Eksotika
kawasan candi Hindu terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara itu, kembali
menjadi arena sebuah festival jazz. Jadi, dalam setahun saja, ada 2 buah
festival jazz digelar di areal candi yang awalnya diberi nama Siwagrha, dan
dibangun pada abad ke 9 itu.
Kali
ini pengelola kawasan candi itu sendiri, Taman
Wisata Candi Prambanan, Borobudur dan Ratu Boko (TWC), yang menjadi penyelenggara. Dengan mempercayakan kepada NLProduction, dari Jakarta, sebagai event organizer pelaksana festival
tersebut.
Acara
digelar hampir sehari penuh, pada sepanjang Minggu, 23 Oktober 2016. Mulai
sekitar jam 11.00 siang. Dimana hampir 30-an band partisipan, yang ditampilkan
lewat 3 buah panggung yang disediakan. Salah satunya adalah, panggung utama
untuk kategori special show.
Acara
ini pada awalnya hendak digelar pada bulan Juli 2016. Namun dimundurkan
jadwalnya, demi kesiapan lebih maksimal. Mungkin juga, “terpaksa” mengalah karena
ada festival jazz serupa, yang juga mengambil tempat di areal sama, pada
Agustus kemarin itu.
Saat
itu, festival yang ini direncanakan digelar dalam 2 hari. Dan ketika akhirnya
diadakan pada Oktober, jadinya sehari penuh saja. Dan, agak repot juga, ada
kesan para talent yang diundang pada
Juli itu, yang harusnya digelar 2 hari, sebagian besar tetap diundang lagi. Tak
heran, sampai sebanyak itu jumlahnya...
Sebetulnya,
Prambanan Heritage Jazz Festival 2016
ini menjadi salah satu festival jazz besar, dengan aware dengan jazz yang “baik dan benar”. Maka dapat ditemui
nama-nama jazzer ”beneran” yang memenuhi line-up
pengisi acara. Di sisi itu, jelas positif banget dong.
Menjadi
acara pesta jazz yang “sesungguhnya”. Konsep sudah benar, persiapan juga
relatif baik. Nah, tinggal eksekusinya bagaimana? Pelaksanaannya, terkait
dengan banyak hal lain. Promosi misalnya. Pengaturan jadwal main. Service pada
seluruh talent yang diundang.
Karena
itulah, saya selalu mengatakan,memangnya gampang membuat sebuah festival,
apalagi festival jazz! Banyak sekali orang pastinya, bisa membuat konsep
festival, termasuk musik jazz, yang baik. Juga pasti banyak yang bisa
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Konsep lantas eksekusi.
Eits
tunggu sob. Antara konsep ditulis, lalu eksekusi di Hari-H. Di antara itulah
ada organizing festival tersebut.
Sisi ini yang memerlukan kecermatan dan perhitungan lebih nih. Saya hanya ambil
contoh kecil, talent lebih dari 20 performers.
Band, ada juga bahkan big band
segala. Untuk urusan makan dan minumnya saja, sudah butuh biaya yang tak
sedikit. Tak mungkin dong, para artis dan musisi mendapat menu makanan, “kelas”
nya warteg misalnya. Maaf, bukan mengecilkan arti warteg lho.Ini soal service dan kepantasan gitulah.
So,
secara tampilan konsep, festival ini terkesan memang “memperhatikan” jazz
dengan sebaik-baiknya. Cuma pada eksekusinya, dengan talent sebanyak itu, perlu
kejelian dan hati-hati banget, tentunya. Apalagi persoalannya kan, talent atawa
performer bejibun, tapi waktu
terhitung terbatas. Sehari doang kan?
Alhasil,
ini problemo serius nih dadine. Ketiga stage, dibunyikan bersamaan.
Susah deh untuk bisa diatur jam mainnya. Mau tak mau, ya susah dielakkan bahwa
suara bertabrakan. Kan mainnya di jam sama. Beda stage memang, jarak lumayan,
antara tiap stage.
Tetapi
“hanya” lumayan saja. Belum bisa menghindari adanya sound panggung-panggung itu saling mengganggu satu sama lain.
Penonton bingung.Apalagi para musisi yang tampil!
Kejadian
serupa, pernah terjadi di sebuah festival jazz lain di tahun silam. Talents
menjadi gusar dan resah deh. Complain
tentu saja. Kenikmatan dan keasyikan mereka untuk tampil, terganggu betul. Tapi,
ah apa mau dikata? The Show must Go On,
and on, and on....
Lantas
problem lain. Soal jumlah penonton. Magnet acara, sudah lumayan harusnya.
Deretan performersnya itu lho, kan
juga terselip nama-nama yang relatif dikenal publik. Tapi harga tiket gimana?
Kenapa dibikinnya bukan di pas weekend,
hari Sabtu lah gitu? Kalau hari Minggu gitu, besoknya kan orang-orang harus
sekolah, kuliah dan kerja?
Persoalan
itu juga harus diteliti lagi, tapi gimana dengan publikasi acara tersebut?
Sejauh mana usaha penyelenggara,dalam menyebarluaskan berita akan acara
tersebut kan?
Bikin
festival jazz, memang sih....susah susah gampanglah. Harusnya mudah ya? Ya ga
juga sih. Yang penting, memahami detil mengenai bagaimana mengemasnya dengan
baik. Memperhitungkan cermat segala sesuatunya. Perlu jam terbang dong?
Jam
terbang yang benar. Pengalaman yang benar lho. Bukan sekadar pengalaman hanya
sebatas cerita, itu juga cerita panjang lebar dari mulut sendiri. Perlu track records yang jelas sih. Dasar
utama sebenarnya, kehati-hatian.
Prambanan
Heritage Jazz Festival 2016 (PHJF) itu, secara konsep ya. Pada tampilan
terawal, unik dan terbilang berani! Ini festival jazz yang “mendekati”
penyajian jazz yang sebenarnya. Ah kalau sekadar ukuran, ada juga kok
festival-festival jazz lain yang ga kalah besarnya, bahkan mungkin sedikit
lebih besar. Tetapi, penyajiannya....gitcuuuu
deeeeh, cyiiiin. Saya lebih suka menyebutnya, festival ”ragu-ragu” jazz!
Nanti
deh, di bawah saya akan tuliskan deretan pengisi acaranya. Akan jelas terlihat,
oho seberapa “berani”nya mereka penyelenggara. Jazznya langsung terlasa,
apalagi kalau memang bener-bener penggemar jazz.
Beda
dg sebagian festival lain yang, ragu-ragu lah. Mau pasang jazz, tapi ga pede
juga bahwa jazz bisa “dijual”. Bikin gede-gedean, biar terkesan lebih keren dan
lebih wah. Tapi ga jazz-jazz amat. Maunya, menyebut diri jadi festival jazz
terbesar setelah Java Jazz Festival, tetapi kesan “ragu –ragu jazz”nya terasa
banget.
Emang
festival begitu ada? Festival yang mana? Ah sudahlah. Janganlah terlalu kepo begitu. Tak enak rasanya
menyebutkan nama festival-festival model begituan di sini. Tapi yang jelas, ya
ada sih. Menonjolkan kemegahan dan kewahannya, cuma ya ga yakin juga jazz bisa
dijual! Lha, kalau gitu, kenapa harus pakai nama jazz festival?
PHJF
ini selengkapnya menampilkan Dip Dappers,
B O M, Synergi Band, Regina
Poetiray (& bigband). Lalu ada Tony
Brillianto, Dona Koeswinarso, G Y F Trio, West Funk Rhythm, Accoustic
Fever, Imelda Rosalin Quartet.
Ada
juga Aboda, My Own Music, Totong
Wicaksono with Rien Djamain dan Kemala Ayu. Berikutnya, ada nama-nama lain
seperti Devian Zikri Band, Papua Original Band, Indro Hardjodikoro Band, Idang Rasjidi Quintet dan Rio Moreno Latin Jazz Combo.
Lainnya
ada J O C with horn section (Jeffrey Tahalele,
Oele Pattiselano dan Cendi Luntungan). Selain itu, Manna featuring AS. Mates dan Ahmad Ananda. The Dauna’s Family, SimakDialog, Tohpati n Friends, Emerald-BEX,
Barry Likumahuwa Experiment.
Di
special show, ada Shadow Puppets
bersama Harvey Malaihollo. Kemudian Erwin Gutawa Bigband dengan Afghan, Monita Tahalea dan empat anak berbakat dari DARR (Di Atas Rata-Rata).
Festival ditutup penampilan Nita Aartsen
Quintet dengan Trie Utami, yang
mengundang naik saxophonis tamu dari Thailand segala.
Padat,
lengkap, cukup ngejazz sebenarnya kan? Tapi terlalu banyak? Ya, bisa iya tapi
bisa juga tidak. Terpenting adalah, belajarlah dari pengalaman ajalah. Tetap
saja, keberanian NL Production harus diberi apresiasi. Walau sayangnya, memang
punya kelemahan pada eksekusinya.
Lain
waktu semoga bisa mejadi lebih baik lagi. Ditunggu. Tetap semangats! Salam
Jazz! /*
No comments:
Post a Comment