Kira-kira
kelas 4 Sekolah Dasar, aku mulai diajari main flute. Ayahku kan memang pemain flute dan saksofon. Jadi ayahku
sendiri yang mengajari aku. Cuma karena tanganku dulu itu dilihat ayah, belum
sampai untuk sempurna pegang flute, maka diajari dulu dengan piccolo.
Setelah
dua tahun kemudian,barulah ayahku mengajari aku memainkan flute. Dan ya memang
aku suka dan kepengen. Karena setiap hari mendengarkan suara flute dan saksofon
kan di rumah, jadi akrab dan lama-lama jadi suka.
Sederhana
sih cara mengajarkan ayahnya kepadanya, kenangnya. Yang penting cara meniup
dulu yang benar. Itu aja yang utama. Kalau sudah bunyinya benar, kemudian ia
diajari tangga nada dan tehnik dasar bermainnya.
Terus
deh, makin meningkat lagi,lanjutnya.Iapun diajari membaca not balok dan not
angka. Ini pelajaran yang juga harus diikutinya serius ya. Lantas dari situ, ia
didengarkan lagu-lagu keroncong, lalu memainkannya. Sehabis keroncong, beberapa
waktu kemudian, ia dicekoki lagu-lagunya Dave Valentine!
“Nah
saat dikenalkan atau dicekoki lagu-lagu Dave Valentine itulah,aku mulai
pelan-pelan menyukai musik jazz. Kalau belajar lebih serius, itu sejak aku SMP
sih. Karena masa itu, aku dipersiapkan untuk bisa masuk Sekolah Menengah Musik
di Jogja,”ceritanya.
Saat
ia masuk SMM di kota gudeg itu, ia baru mulai memegang saksofon. Iapun jadi
suka, dan belajar dengan serius. Sejak itu,ia mulai mencoba main di kafe atau
restoran di Jogja. Itulah, awal karir musiknya secara profesional.
Dia
mengaku, hanya belajar benar-benar main alat musik itu ya flute lalu
saksofon.Karena hanya ada dua alat musik itu saja di rumahnya. Ia belajar iseng
bermain gitar, hanya dari pergaulan dengan teman-teman sebayanya. Itupun ya
tarafnya hanyalah sekedar bisa “genjrang-genjreng” begitu saja.
Ia
lalu “buka kartu”, di masa kecilnya sebenarnya cita-citanya bukanlah menjadi
musisi lho.Ia malah punya cita-cita jadi...pemain sepakbola! Tiap hari ia
bermain bola. Sampai sempat masukklub, namaklub sepakbolanya adalah Mars. Itu
waktu di Solo ya.
Iapun
bahkan sempat pula diundang untuk mengikuti audisi sebagai pemain muda untuk
klub profesional di Solo. Klub itu, salah satu klub sepakbola kesohor jaman
Galatamanya PSSI, yaitu Arseto.
Tapi
ayahnya ternyata diam-diam mengamatinya. Ayahnya lantas mengatakan, ia lihat
anaknya itu tak akan berkembang sebagai pemain sepakbola. Ayahnya menyarankan
menjadi musisi saja. Ya mulai diajari main musik itu.
Memang
diarahkan menjadi musisi sih sejak muda dulu, oleh ayahnya itu. Karena itulah,
iapun masuk SMM di Jogja.Setelah lulus dari SMM, ia melanjutkan studinya di
Institut Seni Indonesia, masih di Jogjakarta.
Oh
iya, itulah cerita Dony Koeswinarno
kepada saya. Dony adalah pemain flute dan saksofon generasi yang bisa dibilang,
masih relatif muda. Generasi pemain tiup, yang saat ini sering beredar namanya,
membantu banyak grup band, artis penyanyi. Baik untk rekaman maupun manggung.
Suami
dari Mutiara Sukardi ini, kelahiran Surakarta, 26 Maret 1976. Ia adalah ayah
dari Philomena Zinobia Koeswinarno dan Eleftherios Amadei Koeswinarno. Ia juga
dikenal sebagai leader, sekaligus
memang pendiri dari sebuah bigband, Pitoelas
namanya.
Dony
bercerita soal kuliahnya. Memang sempat tersendat-sendat jadinya. Karena saat
itu, ia sudah kerap wara-wiri Jogja-Jakarta. Ia telah makin sering memperoleh
kesempatan main, dan sebagian besar di Jakarta.
Tak
heran, ia harus berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Dari masuk 1995 di ISI
Jogjakarta itu, dengan terus terang ia mengaku, baru bisa lulus beneran program
sarjana musiknya pada...tahun 2005! Begitu lulus, beberapa tahun setelah itu,
ia memutuskan meninggalkan Jogja dan Solo,untuk menetap di ibukota Jakarta.
Dony
berkata, “Yang lantas membuat aku bisa musisi sepertisekarang, karena memang
pendidikan dari ayahku. Itu kan jelas, dikenalin, belajar dasar lalu masuk
sekolah menengah musik. Lalu melanjutkan kuliah juga di musik. Tapi yang ga
kalah penting sih, juga peran teman-teman musisi yang pernah bermain
bersamaku.”
Lalu
lanjutnya, “Dari teman-teman itu, ya dari pergaulan dengan sesama musisi itu,
aku merasa bisa terbentuk dengan baik karirmusikku. Membuat aku menjadi lebih
baik lagi sebagai musisi. Peran teman-teman itu penting banget lho.”
Menurut
Dony, sulit banget untuk mengatakan berapa lama baiknya untuk belajar alat
tiup. Hingga sampai taraf bisa main musik dengan baik dan benar. “Semuanya
tergantung dari orangnya sih. Ada yang bisa cepet banget, tapi ada yang perlu
waktu lumayan lama. Ya harus sabar, ga ketahuan pasti dari awalnya ya. Itu
untuk semua alat musik, tak hanya alat tiup sih.”
Sebagai
pemain flute dan saksofon, ia memilih Dave Valentine, flutist sebagai musisi
yang diidolakannya. Lalu juga Charlie Parker untuk saksofon alto. Kemudian John
Coltrane dan Michael Brecker untuk saksofon tenor.
Ia
mengaku, memiliki semua rekaman yang pernah dihasilkan para musisi tiup yang
diidolakannya itu. Ya, iya memang belajar banyak juga dari mendengarkan
permainan para musisi legendaris itu. Mereka adalah sumber inspirasi utamanya,
sebagai pemain tiup.
Termasuk
saat menonton pertunjukkan musik. Apalagi menonton atau menikmati permainan
idolanya, musisi favoritnya. Kita bisa belajar banyak hal, paling penting itu attitude bila di atas panggung. Tak
hanya mempelajari skill atau
kemampuan musikalitasnya saja.
Maka
dari itu, ia juga membiasakan diri, bisa menonton pemain tiup yang akan tampil.
Terutama pemain flute dan saksofon yang jadi favoritnya, atau musisi yang sudah
dikenal luas. “Itu juga belajar lho,”ungkapnya.
Dia
ingat, pertama kali menonton sebuah konser musik. Saat itu di Jogja waktu masih
di SMM, kenangnya. Nonton konser sebuah grup jazz dari Belanda, yang dia lupa
namanya, di ISI. Dia terheran-heran, ya antara bingung dan heran sama deh. Kok
ya bisa mainnya kayak gitu. Ia bertanya-tanya dalam hati, gimana ya latihannya?
Perbincangan
kemudian berlanjut dengan, mungkin ga seseorang menjadi multi-instrumentalis
yang baik. Maksudnya menguasai sekaligus beberapa alat musik. Dony menjawab, oh
itu sudah banyak kok. “Berarti itu sih memungkinkan saja. Semuanya ditentukan
niat dan ketekunan untuk berlatih sih.”
Kalau
mengenai musisi yang memainkan saksofon atau flute dalam sebuah grup band,
menurut Dony ya menjadi bagian penting juga.Tak hanya sebagai solois saja ya.
Juga ikut mengiringi kan? Harus bisa menempatkan diri sebagai bagian dari grup
band itu sendiri.
Selama
ini, nama Dony, putra pertama dari 3 bersaudara dari pasangan Sunarto dan
Supardijah ini, juga sudah masuk sebagai
pendukung banyak orkestra. Ia menyebut, antara lain Twilite Orchestra, Erwin
Gutawa Orchestra, Dwiki Dharmawan Orchestra. Juga memperkuat Nusantara Chamber
Orchestra, Jakarta Symphony, JOC, Magenta Orchestra. Diajak juga oleh orkestra
yang dipimpin Dian HP, Widya Kristianti, Yovie Widianto dan lain-lainnya.
Kalau
untuk bigband, ia memang fokus pada Pitoelas, walau juga sempat membantu Sa
Unine Bigband. Walau Pitoelas terpaksa vakum cukup panjang saat ini, karena
kesibukan para pendukungnya juga. “Termasuk kesibukan saya sendiri sih, hihihi. Tapi saya kepengen Pitoelas bisa
jalan lagi,”ucapnya.
Untuk
bermain dalam sebuah bigband, menurut Dony, yang paling penting harus memahami
kita itu bermain secara ensemble.
Kesatuan, dan tidak boleh pengen menonjol sendirian. Jangan lantas ya paling kenceng sendiri bunyinya.
“Kalau
bermain bigband secara section tiup
begitu ya, penting banget menjaga balancing
suara. Dari situ kan timbul harmoni, jadi enak didengernya... Itu salah satu
hal mendasar yang perlu diperhatikan.”
Saat
ini, ia memiliki beberapa alat musik tiup. Ia punya flute,piccolo, alto flute,
saksofon tenor dan EWI (Electronic Wind Instrument, alat tiup
digital). “Wah belinya itu satu persatu, semua pakai keringat sendiri.
Berdarah-darahlah...Hehehe,lebay ya?
Iya aku beli sendiri, karena aku perlu kan”
Kenikmatan
yang mendekati sempurna sebagai musisi adalah, saat ia bisa bermain bersama
musisi yang dikaguminya. Juga termasuk, musisi yang sudah sempat didengarkan
album rekamannya. Senangnya tuh,katanya dengan tersenyum lebar. Serasa membuat
aliran darah tambah lancar ya, Don? Ia tertawa.
“Saya
kepengen bisa main dengan musisi idola, musisi yang bernama besar gitu. Tapi
sayangnya kan, sebagian besar musisi idola itu sudah tak ada lagi? Ya jadinya,
keinginan tinggallah keinginan saja.”
Akhirnya,
saat ini, “Dengan posisi dan statusku sebagai musisi yang begini, ya
selanjutnya kepengen untuk bisa menjadi musisi yang lebih baik lagi aja. Harus
menjadi lebih baik dong. Jadi tetap semangat,”ucapnya yakin.
Menjadi
sebuah lecutan motivasi yang memacu semangat terus ya, bro Dony? Ia menyetujui
segera. Ga boleh cepat puaslah sebagai musisi ya, nanti mandek? Ia tertawa dan
itu betul. “Bisa ga kepake lagi,
bahaya dong,”jawabnya.
Iya
memang juga mengagumi para pemain tiup Indonesia. Seperti Maryono, Udin Zach
dan Embong Rahardjo. Ia pernah
mengalami pengalaman bermain dengan almarhum Embong Rahardjo. Mas Embong itu
supel. Waktu itu, almarhum menjadi bintang tamu sebuah orkestra di satu acara
musik di televisi swasta.
Ia
mengenang, bahwa satu ketika almarhum mengatakan ia sebenarnya tak dapat lagi
bermain cepat. Tangannya sakit dan harus dioperasi. Setelah itu, almarhum
bermain deh. Dan semua musisi terdiam dan melihat permainannya saja, termasuk
Dony.
“Ya
mas Embong sakit memang saat itu. Tapi setelah selesai main itu, saya bilang
dalam hati, gimana kalau beliau itu ga sakit ya? Lagi sakit aja, ya cepat
begitu mainnya, gimana kalau nanti sudah sembuh?”
Saat
ini ia masih mengajar, sebagai dosen tamu di ISI. Ia memberi catatan khusus
soal mengajar di ISI, yang notabene almamaternya itu. Statusnya adalah TPLB
(Tenaga Pengajar Luar Biasa), khusus untuk jazz dan pop.
Tak
ada jadwal rutin yang mengikat,untuk mengajar. Tenaga seperti dirinya ada
beberapa, yang diperlukan karena masih terbilang minimnya tenaga pengajar musik
di ISI tersebut. Tapi dirinya senang dan bersemangat untuk mengupayakan waktu,
dapat berkunjung ke ISI. Mengajar itu, apalagi di kampus sendiri, menyenangkan,
begitu Dony bilang.
Selain
itu juga mengajar di Institut Musik Daya. Selain tetap menjadi player, untuk berbagai proyek musik.
Salah satunya, eh ga cuma satu sih ada dua sebenarnya. Salah dua?
Yang
saya ketahui, ia menjadi musisi tetap mendukung kelompok Kr. Tenggara yang dikomandoi Dian
HP dan Nya’ Ina Ubiet Raseuki.
Selain itu ia juga mendukung kelompok keroncong jazz, Musim Keroncong. Yang dimotori bassis Indro Hardjodikoro, dengan penyanyi keroncong dan penyanyi kontemporer
Solo, Sruti Respati.
Ia
baru saja membantu rekaman sebuah take
musik untuk scoring sebuah film.
Filmnya itu berjudul Marlina The Murderer, itu filmnya Mouldy Surya. Ia
membantu sisi musiknya, yang ditangani Zeke Khasali dan Yudhi Arfani.
“Saat
ini aku lagi mengumpulkan dan memilh lagu-lagu untuk rekamanku. Solo project ya. Album instrumental itu
musiknya pengennya keroncong. Lagu-lagunya nanti itu bisa dan memungkinkan
untuk dimainkan dengan keroncong ya, tapi dengan dasarnya tetap
jazz.,”ungkapnya.
Ia
menambahkan, itu menjadi salah satu cita-citanya sejak beberapa tahun lalu.
Membuat rekaman keroncong, walau bukan keroncong murni. Mungkin nanti, akan
mengajak juga 1 atau 2 penyanyi, untuk menjadi bintang tamu. Mudah-mudahan bisa
diselesaikan dalam waktu tak terlalu lama.
Ketika
ditanyakan, apakah anak-anakmu juga akan disiapkan menjadi musisi? Seperti
ayahmu menyiapkanmu sungguh-sungguh sebagai musisi, di masa sekolahmu kan? Dony
menjawab, kalau mereka memang berminat serius di musik, ia merasa
alhamdulillah.
“Saya
senang tentunya, dan pasti saya akan arahkan.Tapi kalau ternyata tak berminat
di musik, memilih bidang lain di luar musik, ya ga papa. Saya tetap dukung kok.
Intinya, saya tak akan memaksakan kehendak. Yang penting, anak-anakku harus
yakin dengan pilihannya dan bertanggung jawab.”
Putrinya
yang sulung, tambah Dony, sudah mulai belajar piano saat ini. Iapun
mendukungnya. Yang kecil, belum tapi kelihatan suka musik juga. “Tapi ya
gitulah, terserah mereka. Sebagai orang tua, pasti saya dan ibunya akan
mendukung mereka berdua terus.”
Don,
prospek menjadi musisi di hari ini, bagaimana menurutmu? Musisi profesional ya?
“Prospek cerah kok, kan di Indonesia kegiatan musiknya itu berlangsung terus
menerus. Banyak band, orkestra, acara-acara musik. Tinggal kembali ke diri
masing-masing saja, bagaimana kita tetap mengasah kemampuan.”
Ia
melanjutkan, jangan bosan berlatih. “Kita jangan mandek, ya nanti bisa lewat
dari pemain-pemain lainnya. Musisi yang junior atau belakangan muncul, makin
banyak dan bagus-bagus lho.”
Juga
penting, bagaimana bergaul luas. Jaga pertemanan antar musisi deh. Pengaruhnya
besar, kalau sikap dan perilaku kita baik di pergaulan. Kuncinya sih itu,
menurutku, skill harus diikuti sifat dan perilaku. Insha Allah bisa hidup
dengan baik dari musik kok. Dony menerangkan dengan serius.
Ia
menunjuk pada bermunculannya para musisi muda yang secara kwalitas okay banget, dengan jalur yang benar.
Maksudnya, pendidikan musiknya bagus dan baik. Hal tersebut menjadi bukti,
dunia musik tetap memiliki prospek cerah, sebagai sebuah mata pencaharian atau
profesi di masa sekarang.
Perlu
diketahui pula, dua adik kandung Dony juga musisi. Dan kini sudah beredar pula
namanya. Donna Koeswinarso dan Doddy Koeswinarto. Sementara itu, Ony Krisnerwino, pemain tiup
senior dan kerapkali menjadi concert-master beberapa orkestra itu,
adalah saudara sepupunya. Adik dari ibunya Dony, adalah bapaknya Ony.
Memang
ia tumbuh dari kalangan keluarga musisi. Besar kemungkinan, lingkungan keluarga
musisi tersebut, yang ikut membentuknya menjadi musisi dengan pencapaian tingkat
seperti saat ini yang telah ia capai.
Begitulah
obrolan dengan Dony Koeswinarno, di sela-sela kesibukannya bermain dimana-mana.
Sukses dan sehat selalu ya, Dony! Tiuuuupppp
terus masbro.../*
No comments:
Post a Comment