Ketujuh
kalinya sudah, Solo City Jaz digelar. Perdana di 2009. Sempat satu kali, harus
terhenti karena musibah letusan gunung Merapi pada 2010. Lanjut terus. Tetap
berlangsung sebagai pergelaran tetap setiap setahun sekali, menjadi agenda
tetap acara kota Solo.
Selepas
perjuangan untuk menggelarnya, seperti setiap tahun penyelenggaraannya,
akhirnya edisi tahun 2016 dapat berlangsung. Digelar di Taman Balekambang untuk
kedua kalinya, setelah di tahun 2015 silam. Tetap diadakan dua malam.
Menampilkan keberagaman interpretasi musisi, penyanyi dan grup musik terhadap
jazz.
Well,
sekian waktu Solo City Jazz ini, menjadi agenda tetap, salah satu dari puluhan
festival di kota Solo. Jadi, Solo itu masuk sebagai kota dengan jumlah festival
terbanyak di Indonesia! Edan, festival itu, bisa dalm sebulan ada 2 sampai 3
kali lho. Bahkan ada yang setiap minggunya ada acara festival. Semua gratis!!
Menariknya,
kemarin bertemulah dengan seorang perempuan reporter, masih muda. Ia
mewawancarai saya, dan pertanyaannya kontan bikin saya senyum. Kenapa pak harus
gratis? Kalau buatnya, gratis itu tidak mengajarkan apresiasi yang baik kepada
publik. Apa untuk menarik wisatawan lebih banyak ke Solo? Ia meragukan
efektifitasnya.
Saya
tersenyum, sekaligus sebenarnya sih terhenyak! Aha, sebenar-benarnyalah salah
satu perjuangan terberat menjaga kontinuitas festival ini, karena kami harus
bekerja keras, lebih keras, tambah keras saban tahunnya! Ya untuk mendanai agar
festival ini dapat terus berlangsung. Dan itu bukan pekerjaan mudah.
Pemerintah
kota Solo, memberi support sejumlah dana, bisa disebut sebagai “modal
pergerakan”. Tapi mereka, pemkot Solo, mensyaratkan memang tak boleh jual
tiket. Harus gratis selalu. Kalau menjual tiket, harga “merakyat”lah? Kabarnya,
pemkot Solo bisa menghentikan support dananya, begitu SCJ menjadi “komersil”.
Dana
awal tersebut, sejak 2009 belum ada kenaikan. Sementara festival harus terus
berlangsung dan disarankan harus meningkat. Cari sponsor saja, untuk dapat
membiayai festival secara ideal, dan disukai publik. Tahu sendirilah, hareee geneee nyari sponsor?
Sponsor
sekarang, sebagian besar tertarik hanya bila ada deretan nama-nama “besar” yang
dimunculkan. Catat ini, bahwa mereka sama sekali tak peduli, mau itu nama pop,
nama rock. Walau bukan jazz, yang penting populer. Akan dapat menjadi magnet
kuat mendatangkan lebih banyak penonton! Mereka tak peduli kok, soal jenis
musik.
Itu
die, ga heran kan, banyak festival
digelar, sebagian besar jadi bentuknya sama. Mengedepankan nama-nama lebih
populer, walau bukan jazz. Agar supaya menarik sponsorlah, itu alasannya. C-Pro, sebagai penyelenggara dan yang
memiliki ide SCJ ini, tentu bersama saya, sungguh “ga tega”. Beneran deh. Masak kita harus
mengedepankan nama-nama “bukan jazz” sih?
Tapi
bagaimana ya? Pusingnya tuh di sini... Kepengen tetap terjaga betul
kontinuitasnya. Harus cari sponsor. Tapi sejauh ini, sponsor yang datang, asli jack, support ga sampai 10 juta. Bahkan,
di bawah 5 juta! Cuma mintanya macam-macam. Kalau mereka merasa tidak diservis
dengan baik, mereka langsung mengancam, tahun depan bisa ga mendukung lagi.
Hebat dah! Ngeri ya?
Di
tahun ini saja, ada produk terbilang besar banget. Ditawari masuk, hanya dengan
kisaran harga 10 jutaan. Ambil deh kursi undangan mayoritas untuk klien mereka.
Sang pemimpin tertawa, dan memilih lebih baik menonton gratis, tak apa berdiri
juga. Tak tertarik lho. Brand
perusahaannya itu gede, harga mahal, tapi untuk mengeluarkan 10 juta saja ogah!
That’s the fact!
Emangnye
gampang bikin festival? Untuk mewujudkannya, bukan perkara mudah. Kalau
“sekedar” menjalankan, relatif mudah. Tapi membangun dari awal, cari dana
lantas membentuknya, mewujudkannya kemudian menjalankannya, oho. Suka bisa
bikin mendadak perut mual, perih dan otot-otot jadi terasa tegang. Tetiba
kontraksi!
Memangnya
artis-artis populer itu, terutama pihak menejemennya, mau mengerti perjuangan organizer yang punya festival? Jangan
mimpi bray. Kalau mau pake artis gw, ya segini. Syarat-syaratnya juga
begini. Coba aja menawar, bantuin kita deh, biar ngeramein. Kasih diskonlah, kami memang budgetnya mepet. Sebagian
besar, mana ada yang peduli? Yah itu deh menejemen artis sekarang....
Makanya
saya bilang, sekedar ikut-ikutan bikin festival, dan jazz pula, itu mah gampang
aja. Duitnya ada kan? Sini deh, kita wujudkan dan jalankan. Tapi kalau bisa
bertahan sampai, jangan jauh-jauhlah, lebih dari 2-3 kali saja deh. Kalau sok
idealis, tetap ngejazz, pasti bakal berdarah-darah. Kalau toh bisa sukses
bertahan, bisa jadi ya, udah akan menjadi “makin tidak jazz”.
Dan
catatan saya sih, walau sudah tak jazz lagi pun, sebagian besar festival itu
memang tak sanggup bertahan lama. Stamina akhirnya jelblok juga. Sebagian besar
itu juga karena, bikin festival jazz ikut-ikutan sih. Followers aja, biar dianggap ikuti trend yang ada.
Bikin
males ga sih? Iya jadi sebel, tapi lha kalau mau dapat duit tambahan yang
lumayan, harus mau ambil artis-artis dengan menejemen yang bersikap, persis
penjual di toko. Mau gimana lagi coba? Nasib deh.
Excuse me,
boleh ya sedikit curcol. Intermezzo
lah. Tapi itu adalah gambaran dari sikon yang ada di Indonesia sini. Dan terus
terang, ya yang juga jadi pergulatan yang dihadapi SCJ. Walau sudah 7 kalipun
penyelenggaraannya.
Well,
cukup dulu curhat-colongannya, kembali ke atas panggung SCJ 2016 ya. Ok, kita
lihat dan nikmati deh jazz di mata penyanyi belia, masih 12 tahun, Michelle Kunhle? Ia tampil didukung
para musisi senior kota Solo. Michelle adalah juga dalang cilik, ia banyak
talentanya. Ini penampilan ketiganya di SCJ, dengan berganti-ganti musisi
pendukungnya.
Kemudian duo MC, Adia Prabowo dan Annas Habibi memanggil naik, Galih Naga Seno, yang lebih
mengedepankan unsur perkusi, dipadukan dengan instrumentasi musik standar,
macam bass, gitar dan drums. Seperti juga Michelle Kunhle, kelompok Galih Naga
Seno, juga berasal dari kota Solo. Kemudian tampil pula, B’ Fuzz, yang juga dari Solo.
B’
Fuzz nama senior juga sebetulnya di kota Solo. Serunya, mereka tampil hanya 3
lagu saja. Tetapi pada satu lagu,si penyanyi dengan sangat pedenya, menyanyi
sambil baca teks syair lagu yang dinyanyikannya. Asyik betul, lihat kepedeannya
deh! Persis lihat penyanyi di kafe-kafe....
Malam
pertama, Jumat 30 September, ditutup penampilan musik berlandaskan tema world
music, mengandung unsur etnik Nusantara bercampur dengan Timur Tengah. Nama
mereka, Seroja, datang dari kota
Pekalongan. Lumayan menghangatkan suasana.
Malam
kedua, dimulai selepas hujan deras mengguyur Solo, hampir setengah harian.
Dibuka oleh kelompok muda asal Solo, Aditya
Ong. Penampilan lumayan apik grup yang dipimpin kibordis muda, Aditya Ong
itu, diikuti kemudian oleh Iza Nael.
Penyanyi dan gitaris muda, yang berasal dari Semarang, namun kini berdomisili
di ibukota.
Iza
Nael lumayan sukses membuat suasana menjadi bergairah dan lebih meriah. Ada
drummer belia, berusia 12 tahun, Clay,
yang membuat penampilan Iza Nael tambah menarik. Sekitar 3000-an penonton di
malam Minggu 1 Oktober kemarin itu, lantas dibuat terhenyak dengan sajian
sebuah kolaborasi lintas negara.
Jerryatia dan Elizabeth Sudira, duo MC malam kedua, lalu memanggil naik, Tesla Manaf,
gitaris yang telah melanglang buana hingga Eropa dan Jepang, bersanding dengan Rodrigo Parejo. Rodrigo adalah flutist
asal Sevilla, Spanyol namun bersekolah musik di Den Haag, Belanda. Mereka
berdua, menyertakan penari asal Solo, Dhea
Fandari.
Musik
ilustratif perpaduan flute dan gitar itu, sempat membuat penonton seolah
terhipnotis. Terdiam, dalam menyaksikan penampilan duo kolaborasi, yang hanya
memainkan 2 komposisi, tapi berdurasi total hampir 40 menit itu.
Tak
hanya penonton nampaknya yag gelisah dan,mungkin ada yang bergidik, menikmati
perpaduan gitar dan flute duo tersebut. Bahkan rusa-rusa, yang memang dilepas
bebas di areal Taman Balekambang itu, sampai berani menerobos penonton ribuan
itu. Ada yang terkejut, dan jadi histeris!
Sampai
akhirnya, sayapun iseng menamakan komposisi yang mereka mainkan pertama
sebagai, ‘A Deer Calling Song’. Lagu kedua, dengan Dhea meningkahi musik yang
ada dengan tariannya, saya beri nama saja, ‘Dance with a Deer Calling Part 2’.
Soalnya, ketika ditanyakan ke Tesla, apa judul komposisinya yang dimainkannya.
Tesla tersenyum lebar....
Dan
malam kedua SCJ, ditutup penampilan Tompi.
Penyanyi ini memang ditunggu-tunggu penonton, yang langsung menyambut riuh,
begitu nama Tompi diteriakkan MC. Tompi membawa serta Echa Sumantri (drums), Ilyas
Muhadji (bass), Henri Budidharma
(gitar) dan Deky Surya (kibordis).
Tompi
sukses menutup SCJ 2016, membuat penonton terlihat puas. Di tengah
penampilannya, ia sempat menantang penonton untuk berduet dengannya, dan
tantangan diterima! Seorang penonton pria, berani maju ke depan, dan
mengejutkan Tompi dan seluruh penonton! Suaranya bagus, dan serunya, mirip
Tompi!
Tompi
juga sempat mendadak mengajak naik pentas Sruti
Respati. Penyanyi dan pesinden asal Solo itu, akhirnya naik panggung dan
berduet dengan Tompi secara spontan.
Jelang
pukul 23.30, SCJ pun usai. Akhirnya acara festival inipun berlangsung dengan
lancar, sampai selesai. Sampai jumpa di pergelaran Solo City Jazz di tahun
mendatang. Itupun kalau Tuhan, sang khalik langit dan bumi,memberikan restunya
dan membuka jalan.../*
No comments:
Post a Comment