Sebuah
pulau di tengah sebuah danau yang relatif besar. Salah satu danau terbesar di
dunia. Danau dengan sejarah panjang, sejarah peradaban manusia di muka bumi.
Danau yang penuh aroma mistis, namun sangat mengangumkan itu.
Jadi
bayangkanlah eksotikanya sebuah pulau di tengah-tengah danau, yang terbentuk
dari sebuah kaldera raksasa, hasil meletusnya gunung api purba sekitar 69.000
-77.000 tahun yang lampau. Sebuah gunung berapi maha besar, dengan letusan
super masif, yang bahkan ditengarai merubah peradaban bumi di waktu itu.
Danau
Toba itu, panjangnya lebih dari 100 kilometer, dan dengan lebar 30
kilometer-anlah. Kedalaman lautan danau itu adalah sekitar 550 meter, sebagai titik
kedalaman yang paling maksimal.
Di
tengah danau itulah terletak Pulau Samosir, dengan luas sekitar 1400 kilometer
persegi. Hawa sejuk, dengan dikeliling dataran tinggi, termasuk di dalam pulau
maupun daerah yang mengelilingi pulau tersebut.
Menariknya,
Samosir kini yang sudah terbentuk menjadi Kabupaten Samosir, dapat dicapai tak
hanya lewat erry yang menyebrangi danau itu. Tapi sudah ada dataran yang lantas
disambungkan, sehingga memudahkan masyarakat untuk berkunjung, dengan memakai
kendaraan.
Eksotika
danau dengan pulau di atasnya itu, tak lagi hanya “milik” provinsi Sumatera
Utara semata. Di dua tahun silam, Danau Toba dengan keindahan alami alam
sekitarnya telah resmi menjadi satu dari 10 destinasi andalan pariwisata
nasional prioritas. Bersanding dengan antara lain Borobudur Jawa Tengah, Kuta
Mandalika Lombok, Bromo-Tengger-Semeru Jawa Timur, Labuan Bajo Nusa Tenggara
Timur, Wakatobi Sulawesi Tenggara.
Tak
tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo
sendiri yang telah memberi perhatian serius. Untuk menata dengan lebih baik
kawasan Danau Toba, tentu saja dengan Samosir di dalamnya. Dengan antara lain
penguatan aksesbilitas dan konektivitas, demi menunjang Danau Toba menjadi
kawasan pariwisata unggulan utama Indonesia.
![]() |
Panggung itu, Samosir Jazz Season, yang harusnya bisa lebih baik. |
![]() |
de Professor USU, yang datang langsung dari Medan, sebagai pembuka |
Nah
sebelum itu sebenarnya, Samosir sudah terasa mulai menggeliat. Berbagai
peristiwa budaya digelar. Dengan di antaranya adalah termasuk budaya musik.
Teristimewa ragam World Music. Dan
belakangan juga ikut “tertular” virus jazz.
Yes,
kan seperti diketahui bersama, bahwasanya jazz entah bagaimana asal muasalnya,
tettiba menjadi semacam virus. Menulari berbagai pelosok Nusantara. Menjelma
menjadi sebuah trend, sebut saja begitu. Trend menggelar festival jazz,
dimana-mana, di seluruh penjuru Nusantara!
Kenapa
sih harus jazz? Sudahlah, hal itu kan sudah jadi bahan tulisan saya
berkali-kali, cuuuuy. Kali ini, saya lagi enggan menelisik soal itu. Tetapi
memang pada akhirnya, Samosir pun tertular dengan jazz.
Digelarlah
event bertajuk Samosir Jazz Season.
Kabarnya, pada akhir Oktober 2018 silam itu, adalah kali kedua diadakan. Yang
pertama skala lebih kecil, dengan penyelenggaranya adalah sepenuhnya organizer setempat. Nah yang kemarin,
secara khusus menggandeng WEM, Waspada eMusic, yang dikomandoi pasangan
suami-istri, Erucakra Mahameru dan Arsyadona, dari Medan.
![]() |
Erucakra Mahamaeru dengan C Man nya. Sebagai tuan rumah sebenarnya, kalau bisa makin solid, akan menjadi performer yang makin penting nih. |
Erucakra
dan Asryadona lantas menyolek saya dan sahabat baik, Indrawan Ibonk, untuk
turut serta. Akhirnya terjalin deh sebuah “jazz-trip”. Dari North Sumatra Jazz Festival di kota
Medan, yang sudah kali kedelapan diadakan, sampai 2018. Seminggu kemudian
diikuti Samosir Jazz Season.
Saya
asli terkagum-kagum dengan pesona alam Samosir. Sejak menyusuri perjalanan dari
kota Medan, dengan kendaraan, sudah takjub dengan pemandangan di jalan yang
kami lalui. Dan makin takjub, terpesona abis
bray, sekitar sejamlah sebelum tiba di Samosir.
Waktu
kami berkesempatan mampir di titik persinggahan Menara Tele. Pemandangan sekitar, sejauh mata memandang, perbukitan
hijau subur, udara segar, menyamankan mata, telinga, kulit ah pokoknya sekujur
tubuh bahkan hingga pikiran! Masya Allah, luar biasa indahnya.
Dan
sampai di venue, areal Daniang di kota Pangururan, ibukota dari kabupaten
Samosir. Pantai minimalnya, menyuguhkan pemandangan perbukitan nan indah.
Lokasi panggung, bersebelahan dengan sebuah Museum mengenai Samosir, yang
berbentuk rumah adat Batak Toba.
![]() |
Edward Van Ness, dari USA. |
![]() |
Rodrigo Parejo dari Spanyol |
Ternyata
lokasi tersebut, hanya satu dari aneka spot-spot lain yang tak kalah indahnya.
Termasuk spot pantai Parbaba, di areal depan penginapan kami, selama di
Samosir. Dan lokasi itu, layak juga menjadi venue
perhelatan sebuah festival musik.
Menurut
Erucakra dan Arsyadona, didukung pula info dari sahabat-sahabat lain, yang ikut
dalam tim penyelenggara Samosir Jazz Season itu, antara lain ada Rio Tambunan dan Amir Makmur Nasution. Memang masih banyak tempat lain, yang
sebenarnya sangat layak menjadi venue dari acara tersebut.
Samosir
itu kaya nian. Padahal, perlu diketahui, bahwa kawasan Daniang termasuk juga
areal pantai Parbaba itu, bukan di spot utama tujuan turis. Letaknya masih
lumayan jauh dari kawasan turis yang sudah dikenal luas seperti Tomok dan Tuk
Tuk.
Ok
fokus ke acara Samosir Jazz Season itu ya. Untuk kali ini, WEM sebagai
pelaksana lantas menggelar sebuah festival yang sebenarnya relatif kecil.
Menampilkan de Professor Band, yang berisikan para profesor dan doktor dari
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Lalu,
ya so pasti dong, ada Erucakra & C
Man. Tetap dengan formasi Brian
Harefa (soprano saksofon), Radian Syuhada
(bass eltrik), Heri Syahputra
(kibor), Rusfian Karim (drums). Dan
dengan leader sekaligus gitaris, and also lead-vocalist, Erucakra Mahameru
sendiri. Dengan Arsyadona, menemani di sisi kiri, bisa juga sih sebelah kanan,
panggung.
Untuk
Samosir Jazz Season, Erucakra mengajak dua musisi tamu. Ga tanggung-tanggung
lho, satu dari Amerika Serikat, satunya dari Spanyol yang ber-KTP Belanda. Edward Van Ness, dengan biola. Dan Rodrigo Parejo, dengan flute.
Masih
ada musisi tamu lain, yang berkolaborasi dengan mereka, para musisi tradisi
asal Samosir sendiri. Khusus untuk instrumen tradisi Tapanuli/Batak. Musiknya
rame memang, dan mungkin ada suasana musik yang akrab dengan sebagian besar
penonton yang datang malam itu.
Oh
ya, mungkin ada hampir 2000an penonton yang datang, sebagian besar memang
penduduk Samosir. Ada menyelip beberapa turis mancanegara, termasuk warga Medan
atau daerah Sumatera Utara lainnya. Yang sayangnya, sebagian besar justru
meninggalkan arena acara, di udara terbuka itu, sebelum acara berakhir.
Setelah
C Man dengan kolaborasi uniknya,menyelipkan pula tema Rise of the Kingdom –
Sriwijaya Kronikel yang adalah ide kreatif Erucakra, tampillah Dian Pramana Poetra. Diboyong langsung
dari Jakarta, melalui bandara Silangit, sekitar 2 jam dari Samosir letaknya.
![]() |
Dian Pramana Poetra |
Dian
Pramana Poetra didukung para musisi andalan seperti Ilyas Muhadji (bass), Handy
Salim (drums), Wandi (gitar) dan
kibordisnya, Andy Gomes Setiawan.
Dian lumayan mampu menaklukkan penonton, dengan sukses membuai lewat pelbagai hits-nya dari era 1980-1990an.
Tentu
saja, sudah terbuai, menerbangkan ke masa-masa indah dulu, lalu ikutan menyanyi
juga dong.Suasana adem, ayem, tentrem. Angin sejuk menerpa. Ah romantisnya....
Dan
terakhir, Syaharani dengan Queenfireworks-nya neutup acara. Syaharani
membawa Subekti Sudiro (bass) yang “anak Medan asli” sebenarnya. Pada drums ada
Hentriessa Yulmeda. Kemudian di gitar ada, very
special-guest star, Noldy Benyamin
Pamungkas.
Noldy,
jadi gitaris tamu, karena gitaris Queenfireworks, Donny Suhendra, tengah berhalangan karena kesehatannya. Dan ada
lagi, yoi ada lagi Andy Gomes Setiawan, sebagai kibordis. Double job dong, mas? Hehehe.
Syaharani
juga menggamit Erucakra untuk ikut bermain bareng. Terjadilah kolaborasi nan
hangat, apalagi lagu yang dipilih, ‘Come Together-nya The Beatles.
Sahut-sahutan lengkingan gitar Noldy dan Erucakra, mewarna secara seru
penampilan mereka. Menyenangkan nontonnya.
![]() |
Syaharani and Queenfireworks, feat. Erucakra Mahameru |
Pas
juga sebagai penutup. Dan, selesailah. Yup, hanyalah segitu. Mungkin cukup,
sebagai sebuah “perkenalan”.Kalau nanti dapat terjalin kerjasama lagi, mungkin
akan lebih “berwarna”, juga “berwarni”. Maksudnya, bisa saja, lebih rame grup
yang tampilnya.
Tapi
memang kan sejatinya, barulah perkenalan. Penjajakan juga adanya. Dimana WEM
sebagai pelaksana juga didukung pihak event organizer setempat. Yang sudah
mencoba bisa “melayani” dengan sebaik-baiknya. Kalau lantas belum sempurna,
biasalah itu. Itu artinya, pihak organizernya harus lebih rajin-rajin untuk
bergaul lagi. Dan, mau belajar menyempurnakan diri. Belajar bekerjasama dengan
sebaik-baiknya.
Misalnya,
ini satu point simple, mendasar tapi kudu diperhatiin. Kru stage yang sigap,
dengan wawasan yang lebih lebar dan lapang lagi. Juga kru panggung, eh ga tau
deh itu krunya atau bukan atau bagian dari timnya atau tidak, jangan keasyikan
memotret di atas panggung. Yang makin lama, lupa diri mendekat ke musisi dan
penyanyi.
Saya
pikir, ada baiknya si fotograer itu, sekalian diberi alat musik saja. Atau
menjadi backing vocal mungkin? Sehingga justru mewarnai panggung itu, bukannya
malah merusak suasana kan? Kalau di event lebih besar dan serius, fotograer
begitu, sudah ditarik turun, dan disuruh menonton saja dari depan panggung
dengan manis.....
Itu
hanya sekedar cerita-cerita sisa saja dari perhelatan itu. Yang pada akhirnya,
saya memang terlibat tetapi juga haruslah memberikan “sedikit” pandangan. Bahwa
festival berlangsung lancar, alhamdulillah.
Tetapi
hendaknya, memahami bahwa kenapa harus jazz, dan kenapa jazz tetapi pihak
penyelenggara toh sempat meminta bintang-bintang penyanyi atau grup band pop.
Dengan alasan, yang lebih dikenal luas, yang bisa lebih mampu memanggil lebih
banyak penonton?
Kalau
begitu ceritanya, ga harus jazz kan? Maksudnya, bikinkan saja sebuah event
festival musik. Lebih lebar, lebih lapang, lebih leluasa untuk mengundang lebih
banyak bintang-bintang populer. Tentu saja dong, asal tak lupa, memang dananya
mencukupi dan memadai kan? Maklumlah, bahasa “halus”nya, ga ada yang murah
sih.....
Dengan
datangnya Dian Pramana Poetra dan Syaharani, dengan grup bandnya masing-masing,
suah jelas harus disyukuri. Mereka telah bersedia datang, dan meramaikan acara.
Terima kasih banyak, bro Dian dan sis Rani.
Di
kesempatan mendatang, sekali lagi kalau ternyata semesta menghendaki terjalin
lagi kerjasama, perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh soal “label” jazz.
Jadi memang, performers yang tampil itu, tak perlu “dipaksain” lebih lebar,
demi mendatangkan lebih banyak lagi penonton.
Mendatangkan
penonton, kan harus bisa diupayakan melalui promosi yang tepat dan terarah.
Maksudnya adalah, bagaimana mempromosikan acara ini dengan gencar, kalau bisa
dari jauh-jauh hari. Digaungkan di seluruh Sumatera Utara, bahkan kalau perlu Samosirskala
nasional!
Karena
begini ya, nonton jazz itu nikmat deh. Iya, menghibur, melepaskan kepenatan,
melonggarkan juga otot-otot yang kaku. Idealnya begitu kan ya? Tapi menonton
jazz di Samosir, nah ini bakalan menjadi sebuah pengalaman indah berbeda, yang
harus dicoba, dirasakan, dialami publik. Tentu saja, terutama masyarakat
penggemar musik, dari luar Samosir.
Sudah
udaranya segar. Pemandangan indah menawan hati. Ditambah sajian jazz yang
mempesona dan menghibur hati. Alamak, itu perpaduan yang sempurna betul.
Bisa-bisa jadi pengalaman tak terlupakan sepanjang hidup....
Tak
semata-mata “menjual” bintang-bintang, yang termasuk bintang pop non jazz. Tapi
justru mengandalkan suasana indah, sangat berbeda, yang “disediakan” alam Samosir
itu. Samosir-nya itu, yang justru tetap dikedepankan.
Rasa-rasanya,
Samosir sudah lumayan banyak event musiknya sejauh ini. Namun rata-rata,
belumlah digarap dengan “benar” soal menggaung-gaungkannya kemana-mana.
Sehingga, mampu menjadi magnet yang mampu mendatangkan banyak wisatawan, baik
domestik maupun internasional!
Mengemasnya
dengan benar, secara skala nasional saja dulu. Menampilkan bintang-bintang
jazz, kalau ini soal event festival jazz macam Samosir Jazz Season, yang memang
layak dan pantas. Tentu bisa dilihat, kelasnya Dian Pramana Poetra dan
Syaharani lah kira-kira.
C
Man juga layak, punya potensi besar, secara ide. Apalagi kalau bisa makin
solid, dengan kreatifitas merancang kolaborasi-kolaborasi keren, lintas genre
misalnya. Nah tinggal ditambah kreatiftas tambahan, yang penting banget, “mengelola”
promosi dengan tepat dan terarah.
Saya
sempat dibawa menuju kawasan dataran tinggi Pusuk Buhit, sampai Mesuem Geopark
Toba di puncaknya. Kawasannya sangat mempesona. Mungkin bisa dipertimbangkan
menjadi salah satu venue sangat potensial untuk Samosir Jazz Season, di
kesempatan mendatang berikutnya.
Sumatera
Utara bisa punya festival sekeren Jazzgunung di kawasan Bromo atau Ijen Jazz di
dataran tinggi Ijen, Jawa Timur tuh. Modal pesona alamnya sudah ada. Tinggal mengemas,
mengelola dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.
Well said,
semoga bisa berjumpa lagi di tahun mendatang. Dengan acara festival yang lebih
keren, lebih baik lagi dan lebih....ngangenin! Salam... Jazz as Always!/*
No comments:
Post a Comment