Thursday, June 9, 2016

Ngeheknya Elda dan Adi! Nonton mereka pertama kali


Lagi pengen, menulis tentang apa ya baiknya? Ada banyak hal sih, yang bisa ditulis. Yang memang melintas di pikiran saya, pada saat ini. Tapi kayaknya menulis tentang grup musik ini, pada saat ini, ga ada salahnya....
Hebatnya gini. Saya mendengar mereka, menymak cerita tentang mereka. Membaca tentang mereka, sudah dari kapan ya, 4-5 tahun silam,mungkin? Lama kelamaan tertarik juga. At least, tergodalah ya, untuk melihat mereka langsung. Performance mereka, di panggung. Dan, tibalah kesempatan itu. Baru aje kemarin, bray.... Daaaaan, mereka emang Ngehek!

Yang cewek dulu, Elda. Dulu saya kenalnya sebagai Elda Yanuar. Denger kabar, nama itu, sudah ga dipakainya lagi. Disimpennya dalam laci almarinya, dikunci tu laci. Kuncinya dibuangnya di sungai Bengawan Solo. Eh apa di pantai Parangtritis, atau pantai Baron? Pokoknya, sudah dilupakanlah.
Elda Suryani, begitu nama yang tertera di paspornya, saya kenal baik pada sekitar 10-an tahun silam. Lamo nian? Iyo, nianlah. Ia saya kenal ketika ia ikut sebagai peserta, audisi eVo mencari vokalis. eVo itu nama band “baru”. Di setting-lah, ga punya vokalis, maka perlu cari vokalis. Mencarinya ini nih, lewat sebuah program televisi.
Saat itu, ada juga program sejenis, mencari vokalis grup rock di Amrik sono. Menyoal eVo, isinya para musisi dari beberapa grup yang “papan selancar eh papan atas” lah. Didit Saad (gitar,ex Plastik, waktu itu sudah sibuk sebagai produser dan juga bermain dalam Syaharani-Queenfireworks), Adnil Faisal (gitar, ex Base Jam. Setelah itu jadi produser dan session player). Drummernya ada Ronald Fristianto (ex GIGI, ikutan juga di Magenta dan jadi session player).
Sebagai bassis adalah bassis sekaligus penulis lagu dan ex Dewa (19), Erwin Prasetya. Sementara itu pada kibor, sekaligus sound-production dimana ia juga sebenarnya gitaris juga, Angga Tarmizi. Angga ini “pemain cabutan”, langsung diterbangkan dari Boston, Massachusetts. Ia lagi selesai studi di Berklee College of Music, sedang aktif berkarir musik di sana, lalu dipanggil pulang untuk ikut eVo ini.
Ok, program itu adalah ide dari Dhani Pette dengan Pos Entertainment-nya. Dan sebagai program televisi, ditayangkan dengan nama Reinkarnasi, di stasiun Indosiar. Nah Elda, masuk 10 besar tuh, ia memenangkan audisi di kota Yogyakarta.
Singkat cerita, Elda terpilih. Tidak absolut waktu itu. Tapi sedari awal, kalau saya sendiri melihat, anak mungil ini suara ga begitu bagus-bagus amat. Tapi unik pada penampilannya. Dan kalau dicermati vokalnya, dia punya warna tersendiri. Jarang kayaknya penyanyi cewek dengan timbre suara seperti dia.
Pe-er sebenarnya sih buat kelima eVo. Karena warna vokal nan spesifiknya Elda itu. Tapi itu tantangan yang menarik buat Didit Saad dan kawan-kawan. Bagaimana menulis lagu yang bisa pas dibawain Elda dengan karakter vokal khasnya.
Ya itu sekelumitlah cerita awal perkenalan saya dengan Elda mungil nan unik itu. Etapi, ngemeng-ngemeng, saya memangnya ada di eVo juga? Oh, saya di eVo? Bantu-bantu ajalah.... U know what I mean....

Ok then, lalu tetiba ada Stars and Rabbit. Saya dapat info grup itu, sebagai duo akustik, dari sahabat bak saya. Riva Pratama namanya. Riva ini, kenal Elda sama juga. Waktu jamannya eVo. Riva ikut juga di tim-nya eVo. So, jadi begitulah korelasinya. Saya, Elda dan Riva Pratama. Jadi begitulah, Riva seneng ngabarin soal Stars and Rabbit.
Konsepnya memang duo. Elda Suryani dengan Adi Widodo. Adi bermain gitar. Belakangan format duo begitu, lagi bermunculan satu demi satu. Sebut saja, ada Endah N Rhesa, eh tapi Endah itu ngegitar dan vokalis dan Rhesa, main bass sih.
Ada siapa lagi? Bubugiri. Belakangan juga  AriReda. Ya sebut lainnya deh, yang lainnya yang saya mungkin lupa. Tapi Stars and Rabbit ini, bisa saya bilang, well...slowly but sure.
Iya duet ini, ga langsung melejit tinggi ke atas. Kalau terlalu mendadak melejit tinggi, suka-suka susah turun, hilang ditelan langit! Atau sebaliknya, tetiba melejit ke atas, abis power-nya, turunnya deras betul ke bawah. Menukik tajam. And, selesai!

Saya memang niatnya berkisah saja tentang Stars and Rabbit, yang saya ketahui. Ya, terus terang saja, jujur nih, saya aja baru sekali melihat penampilan panggung mereka. Eh nyaris 2 kali sebetulnya. Cuma yang pertamakali itu, baru nyaris aja. Pas dateng, telat euy. Saya sampai di venue, di acara yang mereka tampil, pas banget mereka baru selesai.
Saya memang lantas saja penasaran dengan penampilan mereka. Sebelum ini, saya melihat, atau menonton mereka, lewat youtube saja. Godaannya kuat betul. Saya melihat, edan nih Elda, udah kayak begitu aja?
Menurut teman baik saya, Adnil Faisal. Di komennya di path, Elda mah ditempa asli lewat waktu. Lewat keadaan. Saat ini, 10-n tahun selepas selepas eVo, Elda seperti berproses mejadi tambah matang dan lebih matang lagi.
Baik pada suaranya. Pada pilihan kostum dan tata rias. Dan, terpenting buat saya, pada aksi panggungnya. Itu menjadi sebuah paket lengkap yang “sempurna”! Yang sempurna dalam membungkus sebaik-baiknya, dari penampilan Stars and Rabbit-nya.
Ia bertemu Adi Widodo, yang punya konsep musik “sederhana tapi pas”. Folk saja, sebagai dasar.  Tapi folk yang “menjelajah” kemana-mana. Lebarlah gitu. Elda secara pas, menempatkan dirinya, menjadi frontline, dari konsep musik Adi Widodo, dengan gitarnya itu.
Sebenarnya, duo saja,mereka sudah “menggiurkan”. Musik mereka terkesan emang sederhana. Mereka kayaknya main lebih “deep”. Itu pendapat saya ya. Lihat dari youtube, atau mendengar beragam single mereka.
Musiknya sederhana tapi renyah, crispy, ada manisnya, asin-asin dikit, kadang sedikit spicy. Enaklah untuk menggoyang kuping. Oh ya, pilihan lirik, yang dibikin Elda, pada lagu-lagu mereka. Perlu diacungi jempol.  Artinya tuh lebar dan luas. Elda memilih menulis lirik banyak dalam bahasa Inggris. Dan ya itu bagus. Bukan somse sih.
Sok English gitu? Ga lah. Toh akhirnya, mereka direspon positif publik musik internasional. Eropa dan Asia,paling ga lah. Tapi mereka punya potensi mendunia, lebih dari beberapa negara Eropa dan Asia. Bisa mendunia. Kalau saja nasib mereka baik. Tapi nasib mereka itu, didukung kejelian mereka dalam menulis lagu, mengemas musik and juga penampilannya.

Oh ya,untuk jelasnya deskripsi musik mereka, saya pernah menulis begini. Sebuah duo minimalis, bermusik renyah dan ringan. Tapi seperti mencolek hati, sesekali bisa juga membuat kita terasa lebih relax. Sebuah racikan music yang lain memang.
Rileks, angkat kaki, ada secangkir kopi di lawn chair yang kita duduki. Ditemani folk-pop-rootsy adonan musik mereka, mungkin saja bisa membuat sore kita terasa lebih syahdu dan melenakan. Refreshing? Boleh saja. Yang paling tepat, menyegarkan, sebetulnya. Gitar mengalun bening dan vokal utama Elda, yang unik, khas, orisinal.
Saya pernah menulis profile singkat mereka, di media saya doeloe. Sekitar 3 tahunan lampau. Masih dalam konsep duo asli, waktu itu. Tapi sebegitupun, saya sudah seolah tersengat. Eh lucu nih Elda dan Adi...
Waktu itu, mereka baru saja melansir ‘Worth It’ sebagai single. Tapi dengan single semata wayang begitu, Stars and Rabbit, sudah berhasil menembus kuping publik internasional. Apalagi lantas disambung rekaman EP mereka, Live at Deus, berisikan 5 lagu.
Itu rekaman minimalis dan “simple”. Single-camera. Mereka perform waktu itu di Deus Ex Machina, Bali. Suara adience yang cukup banyak, juga diambil. Jadinya, materi rekaman yang cukup untuk menjelaskan lebih lanjut musik duo mereka itu.
Kemudian merekapun merilis Constellation, sebagai full-album mereka. Fisiknya, bentuk compact-disc nya ada, tapi diikuti pula rilis digital. Saya diberi “souvenir” oleh Riva Pratama, satu ketika di penghujung 2015 silam. Saat mampir di Yogyakarta.
Saya lantas dengerin bolak-balik, emangnye kaset. Maksudnya, dengerin beberapa kali materi album itu. Oh ya, waktu itu bermobil. Lagi touring “iseng” dengan The KadriJimmo, yang melakukan promo tour radio di Jawa Tengah.
Rekamannya bagus. Lebih mencermati materi lagu dan syair. Kemudian musik. Sederhana tapi nikmat, ah macam restoran Padang saja, pake nikmat segala. Cuma saya, juga Kadri yang ikut menyimak, mengkritisi sedikit. Kayaknya, mixing dan mastering, harusnya bisa lebih baik?
Tapi itu mungkin soal selera kuping sih. Namun terpenting, musik mereka secara keseluruhan kan? Eh kemarin di April, mereka merilis lagi semacam Live Album, Live at Societat Militair. Isinya 8 lagu.
Sebelumnya, single 'The House' dari album Constellation, dirilis duluan. Dan diikuti pembuatan video musik berdurasi 3 menit. Lantas disambung, 'Like It Here', yang ternyata diambil Joko Anwar, menjadi musik untuk trailer filmnya, A Copy of My Mind.
Sementara live album mereka itu, diambil dari konser mereka yang sukses, alias sold-out, di Societat, Yogyakarta. Kabarnya, dirilis dalam bentuk kaset. Dan sudah ludes-des saat record store day yang terakhir, bulan silam. Dibandrol 50.000,- saja. Selain itu, tentu format digital, via iTunes.
Menarik mengamati duo ini. Secara duo saja sebenarnya sudah menarik. Ya itu tuh, saling mengisinya Elda dan Adi. Tapi belakangan, mereka juga kerap didukung additional-players. Sehingg berbentuk band. Ada Alam Segara , sebagai bassis. Lalu Vicki Unggul, drummer. Dan Andi Irfanto, kibordis.
Lebih berisi dan “melebar”, pada tema musiknya. Saya tak pengen bilang, lebih baik. Suasananya beda, ya dong format berdua dan berlima. Karena pada dasarnya, format berduapun, mereka macam dua sejoli yang memadu kasih, di padang ilalang. Berlarian, kadang berpegangan tangan. Orang yang menonton, tersenyum, merasakan kebahagiaan cinta mereka. Ahay.
Itu cuma gambaran saja. Adi sudah menikah, saat saya membuat tulisan ini, tengah menanti kelahiran anak pertamanya. Elda, kabarnya punya pacar. Belum dikenalin sih ke saya.

Perihal band-nya. Para musisi itu, rata-rata berjam terbang lumayan tinggi, di seputaran Yogyakarta. Di kafe misalnya. Ada juga yang nyambi, sebagai additional player Sheila on 7. Atau mendukung, grup metal, Captain Jack. Nah dari bentuk “persekutuan kecil” itu aja, juga terlihat tak kalah menarik. Ya ga?
Jadinya gimana? Bagus kan? Ya kalau mau bukti, ubek-ubek youtube ae, cak. Ada kok video-video pentas mereka, termasuk video dari lagu, ‘Man upon the Hill’. Yang dari live album mereka itu. Diambil dari konser Grow mereka yang karcisnya sampai bais itu, bray.
Grup duo ini terbentuk kabarnya dari 2011. Ya dari lingkungan kafe juga adanya. Elda itu, sebelum eVo, menjadi vokalis grup kafe, Candles. Adi, suka menontonnya dan mengaku udah suka banget sama vokal dan penampilan Elda saat Candles. Adi ngeband juga, tapi dengan band berbeda. Mereka bisa berkenalan, dan chemistry pun menyambung. Jadi ber-duet deh.
Musisi yang 3 orang, yang lantas mendukung mereka, juga teman-teman dekat mereka sebelumnya. Well, jadi untuk menyambungkan visi, misi, selera bermusik bisa lebih lancar. Maka hasil akhirnya, ya membuat Stars and Rabbit, “lebih berbeda” lagi.
Yah menarik fenomena apa yang disebut, kalangan indie yang terus growin’ up. Bertumbuh dengan cukup subur. Cocok tanah en pupuknya, sob! Apalagi, kreatifitas mereka, dalam menghasilkan format sajian. Macam duo, gitar dan vokal.
Tak pelak, duo doang, kudu punya kelebihan lain. Dalam meng-cover panggung misalnya. Menghasilkan enerji berlipat, yang “menaklukkan” penonton. Baik vokalis, harus punya keunikan, ciri tersendiri. Gitaris juga, ya sami mawon. Mustilah kaya dalam permainan gitarnya.
Format duo begitu, bermunculan di yah sejak 5-6 tahun terakhirlah. Beberapa diantaranya, sukses tampil ke permukaan. Meraih atensi positif. Memperkaya khasanah indie. Yang aktif merancang strategi jualan sendiri, dalam menyebarluaskan musik racikan mereka yang tertentu itu.
Bagaimana “falsafah” hidup, do it yourself dijadiin pegangan. Menjadi landasan berpijak. Jalan perlahan tapi pasti. Pelan-pelan fans dapat terkumpul, sebagian besar lekas saja jadi model fans fanatik.
Nah perkembangan positif model di atas itu, dari wilayah indie, membuat musik kita tetap terlihat cerah. Major label, sebagian besar mau tak mau,ikat pinggangnya. Putar otak atur strategi, ya jualan ya bertahan hidup. Ga kuat, ya ambruk. Seperti ambruknya satu persatu jaringan toko-toko musik, penjual cd dan kaset.
Major label kembang kempis, yang kalau kelamaan kempisnya ya...tampias. Alias, gulung tikar. Sementara indie movement, jalan terus menapak pasti. ”Swasembada” saja pada awalnya dulu. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian....
Kuncinya sih pada ke-pede-an kayaknya. Pede aja, bro and sis. Yakin. Terus bersemangat. Semangat dalam jalan terus, sembari aktif merancang ide-ide unik, beda, unik. Ya untuk musiknya, untuk pentasnya, sampai bagaimana menjual....

Itu fenomena musik dimana-mana pada saat ini. Fenomena dimana rilis fisik, seperti cd seolah menurun drastis. Tapi toh tetiba ada yang merilis vinyl lah, sampai kaset segala. Ada juga ternyata yang membeli. Bukan pasar yang besar sih. Tapi kan, bisa menjadi “vitamin” untuk merangsang kreatifitas dan semangat?
Kemudian manggungnya. Satu demi satu, bertambah terus frekwensinya main. Yang kalau sudah begitu, pasti diikuti, meningkat juga dong “argometer”nya. Semangat untuk terus main, tampil dimana-mana. Berakibat, ya gitu makin dikenal luas.
Apa ga heibats bray, ada grup yang indie, tapi sebulan saja bisa mendapatkan order manggung sampai 19 kali? Kalau frekwensi sudah segitunya, bohonglah kalau fee alias bandrol mereka, ga ikutan naik!
Khuus untuk Stars and Rabbit, mereka sempat melakukan tur ke beberapa negara Asia, di tahun kemarin. Mengunjuni Tiongkok dan Hongkong. Tahun ini, menurut Riva, mereka berencana meneruskan lagi tur internasionalnya. Yang akan bersambung dengan tur ke beberapa kota di Indonesia.
Well, band-band indie begini, yang penting, teteup teguh aja pada...eksplorasi. Kreatifitas terus menerus digenjot. Jangan cepet puas. Jangan semata-mata duit jadi target utama. Yoih,ga dosa juga sih, cari duit untuk hidup, kalau memang ada peluang bagus ke situ. Wajarlah. Cuma baek-baek kepleset aje, naik kecepetan, lupa diri. Bandrol naik cepet dah, syusyahlah untuk diturunin, apapun alasannya.
Menyoal sisi negatif. Lainnya, bisa begini nih, cepet puas diri juga adanya. Tak merasa perlu lagi kreatif, segitu aja udah laku dan laris-manis. Udahlah, latihan seperlunya aja, yang penting liburan dulu kesana-kemari... Cieeeee, cieeeee, jadi bisa melancong moloooo niii yeeeee
Begitu deh, cerita pendek saya tentang Stars and Rabbit, Elda dan Adi. Dunianya pergerakan indie dewasa ini. Semoga bermanfaat. Menjadi, apa ya, pencerahan kali yeee? Ya memang sih, dasarnya ya begitulah adanya, Stars and Rabbit ...Ngehek bingits! Apa ga ngehek, bikin gw jadi kesengsem dan pengen nulis mereka.... /*













3 comments:

Unknown said...

Sukses Elda Rabit

Sriwijaya said...

Mereka Keren.. Sukses terus untuk Stars and Rabbit dan untuk penulis.

Ayu Rizki Utami said...

saya baca ini ketika mba elda dan mas adi memutuskan untuk jalan masing-masing.. kalimat "mereka layaknya sejoli" bikin hati ini nyesek, kenapa mas adi memutuskan keluar dan memulai bisnis di bidang advertising? pertanyaan yang sampai sekarang coba untuk tidak ku pertanyaakan untuk menjaga privasi mereka masing2.

ketika album star and rabbit yang ke 2 rilis, saya sebagai fans mereka sejak 2012 via youtube merasa ada yang aneh dari genre musik yang mereka pilih. style fairy dan petikan gitar mas adi yang bisa bikin mata merem itu hilang.. tp tanpa memberikan komntar negatif sedikitpun saya tetap mendengarkan lagu mereka. sampai album ke 3 keluar dan yah lumayan kembali ke jalan nya sih hihiih mengobati sedikit kerinduan akan petikan gitar ala mas adi.

semoga star and rabbit bisa sukses dan terus berkarya menciptakan lagu2 yang beda dari yang lain..
salam dari Makassar