Prambanan Jazz
Festival, tahun ini sudah ketiga kalinya. Dan tetiba
mejadi viral, karena ada “very special
case” yang menyangkut nama penyanyi pop populer, yang katanya mainnya molor
jamnya lalu di stop begitu saja, saat sedang perform.
Well
sudahlah, kasus itu harusnya sudah clear
enough dengan penjelasan pihak penyelenggara, Rajawali Indoneisa, yang
dilansir media-massa. Pendapat saya? Sudahlah. Apalah saya, berkomentar soal gawean orang lain? Toh juga
penyelenggaranya tak kenal pula saya? Walau saya sebenarnya menonton langsung
lho, itupun karena jasa baik teman-teman musisi!
Ahaha.
Tapi gini saja, persoalan yang terjadi gampang kok. Telusuri saja, kenapa jam
mainnya bisa mundur hingga 2 jam, seperti yang dikatakan sang penyanyi di akun
instagram-nya? Kan gini, kalau jam mainnya pas, on time maksudnya, pasti tak akan ada kasus?
Jadi
pelajaran saja, bagi semua pihak yang ingin membuat sebuah festival jazz. Well
gini, buatku ya, semua orang bisa membuat festival jazz. Beneran, semua orang pasti
bisa! Apalagi yang punya uang berlebih ataupun orang yang punya kemampuan
berlebih dengan mengumpulkan uang dari sponsor.
Rajawali
toh sudah membuktikan, Festival di kawasan candi Prambanan itu bahkan sudah
ketiga kalinya ini. Tiap tahun ada molor jadwal, ada “kasus”. Apesnya tahun
ini, sempat terangkat naik.
Nah
kasus yang terjadi itu, persoalan yang mendasar ada pada setiap festival jazz.
Artinya, sebenarnya telah “biasa” terjadi pada banyak festival jazz. Jadwal
molor, atawa dengan kata lain, rundown
tidak berlangsung mulus.
Korelasi
dengan yang ikke sebut di atas cyiiin, semua orang bisa berkeinginan
bikin festival jazz dan kemungkinan bisa mewujudkan keinginannya itu. Tetapi,
apakah dia sendiri yang terjun untuk mewujudkan keinginannya? Sendirian atau
dua orang, atau tiga oranglah. Susah jack!
Butuh
tim pelaksana yang mumpuni. Berkemampuan baik dalam hal komunikasi, memahami
bentuk festival harus bagaimana, mengerti mengenai pelaksanaan sebuah festival
musik.
Harus
ada tim pelaksana, inget ya tim bukan
perorangan, yang lebih baik lagi memang mengenal para artis penyanyi atau grup
band para pengisi festival. Punya ketegasan di saat harus tegas, bisa fleksible
bila memang saatnya kudu sedikit dilenturkan.
Kasus
jadwal molor, tentu saja bukan cuma dialami Prambanan Jazz Festival kok. Bahkan
Java Jazz Festival yang sudah sedemikian besarpun,kerapkali mengalaminya, bisa
dibilang saban tahun terjadi juga. Notabene kan, Java Jazz Festival dengan
ke-akbar-annya yang lantas jadi semacam patokan, inspirasi utama orang bikin
festival jazz di sini.
Emerald BEX |
Saya
sih sudah seringkali menceritakan eh menulis persoalan seputar jazz festival di
sini. Entah ya, dibaca atau tidak. Dibaca dan bisa dipahami ga? Dibaca,
dipahami lalu apa dijadikan semacam referensi atau tidak? Terserah sih
sebetulnya....
Maka
terjadi deh, bikin festival musik bagi sebagian orang, dipahami bahwa festival
musik harus jazz dan harus besar-besaran. Jangan kalah sama Java Jazz Festival.
Harus seperti Java Jazz Festival. Sekaligus buktiin,
kita juga bisa bikin yang besar-besaran emangnya hanya...Jakarta dengan JJF nya
itu doang?
Bikin
festival kan pada akhirnya, bukan semata-mata perkara konsep lalu fulus semata.
Setuju dong? Tadi saya tulis, emang bisa dibikin sepenuhnya hanya oleh 1-2
orang? Ada tim pendukung. Ya show, ya menejemen panggung, ya produksi. Lalu koordinator
artis plus para “pemandu artis” (baca : Liasion-Officer),
kemudian vendor tata suara dan tata cahaya, juga panggung. Promosi, bagian
penjualan tiket de el el.
Semua
harus bisa bekerjasama dengan baik. Saling terkait erat. Dan semua pihak itu,
adalah elemen-elemen penting bagi terlaksananya sebuah festival. Mereka bersatu
untuk menghasilkan sebuah festival yang nyamanin
dan ngenakin para musisi pengisi
acara juga penonton. Kemudian, memuaskan pihak boss atawa promotor yang berkaitan erat betul dengan sponsor, kalau
didukung sponsor ya.
Lingua |
Lalu
ini nih, semua lantas “mendadak jazz”. Ok, pasti ada yang bikin festival karena
memang dasarnya pencinta jazz. Tapi ada juga yang membuat festival musik dan
ikut-ikutan jazz, karena sponsor yang meminta begitu? Atau, ya dengan kata lain
juga, latah jadi ikut-ikutan?
Ironisnya,
memang penggemar jazz itu sedemikian banyakkah di negeri ini? Apakah memang
sebagian besar masyarakat memang menyukai jazz lalu meminta-minta dibikin lebih
banyak lagi festival jazz, atau memohon supaya di daerahnya ada festival jazz
juga?
Bahwasanya
lantas, membuat sebuah festival jazz seolah untuk merebut image, modern dan kekinian gitu? Tidaklah ketinggalan jaman dong?
Betulkah jazz sekarang menjadi simbol kekinian??
Jazz
yang mana? Jazz yang bagaimana? Tak berpikir melakukan edukasi, langsung jazz
digelar, skala festivalpun. Masyarakat pasti akan menonton, toh ini gawe besar.
Tapi yang terjadi, sebagian besar festival jazz malah....menjauhkan para musisi
jazz dari panggung jazznya!
Maksudnya,
festival jazz yang dibikin itupun rata-rata, sebagian besar toh juga tidak pede
memainkan para musisi atau artis penyanyi jazz? Sponsor ga suka, kadung
dianggap bukan menjadi magnet untuk mendatangkan penonton. Aduh!
Nah
serunya kan, para grup atawa artis penyanyi yang sejatinya pop, lalu karena
sering lebih diandalkan untuk meraih penonton lebih banyak ya, ya kemudian
dianggap jadi grup jazz atau penyanyi jazz!
T Five |
Itu
yang saya sebut, malah menjauhkan para penyanyi, pemusik dan grup jazz dari
panggung jazznya. Penonton festival disuguhi nama-nama yang memang mereka
kenal, lebih kenal sih tepatnya. Soalnya bersliweran kan di pelbagai media
massa, di layar kaca. Musisi atau penyanyi jazz, siapa yang menulis dan
memuatnya di media, atau menayangkannya di televisi?
Festivalnya
jazz, yang main lebih banyak yang justru non-jazz. Mau tambah hal lebih miris
lainnya? Fee untuk yang non jazz itu
berkali-kali lipat dari yang jazz, itu dibela-belain. Saat melakukan approach untuk yang jazz, tega lho
ditawar padahal budget fee mereka itu mungkin hanya seperempat kali ya dari
bintang-bintang non jazz!
Penyelenggara
festival jazz tega, untuk melakukan hal-hal tidak fair, melakukan tindakan diskriminasi. Yang jazz ditekan, yang non
jazz diangkat-angkat padahal untuk sebuah acara festival jazz. Naaaah!
Ga
juga lah, ada kok grup band jazz atau penyanyi jazz yang “bandrol”nya itu
bersaing serius jumlahnya, dengan artis penyanyi dan grup non jazz? Sebut ada
berapa. Berapa banyak sih? Sebagian besar toh, dapat kesempatan main susah
bener, diterima mainpun disebut budget hanya .... “segini” nih, terbatas.
Lingua |
Ipang Lazuardi |
Ditambah
lagi, ketika akhirnya masuk line up
pengisi, ya memang justru jadi “pelengkap” saja. Jam mainpun bisa “semena-mena”.
Ambil contoh Emerald BEX, fusion
band yang bernama lumayan besar sejak era 1980-an lho. Diajak tampil di
Prambanan Jazz Festival, ditaruh di rundown main jam 14.00. Matahari menyengat,
panggungpun tak beratap.
Pemusiknya
main seperti di sauna. Penonton juga baru sedikit, ada 2 penonton berucap masak
sih Emerald BEX main jam siang begini, sayang amat. Kenapa ya, padahal kalau
ditilik rundown di hari pertama dimana Emerald BEX itu main, astaga notabene
yang “lebih mendekati jazz” itu justru Emerald BEX lho.
Penonton
baru sedikit, siapa juga orang mau berpanas-panas nonton di jam segitu? Tambah
apes, peralatan grup itu, kibornya, error
karena langsung dipanggang matahari. Mereka tetap saja main, ya tentu dengan “seadanya”
saja, karena kibornya yang justru jadi andalan utama dalam membunyikan musik
mereka kan tak bisa berfungsi maksimal. Ya sutra, sikaaaaat aje, seru mereka!
Saya
coba tanya, kenapa tak mendiskusikan jam main, antisipasi soal alat itu lho.
Menurut mereka, dari pihak penyelenggara mengatakan justru mereka ditaruh siang
bolong, supaya bisa menarik banyak penonton! Itu dari salah satu panitya.
Tetapi
mereka juga dengar desas-desus, ini atas permintaan sebuah stasiun televisi
yang bekerjasama dengan penyelenggara. Dimana stasiun televisi tersebut ga mau
Emerald BEX main di sore, jam dimana pihak televisi itu akan melakukan tayangan
live. Mereka, pihak televisi itulah,
yang menentukan bahwa mereka hanya mau melakukan live dengan para penampil yang
mereka pilih.
/rif band |
Hebat
kan? Mana yang benar? Ah sudahlah, sudah berlalu. Emerald BEX juga sudah tak
berkeinginan mempersoalkannya lagi kok. Jadi pelajaran saja buat mereka,
besok-besok ada tawaran main siang bolong begitu, mereka sudah emoh.
Tapi
itu salah satu pelajaran berharga bukan hanya untuk grup band, ya juga untuk
penyelenggaranya. Bikin jazz dalam bentuk festival, tapi justru me-“nomer
sekian”-kan performers yang jazz.
Bukan kesalahan penyelenggara dong, karena itu permintaan sponsor sih?
Kenapa
harus jazz, ya kembali kesitu sih. Apakah kalau tidak memakai kata jazz, maka
sponsor tak mau memberikan dukungan dana? Sementara, sebenarnya memang
sponsornya memahami jazz? Lebih menginginkan jazz, atau lebih menginginkan
penonton penuh??
Lalu
karena pemahaman akan “festival jazz” itu harus besar dan banyak artis dan grup
band populerNya, tak disadari beberapa festival jazz yang sejenis. Maksudnya ya
yang kelasnya sama, relatif besarlah, bentuknya ya jadi seragam. Memang lebih
mengedepankan nama-nama yang justru non jazz.
Sekali
lagi, persoalannya kan, kenapa juga sih harus festival jazz? Kalau misal
festival musik saja, pasti tak akan mampu mengundang sponsor? Padahal dengan
tanpa jazz, toh lebih leluasa, mengambil artis dan grup ini itu. Asyik-asyik
aja mereka semua bisa dimainkan kan?
Toh
juga festival jazz itu, kan akhirnya bersikap tak fair terhadap para “pelaku
atau praktisi jazz”. Artinya, ga ada pengaruh secara signifikan terhadap scene jazz tanah air. Ga lantas membuat
stasiun-stasiun televisi membuka pintu untuk menampilkan pemusik dan penyanyi
jazz. Juga tak membuat stasiun-stasiun radio lalu mau memutarkan rekaman album
jazz...
Base Jam |
Echa Sumentri dengan Base Jam |
Lebar
nih persoalannya. Dari kasus satu, lalu kemana-mana gini. Saya hanya mengulangi
lagi, bahwa persoalannya sebenarnya sih ya itu yang saya uraikan di atas.
Persoalan kemudian juga pada soal jadwal kan? Di sekitar pertengahan Agustus,
festival jazz itu bertumpuk. Bahkan ada 3 festival jazz, diadakan pada waktu
bersamaan lho. Rebutan musisi dan penonton dong?
Ah
mirisnya sih ya, para musisi jazz ga terlalu merasakan mereka ”diperebutkan”.
Atawa direpotkan jadwal. Sebagian ada sih yang lantas kalang kabut dengan
jadwalnya. Tapi ga banyak. Karena ya itu tadi, sebagian festival jazz itu
memang tidak juga lantas memang mengandalkan penampilan para musisi atau
penyanyi jazz kok.
Perlu
saya garis bawahi, ingatkan bener-bener lho ya. Saya bilang, sebagian. Bukan
semua festival jazz di sini. Masih ada festival jazz yang ah jazz-nya itu lho,
asyik kok. Yang begitu, biasanya pasti memperoleh respon penuh semangat dari
para musisi, penyanyi termasuk grup band yang nge-jazz.
ADA Band |
ADA Band |
Ok
deh, saya menulis ini sebetulnya sih sekedar review sekilas dari Prambanan Jazz Festival 2017. Event itu sendiri
dilangsungkan pada 18 hingga 20 Agustus 2017. Saya menonton dari awal sampai
akhir, bisa wara-wiri leluasa ke backstage juga, hanya di hari pertama saja.
Itu
kan, seperti yang saya bilang di atas, atas jasa baik teman-teman musisi yang
tampil. Jadi dapat ID Card yang bisa
bebas berkliaran di belakang panggung, bercengkrama, bertemu,ngobrol-ngebrel,
becandaan dengan para musisi dan penyanyi yang tampil.
Hari
kedua saya datang berbekal ID Card media, karena ditolong teman wartawan yang
menjadi koordinator. Tapi ID Wartawan itu tak bisa dipakai untuk ke belakang
panggung. Jadi hanya menonton di depan saja, di tengah-tengah penonton saja.
Ga
bisa leluasa menonton, ga bisa bertemu musisi. Lalu, ya lihat saja saya tak
bisa juga memotret dengan baik sih. Jadi memang, saya ga memperoleh undangan
resmi gitu dari pihak penyelenggara. Tak apa, kan kami belum kenal toh?
Padahal
tahun lalu di 2016, saya sih sudah kenal. Saya menulis cukup panjang lebar juga.
Ada kok di website saya ini. Ya sudah
lama bro, udah lupa keleussss. Yoih, tak mengapa sih.
Biasalah itu.....
Nah
di hari kedua itu, saya memang mengetahui kasus yang ramai diperbincangkan
menyangkut bentroknya jadwal main Afgan dan Sarah Brightman. Yang berujung
dengan distop mainnya Afgan tersebut.
Kalau
hari kedua molor sampai 2 jam-an, seperti yang dialami Afgan itu kan? Di hari
ketiga, saya terus terang memilih tak datang. Jauh aaaah bro dari Jogja, panas
juga... Hihihi. Tapi saya toh dapat
berita, ada curhat dari teman-teman musisi yang main di hari ketiga itu.
Molornya jadwal bahkan hingga 3 jam!
ADA Band |
The Groove |
Kenapa
sih ya bisa molor? Hari pertama itu molor sedikit lebih dari setengah jam di
awal. Kemudian makin malam, molornya lebih, ya bertambah. Karena, beberapa performers “terlalu asyik”nya tampil
sehingga lewat 5 menit kemudian 10 menit, lalu juga 15 menit lebih dari ketentuan
rundown.
Di
hari pertama, ada juga performer yang
diminta selesai dalam 10 menit lagi. Lalu penyanyinya berkata kepada para
penonton, masak saya tinggal sepuluh menit lagi? Padahal saya siapkan banyak lagu-lagu
khusus untuk penonton saya di sini malam ini lho... Gimana, kalau saya tambah
sekitar 30 menit lagi? Penonton sukacita dong!
Tapi
jadwal kan dadi molor. Piye iki, broh? Si penyanyi tampil, ya
lebih dari 30 menit yang dia sebutkan itu. So, kasus molornya jadwal bisa
karena juga talent nya. Ga terima
kalau hanya diberi porsi waktu hanya 30 menit, merasa tak cukup. Agak-agak
lupa, bahwa ini festival ya, banyak pengisi acara lain yang juga menunggu
giliran main setelah dia kan?
Sering
terjadi, ada yang bandel begitu, mengakibatkan penampil berikutnya terpaksalah
diminta untuk mengurangi durasi mainnya. Demi supaya waktu festival secara
keseluruhan, jangan jadi molor tak terkendali.
Jadwal
molor karena ulah talent juga bisa terjadi karena ketdak tegasan tim
penyelenggara, dalam hal ini show
atau festival director maupun stage mamagement. Kata seorang teman
musisi, yang tampil di hari ketiga, yang jadwal mainnya mundur 3 jam itu. Yang
bikin rundown aja ga bisa menghormati keputusan yang mereka bikin dan sebarluasin, gimana band yg lalu ga patuh
mau respect sih sama mereka?
Katon Bagaskara |
Andre Hehanusa |
Serunya,
band temen itu, main jelang magrib. Diminta main saja, terobos saja saat adzan
magrib. Ga papa kok. Band itu sangat keberatan, karena ini Indonesia. Ga boleh.
Mereka sempat “ditekan” untuk main saja, ga papa. Band tetap menolak keras! Yah
gitu deh, show dan stage teamnya sudah kelewat panik kayaknya.... Gawat juga!
Tapi
ya itulah yang terjadi. Saya memang kebetulan menonton langsung. Saya jadi bisa
bicara eh menulis begini, karena ada di sana. Lantas saya menuliskan ini, agar
menjadi masukan yang mudah-mudahan berharga bagi pihak penyelenggara Prambanan
Jazz Festival.
Semoga
di kesempatan tahun mendatang, bisa menjadi lebih baik lagi. Dan siapa tahu,
jadi bisa lebih jazz lagilah. Masukan atau kritik saya juga semoga bisa menjadi
masukkan buat penyelenggara festival jazz yang lain.
Kesimpulannya
apa? Ah simpulkan saja sendiri. Yang penting, usahakan hargai kaum jazz dengan
sebaik-baiknya. Kalau saja tak bisa, kenapa juga harus jazz? Jangan jauhkan
para kaum jazz kita justru dari panggung jazz....
Well,
Jazz as Always..... Meaning? /*
NAIF |
2 comments:
Halo Mas Dion, apa kabar?
Nah ini, saya belum pernah nonton Prambanan Jazz. Buat saya mah agak mahal tiketnya. Masih ada beberapa festival jazz yang gratis seputaran Jawa Tengah. Sebut saja Loenpia Jazz, Solo Jazz (saya belum sempat hadir) dan juga Ngayogjazz. Jadi kalo gratis, kan saya fokus ke akomodasi perjalanan saja dari Sukabumi.
Festival jazz yg kian nge-pop...ah ada saya temukan di Bandung. Gak gratis, tiketnya kian mahal, di satu kampus. Masa coba pernah penampil utamanya, disebut mistery guest, gak tahu dari awal, tahunya yg nongol...ya ampun Slank...hehehe
Kalo festival jazz yg tepat waktu, cuma saya temui di Locafore Jazz Festival di Kota Baru Parahyangan, Bandung. Tahun lalu digelar, tahun ini katanya gak digelar. Ah sayang sekali...
Oh ada pengalaman juga di JGTC tahun lalu. Waktu tampil Djanger Bali yg diintrepretasi ulang oleh Sri Hanuraga dkk, koq banyak amat yg nonton. Saya pikir, wah anak2 muda ini pada kenal jazz aka Djanger Bali. Eh tahunya, mereka datang awal ke sekitar panggung karena next performer adalah Barasuara...hehehe. Saya malah merasa terganggu, karena selama Sri Hanuraga perform, mereka berisik banget...
Begitulah pengalaman saya menonton bbrp festival jazz.
Jadi festival jazz yg benar2 jazz yg mana ya?
Salam dari saya di Sukabumi.
sisihidupku.wordpress.com
Aaaahhh...Maaf, maa banget. Baru saya lihat komenmu. Saya terus terang, jarang banget buka komen2 disini.
Well, trims untuk komennya. Asyik dan seru. "Enerji" kita ternyata sama.
Kapan2 kita harus dan kudu, nonton jazz bareng!
Oh ya, jazz estival yang "lebih ngejazz" (kalo ga mau dibilang, "paling jazz") adalah UBUD VILLAGE JAZZ FESTIVAL, setiap Agustus Minggu kedua tuh. Berbayar sih, tapi asli, suasananya....jazz banget!
Salam Musik (JAZZ) INDONESIA!
Post a Comment