Ini
sekedar catatan kecil lah. Mungkin bisa juga dibilang, catatan panggir. Pinggir
sebelah mana? Pojokkanlah, dekat tembok, depannya ada jalan ke toilet. Dekat
banget sama penyejuk ruangan, yang segede lemari pakaian itu lho.... Hehehehe.
Iya
setelah tahun silam, saya tak mampu hadir menyaksikan Java Jazz Festival. Macam-macamlah
alasannya. Tapi yang terutama adalah, ah
apalagi sih kalau bukan....isi dompet kelewat tipis! Jauhnya lho, Bintaro ke
Kemayoran. Membayangkannya saja sudah pegal linu, bro!
Lalu
alasan lain, entah ya saya merasa Java Jazz Festival itu sudah kelihatan daya
magnetnya. Paling tidak sih untuk saya pribadi. Kehilangan magnet karena tadi
itu, isi dompet terbatas? Tapi kalau magnetnya kuat sih, perkara isi dompet kan
bisalah diakal-akalin. Ya kan?
Kalau
ingat ya, waktu awal-awal Java Jazz Festival (JJF) itu, waktu masih di Jakarta
Convention Centre, Senayan. Atau tahun-tahun awal di areal Jakarta Fair
Kemayoran, waduh semangatnya itu! Semangat pejuang kemerdekaan 1945-an, mungkin
kalah. Siap sedia deh untuk tempur 3 hari 3 malam. Berangkat aja emoh kalau terlalu sore.
Waktu
itu rasanya, hati ini tak hendak kehilangan momen-momen “sangat nge-jazz”
selama 3 hari itu. Saya sampai menyebutnya dengan senang hati, The Most Jazziest Weekend! Akhir pekan
paling nge-jazz lah dalam hidup ini. Taelaaaa!
Ada
sahabat saya menyebutnya, Hari Raya Jazz Indonesia. Ya saya setuju saja. Tapi
ini 3 hari coy, hidangan jazznya
aneka rupa. Segala ada, bisa dibilang, ah nyaris ada deh. Mana mungkin bisa
terlewatkan?
Kalau
bisa ya, semuanya ditonton, kudu dipotret. Jangan sampai terlewatlah.
Kelewat,menyesal seumur jagung. Eh, seumur hidup. Antusiasku itu luar biasa
deh. Well, soalnya kapan lagi nonton jazz terlengkap, kalau bukan di Java Jazz
Festival?
Bagaimana
mau mengaku, penggemar jazz, kalau nonton JJF aja ogah? Masak sih penggemar jazz,
lha JJF aja ga mengerti... Pamali, bro en sis. Segala dewa-dewi jazz, penyanyi
dan pemusiknya, bisa tersenyum lebar kalau kita tidak meluangkan waktu nonton
festival terbesar di Indonesia itu lho. Ngakunya penggemar jazz gettoooo, JJF
dilewatin aje! Hehehe.
Sampai
segitunya ya? Iya gitu deh sebagai ilustrasi ya. JJF itu arena dapat hiburan
jazz maksimal, referensi yang luas juga. Dapat objek-objek foto bagus, asal
rajin bergerak saja. Kemudian juga, ya arena bersilaturahmi, sekaligus reunian.
Biasanya bisa ketemu teman-teman lama, yang mungkin lama tak jumpa.
Itu
deh romantikanya JJF. Lebih “romantika”nya ya, daripada Jakjazz, yang suasana
format festivalnya itu berakhir di akhir 1990-an. Tapi eh biar gimana juga,
Jakjazz kan memperkenalkan saya dengan sebuah suasana festival jazz beneran,
yang pertama kali bisa dirasakan di tanah air sendiri. Edan aja, Indonesia bisa bikin festival
jazz!!!
Waktu
ada JJF lantas terkagum-kagum juga, ini kagak kalah gokilnya nih. Lebih gede
lagi dari Jakjazz. Bisa nonton Gino Vanelli, James Brown, Jamie Cullum dan
bayak nama-nama gede jazz dunia, yang lebih lebih ngejazz, lainnya.
Tahun
ini datang deh ke Kemayoran. Itu juga lantaran diajak sahabat baik saya sih.
Asli, udah dikasih tiket gretongan,
bisa numpang boilnya pula, pergi dan
pulang. Nikmatnyaaaa. Ah,masak harus berpikir panjang lagi?
So,
datang di Hari Ketiga. Lalu nontonlah Monita
Tahalea. Penyanyi cewek jelita, teman baik juga. Pengen lihat lagi performancenya. Oh ya itu juga karena
ada Windy Setiadi, yang pemain
akordeon. Ceritanya, saya dan teman saya itu, diundang khusus Windy juga.
Iya
Windy, via sebuah whats app group
bilang, nonton gw dong sama Monita Tahalea. Monita tuh, tetangga gw sejak lama,
tapi gw ga pernah tahu lho! Baru tahunya, ya pas rencana mau main bareng di JJF
ini. Astaga, Windy!
Monita
tetap cantiklah. Motretnya enak. Ada Joseph
Sitompul pada piano, Indra Perkasa
pada akustik bass. Lalu Jessilardus
Mates, drummer. Dan gitaris, lagi kembali jadi gitaris nih, Gerald Situmorang. Monita tampil
menyenangkan.
Ah
sudahlah, tak hendak rasanya mengomentari, dan sok melakukan review mendalam kali ini. Saya tuh cuma
pengen menonton dengan manis. Santai. Kalau bisa juga memotret. Udah ah, itu
saja. Beres!
Dari
Monita, kemana lagi ya? Ini nih, kami itu bingung sebenarnya, karena jadwal
acara kan ga pegang. Saya jadinya berempat. Dengan teman-teman baik, Kadri
Mohamad dan Hayunaji. Satunya lagi, satu-satunya perempuan, ini sih teman terdekaaaaaaattt be’eng, Tyas Amalia
Yahya.
Eh
saya bilang,ini kalau sampai ga lihat Chick
Corea, aduh...bisa hilang sebagian kenikmatan hidup ini! Bayangin, nama itu
sudah ditunggu-tunggu sejak JJF pertama di 2005! Kagak bisa datang juga.
Ditunggu-tunggu. Eh baru lah bisa nongol di 2017 ini. Oho!
Nonton
pertama kali dulu banget. 1985. Ballroom Mandarin Hotel. Itu tahun-tahun terawal saya jadi
wartawan musik. Pas banget saya mulai suka dengan Chick Corea, gegara Return to Forever-nya. Eh itu jaman
sebelum Chick Corea Elektric Band
lho.
Ngantri
sih, lumayan juga. Ah sebodolah. Yang penting nonton Chick Corea lagi, setelah
32 tahun! Apalagi ini dengan Elektric Band-nya, yang mulai reunian lagi. Sempat
baca sebelumnya, memang Chick Corea sengaja mengumpulkan lagi teman-teman
mainnya di Elektric Band, untuk main bareng lagi. Jalan bareng tour dan
rencananya, katanya, akan ada album baru.
Gimana
kalau saya akan ceritain tersendiri soal ChickCorea Elektric Band Iya nanti,
jadi akhir tulisan ini aja ya. Soalnya, memang spesial sih. Aduh, nonton lagi
Chick Corea tuh....sesuatu banget lah!
Ok then.
Dari Chick Corea kamipun beranjak cari-cari kemana nih enaknya. Tau-taunya kami
bersepakat,lihat Eva Celia deh.
Belum main. Kami duduk santai saja, sambil tunggu mereka tampil. Dan, Eva yang
kian cantik itu, tampillah.
Anak-anak
muda semua, band pengiringnya. Begitu mudanya, sampai satupun musisi
pengiringnya, ga ada yang saya kenal! Asyik banget. Dan Eva, ah makin cantik!
Secantik ibunya! Iya, karena perempuan ya cantik. Masak mau dibilang, Eva
seganteng bapaknya??
Eva
wah trully talented. Jadi inget
dengan ibunya dong. Ibunya sempat bertemu dengan saya sebelum Eva tampil, kami
saling menyapa dan bersalaman. Jadi inget, bahwa saya kan yang memotret cover album sang ibu dari Eva Celia
Lesmana itu, Sophia Latjuba, di
akhir 1980-an Pemotretan di lakukan di
kawasan marina, Taman Impian Jaya Ancol.
Iya
jadi mengikuti jejak sang ibunda. Cantik, model lalu main film. Begitulah Eva.
Eh iya, main film, lalu menyanyi! Sang ibu kan sempat menghasilkan beberapa
album rekaman.Nah 2 album terawalnya, foto di covernya saya yang motretin tuh.
Baguslah pastinya....Hahahaha. Muji diri sendiri deh.
Abis
itu, eh tepatnya sih Eva belum kelar shownya. Tapi kami berempat sepakat, untuk
melanjutkan ke panggung yang lain. Berhenti sesaat menikmati ice cream. Kemudian menengok penampilan
teman baik saya yang saya suka gayanya! Hehehe. Simon Marantika dengan Laid
This Night-nya. Yang didukung oleh barisan tiup! Keren, keren. Soul
bercampur bluesy gitu.
Di
panggung yang sama itu, sebelumnya saya sempat menyaksikan sesaat penampilan
dari drummer muda, Muhamad Rafi.
Nama bekennya dulu, Rafi theBeat. Ia
didukung para musisi muda handal. antara lain, yang saya kenal ya, ada Donny
Jusran, Adra Karim dan Robert Mulya Rahardja.
Lalu
saya begitu mengetahui akan ada Dewa
Budjana dan Zentuary nya di salah
satu pangung, langsung mengajak ketiga teman seperjalanan saya untuk nonton.
Bukan apa-apa deh, Budjana itu memang temen baik sejak lama banget.
Saking
baiknya, doski itu suka complain berat, kalau saya ga menonton
penampilan dia dengan bandnya. Eh beneran. Suka nyinyirin saya lah di sosial media gitu. Kayak saya ga pernah mau
menonton dia. Hahahaha.
Padahal
aduh, ini aja langsung jadi prioritas lho. Harus nonton Budjana! Begitu masuk,
eh udah main. Budjana tampil dengan format bandnya persis saat launching party album Zentuary nya di
Tebing Breksi, Yogyakarta, pada akhir November 2016.
Irsa
Destiwi, Rega Dauna, Saat Syah, Martin Siahaan, Shadu Rasjidi dan Demas
Narawangsa. Itulah para musisi, sebagian besar musisi muda berbakat, yang
diajaknya mendukung pementasan albumnya itu.
Budjana,
aduh ga usahlah diceritain lebih detil ya. Bagaimana mainnya, lagu-lagunya apa.
Kesan saya bagaimana. Pokoke, apik rek.
Lanjuuuut dah. Kemana lagi dong? Bingung juga sih. Yang jelas, ya saat itu
terlewat deh, untuk nonton Tohpati
Bertiga. Juga Dwiki Dharmawan Pasar
Klewer.
Terakhir,
itu sudah mendekati jam 11.30an gitu deh. Kamipun memutuskan menonton
penampilan spesial dari Iwan Fals! Penting nih, soalnya sudah lama juga tak
pernah lagi melihat penampilan Iwan Fals di panggung. Apalagi ini di acara
festival jazz!
Seperti
yang bang Iwan juga katakan dari atas panggung, ini pertama kali dirinya dan
bandnya main di JJF. Main di sebuah festival jazz. Terima kash sudah
mengundangnya. Lalu, nah serunya, sampai-sampai Iwan Fals dan bandnya, ya
mencoba nge-jazz juga.
Seru
sih, tapi kayaknya sebenar-benarnyalah ya ga perlu-perlu amat untuk susah-susah
ngejazz.
Saya
dan teman-teman mah siap-siap aja nonton Iwan Fals dan band, ya dengan musik
mereka. Yang rada ngerock, sedikit bluesy juga. Lagu-lagu balada, yang terkesan
rada nasionalis, atawa heroik. Penuh semangat menyala-nyala. Kritik sosial. Ya
kayak gitulah.
Iwan
tetap didukung 2 musisi rock, yang dikenal sebagai personil El Pamas. Itu lho,
grup rock 1980-an asal Pandaan, Jawa Timur. Yaitu gitaris Otot Lewet alias
Totok Tewel. Dan kibordis, Eddy Darome. Eh nyelip juga deh, drummer cewek
mungil nan manis, Jeane Phialsa. Apa mungkin, Alsa khusus diajak, biar bisa ada
“warna jazz”nya sedikit deh? Hanya bang Iwan dong yang tahusoal itu.
Tapi
penampilan Iwan sebagai penutup JJF hari terakhir, cukup sukses. Pas juga
sebagai penutup. Karena juga JJF memang saban tahun kok, tetap mengundang
nama-nama yang notabene bukan jazz, atau datang dari genre musik lainnya. Penampilan Iwan Fals makin istimewa, karena
yang buka saja, adalah Ketua Umum Pappri, Tantowi Yahya lho!
Kemarin
itu, Tantowi Yahya masih di Jakarta, dan masih jadi Ketua Umum Pappri. Barulah
empat hari kemudian, kemarin ini, ia menyerahkan jabatannya kepada Ketua Umum
Pappri yang baru, Hendropriyono. Tantowi sendiri segera siap-siap berkemas,
untuk cabut ke Auckland, karena akan menjadi duta besar Republik Indonesia, di
negeri Kiwi, Selandia Baru itu.
Begitulah
JJF 2017 selayang pandang. Kami sejatinya memang rada hemat tenaga. Tak terlalu
memforsir, untuk bisa menonton lebih banyak panggung. Secukupnyalah ya. Maklum
deh, stamina nih. Hihihihi. Umur kan makin banyak lhoooo.
Dan
seperti yang saya utarakan di atas, saya pengen secara khusus menuliskan
mengenai Chick Corea Elektric Band nih. Chick Corea, kibordis yang menjadi salah
satu ikon penting pergerakan fusion jazz di era 1970-1980an. Itu era awal,
munculnya apa yang disebut sebagai musik fusion. Salah satu “sub-sub genre”
dari jazz.
Sekedar
menengok ke belakang, inget-inget deh. Chick Corea untuk para jazz lovers di sini,
dikenal setelah Al Jarreau membawakan lagu karyanya, ’Spain’.Iiih emang begitu.
Orang kenal dulu lagu itu lewat tarikan suara Al Jarreau, baru kemudian publik
luas tahu, bahwa itu sbelumnya dibawain oleh Chick Corea.
Chick
Corea memang kemudian lebih populer lagi, karena kelompok yang didirikannya
itu, Elektric Band. Kebetulan munculnya juga di era pertengahan 1980-an,
tahun-tahun dimana musik jazz atau fusion atau ya jazzylah, lagi lumayan
populer di sini.
Kalau
sebelumnya,publik yang senang jazz-jazzan, kenal duluan dengan Uzeb dari Canada
itu. Ya juga, tentunya, Casiopea dari Jepang, yang lebih fenomenal lagi. Popularitas
Casiopea itu, di sini ya, disamai oleh Level 42.Juga kemudian ada Mezzoforte.
Itulah
grup-grup fusion yang paling populer di era itu. Ya ada lainnya, siapa misalnya
ya. Shakatak? Ya bisa, tapi masih di bawah nama-nama yang saya sebut di atas
itu. Kalau Earth, Wind and Fire atau Real
Thing? Eh itu sih bukan jazzlah, mereka lebih ke soul, funk dan ngepop, juga
nge-dance gitu.
Selain
nama-nama penyanyi macam Al Jarreau, Gino Vanelli dan Michael Franks, publik
jazz lovers memang cukup mengenal grup-grup tersebut.Nah, bisa deh dibilang,
Chick Corea itu nama yang apa ya, lebih “serius”, lebih jazz. Lebih kompleks
musiknya?
Kalau
dibandingkan Casiopea, tentu saja Chick Corea dengan Elektric Band-nya bisa
dibilang, lebih serius. Coba aja denger grupnya sebelumnya, Circle. Tapi jaman
Circle, Chick Corea belum populer di sini.
Sementara
dengan grup legendarisnya, Return to Forever pun,nama Chick Corea belum terlalu
dikenal. Uniknya, banyak orang yang kenal duluan Elektric Band baru lantas,
tahu dan jadisukadengan Return to Forever. Padahal dalam sejarahnya, jelaslah
Return to Forever duluan ada.
Armando Anthony Corea,
begitu nama lengkapnya. Ia lahir pada 12 Juni 1941, di Chelsea, Massachusetts,
USA. Namanya di sejarah musik dunia, dikenal lewat keterlibatannya dengan Miles
Davis, di akhir dekade 1970-an. Karena kan album-album Miles Davis yang
fenomenal kayak Filles de Kilimanjaroo,
In
a Silent Way, Bitches Brew, pemain
kibornya adalah Chick Corea. Corea menggantikan Herbie Hancock saat itu.
Nah
Return to Forever, yang dibentuknya tahun 1970-an awal, adalah grup kedua yang
dibentuknya setelah Circle. Circle
lebih ke jazz, apa yang berkonotasi “real-jazz”.
Sementara RTF,lebih cenderung pada bentuk fusion yang berlandaskan pada latin
jazz. Itu sebetulnya menjadi ciri dari Chick Corea.
Ok
bukan saatnya saya menulis panjang lebar tentang sepak terjang seorang Chick
Corea. Langsung deh ya ke era 1980-an. Saat mana lantas Chick Corea membentuk
Elektric Band itu. Album perdananya dirilis 1986, yang bertajuk nama bandnya.
Oh
ya ketokohan seorang Chick Corea itu dipertegas dengan tak kurang dari 22
penghargaan dari Grammy Awards yang telah diberikan kepadanya. Selain ada 63
nominasi! Dari yang pertama kali, di 1976, ia mendapatkan Best
Jazz Instrumental Perfomance, Group dengan No Mystery, bersama Return
to Forever.
No
Mystery tercatat sebagai album kelima dari grup yang berisikan para master
jazz. Selain Cick Corea, sebagai founder
dan leader, ada Al Di Meola (gitar),
Lenny White (drums) dan Stanley Clarke (bass). Sebelumnya, dalam RTF itu ada
juga suami istri Flora Purim dan Airto Moreira.
Udah
dah udah, beneran nih loncat ke 1980-an. Chick
Corea Elektric Band, 1986. Dengan, ‘Rumble’ dan ‘Elektric City’ atau, ‘King
Cockroach’. Itu tiga lagu yang lumayan dikenal di sini, bisa disebut yang “memperkenalkan”
nama Chick Corea, kepada para penggemar jazz “baru” di sini.
Album
kedua adalah Light Years dirilis
setahun kemudian, dengan antara lain, ‘Light Years’, lagu yang dikenal dari
album tersebut di sini. Lantas, apa yang dibawakan oleh Chick Cirea Elektric
Band kemarin di JJF 2017?
Sebelumnya
ya, grup ini dikabarkan akan melakukan reuni memang. Selengkapnya ya. Dengan Dave Weckle sebagai drummer, Frank Gambale, gitaris. Bassisnya, John Pattituci. Dan juga Eric Marienthal, sebagai peniup
saksofon. Tapi pada saat jelang ke Jakarta, ternyata dikabarkan bassisnya
adalah Nathan East.
Kemana
John Pattituci sih? Tak ada keterangan resmi apapun, yang menjelaskan kemana
Pattituci, apa kesibukannya sehingga ia tak bisa ikut ke Jakarta. Hingga
akhirnya muncul Nathan East sebagai penggantinya. Mendengar nama Nathan East,
sungguh membuat publik yang tahu Elektric Band penasaran deh.
Gini
nih, sesungguhnya Nathan East pernah bermain bareng Chick Corea, dalam album Family, dari flutist, Hubert Laws di sekitar tahun 1982.
Terakhir, Corea diajak mendukung album Nathan East, Reverence yang dirilis pada tahun ini juga. Corea mengisi kibor
untuk lagu, ‘Shadow’.
So
sebenarnya bukan hal “baru” deh ya kalau tetiba Nathan East, bassis Fourplay
yang diajak Corea kali ini. Mungkin semacam “program berbalas-balas ajakan”?
Tapi emang kenapa dengan Pattituci? Mungkin saja mood-nya belum dapat lagi dengan Elektric Band? Maklum kalau
dilihat dari official-websitenya, ia
tengah sibuk dengan John Pattituci
Electric Guitar Quartet dan berlanjut dengan, trionya yang baru, Children of the Light.
Mari
kita kembalike atas panggung JJF. Tepatnya di hari Minggu, 5 Maret 2017. Chick
Corea Elektric Band membawakan beberapa lagu, di antaranya ‘Beneath the Mask’
dari album berjudul sama, yang dirilis sebagai album kelima, tahun 1991..
Mereka
juga menyuguhkan ‘Silver Temple’.(Chick Corea Elektric Band, 1986) Sementara sebagai tembang pembuka adalah lagu
dari album Eye of the Beholder, ‘Trance
Dance’.
Album
Eye of the Beholder dirilis tahun
1988. Album tersebut, dirilis setahun sebelum Chick Corea membuat Chick Corea Akoustic Band, bersama John
Pattituci dan Dave Weckl. Mereka juga
memainkan, ‘Jocelyn The Commander’ dari
album To The Stars, yang adalah album
terakhir Elektric Band, dirilis 2004.
Penampilan
Chick Corea and Elektric Band ditutup dengan,’Got a Match’, salah satu lagu
yang lumayan populer di sini di era pertengahan 1980-an. Lagu karya Chick Corea
sendiri itu, diambil dari album perdana dengan title nama bandnya, Chick Corea
Elektric Band, dirilis resmi 1986.
Penonton
relatif puas dengan penampilan Chick Corea malam itu. Lumayanlah ya, akhirnya
kan muncul juga, salah satu ikon terpenting fusion jazz dunia. Memang tak ada
lagu ‘Spain’ tentunya. Juga tak ada apa lagi ya, ‘Rumble’ dari album perdananya
itu.
Saya
pribadi sih merasa puas kok, bisa menonton lagi Chick Corea dari dekat.
Menikmati sound keyboardnya yang khas itu, selain itu lho permainan drumsnya
Dave Weckl yang tetap keren dong. Tight, penuh syncop yang “mengejutkan”, fill-fill yang “menggairahkan.
Maka
saya bisa pulang dengan suka hati. Akhirnya bisa menonton lagi JJF deh.
Pulangnya, kami pun isi perut di kawasan Pecenongan deh. Masak mau ceritain
lagi, soal acara makan tengah malam kita berempat itu? Sudahlah.
Cukup
sekian dan terima kasih atas perhatiannya.
Wasalam/*
1 comment:
Chick Corea Elektric Band - Light Years
https://www.youtube.com/watch?v=ZuGZIm0oG10
Post a Comment