ada yang beli memangnya?
Ga terlalu jelas bener, adakah yang mau merogoh kocek lebih dalam sampai segitunya? Oh ya, pemasaran yang membuat geleng-geleng kepala karena bandrolnya itu, diramaikan pula dengan kenyataan lain.

Kenyataan bahwa produk rekaman musik kita itu, diminati pula oleh fans fanatik musik tertentu di luar negeri! Seperti cerita David Tarigan, ia pernah ke Inggris, membawa vinyl Philosophy Gang. Di sana, ia sukses menjual 2 vinyl album itu yang dibawanya, yang hasil penjualannya itu bisa “menjamin” hidup beberapa hari tambahan di sana.
Selain juga, ia masih bisa memburu rekaman vinyl lain. Unbelievable ya? Silahkan geleng-gelengkan kepala, goyang-goyangkan telapak tangan, lompat-lompat kecillah...ikuti irama. Dan, terkejutlah! Aih!
Ya ada keseruan selalu, dengan sebuah pergerakan baru. Tetapi, pergerakan untuk membuka-buka lagi khasanah musik Indonesia di waktu lalu, menjadi seperti napak tilas perjalanan sejarah musik Indonesia. Yes, sejarah bro! Artinya, tentu baik dan perlu diberi apresiasi.
Ada komunitas macam Irama Nusantara ataupun Suara Disko, perlu dihargai dan dicermati. Karena sebagian penggeraknya justru anak-anak muda masa sekarang. Atau, pda akhirnya “pasar” yang tertarik malah anak-anak muda di masa kini. Bagus dong!
Kenali dan, kalau bisa, cintai musik-musikmu sendiri. Baru menyukai dan aware dengan musik-musik mancanegara? Ya kira-kira begitulah mungkin. Ga papa kok untuk suka musik-musik luar, lha namanya juga itu soal selera.
Tapi dengan mengetahui dan bisa ikut menghargai, at least mengetahui sejarah musik negeri sendiri, rasanya sih positif dan perlu. Itu dulu yang penting. Soal “jual beli” vinyl, itu perkara berikutnya. “Turunan”nyalah gitu.
Karena kan, selain tetiba “membangkitkan” lagi piringan hitam, juga ikut membangkitkan lagi kaset. Masalah utama sih pada player atau alat pemutarnya. Toh, player-nya ternyata yang buatan baru juga mulai bermunculan di pasar.
Vinyl bisa disebut “mainan baru tapi lama”. Tapi dengan vinyl akhirnya kan, Harry Roesli bisa dihadirkan lagi. Kabarnya, Lamunaj berniat untuk berikutnya merilis beberapa album karya almarhum Harry Roesli lainnya. Titik Api dan Ken Arok misalnya.

So, generasi muda mudah-mudahan akan lebih tergerak untuk lebih menghargai dan mencintai apa yang pernah dihasilkan para musisi Indonesia kita ini, di masa-masa lalu.
Ketika mendengarkan Noah, D Masiv, SOG, The KadriJimmo, OMNI, sampai apa lagi ya? Ya termasuk kala menyimak GIGI, /rif, bahkan juga Slank, bip. Nah dulu tuh ada Gang of Harry Roesli, Abbhama, Iwan Madjid, Yockie Suryoprayogo, Chrisye.
Nanti-nantinya mungkin akan ada juga Rara Ragadi, Makara, D’Marszyo, Cynomadeus. Ya untuk menyebut sebagian kecil saja di antaranya. Nama-nama yang pernah memeriahkan musik Indonesia kita ini. Yang tentunya, memiliki juga kontribusi ide dan inspirasi, bagi musik-musik masa kini. Setuju ga?
Kalau setuju, silahkan nikmati kopimu. Sruput pelan-pelan kopi hitam, tanpa gula lebih baiklah. Dan pasang turntable atau cassete player nya. Bayangkanlah masa-masa lalu. Masa kecil kek, atau jaman kakek-nenek kita muda dulu.... Dan sembari menebalkan rasa kecintaan terhadap musik bagus negeri sendiri.
Salam Musik Indonesia!/*










2 comments:

Tabib Sendi said...

Tahun 1974-1976 saat kuliah di Palembang,saya menjadi penggemar setia Harry Roesli dan Remmy Silado. Keduanya unik dan mbeling

Gideon Momongan said...

Brarti, baiknya anda membeli album vinyl bersejarah dari Phylosophy Gank itu....