Thursday, December 22, 2016

DKSB, Apa Kabarnya?



DKSB gimana kabarnya, mas? Baik. Terus berkreasi dan terus eksplorasi. Sampai kapan bergerak terus? Sampai anak-anak bosen dan gw juga bosen.... Itu celotehan berdua, saya dengan sang “juragan” DKSB itu sendiri. Yup obrolan dengan mas Harry Roesli itu, saat sekitar 2004 lah. Beberapa bulan sebelum mas Harry tiada....
Pernah juga, di masa jauh sebelumnya lagi, ngobrolin tentang DKSB dengan almarhum. Tapi terus terang saya lupa. Kayaknya sih, sebagian saya jadikan tulisan juga, masuk di majalah saya. Cari-cari tu majalah, kagak ketemu juga. Ah, kumaha ieu....
Tapi yang jelas, saya dari dulu tertarik dengan keberadaan DKSB alias Depot Seni Kreasi Bandung. Kayaknya ini komunitas seni yang seru banget. Rada mbeling, sedikit ngaco tapi asoy. Terkesan ngawur gimana gitu tapi pasti dan jelas.
Itu mah persis sang leader sendiri. Terkesan bandel banget, sering ngaco, ngawur.  Hampura, saya pernah omong ini langsung juga ke almarhum. Doski hanya ketawa lebar. Bukan marah, tapi malah ajak hayoooo kita makan dulu. Padahal baru 2,5-3,5 jam sebelumnya kita makan bersama lho.... Hehehehe.
DKSB itu, dulu teh saya ingetnya dengan Bedug Jepun eh Bedug Jepang nya. Satu yang saya ingat, Bedug Jepang berdentum-dentum, lalu mas Harry tereak-tereak memanggil penonton, saat Jakjazz di Senayan, tahun 1996. Jazz banget tadi mas, kata saya waktu itu. Iya, jawab beliau, jazz untuk Ireng Maulana!



Hihihihi, saya ingatnya, sebelum Jakjazz itu, setahun sebelumnya ya. Harry Roesli menulis kritik cukup pedas terhadap Jakjazz. Dan karena itu, kata almarhum Ireng Maulana, kita ajak aja Harry Roesli ikutan main deh sekarang supaya Jakjazz ga dikiritik lagi!
Itu pertemuan pertama dengan Bedug Jepangnya DKSB. Kedua, ketika saya diundang menonton sebuah acara di kota Yogyakarta, yang dibikin sahabat baik saya, ini juga sekarang sudah almarhum, Wawan Djuanda. Kesannya mendalam memang, dengan perjumpaan di kedua pentas tersebut.
Ok balik ke DKSB sendiri. Kemarin itu, mereka menggelarlah proyek “rada mustahil”. Sebuah Reuni-an, relatif akbar karena baru pertama kali dibikin dan semua diundang. Sementara proses persiapan kurang dari 3 minggu! Sakti euy!
Saya diundang. Aduh, alhamdulillah, masih diinget. Hihihihi. Tapi sungguh, saya tak terbayangkan bahwa reunian bakal “selengkap” itu. Jadi ceritanya reunian terjadi, gegara “tantangan” dari salah satu tokoh penting DKSB, adik ipar Harry Roesli. Adalah Haviel Perdana, yang sekian lama bermukim di negeri Ratu Elizabeth, pulkam ceritanya.

Haviel kabarnya kerap pulang kampung sih, jadi ini bukan yang pertama. Tapi dia pengen, bisa bikin sesuatu deh di kali ini. Eits, pas juga dengan waktu meninggalnya Harry Roesli kan, 11 Desember. Dan begitulah, Layala dan Lahami, si kembar putra Harry Roesli dapat pe-er mulia.
Dibantu teman-teman lain, juga turun tangannya para senioren DKSB tentu saja, maka akhirnya rencana itu bisa terealisasikan dengan baik. Dibikin di Secapa AD, di daerah Hegarmanah.
Betewe, DKSB sendiri, berdiri kapan sih? Menurut Aat Soeratin, setelah acara kemarin sempat saya tanyain, DKSB itu berdiri 17Juli 1981. Saya sempat sampaikan ke kang Aat, agak aneh saya googling beberapa kali, ga ada tulisan yang menjelaskan kapan DKSB berdiri....
Sebelum dengan kang Aat, saya juga sempat tanyakan Geni Gunawan. Kang Geni, bersama Hendra “bolotit”, yang adalah adiknya sendiri, adalah formasi pertama dari Bedug Jepang. Penampilan mereka pertama ya setelah DKSB berdiri, yaitu setelah 1981 itu. Oh ya dulu itu, panggilan kang Geni juga mirip. Lantaran kan kakak beradik ya. Jadi Hendra bolotit, maka Geni disebut sebagai “bolotot”. Ah, aya-aya wae....
Seinget kang Geni, DKSB berdiri sebelum pementasan Musik Sikat Gigi di Gelora Saparua, Bandung. Hal itu diiyakan oleh kang Aat.  Yang lantas menambahkan, sebelum ada DKSB “komunitas” yang dipimpin Harry Roesli itu bernama The Gang of Harry Roesli. Yaaaa mengikuti dari nama kelompok mas Harry yang merilis album Philosophy Gank, yang didirikan tahun 1971.


Nama itu bisa dibilang resmi tak resmi. Karena kalau “induk”nya yaitu grup bandnya sendiri, sebenarnya sudah selesai riwayatnya pada sekitar 1975. Grup bandnya sendiri didirikan Harry bersama Indra Rivai, Albert Warnerin. Dimana debut album mereka diedarkan pada 1973 oleh Lion Records, Singapura.
Waktu itu, kelompok musik itu didukung pula oleh Hari Pochang (harmonika), Janto Soedjono (drums) dan Dadang Latief (gitar). Harry Roesli sendiri bermain perkusi, bass dan gitar. Indra sendiri, kibor, ia juga kibordis pendukung Bimbo. Albert Warnerin, tentu saja, gitaris.
Balik deui ka DKSB. Di tahun 1981 itulah, DKSB lantas didirikan oleh sekitar 200-an orang penggiat kesenian, baik itu penyanyi, musisi, penari, perupa, teaterawan, pembuat film, aktor dan aktris sampai sastrawan. Kelompok dibuat, dengan nama itu, supaya spektrum kreatifitasnya lebih lebar dan luas.
Agar tidak terlalu “milik” Harry Roesli sendiri, terang Aat lagi. Jadi, ya memang lantas menjadi milik kita semua, sangat demokratislah, hehehehe. Dan ide nama, DKSB itu, datangnya dari Aat Soeratin.
Kelompok itu sudah cukup lama berkumpul bareng, membuat macam-macam acara. Termasuk di antaranya Ken Arok, berbentuk Rock Opera itu. Ken Arok sendiri diadakan oleh Teater Ken Arok, dengan pergelaran pertama di Bandung. Dan yang kedua di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Geni Gunawan bercerita, ia sendiri masuk gabung dengan Harry Roesli di sekitar 1978. Dimana ia gabung dulu dengan paduan suara, Kharisma. Geni masuk karena diajak kang Imang, salah satu tokoh senior DKSB juga adanya.
Di 1981 an tersebut, Bedug Jepang dibuat dan dipentaskan. Personilnya ada 5 orang. Ada Eddi Wayang, Luki Podish dan Iwan ndut. Ketiganya kini sudah tiada. Jadi yang tersisa memang hanya kang Geni dan kang Hendra. Dan mereka berdualah yang memulai pementasan Bedug Jepang, pada Reuni DKSB kemarin itu.
Dan lantas dilanjutkan oleh kelompok penerus Bedug Jepang lain, hingga yang generasi sekarang, yang datang dari Rumah Musik Harry Roesli. Oh ya, RMHR tersebut memang menjadi “organisasi berbasis komunitas” lanjutan dari DKSB.



Menurut Layala Roesli, DKSB setelah bapaknya tiada memang jadi berhenti. Pihak keluarga lebih memilih untuk menjalankan RMHR, jadi memang kembali kepada almarhum sendiri. Jadi sekitar 2005, DKSB tidak ada lagi aktifitasnya.
Namun sejatinya, para anggota memang mulai sibuk sendiri-sendiri, dengan beragam aktifitas masing-masing. Walau kebanyakan dari mereka, tetap tak kehilangan kontak satu sama lain. Malah ada yang sempat berjalan bareng, misal membuat acara.
Pada perjalanan kemudian juga, satu demi satu anggota DKSB sudah pergi. Maka terpikirlah memang, kenapa tidak berkumpul kembali yang masih ada. Mumpung jumlahnya juga bisa dibilang masih lumayan banyak.
Begitu deh ceritenye eh, ceritana. Merekalah yang lantas sepakat, riang gembira, kumpul lagi. Bertemu lagi. Berbuat sesuatu bareng. Bergotong royong. So, hil yang mustahal itupun akhirnya tidaklah “mustahil”. Tidak pula mustajab. Mustajab? Eala, itu  teh saha?
Mustajab itu, hehehehe, mungkin Jujun. Jujun itu kemarin muncul ngabodor sorangan wae. Aslik, bodor pisan. Bikin gerrr lah. Sekilas Jujun ini macam Mr. Bean. Memangnya namanya, Jujun Mustajab? Maaf banget, saya lupa mencoba meminta KTP nya, untuk melihat nama aslinya....
Jujun, bukan mantan DKSB, itu keterangan Aat lagi. Dia seniman Longser sebenarnya. Kang Jujun memang bersimpati sejak lama dengan DKSB. Kemarin itu, ada juga Ega Robot, yang tidak pernah gabung dengan DKSB sebelumnya.
Ega Robot adalah seniman ethnic-contemporer yang mana kelompoknya adalah grup seniman tradisi, dengan gamelan. Kalau Jujun ber-standup comedy. Maka Ega Robot membawakan, ‘Walking the Dog’, tentu saja dengan gamelan.
Lagu itu dari album Tiga Bendera, yang dirilis tahun 1980. Dan lagu itu, oleh Ega Robot  di-mix dengan Magdalena. Menunjukkan bagaimana Harry Roesli dan DKSB menjadi sumber inspirasi mereka yang terpenting, dalam hal eksplorasi musiknya.
Pada pementasannya sendiri, di Sabtu malam itu, konser dibuka lagu ‘Bawalah Aku Pulang’. Memutarkan kembali suara langsung almarhum Harry Roesli. Sayangnya, saya ga sempat nonton, karena baruuuu saja sampai di gedung Secapa itu, lagi jalan ke dalam gedung dari parkiran.
Lagu kedua, ‘Bidadari – Tunggul Ametung’, dibawakan oleh Uchy Amyrtha KSP, bersama para penari dan pemeran Tunggul Ametung. Setelah itu tampil kang Imang menjadi bapak guru, dalam lagu, ‘Ratu Dunia’.
Aduh, 2 mata acara inipun lewat lagi euy. Karena saya masih harus mengurus registrasi, kudu dicari dulu nama saya, ga ada pula! Cari deui, cari deiu. Eh baru kelihatan deh. Harus pelan-pelan dicarinya. Dapat kaos cantik, eh maksudnya keren. Tuisan dksb di belakang dan indonesia – aku cinta kau di depannya beserta merah putih!



Nah saya baru bisa menonton dengan baik, sambil memotret tentunya ya, saat Renny Djayusman naik panggung. Renny adalah sahabat lama almarhum, mereka berdua saling hormat-menghormati, saling mendukung. Renny pula, ini seingat saya, yang membuat saya jadi mengenal dekat almarhum. Pada waktu sekitar pertengahan 1980-an, kira-kira.
Nama lain, yang saya tak akan lupa juga, yang lantas mendekatkan saya dengan almarhum adalah almarhum sahabat baik saya, Remy Soetansyah. Remy juga bisa dibilang, salah satu wartawan musik yang sangat dekat dengan Harry Roesli.
Renny membawakan ‘Tegar’. Dengan diiringi “pasukan musik pengawal tetapnya”, dari komunitas Indonesia Kita. Ada Estu Pradhana (kibor), Rival Himran (bass), Joel Vai (gitar), Rama Moektio (drums) dan backing vocalnya adalah Riffy Putri.
Setelah Tegar dibawakan Renny Djayusman, disusul berikutnya oleh lagu ‘Dunia’. Ini dibawakan oleh grup musik DKSB, yang bisa disebut angkatan terawal. Menampilkan sebagian besar original-members nya, yang lumayan lama tak lagi bermusik sebenarnya. Seperti antara lain ya sebut saja Eddy Mehong dan Ario Wibisono. Ario mencoba mengingat pertama kali ia gabung dalam DKSB.





Seingatnya, ia masuk sebelum Musik Sikat Gigi. Jadi, ia langsung tampil dalam pementasan itu. Setelah itu, iapun ikut mendukung rekaman album Harry Roesli-DKSB Band. Album itu dirilis oleh label Prosound, mulai edar tahun 1984.
Disebutkan, bahwa Ario termasuk salah satu musisi untuk kibor pertama di DKSB, dalam grup musiknya. Maksudnya dalam era setelah DKSB resmi berdiri. Nah kemarin itu, Ario selain dengan Mehong juga bersama Haviel sendiri. Selain itu ada Biak, Rully, Ivan Deva, Nasrul, Pras, Beben dan juga, Acan Rachmat.
Setelah itu, barulah barisan tiga generasi bedug jepang. Dimana generasi 90-an diwakili oleh Brew, Saswi, Omes, Rahwa, Ucup, Budi Dalton, Rubi Roesli, Daru, Reza Jengkol dan Ammy. Berikutnya adalah generasi “baru-an” yang dari RMHR itulah, langsung dipimpin Yala dan Hami Roesli.
Oh ya, pada kesempatan itu ada tampil Erick Yusuf, dulu dikenal sebagai bassis. Kini ia lebih dikenal sebagai seorang ustadz lho. Ia ternyata dapat menyempatkan diri, untuk bisa ikut memeriahkan acara. Ya bermain bass, juga kibor!
Pada perjalanan lalu, ada nama Yuke Sumeru pula sebetulnya. Menurut Geni, kalau tak salah Yuke bergabung dengan DKSB bersamaan dengan waktu Geni bergabung. Yuke juga bassis. Dan uniknya, sama seperti Erick Yusuf, Yuke pun kini lebih dikenal sebagai soerang ustadz. Menarik kan, kini ada 2 ustadz di jajaran alumnus DKSB.



Sayangnya, hanya ada Erick Yusuf yang tampil. Yuke Sumeru, kesulitan mencari waktu luangnya, di tengah padatnya jadwalnya untuk menghadiri dan memimpin berbagai pengajian. Saat ada Yuke dulu, tercatat juga ada gitaris, Donny Suhendra. Saat itu mereka dikenal lewat kelompok BOM, Batalyon of Musicians. Bersama kibordis kawakan, Bambang Nugroho dan drummer, Lambertus
Penampilan berikutnya ada bintang tamu, “generasi kemudian”, ini betul-betul memang “bintang tamu”. Misalnya Dira Sugandi, yang membawakan ‘Sejuk dan Teduh’. Selain itu ada Netta Kusumah Dewi, yang kebagian menyanyikan lagu, ‘Sekuntum Kembang’ dengan gaya genit dan menggoda. Gimana ga menggoda, ditemani barisan “WTS, Waria sampai Om senang dan Hansip” segala! 
Netta juga menyanyikan lagu, ‘Manusia Baru’, sebagai lagu pengunci acara. Lagu itu dibawakan, setelah pemutaran lagu ‘Jangan Menangis Indonesia’ yang epic dan fenomenal itu, dengan menampilkan suara asli almarhum Harry Roesli. Selama lagu diputar, pada giant screen ditampilkan berbagai wajah Harry Roesli dalam berbagai acara.
Selain lagu-lagu itu, masih ada lagu lain, seperti ‘Malaria’ yang dibawakan oleh Hari Pochang, Harry Tantan dan Imang. 57Kustik tampil pula,membawakan ‘Orang Basah’. Selain lagu ‘Sekar Jepun’dan ‘3 Bendera’ yang dibawakan oleh DKSB Band, DKSB Bigband serta DKSB Voices. Juga para anggota paduan suara Kharisma.




57Kustik sendiri adalah kelompok akustik potensial, semua dari anak jalanan. Sebagian memang "ditemukan" dan sempat merasakan pendidikan langsung dari almarhum sendiri. Sebuah kelompok yang rajin betul berlatih, dan telah tumbuh menjadi sebuah kelompok musik muda berbakat, dan menjanjikan! Mereka sudah tampil pada banyak acara dan festival, terutama jazz. Bahkan sampai negeri jiran, Malaisya.
Sayangnya, walau jam terbang sudah lumayan, toh sempat mengalami "sedikit kesulitan" dengan penyelenggara sebuah festival jazz di lingkungan kampus di ibukota. Panitya festival jazz, yang relatif besar di kampus terhormat itu, nampak kurang banyak membaca sih. 57Kustik disyaratkan untuk mengikuti audisi terlebih dahulu! Ahay. Akhirnya, mereka mengurungkan niatnya untuk bisa tampil di event, yang suka disebut festival jazz pertama di sini itu.
Sempat muncul pula Yudhistira AN Massardi, membawakan puisi berjudul, ‘Kania’. Bercerita tentang Kania Perdani Handiman, yang adalah istri dari almarhum. Dan memang jadinya, sebuah pementasan lumayan lengkap, sebagai bentuk semacam retrospeksi perjalanan karya-karya almarhum Harry Roesli, sepanjang hayatnya.
Ikut tampil juga, perupa kawakan, Tisna Sanjaya yang melukis dalam salah satu segmen. Selain itu ada Herry Dim. Dan pelukis pasir, Fauzan.





Harry Roesli adalah seniman sejati Bandung, yang telah menjadi tokoh seniman skala nasional. Berbagai karya-karyanya, yang memang sebagian besar berorientasi lebih pada idealismenya, bersuasana eksperimentasi. Ia memang banyak menyusupkan cerita, dalam pelbagai karyanya. Baik karya teater, lagu, pementasan-pementasannya.
Ia dianggap juga seniman yang kritis, dan sangat rajin mengkritik pemerintah. Seringkali, lirik lagunya, dapat membuat merah kuping para pejabat era orde baru. Merah lantas, agak gatal gimana gitu yaaaa....
Tapi begitulah seorang Harry pada jamannya. Ia mengkritik, seolah bersebrangan dengan pemerintah. Tetapi satu hal yang perlu diingat, itu semua dilandasi akan kecintaannya yang luar biasa terhadap tanah airnya. Itu yang membuatnya mengkritik, ada yang relatif keras. Bukan hanya “mencolek”, mungkin juga “menyubit” pemerintah.
Boleh mengkritik, tapi ia tak mencaci. Apalagi membenci luar biasa pemerintah yang berkuasa saat itu. Hal demikianlah yang tentu saja, kita bisa lihat perbedaannya, dengan apa yang terjadi saat ini. Kritik sudah berubah menjadi ejekan sampai cacimaki. Bahkan kian berkembang menjadi hasutan atau provokasi untuk membenci pemerintah.
Lebih ekstrim lagi, bahkan seolah mendorong untuk pergerakan menggulingkan pemerintahan yang sah. Oho. Kritik ala Harry, dilakukan penuh canda sebetulnya, santai. Tapi memang kreatif dan...., sebut saja ya, bermutu.




Hari ini, di jaman sekarang ini, dalam ranah sosial media kita tentunya melihat perbedaan yang sangat jauh berbeda. Seorang Harry Roesli, pada masanya itu, memang belum mengenal “kegaduhan” wilayah sosial media seperti sekarang. Teriak dan cacimaki di twitter dan facebook misalnya. Menggalang puluhan ribu sampai ratusan ribu followers untuk menebarkan kebencian, secara terus menerus. Secara masif dan terstruktur? Ngeriiii ah!
Pendeknya memang jadinya miris, Harry melempar kritik. Tapi lihat apa yang telah diberikannya kepada bangsa dan negara ini? Hiburan, gaya bertutur lewat musik dan lagunya terasa segar, bikin orang mungkin tersenyum walau kecut. Tapi tidak mengajak orang membenci kelewat batas. Dan karya-karya lagunya, saat ini adalah aset bangsa, lebih dari sekedar aset keluarga saja.
Kembali sedikit belok deh ya, permisiiii, dengan suasana gaduh dan panas saat ini. Mencaci dan mengejek pemerintah, menebarkan kebencian yang mendalam, tapi apa sih yang sudah mereka berikan terhadap bangsa dan negaranya ini? Kecintaan dan kebanggaan?
Teristimewa, hal sosial lain yang harus tetap tercatat. Bagaimana Harry Roesli begitu peduli terhadap anak-anak jalanan. Para pengamen cilik, diantaranya. Anak-anak yang seperti tertinggal, tersingkir. Terasing dari duniaya, dan bahkan tak punya tempat tinggal dan tak lagi mengenal orang tuanya!
Ada berapa banyak anak-anak jalanan telah “diselamatkan”nya? Ribuan jumlahnya. Ia peduli dan ia mengasihi, mencurahkan sebagian waktu dan enerjinya untuk mereka. Karena mereka juga generasi penerus bangsa!
Dan itu dicatat dengan baik lho. Bahwa Harry Roesli yang bengal, tapi sekaligus juga menjadi ayah atau abah dari para pengamen jalanan anak-anak di Bandung. Bukan untuk mencetak mereka jadi "sama bengal"nya. Tapi Harry, berupaya,memanusiakan mereka....



Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli, begitu nama lengkap Harry Roesli, biar bagaimanapun menunjukkan ia tetap sangat mencintai tanah airnya. Dan betapa ia bangga atas ke-Indonesia-annya itu.
Ah sudahlah, nanti malah terlalu jauh berbeloknya. Bisa menghabiskan bahan bakar sih. Dan lantas, bagaimana selanjutnya? Apakah pementasan seperti kemarin, dapat dilangsungkan lagi? Misalnya, dibawa ke Jakarta?
Saya pikir, adalah baik pementasan bernas dan cerdas begitu, dapat diteruskan. Dikelola dan dipersiapkan dengan lebih baik lagi. Tanpa canggung dan ragu, yang mau tak mau, membuka diri untuk bungkusan lebih modern.
Karena, karya-karya almarhum Harry Roesli, hendaknyalah menarik dan dapat diterima dengan penuh pemahaman yang baik dan benar, oleh generasi muda. Generasi masa kini. Agar senantiasa lestari dan bertumbuh dan “menghidupi” setiap jaman, setiap generasi.
Mencerdaskan kok. Tak bertendensi menebar benci, yang membodohi. Apalagi karya-karya almarhum Harry Roesli memang sedemikian luas dalam hal tema, selain visi dan misinya. Tak melulu politik semata lho. Termasuk sosial, kebangsaan, cinta tanah air hingga relijius.
Ga semua badung, nakal, usil dan mengkritik. Tapi ada tema yang segar, membuat kita seperti berkaca, melihat diri kita sendiri, sampai jangan melupakan sang khalik, pemilik kehidupan dan semesta raya nan agung ini.
Pendeknya, karya memang teramat lengkap sebetulnya. Sampai jenis musiknyapun beragam, mengandung pelbagai elemen-elemen musik, dari pop, blues, rock, world music, tradisi, progressive rock dan lainnya.
Mas Harry Roesli, apakah mas Harry sempat menonton dari atas sana, kemarin? Spritmu terus hidup, menjadi modal dasar utama pergelaran itu. Ah, pasti tahu ya? Bisa dong ngerasainnya? Dan ternyata, anak-anakmu di sini ini, setelah mas Harry pergi, tetap mengingat dan menjaga dengan baik pesanmu.... Jangan matikan lampu di meja kerja saya./*













2 comments:

Atas Angin said...

drummer pas lagu "zaman" iti siapa ya?
tx

Gideon Momongan said...

Nanti ya, saya coba recheck ke teman-teman DKSB. Trims