Sunday, October 2, 2016

Foto dan Catatan Jazzy, Dari SOLO CITY JAZZ 2016



Ketujuh kalinya sudah, Solo City Jaz digelar. Perdana di 2009. Sempat satu kali, harus terhenti karena musibah letusan gunung Merapi pada 2010. Lanjut terus. Tetap berlangsung sebagai pergelaran tetap setiap setahun sekali, menjadi agenda tetap acara kota Solo.
Selepas perjuangan untuk menggelarnya, seperti setiap tahun penyelenggaraannya, akhirnya edisi tahun 2016 dapat berlangsung. Digelar di Taman Balekambang untuk kedua kalinya, setelah di tahun 2015 silam. Tetap diadakan dua malam. Menampilkan keberagaman interpretasi musisi, penyanyi dan grup musik terhadap jazz.
Well, sekian waktu Solo City Jazz ini, menjadi agenda tetap, salah satu dari puluhan festival di kota Solo. Jadi, Solo itu masuk sebagai kota dengan jumlah festival terbanyak di Indonesia! Edan, festival itu, bisa dalm sebulan ada 2 sampai 3 kali lho. Bahkan ada yang setiap minggunya ada acara festival. Semua gratis!!

Menariknya, kemarin bertemulah dengan seorang perempuan reporter, masih muda. Ia mewawancarai saya, dan pertanyaannya kontan bikin saya senyum. Kenapa pak harus gratis? Kalau buatnya, gratis itu tidak mengajarkan apresiasi yang baik kepada publik. Apa untuk menarik wisatawan lebih banyak ke Solo? Ia meragukan efektifitasnya.
Saya tersenyum, sekaligus sebenarnya sih terhenyak! Aha, sebenar-benarnyalah salah satu perjuangan terberat menjaga kontinuitas festival ini, karena kami harus bekerja keras, lebih keras, tambah keras saban tahunnya! Ya untuk mendanai agar festival ini dapat terus berlangsung. Dan itu bukan pekerjaan mudah.


Pemerintah kota Solo, memberi support sejumlah dana, bisa disebut sebagai “modal pergerakan”. Tapi mereka, pemkot Solo, mensyaratkan memang tak boleh jual tiket. Harus gratis selalu. Kalau menjual tiket, harga “merakyat”lah? Kabarnya, pemkot Solo bisa menghentikan support dananya, begitu SCJ menjadi “komersil”.
Dana awal tersebut, sejak 2009 belum ada kenaikan. Sementara festival harus terus berlangsung dan disarankan harus meningkat. Cari sponsor saja, untuk dapat membiayai festival secara ideal, dan disukai publik. Tahu sendirilah, hareee geneee nyari sponsor?

Sponsor sekarang, sebagian besar tertarik hanya bila ada deretan nama-nama “besar” yang dimunculkan. Catat ini, bahwa mereka sama sekali tak peduli, mau itu nama pop, nama rock. Walau bukan jazz, yang penting populer. Akan dapat menjadi magnet kuat mendatangkan lebih banyak penonton! Mereka tak peduli kok, soal jenis musik.
Itu die, ga heran kan, banyak festival digelar, sebagian besar jadi bentuknya sama. Mengedepankan nama-nama lebih populer, walau bukan jazz. Agar supaya menarik sponsorlah, itu alasannya. C-Pro, sebagai penyelenggara dan yang memiliki ide SCJ ini, tentu bersama saya, sungguh “ga tega”. Beneran deh. Masak kita harus mengedepankan nama-nama “bukan jazz” sih?



Tapi bagaimana ya? Pusingnya tuh di sini... Kepengen tetap terjaga betul kontinuitasnya. Harus cari sponsor. Tapi sejauh ini, sponsor yang datang, asli jack, support ga sampai 10 juta. Bahkan, di bawah 5 juta! Cuma mintanya macam-macam. Kalau mereka merasa tidak diservis dengan baik, mereka langsung mengancam, tahun depan bisa ga mendukung lagi. Hebat dah! Ngeri ya?
Di tahun ini saja, ada produk terbilang besar banget. Ditawari masuk, hanya dengan kisaran harga 10 jutaan. Ambil deh kursi undangan mayoritas untuk klien mereka. Sang pemimpin tertawa, dan memilih lebih baik menonton gratis, tak apa berdiri juga. Tak tertarik lho. Brand perusahaannya itu gede, harga mahal, tapi untuk mengeluarkan 10 juta saja ogah! That’s the fact!



Emangnye gampang bikin festival? Untuk mewujudkannya, bukan perkara mudah. Kalau “sekedar” menjalankan, relatif mudah. Tapi membangun dari awal, cari dana lantas membentuknya, mewujudkannya kemudian menjalankannya, oho. Suka bisa bikin mendadak perut mual, perih dan otot-otot jadi terasa tegang. Tetiba kontraksi!
Memangnya artis-artis populer itu, terutama pihak menejemennya, mau mengerti perjuangan organizer yang punya festival? Jangan mimpi bray. Kalau mau pake artis gw, ya segini. Syarat-syaratnya juga begini. Coba aja menawar, bantuin kita deh, biar ngeramein. Kasih diskonlah, kami memang budgetnya mepet. Sebagian besar, mana ada yang peduli? Yah itu deh menejemen artis sekarang....
Makanya saya bilang, sekedar ikut-ikutan bikin festival, dan jazz pula, itu mah gampang aja. Duitnya ada kan? Sini deh, kita wujudkan dan jalankan. Tapi kalau bisa bertahan sampai, jangan jauh-jauhlah, lebih dari 2-3 kali saja deh. Kalau sok idealis, tetap ngejazz, pasti bakal berdarah-darah. Kalau toh bisa sukses bertahan, bisa jadi ya, udah akan menjadi “makin tidak jazz”.


Dan catatan saya sih, walau sudah tak jazz lagi pun, sebagian besar festival itu memang tak sanggup bertahan lama. Stamina akhirnya jelblok juga. Sebagian besar itu juga karena, bikin festival jazz ikut-ikutan sih. Followers aja, biar dianggap ikuti trend yang ada.
Bikin males ga sih? Iya jadi sebel, tapi lha kalau mau dapat duit tambahan yang lumayan, harus mau ambil artis-artis dengan menejemen yang bersikap, persis penjual di toko. Mau gimana lagi coba? Nasib deh.
Excuse me, boleh ya sedikit curcol. Intermezzo lah. Tapi itu adalah gambaran dari sikon yang ada di Indonesia sini. Dan terus terang, ya yang juga jadi pergulatan yang dihadapi SCJ. Walau sudah 7 kalipun penyelenggaraannya.



Well, cukup dulu curhat-colongannya, kembali ke atas panggung SCJ 2016 ya. Ok, kita lihat dan nikmati deh jazz di mata penyanyi belia, masih 12 tahun, Michelle Kunhle? Ia tampil didukung para musisi senior kota Solo. Michelle adalah juga dalang cilik, ia banyak talentanya. Ini penampilan ketiganya di SCJ, dengan berganti-ganti musisi pendukungnya.
Kemudian duo MC, Adia Prabowo dan Annas Habibi memanggil naik, Galih Naga Seno, yang lebih mengedepankan unsur perkusi, dipadukan dengan instrumentasi musik standar, macam bass, gitar dan drums. Seperti juga Michelle Kunhle, kelompok Galih Naga Seno, juga berasal dari kota Solo. Kemudian tampil pula, B’ Fuzz, yang juga dari Solo.
B’ Fuzz nama senior juga sebetulnya di kota Solo. Serunya, mereka tampil hanya 3 lagu saja. Tetapi pada satu lagu,si penyanyi dengan sangat pedenya, menyanyi sambil baca teks syair lagu yang dinyanyikannya. Asyik betul, lihat kepedeannya deh! Persis lihat penyanyi di kafe-kafe.... 



Malam pertama, Jumat 30 September, ditutup penampilan musik berlandaskan tema world music, mengandung unsur etnik Nusantara bercampur dengan Timur Tengah. Nama mereka, Seroja, datang dari kota Pekalongan. Lumayan menghangatkan suasana.
Malam kedua, dimulai selepas hujan deras mengguyur Solo, hampir setengah harian. Dibuka oleh kelompok muda asal Solo, Aditya Ong. Penampilan lumayan apik grup yang dipimpin kibordis muda, Aditya Ong itu, diikuti kemudian oleh Iza Nael. Penyanyi dan gitaris muda, yang berasal dari Semarang, namun kini berdomisili di ibukota.
Iza Nael lumayan sukses membuat suasana menjadi bergairah dan lebih meriah. Ada drummer belia, berusia 12 tahun, Clay, yang membuat penampilan Iza Nael tambah menarik. Sekitar 3000-an penonton di malam Minggu 1 Oktober kemarin itu, lantas dibuat terhenyak dengan sajian sebuah kolaborasi lintas negara.



Jerryatia dan Elizabeth Sudira, duo MC malam kedua, lalu memanggil naik, Tesla Manaf, gitaris yang telah melanglang buana hingga Eropa dan Jepang, bersanding dengan Rodrigo Parejo. Rodrigo adalah flutist asal Sevilla, Spanyol namun bersekolah musik di Den Haag, Belanda. Mereka berdua, menyertakan penari asal Solo, Dhea Fandari.
Musik ilustratif perpaduan flute dan gitar itu, sempat membuat penonton seolah terhipnotis. Terdiam, dalam menyaksikan penampilan duo kolaborasi, yang hanya memainkan 2 komposisi, tapi berdurasi total hampir 40 menit itu.



Tak hanya penonton nampaknya yag gelisah dan,mungkin ada yang bergidik, menikmati perpaduan gitar dan flute duo tersebut. Bahkan rusa-rusa, yang memang dilepas bebas di areal Taman Balekambang itu, sampai berani menerobos penonton ribuan itu. Ada yang terkejut, dan jadi histeris!
Sampai akhirnya, sayapun iseng menamakan komposisi yang mereka mainkan pertama sebagai, ‘A Deer Calling Song’. Lagu kedua, dengan Dhea meningkahi musik yang ada dengan tariannya, saya beri nama saja, ‘Dance with a Deer Calling Part 2’. Soalnya, ketika ditanyakan ke Tesla, apa judul komposisinya yang dimainkannya. Tesla tersenyum lebar....






Dan malam kedua SCJ, ditutup penampilan Tompi. Penyanyi ini memang ditunggu-tunggu penonton, yang langsung menyambut riuh, begitu nama Tompi diteriakkan MC. Tompi membawa serta Echa Sumantri (drums), Ilyas Muhadji (bass), Henri Budidharma (gitar) dan Deky Surya (kibordis).
Tompi sukses menutup SCJ 2016, membuat penonton terlihat puas. Di tengah penampilannya, ia sempat menantang penonton untuk berduet dengannya, dan tantangan diterima! Seorang penonton pria, berani maju ke depan, dan mengejutkan Tompi dan seluruh penonton! Suaranya bagus, dan serunya, mirip Tompi!
Tompi juga sempat mendadak mengajak naik pentas Sruti Respati. Penyanyi dan pesinden asal Solo itu, akhirnya naik panggung dan berduet dengan Tompi secara spontan.
Jelang pukul 23.30, SCJ pun usai. Akhirnya acara festival inipun berlangsung dengan lancar, sampai selesai. Sampai jumpa di pergelaran Solo City Jazz di tahun mendatang. Itupun kalau Tuhan, sang khalik langit dan bumi,memberikan restunya dan membuka jalan.../*











No comments: