Tapi yang jelas, saya
dari dulu tertarik dengan keberadaan DKSB alias Depot Seni Kreasi Bandung. Kayaknya ini komunitas seni yang seru
banget. Rada mbeling, sedikit ngaco tapi asoy. Terkesan ngawur gimana gitu tapi
pasti dan jelas.
Itu mah persis sang
leader sendiri. Terkesan bandel banget, sering ngaco, ngawur. Hampura, saya pernah omong ini langsung juga
ke almarhum. Doski hanya ketawa lebar. Bukan marah, tapi malah ajak hayoooo
kita makan dulu. Padahal baru 2,5-3,5 jam sebelumnya kita makan bersama lho....
Hehehehe.
(Silahkan buka deh
website saya ini, pada Desember 2016, saya pernah tulis dan so pasti sudah
di-upload di sini mengenai DKSB. Dari acara reuni besarnya di Bandung, waktu
itu...)
Ya
begitulah, kesan saya terhadap almarhum Djauhar
Zaharsjah Fachruddin Roesli. Yang lahir 10 September 1951 dan berpulang ke
rumahNYA pada 11 Desember 2004. Better
known as, Harry Roesli. Yang
sepeninggalnya, ternyata harta karun seabrek karya-karyanya, lantas memperoleh
apresiasi dari khalayak.
Rupa-rupa
bentuk apresiasi terhadap segala sepakterjangnya selama hidupnya. Tentu saja,
salah satunya adalah mendengar atau memutarkan kembali, mendengarkan bersama
karya-karya. Bisa juga semacam, berbagi dengar. Membahas lagi. Antar lingkungan
tertentu, ataupun komunitas tertentu.
Ya
belum jauh sampai masuk radio-radio sih. Televisi pun, mungkin bisa dibilang,
masih terbatas-tas. Maklum, Harry Roesli memang, non-mainstream, sudah “dari lahir” kaliiii. Stigma, bahwa dia ada
di luar pagar jalur utama musik hiburan, keburu di”pahami” sekian waktu.
Kalau
sudah begitu, harap maklumi kalau stasiun-stasiun televisi rada enggan
memutarkan lagu-lagunya, misal model apa ya, video kliplah. Demikian pula
halnya dengan stasiun-stasiun radio “mainstream”,
yang puyeng menyiasati memutarkan lagu-lagu yang digubah almarhum. Selain
banyak yang berdurasi panjang, juga ga pop sih. Dikawatirkan mengganggu
aktifitas para pendengar radio tersebut. Astaga!
Hahahaha,
tidak begitu juga sih. Itu hanya candaan usil saya aja. Sama usilnyalah dengan
almarhum. Kalau boleh saya ulangi cerita di tahun 2004, beberapa bulan sebelum
ia kembali ke alam baka. Dengan usil, ia menunjuk saya menjadi liasion officer-nya, di acara Pentas
Perayaan HUT Jakarta ke 475, dengan pentas 475 orang perkusionis di bunderah
Hotel Indonesia.
Betapa
tak usil, ia tahu saya sebetulnya ada di panitya inti. Saya ditunjuk menjadi talent coordinator di acara itu, dengan
nantinya juga jadi bagian dari stage
management, saat acara berlangsung. Harry Roesli sudah tahu itu. Tapi ia
kepengen aja, saya yang mendampingi dia langsung!
Usilnya
itu bikin saya geleng-geleng kepala. Juga keusilan,kebadungan, kengacoannya
yang diceritakan keluarga, teman-teman dekatnya, kerabat yang mengenalnya. Dan
asli bro, sayapun makin apa ya
tepatnya. Terkekeh-kekeh sambil geleng-geleng kepala, elus dada dikit, menyisir
rambut juga.... Apa sih?
Iya,
gimana ga terkekeh-kekeh mendengarkan cerita mengenai rilis vinyl dari Gang of Harry Roesli, album Philosophy
Gang di tahun 1973. Cerita tentang Lions Record, Robert Wong Jr. Piringan
hitam yang ditumpuk di bawah tempat tidur besi. Juga menyenggol soal
pentas-pentas awalnya Gang of Harry Roesli....
Jadi
album perdana Harry Roesli, dengan Gang of Harry Roesli-nya itu memang berupa
sebuah piringan hitam. Title-nya ya
Philosophy Gang. Kemudian setelah hampir 45 tahun kemudian, dirilis ulang oleh
kaum muda! Hebat euy, mas Harry!
Anaknya,
Layala Roesli pun menyebutnya, selamat datang kembali Harry Roesli. Welcome back, father. Hehehehe. Betewe, aduh itu Yala Roesli, dari
badan, potongan rambut, muka juga eh sampai cara celotehan mangkin aja mirip aslik dengan sang bapak!
Nah
menyoal dari re-release vinyl album
Gang of Harry Roesli itu, sudah menarik dari cerita awal. Jadi diceritain 2 original member tersisa dari grup itu, Indra Rivai (kibordis) dan Hari Pochank (harmonika). Setelah para
pendukungnya yang lain tiada seperti Dadang
Latief dan Janto Soedjono.
Selain ya tentunya, Harry Roesli.
Menurut
kang Indra, sejatinya album ini setau dia tidak dijual. Dibikinkan versi
piringan hitam, tapi tidak dijual. Hanya disimpan, terutama dia yang kebagian
jadi gudang. Jadilah, tumpukan piringan hitam album itu masuk di kolong tempat
tidur besi di kamarnya.
Setiap
ada temannya datang,masuk kamarnya, lihat tumpukan vinyl itu. Pasti tanya, itu
apa. Ia kemudian akan bertanya, mau ga? Kalau mau, ya ambil saja. Jadi kayak
begitulah. Dikasih-kasihkan saja ke yang mau. Selan dibagi-bagikan ke penonton,
waktu mereka manggung.
Begitu
ceritanya. Sampai ya habis saja. Mungkin juga, tambah kang Indra, ada yang
ambil diam-diam ya bisa jadi sih. Habis deh. Cerita berkembang jadi lebih unik
lagi, Indra pun ga punya vinyl itu. Beberapa tahun lalu, ia berminat untuk
memilikinya. Cari-cari info deh, anaknya yang diberi tugas.
Dapat
dong! Sudah tanpa sampul pula. Dan harganya, ia terbelalak. Terkagum-kagumlah.
Gimana ga, lha ia harus membelinya seharga...750.000! Lucu dong, album itu jadi
“harta karun” ternyata puluhan tahun kemudian! Dengan bandrol harga,oho
mengejutkan!! Padahal dulunya, tidak dijual, hanya dibagi-bagiin....
Rezeki
buat para pedagang vinyl sekarang deh jadinya. Kabarnya, di pasaran, harga
vinyl itu sekarang sudah mendekati angka 900.000. Alamak! Ade nyang beli? Kalau ga ada yang minat sih, harganya pasti dong ga
setinggi itu....
Lebih
seru lagi denger cerita satu ini. Rekaman di Musica Studio, Jakarta. Yang
edarin Lion Records, Singapura. Adalah Rendy dari Lamunaj, pihak yang “berjibaku” untuk menerbitkan ulang vinyl ini.
Anak muda bray. Gigih dan kreatif.
Cinta tanah airlah, so pasti!
Rendy,
atas saran pihak keluarga Harry Roesli , menelusuri keberadaan Lion Records
itu. Sampai Singapura! Karena harus bisa memperoleh izin resmi, daripada ada
problem di kemudian hari kan? Apa yang didapat? Perkiraan alamat kantor Lion
Records di Singapura itu ternyata toko. Dan ditelusuri lagi, dari dulu memang
toko. Ga ada kantor record label...
Menurut
Yala dan Hami, ada info, pemilik dari Lion Records itu adalah teman baik dari
kakek mereka. Tapi ya itu teman lama banget. Dan ajaibnya, selepas merilis
Philosophy Gang, eh Lion Records-nya pun tutup.
Jadiiiii,
siapakah Lion Records dan Robert Wong Jr, yang kabarnya adalah pemiliknya? Ada
ga sih, dan siapa mereka? Hari Pochang sambil tersenyum lebar bilang,mungkin
itulah hoax pertamakali di sini.
Hahaha.
Daripada
bingung untuk memahami misteri di atas itu, lebih lucu kalau menelusuri dan
memahami apa candaan Yala Roesli. Memang Lamunaj yang dapat akhirnya merilis,
karena kan sama dengan kami, anak-anaknya Harry Roesli. Layala dan Lahami! What a coincedence....
Cerita
misteri Lion Records itu ada korelasi dengan cerita lain dari Indra Rivai Sebelum album dibuat, mereka main beberapa
kali. Selalu mereka dapat bayaran. Sebenarnya, cerita Indra, ga terlalu jelas
memang mereka dibayar? Undangan, main di acara yang gimana ya, yang bikin
biasanya teman mereka juga.
Tapi
selalu, abis main, Harry Roesli membagi-bagikan honor. Indra lanjutkan, nah ga
jelas. Ini kita itu dibayar atau Harry aja yang rogoh koceknya sendiri dan
kasih uang ke kita?
Lalu
hubungan dengan Lion Records? Kenapa rekaman malah di Musica Studios Perdatam,
atas ijin koh Amin, pemiliknya. Tapi diedarkan label Singapura? Dengan
tambahan, catatan perjalanan record label dari Singapura itu juga ga jelas
sebenarnya....
Misteri
memang. Misteri itu kenyataannya membawa nikmat. Nikmat bagi para pelaku alias pe-de-ge di pasar vinyl atau
tepatnya,vinyl-vinyl 2nd hand. Sebuah
cara unik berbagi dari seorang Harry Roesli, bahkan saat ia sudah tiadapun....
Urang mah angkat topi
deui,
mas Harry. Ya mas Harry teh selalu
punya cara unik, nyeleneh, ngaco tapi asyik. Bahkan ketika itu catatan masa
lalu,dan kini jadi cerita menarik di antara teman-teman yang masih ada
sekarang. Dan bikin yang mendengar, terutama generasi sekarang ya, tersenyum.
Sementara
tersenyum-senyum sendiri, mungkin kalau ada temannya ya berpandangan, saling
lempar senyum. Padahal juga, teu ngerti.
Siapa sih Harry Roesli itu? Padahal juga, baru tahu isi debut albumnya Harry Roesli.
Hehehehe.
Yang
mana isi album itu sendiri, sebagian besar spontan di dapat di studio saat
rekaman berlangsung. Hanya ada 2-3 lagu, yang sempat diketahui para musisinya
sebelum direkam.Selebihnya mah, spontanitas.
Ada
cerita selipan dari Hari Pochang, Harry itu juga dia amati, sering dapat ilham
dari kamar mandi alias WC. Tetiba ia bisa diam-diam masuk kamar mandi. Keluar
dari kamar mandi eh dapat ide. Sebagian
lagu di album itu, datang dari Harry dengan cara begitu itu.
Lalu
menyoal isi musiknya. Album tersebut, bisa dibilang memuat lagu-lagu yang tak
biasa. Maksudnya ya, bisa dibilang ga dikenal di sini. Cerita Indra dan Hari
Pochang, ketika orang-orang muda jaman itu dengerinnya Beatles, Rolling Stones,
Led Zeppelin gitu. Harry mah memilih mendengarkan Gentle Giant, Frank Zappa dan
sejenisnya.
Tapi,
tambah Hari Pochang, bukan berarti musik lain ga didengerin atau ga disukai.
Harry juga tahu dan menyimak The Beatles. Tapi dia lebih banyak mendengarkan
yang lain-lainnya.
Dari
video teaser, yang sempat ditayangkan
sebagai pembuka acara, ada quote dari
Glenn Fredly. Harry Roesli itu ya
kayak ga ada di rock, jazz, blues dan lain-lain. Ga jelas betul ia dimana,
Harry seperti ya tersendiri. Ia satu-satunya kayaknya yang begitu,di sejarah
musik kita.
Sebagian
kalangan, terutama kaum kritikus musik mengatakan musik Philosophy Gang sangat
kontemporer. Atau avant garde. Sangat
“di luar yang biasa terdengar”. Pada mencoba mencari istilah pas, dari isilah
“standard betul”, musiknya ribet, aneh, ajaib, susah dimengerti, ga gampang
dicerna en sebangsanya....
Kalau
buat saya mah, ah saya kan bukan kritikus musik. Ya lucu aja, ikut menilai
gimana musiknya. Karena buat saya, secara kebetulan pernah juga mengenal cukup
dekat almarhum Harry Roesli, ah sudah aja.Mas Harry itu usil, nyeleneh, mbeling, badung, nakal.
Semua
itu tercermin dari musik-musiknya, pergelaran-pergelaran atau konser-konsernya.
Juga termasuk dari celotehan dia, di radio sampai di televisi. Bahkan juga dari
becandaannya langsung, ketika ngobrol dengan dia. Bahkan ngobrol berduapun, mas
Harry tetap saja usil dan badung. Badung dalam melawan pemerintahan waktu itu,
era orde baru.
Ya
juga sama badungnya dengan...kegilaannya untuk makan! Kadar gula tinggi, bahkan
tinggi banget, ia tetap saja cuek.
Tak terlalu ambil pusing dengan hal itu. Pola makan tetap terus saja... ya
badung itu!
Sekedar
merunut ke belakang, sebagai tambahan gambaran dari album ini. Saya ingat, di
saat itu, yang mainin rock dengan lagu bikinan sendiri, nyaris ga ada. Harry
pede aja. Lawannya waktu itu kan, grup-grup pop macam Koes Bersaudara atau Koes
Plus deh, The Mercy’s juga kali ya dan Panbers? Mereka grup pop semua.
Pop
yang sebenarnya, kalau di atas panggung, bisa ngerock juga. Sementara grup-grup
rock domestik masa itu, lebih memilih membawakan lagu-lagu cadas milik
band-band luar negeri ternama. Cover
version band lah, kira-kira begitu deh isitilahnya.
Dan
grup-grup rock lokal, waktu itu, terutama kayak di Jakarta, dibesarkan dari party-party rumahan. Acara-acara pesta
di rumah, dengan alat band, jadi hiburannya ya live-band. Mereka pastinya,bawain lagu-lagu luar yang nge-hits dong.
Lha
tetiba musisi Bandung yang mahasiswa tehnik ITB ini muncul dengan album yang
berisi lagu-lagu sendiri. Dengan musik yang ajaib, seperti tiada batas gitu.
Apalagi lantas disusul dengan berikutnya,pergelaran Rock Opera segala! Itu lho, Rock
Opera Ken Arok. Disusul ada Titik
Api dan yang lain-lain.
Sebelum
kemudian muncul Guruh Gypsy di
Jakarta, di Bandung sebenarnya juga muncul hampir bersamaan dengan Philosophy
Gang, yaitu kelompok Shark Move. Iya,
dulu ada God Bless juga, tapi ingat
aja God Bless era awal itu, sampai tahun 1990-an ya, banyak membawakan
lagu-lagu karya luar.
Bandung
melahirkanlah sosok seniman besar, baik karya maupun fisiknya, Harry Roesli.
Dan lantas Jakarta memunculkan Guruh
Sukarno Putra disusul dengan Yockie
Suryoprayogo. Itu secuil ilustrasi “bebas”, pandangan saya deh.
Oh
iya, acara rerelased-party dari Gang
of Harry Roesli, Philosophy Gang diadakan Jumat kemarin. Tepatnya tanggal 17
Maret di auditorium SAE Institute, Pejaten Barat, Jakarta. Berisi talkshow dengan moderator Wendi Putranto, redaktur dari majalah
Rolling Stone.
Para
pembicara adalah David Tarigan, Khemod “Cerah Hati dan Seringai” yang
menamani kang Indra Rivai, kang Hari Pochang. Serta si kembar, Layala dan Lahami Roesli. Vinyl versi rerelease itu diproduksi oleh Lamanay.
Diramaikan dengan performance spesial dari kelompok Rumah Musik Harry Roesli serta duet Gang of Harry Roesli yang
tersisa itu, Indra Rivai dan Hari Pochang.
Vinyl
dari rilis ulang Philosophy Gang kemarin itu dijual, dan dilepas perdana dengan
bandrol 350.000. Peminatnya lumayan, karena sebagian penonton yang hadir,
langsung menyerbu counter penjualan
vinyl tersebut.
Nah
beberapa tahun terakhir,mungkin sekitar 10-11 tahun-an ini,kira-kira deh ya,
memang menarik banget. Dikarenakan adanya semacam gerakan untuk peduli dengan
musik Indonesia di masa lalu. Masa lalu yang “tak terhingga”. Sehingga lantas
menjadi bentuk pelestarian juga adanya.
Dasar
dari pelestarian itu tentunya adalah, kecintaan. Yang dimulainya dari menyolek
dulu, kepedulian. Bersama-sama mencari-cari, mengumpulkan, mendengarkan
bersama-sama.
Gerakan
itu, yang langsung maupun tak langsung, membangkitkan minat publik untuk memperhatikan
lagi bentuk rilisan piringan hitam. Di masa sekarang lebih suka disebut vinyl.
Mungkin dikarenakan, album-album rekaman masa lalu, sebagian besar direkam
dalam format piringan hitam itu, atau kaset.
Compact disc
atawa cakram rekam mah belum ditemukan. Blue-ray?
Yeeee, apalagi itu. Mp3 juga belum dikenal kan ya? Hehehe.
Dan memburu vinyl dari album langka itupun, menjadi sebuah aktifitas baru yang
seru, bagi sebagian orang. Belakangan muncul satu demi satu, orang yang menjadi
kolektor.
Kolektor
itu cem-macem. Kalau yang terkait musik, baik yang hanya membatasi pada musik
Indonesia saja atau juga mengkoleksi rekaman musik luar negeri. Format kaset,
atau vinyl. Dulu, tahun 1960-1970an ada juga dikenal format cartridge, sebagai wadah untuk “mengumpulkan”
rekaman musik.
Pada
akhirnya, waktu bergerak terus, lalu format vinyl juga menjadi tujuan untuk
musisi atau penyanyi yang baru merekam album di masa sekarang. Mulai deh, satu
demi satu rekaman vinyl album barupun, mewarnai pasar musik kita. Menemani format
cd dan juga kaset, dimana kaset juga mulai diperhatikan lagi.
Bersamaan
dengan rilisan vinyl grup band atau penyanyi masa kini, juga diikuti rilis
ulang vinyl-vinyl bersejarah. Yang bikin tambah menarik scene rilisan vinyl
ini, harganya bisa mengejutkan banget.
Bukan
sekedar terkejut, juga terksima dan terkagum-kagum. Kenapa, harganya bisa saja
dianggap, aduh di “luar nalar”! Harga itu betul-betul “pasar” yang menentukan.
Pasar itu siapa? Semacam “perkongsian”lah, antara supply dan demand, atawa
penjual dan pembeli.
Rilis
awal bisa saja 250.000-an atau 300.000-an. Begitu “ludes”, alias animo pasar
ternyata hangat betul. Polanya bisa begini,”barang” lenyap sesaat dari pasar.
Ya kan, ludes disikat pembeli? Tetapi kemudian muncul lagi, tentu dengan
bandrol harga “baru”. Bisa saja langsung dua kali lipat harganya, yang pelan
tapi pasti merangkak naik terus seperti...”tak tertahankan”.
Jangan
kaget ada vinyl yang dibilang “sangat langka”, saat ini kalau “beruntung” bisa
mendapatkan, bandrolnya bisa sampai 1,5 juta-an! Catet ya, itu hanya terjadi
untuk rekaman lokal alias Musik Indonesia lho. Ada yang beli memangnya?
Ga
terlalu jelas bener, adakah yang mau merogoh kocek lebih dalam sampai
segitunya? Oh ya, pemasaran yang membuat geleng-geleng kepala karena bandrolnya
itu, diramaikan pula dengan kenyataan lain.
Kenyataan
bahwa produk rekaman musik kita itu, diminati pula oleh fans fanatik musik
tertentu di luar negeri! Seperti cerita David Tarigan, ia pernah ke Inggris,
membawa vinyl Philosophy Gang. Di sana, ia sukses menjual 2 vinyl album itu
yang dibawanya, yang hasil penjualannya itu bisa “menjamin” hidup beberapa hari
tambahan di sana.
Selain
juga, ia masih bisa memburu rekaman vinyl lain. Unbelievable ya? Silahkan geleng-gelengkan kepala, goyang-goyangkan
telapak tangan, lompat-lompat kecillah...ikuti irama. Dan, terkejutlah! Aih!
Ya
ada keseruan selalu, dengan sebuah pergerakan baru. Tetapi, pergerakan untuk
membuka-buka lagi khasanah musik Indonesia di waktu lalu, menjadi seperti napak
tilas perjalanan sejarah musik Indonesia. Yes, sejarah bro! Artinya, tentu baik
dan perlu diberi apresiasi.
Ada
komunitas macam Irama Nusantara
ataupun Suara Disko, perlu dihargai
dan dicermati. Karena sebagian penggeraknya justru anak-anak muda masa
sekarang. Atau, pda akhirnya “pasar” yang tertarik malah anak-anak muda di masa
kini. Bagus dong!
Kenali
dan, kalau bisa, cintai musik-musikmu sendiri. Baru menyukai dan aware dengan musik-musik mancanegara? Ya
kira-kira begitulah mungkin. Ga papa kok untuk suka musik-musik luar, lha
namanya juga itu soal selera.
Tapi
dengan mengetahui dan bisa ikut menghargai, at
least mengetahui sejarah musik negeri sendiri, rasanya sih positif dan
perlu. Itu dulu yang penting. Soal “jual beli” vinyl, itu perkara berikutnya. “Turunan”nyalah
gitu.
Karena
kan, selain tetiba “membangkitkan” lagi piringan hitam, juga ikut membangkitkan
lagi kaset. Masalah utama sih pada player
atau alat pemutarnya. Toh, player-nya ternyata yang buatan baru juga mulai
bermunculan di pasar.
Vinyl
bisa disebut “mainan baru tapi lama”. Tapi dengan vinyl akhirnya kan, Harry
Roesli bisa dihadirkan lagi. Kabarnya, Lamunaj berniat untuk berikutnya merilis
beberapa album karya almarhum Harry Roesli lainnya. Titik Api dan Ken Arok
misalnya.
So,
generasi muda mudah-mudahan akan lebih tergerak untuk lebih menghargai dan
mencintai apa yang pernah dihasilkan para musisi Indonesia kita ini, di
masa-masa lalu.
Ketika
mendengarkan Noah, D Masiv, SOG, The KadriJimmo, OMNI, sampai apa lagi ya? Ya
termasuk kala menyimak GIGI, /rif, bahkan juga Slank, bip. Nah dulu tuh ada
Gang of Harry Roesli, Abbhama, Iwan Madjid, Yockie Suryoprayogo, Chrisye.
Nanti-nantinya
mungkin akan ada juga Rara Ragadi, Makara, D’Marszyo, Cynomadeus. Ya untuk
menyebut sebagian kecil saja di antaranya. Nama-nama yang pernah memeriahkan
musik Indonesia kita ini. Yang tentunya, memiliki juga kontribusi ide dan
inspirasi, bagi musik-musik masa kini. Setuju ga?
Kalau
setuju, silahkan nikmati kopimu. Sruput pelan-pelan kopi hitam, tanpa gula
lebih baiklah. Dan pasang turntable
atau cassete player nya. Bayangkanlah
masa-masa lalu. Masa kecil kek, atau jaman kakek-nenek kita muda dulu.... Dan
sembari menebalkan rasa kecintaan terhadap musik bagus negeri sendiri.
Salam
Musik Indonesia!/*
2 comments:
Tahun 1974-1976 saat kuliah di Palembang,saya menjadi penggemar setia Harry Roesli dan Remmy Silado. Keduanya unik dan mbeling
Brarti, baiknya anda membeli album vinyl bersejarah dari Phylosophy Gank itu....
Post a Comment