Wednesday, July 20, 2016

Sigit "Didiet" Ardityo... Sting, Amati dan tentunya,, Didier Lockwood



Didier Lockwood, kelahiran Calais, 11 Februari 1956. Ia adalah seorang French jazz violinist, yang memainkan progressive rock/jazz fusion. Ia dikenal sebagai violinist, yang menggunakan electric violin dengan dukungan amplification dan sound effects.
Sejauh ini, ia telah menghasilkan tak kurang dari 20 album rekaman. Sejak ia merilis debut albumnya, New Leader, di tahun 1979. Dan ia terinfluenced banget dengan permainan vilonist Perancis yang lebih senior, Jean Luc Ponty. Selain itu, ada juga Stephane Grappelli.

Lalu, perjalanan seorang Lockwood lebih dikenal lewat kelompoknya, Magma. Kelompok yang berdiri tahun 1969 itu, dimotori laki-bini, Christian Vander dan Stella Zelcer-Vander. Lockwood selain bersama Magma, juga dikenal pernah membuat kolaborasi dengan Uzeb.
Album Absolutly Live Uzeb dan Didier Lockwood, rilis tahun 1986, lumayan dikenal oleh fusion lovers di sini. Album tersebut juga mengangkat lebih tinggi popularitas Uzeb, jazz-rock band Kanada, yang jadi makin mendunia.
Tapi maaf banget, saya lagi tak berkeingin menulis panjang lebar seorang Didier Lockwood. Lain waktu ya. Boleh kan? Kalau sekarang, saya pengen menulis tentang profil “Didier Lockwood-Indonesia”, ah sebut saja begitu. Wanna be, or try hard to be. Tapi yang pasti, ini tentang violinist juga, tapi dari Indonesia.
Wanna be, karena mengidolakan, kagak ada yang salah dengan itu. Kasarnya sih, tidaklah haram hukumnya. Apalagi, misal menjadikan idolanya sebagai pelecut motivasi. Bukan semata-mata meniru, bermimpi-mimpi belaka. Bisa menjadi seperti sang idola. Tapi bersemangat untuk, syukur-syukur, lebih dari bintang idolanya.
Ini adalah cerita tentang seorang Sigit Ardityo. Yang lahir di Magelang, 22 Mei 1986. Ia adalah anak pertama dari dua orang bersaudara, putra pasangan (alm) Joko Wahono dan Sulistyani.
Sedari usia 3 tahun, ia mulai diperkenalkan instrumen violin, oleh sang ayah. Tahap berkenalan, pegang-pegang dulu. Suka tak suka. Main-main saja. Itu belum serius. Lantas 2-3 tahun kemudian, latihan memainkan alat tersebut mulai serius. Kedisiplinan mulai deh diterapkan. 3 jam perhari, ia berlatih violin, di bawah bimbingan sang ayah,
Tambah umur, jam latihan bertambah. Usia 10 tahun, kenangnya, sang ayah menetapkan jam laihan sampai 4 sampai 6 jam sehari. Lumayan dong, bo?
Ia mengaku, kehilangan waktu bermain seperti anak-anak seusianya di saat kecil itu. Ia tak bisa ikutan main layangan, kelereng, sepakbola plastik. Lagi latihan serius, ia kerapkali melihat di luar rumahnya, teman-temannya asyik bermain. Pada masa kecilnya, selesai belajar ia biasanya belajar mengaji. Kemudian harus mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Wuih!
Dan pasti belum kenal Didier Lockwood dong? Ia tersenyum dan segera menggeleng kepalanya dengan mantap.
Ia ingat, tahap awal ia belajar dari sang ayah, ia berlatih dulu positioning dan bowing. Begitu terus, paling tidak dua jam sehari untuk itu. Tahap terawal itu, harus dijalankan, sebelum ia kemudian belajar mengenal dan mengerti not balok,
Masa ia kecil, ia bersekolah pindah-pindah. Dari SD Miranti, SD Perguruan Cikini lalu SDN 02 Pagi Bambu Apus. Dia bilang, ya akhirnya dia masih bisa main tapi main di dalam rumah. Main game, nintendo misalnya. Mainin action figure atau monopoli gitu. Karena kalau keluar rumah, ya teman-teman sebayanya semua sudah masuk dalam rumahnya masing-masing...  Udah kemaleman keleussss.
Oh ya, soal nintendo, ia inget betul sama ayahnya. Jadi, ayah saya tuh dulu janji sama saya, begitu kenangnya. Kalau sudah main 4kali ya, saya akan dapat 1 nintendo. Begitu itu, lanjutnya, cara ayah saya memberi semangat bermusik kepada saya. Jadi, akhirnya tuh dapat berapa nintendo nya?
Kalau soal musik, di waktu itu, ia menerima semua musik. Dengerin musik,pokoknya. Dengerin, lalu coba menguliknya, untuk bisa mainin. Kalau ternyata ga bisa-bisa juga,baru dia ga dengerin lagi. Pindah, dengerin yang lainnya. Simple dah ya.
Nah iya, yang lantas memberinya semangat berlipat ganda, untuk mejadi violinis memang Didier Lockwood. Tapi yang pertama-tama memberinya inspirasi, dan itu mejadi magnet kuat buatnya, ya pastinya ayahnya sendiri.
Setiap hari, ia terbiasa melihat sang ayah bawa partitur, untuk dikulik sendiri. Ayahnya kan ikut Nusantara Simphony Orchestra – RRI. Ayah itu, rajin betul belajar terus sendiri, ya mengulik lagu, terutama yang akan dibawain orkestranya. Ia melihat dan menikmati betul hari kehari, apa yang sang ayah lakukan itu.
Ok kalau ia teryata ga jadi pemain violin, ia mungkin pilih gitar. Ya jadi gitaris. Kan itu instrumen musik paling umum, ia juga slama kuliah di UNJ, mengambil minornya itu gitar. Ia juga sekarang ini,memakai gitar untuk mencari chord tertentu. Gitar itu memudahkan kan, untuk bisa meng-create sesuatu, begitu jelasnya. Tentunya kreasi terkait musik dong.

Sekarang ini, ia mengaku tak tentu lagi waktunya untuk latihan sendiri. Tapi ia selalu pegang instrumennya itu, dan kalau mood-nya emang lagi bagus, lagi pengen main gitu,”Itu bisa lupa waktu, beneran. Bisa sampai 5 jam-an, mungkin lebihlah,” begitu terangnya dengan semangat.
Eh,jadi kalau sekarang nih, punya berapa biola di rumah? Ia menjawab,ada 8 atau 9 kayaknya. Dari semua itu, ada satu biola yang ceritanya unik banget. Biola itu merknya Amati, buatan tahun 1680. Biola legend banget ya?
Biola itu adalah warisan sang ayah, yang didapatnya dari pemain tanjidor Betawi. Satu ketika, sang ayah mau pulang, melewati sekelompok tanjidor yang lagi latihan. Dekat rumah mereka, di daerah Bambu Apus. Well, dasarnya pemain biola, kupingnya langsung menangkap bunyian biola yang bagus. Iseng deh ayahnya tanya, pak itu biolanya mau dijual ga?
Ndilala, itu bapak-bapak yang sudah cukup berumur, yang main biola itu menjawab, iya nih. Udah ketuaan. Saya pengen ganti dengan biola listrik aja, biar suaranya bisa lebih keras. Kalau saya jual 1,5 juta, mau ga ya? Ayahnya lalu pulang kerumah buru-buru, ambil uang, 2 juta. Langsung balik dan bayar biola itu. Bapak pemain tanjidor itu kaget dan terima kasih banget dikasih 2 juta.
Jadi, itu salah satu biola kesayangannya sekarang. Dijaganya baik-baik. Ia bilang, pernah ada kolektor, berani menawar sampai 110 jutaan untuk dapatin biola itu ke ayahnya, tapi ya pastinya tidak dilepas. Karena memang biola bersejarah, dan masih bagus kondisinya.
Peralatan tempurnya saat ini, yang sering digunakannya adalah biola Barcus Berry, itu biola akustik elektrik 4-strings. Itu khusus untuk show akustik. Alatnya yang lain, Yamaha SV400, itu digunakan untuk musik yang relatif lebih keras. Tapi kalau musiknya lebih ribet dan relatif susah, ia pilih menggunakan Yamaha EV205, 5-strings. Itu peralatan buat show. Kalau rekaman, tentunya lain lagi.
Ia memakai biola akustik, buatan Perancis, ia lupa merknya.Itu cukup untuk rekaman, karena kan sistem pengambilan suaranya, dengan ditodongkan mikrofon. Ia untuk rekaman, pilih untuk lebih clean saja, tidak memakai asesorisataupun effects.
Kalau show, ia kerapkali memakai effects seperti delay, reverb dan octayer. Tujuannya untuk menambah bottom sound-nya seperti misal sound cello, biar lebih tebal. Ditambah juga dengan chorus, biar kesannya ada violin yang lain. Suka pakai distortion juga, misal untuk solo pada lagu yang nge-rock.
Ia juga menggunakan preamp, gunanya untuk tone shaper violinnya, supaya punya sound violin sendiri. Dan ya sebenarnya, masih banyak sound-effects lain, yang gak bisa dijelasin satu-satu. Tergantung kebutuhan saja. Eh, mungkin, akunya, dia adalah pemain violin yg menggunakan efek paling banyak saat ini, di sini....
Selain violin, ia juga gamers, itu akunya. Seneng main game, ya dari dulu. Sekarang ia asyik dengan PS-4 nya. Koleksi action figure juga. Dan, yang lainnya adalah, ia penonton film aktif!  Ia pencinta film, ya nonton di bioskop, televisi atau DVD ataupun blueray.
Kalau lagi menganggur, tak ada kerjaan musik, ia mengaku bisa betah seharian nonton berbagai film. Untuk televisi, ia lebih suka Cable, dimana National Geography Channel adalah favorit utamanya. Karena tayangannya itu real dan asyik. Menambah pengetahuan dan wawasannya tentang misal survival orang-orang, bagaimana membuat sesuatu, bagaimana mengamati orang, kehidupan dan sejenis itu.
Ia itu jarang berlibur. Karena kesibukannya di musik,ia susah memperoleh waktu senggang yang cukup ntuk bisa jalan-jalan, menikmati liburan. Ia pilih, mengisi day-off nya ya di rumah saja. Paling-paling ya, jalan-jalan sama pacar, hehehehe.
Betewe, suka ngantuk? Ia tertawa ditanya begitu. Lantas menjawab, kalau di jalan, dalam mobil dan tidak menyetir. Kok ya, kalau sedang tidak menyetir, ia bisa cepat terlelap. Tidurnya juga lumayan nyenyak. Makanya, iasuka menerima dengan senang hati, kalau ada temannya yang mau menyetirkan mobilnya.
Eh kalau yang bikin bete, apaan? Menunggu, jawabnya cepat. Ga sabar kalau disuruh menunggu. Kalau kelamaan, jadi suka bingung mau ngapain. Makanya, salah satu jalan keluar terbaiknya, ia menyiapkan komik, yang bisa dibacanya saat sedang menunggu. Ya menunggu apapun.

Kembal kemusik ya, bray.  Musisi favoritmu siapa? Ia menyebut, tentu saja, Didier Lockwood! Ia paling suka album Didier Lockwood Group dan Quartet-nya, antara 1982 sampai 1986. Lagu-lagunya itu bayak memberinya inspirasi.  Banyak licks yang ada di album itu, yang dikulik bener-bener. Dan ternyata, tanpa disadarinya, beberapa lagu karyanya sangat terinspirasi dari album tersebut.
Ia juga menyebut violinis cewek, Karen Briggs, “Lady in Red”, sebagai musisi idolanya yang lain.Yang perlu diketahui,Karen kelahiran Manhattan itu, dikenal sebagai violinis dari musisi kontemporer ternama, Yanni. Selain itu juga mendukung Dave Grusin, Wu-Tang Clan,Diana Ross sampai Chaka Khan.
Ia juga menyukai Matthew Bellamy, itu lho multi-instrumentalis, yang dikenal sebagai personil pentingnya, Muse. Selain itu, juga Sting. Sting, buatnya adalah musisi yang pada setiap dekade, mempunyai pelbagai ramuan musik, yang berbeda-beda, unik dan menarik.
Sting itu senantiasa terkesan tetap original, begitu pendapatnya. Karena kekayaan aransemen dan ide bermusiknya, ia bermimpi, bisa berkolaborasi satu ketika dengan Sting.  Boleh kan, mimpi sedikit? Ga masalah kok, bro. Mudah-mudahan tercapai.... Ga ada yang mustahil, sob.
Oh ya, soal musisi yang kepengen dia bisa kolaborasi nih. Selain Sting, ada nama Idris Sardi. Pernah sebetulnya ngobrol, untuk bikin sesuatu. Sayangnya oom Idris Sardi keburu pergi duluan. Selain almarhum Idris Sardi, dia juga kepengen tetap meneruskan kolaborasi, atau main bareng, dengan musisi yang memang ia pernah mendukung.
Ia menyebut antara lain Tohpati, Dewa Budjana. Sampai nama gitaris lainnya, Jubing Kristianto atau Wayan Balawan. Musiknya semua nama itu, menurutnya beda-beda dan tantangannya lain-lain tapi asyik.
Bermain mendukung serangkaian konser dari Yockie Suryoprayogo, juga disukainya. Memberi wawasan lain lagi buatnya, dengan bermain bersama rocker legendaris seperti Yockie Suryoprayogo. Ia memang terlibat dengan band pendukung konser Yockie Suryoprayogo seperti  LCLR+, Badai Pasti Berlalu+, baik di Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang. Dimana sisi musiknya itu, band pengiringnya, dipimpin Indro Hardjodikoro.
Ini tentang pengalaman bermusiknya, yang paling dikenangnya. Untuk rekaman, ia tak akan lupa proses rekaman yang diikutinya saat masih berusia sekitar 10 tahunan. Rekaman di studio yang jauh, di daerah Pluit, eh apa Sunter, sekitar itulah. Dia lupa nama studionya.
Karena rekaman masih analog, maka harus mencapai tingkat presisi, sempurna dalam bermain. Kalau tidak atau ada missed, ia harus mengulangi lagi, dari awal. Itu memang melelahkan prosesnya. Tapi menjadi pengalaman berharga, untuk karir musik serta pengetahuan bermusiknya.
Bayangin, ceritanya ya, kalau salah kan harus ulang. Nah untuk mengulanginya, lanjutnya, ya harus tunggu pita rekaman di-rewind, sampai pas betul pada part yang harus diulang itu. Untuk anak umur 10 tahunan, kerja begitu di studio rekaman kan, apaga seru tuh, kenangnya sambil tertawa.
Kalau untuk show, ia tak lupa konser tunggalnya  di tahun 2014. Ia dibantu bintang tamu, Hendri Lamiri dan Jubing Kristianto. Dan bisa mengundang Rossa, sebagai penyanyinya. Rossa, kan mahal? Iya, waktu itu memang Rossa syukurlah mau banget membantu saya. Beneran membantu banget. Gratis pula, ia tertawa.
Itu mungkin cara Rossa memberi apresiasi terhadap permainannya, selain  pernyataan terimakasihlah. Karena ia sudah 10-an tahun selalu mendukung penampilan Rossa di konser-konsernya.
Ini ada pesannya nih, untuk yang berminat mencoba bisa bermain biola. Sebenarnya ya, terangnya,1 hal yang perlu diinget, jangan cepat putus asa, mengingat biola adalah alat musik tersulit. Ya kan lihat ya, nafas nada ada di tangan kanan, jari tangan kiri gak boleh miss walau sedikit karena, gak ada grip seperti gitar.
Kan alat musik lainnya kalo udah tuning, ya gak akan fales selama mencetnya bener, ia meneruskan.. Biola itu beda. Biola saat ini sih banyak yang bagus kok. pabrikan dari Ceko atau China, itu ya biasanya yang dijual di toko-toko alat musik umum.
Kalo misal masih belum bagus atau belum terasa enak ditangan, bisa fitting up ke orang yang biasa upgrade biola juga. Menurutnya,  jaman skrg pengrajin yang bisa menolong itu, udah banyak. Gak kaya jaman dia waktu kecil dulu, kalau mau fitting kudu ke Jogja atau Solo. Karena ya adanya hanya di situ saja.
Sarannya untuk beginner atau musisi muda, coba ikutin pelan-pelan tiap pelajaran-pelajaran musik yang dikasih oleh gurunya.  Targetin pengen seperti siapa, tapi gak usah muluk-muluk dulu lho ya. Yang penting punya panutan dan ya jelas gitu, citaicitanya.
Misalnya nih sudah bisa  sampai di tahap setara atau lebih hebat dari panutannya, bikin gaya bermain musik sendiri. And take it easy, itu gak sebentar. Iya, lanjutnya lagi, prosesnya panjang banget. Harus sabar makanya. Pantang untuk cepat bosan dan jenuh.
Mulai saat Ramadhan kemarin, ia mencoba pelan-pelan menyiapkan rekaman solo albumnya. Ia kepengen bisa menyelesaikannya di tahun ini. Mudah-mudahan bisa tercapai, begitu harapnya. Ia dibantu sahabat-sahabatnya seperti drummer, Dion Subyakto. Gitaris, Indra Prasetyo. Juga Eggy, kibordis. Serta bassis, Shadu Rasjidi.
Oh iya, ia juga tetap menjalankan grupnya, Kulkul. Ini grup worldmusic, yang memainkan fusion, dengan memiliki warna tradisi Bali  Grup ini dibentuknya dengan sahabatnya, Demas Narawangsa, yang kini tengah menimba ilmu di Los Angeles, USA.
Soal rekaman albumnya, ia berkeinginan album itu juga bisa memberi inspirasi bagi para musisi muda. Terutama, tentunya pemain biola. Bisa berbagi ilmu kepada violinis-violinis muda. Karena ia, sampai sejauh ini, tak mengajar.
Tapi di waktu depan, ia juga punya keinginan bisa mendirikan sekolah musik. Sekolah khusus untuk violinis. Dengan metode pengajaran berbeda, yang sesuai gayanya. Jadi, berbeda dari sekolah musik lainnya.
Well, Didiet Lockwood hehehe, Didiet Violin, begitu nama populernya. Trims berat nih, untuk waktunya, mau cerita dan berbagi. Good luck ya bro, untuk karir musikmu. Sampai jumpa lagi, di acara-acara musik lain /*











No comments: