Didier Lockwood,
kelahiran Calais, 11 Februari 1956. Ia adalah seorang French jazz violinist,
yang memainkan progressive rock/jazz fusion. Ia dikenal sebagai violinist, yang
menggunakan electric violin dengan dukungan amplification dan sound effects.
Sejauh
ini, ia telah menghasilkan tak kurang dari 20 album rekaman. Sejak ia merilis
debut albumnya, New Leader, di tahun
1979. Dan ia terinfluenced banget
dengan permainan vilonist Perancis yang lebih senior, Jean Luc Ponty. Selain itu, ada juga Stephane Grappelli.
Lalu,
perjalanan seorang Lockwood lebih dikenal lewat kelompoknya, Magma. Kelompok yang berdiri tahun 1969
itu, dimotori laki-bini, Christian Vander dan Stella Zelcer-Vander. Lockwood
selain bersama Magma, juga dikenal pernah membuat kolaborasi dengan Uzeb.
Album
Absolutly Live Uzeb dan Didier
Lockwood, rilis tahun 1986, lumayan dikenal oleh fusion lovers di sini. Album tersebut juga mengangkat lebih tinggi
popularitas Uzeb, jazz-rock band Kanada, yang jadi makin mendunia.
Tapi
maaf banget, saya lagi tak berkeingin menulis panjang lebar seorang Didier
Lockwood. Lain waktu ya. Boleh kan? Kalau sekarang, saya pengen menulis tentang
profil “Didier Lockwood-Indonesia”, ah sebut saja begitu. Wanna be, or try hard to be. Tapi yang pasti, ini tentang violinist
juga, tapi dari Indonesia.
Wanna
be, karena mengidolakan, kagak ada yang salah dengan itu. Kasarnya sih,
tidaklah haram hukumnya. Apalagi, misal menjadikan idolanya sebagai pelecut
motivasi. Bukan semata-mata meniru, bermimpi-mimpi belaka. Bisa menjadi seperti
sang idola. Tapi bersemangat untuk, syukur-syukur, lebih dari bintang idolanya.
Ini
adalah cerita tentang seorang Sigit
Ardityo. Yang lahir di Magelang, 22 Mei 1986. Ia adalah anak pertama dari
dua orang bersaudara, putra pasangan (alm) Joko Wahono dan Sulistyani.
Sedari
usia 3 tahun, ia mulai diperkenalkan instrumen violin, oleh sang ayah. Tahap
berkenalan, pegang-pegang dulu. Suka tak suka. Main-main saja. Itu belum
serius. Lantas 2-3 tahun kemudian, latihan memainkan alat tersebut mulai serius.
Kedisiplinan mulai deh diterapkan. 3 jam perhari, ia berlatih violin, di bawah
bimbingan sang ayah,
Tambah
umur, jam latihan bertambah. Usia 10 tahun, kenangnya, sang ayah menetapkan jam
laihan sampai 4 sampai 6 jam sehari. Lumayan dong, bo?
Ia
mengaku, kehilangan waktu bermain seperti anak-anak seusianya di saat kecil
itu. Ia tak bisa ikutan main layangan, kelereng, sepakbola plastik. Lagi
latihan serius, ia kerapkali melihat di luar rumahnya, teman-temannya asyik
bermain. Pada masa kecilnya, selesai belajar ia biasanya belajar mengaji.
Kemudian harus mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Wuih!
Dan
pasti belum kenal Didier Lockwood dong? Ia tersenyum dan segera menggeleng
kepalanya dengan mantap.
Ia
ingat, tahap awal ia belajar dari sang ayah, ia berlatih dulu positioning dan bowing. Begitu terus, paling tidak dua jam sehari untuk itu. Tahap
terawal itu, harus dijalankan, sebelum ia kemudian belajar mengenal dan
mengerti not balok,
Masa
ia kecil, ia bersekolah pindah-pindah. Dari SD Miranti, SD Perguruan Cikini
lalu SDN 02 Pagi Bambu Apus. Dia bilang, ya akhirnya dia masih bisa main tapi
main di dalam rumah. Main game, nintendo misalnya. Mainin action figure atau monopoli gitu. Karena kalau keluar rumah, ya
teman-teman sebayanya semua sudah masuk dalam rumahnya masing-masing... Udah
kemaleman keleussss.
Oh
ya, soal nintendo, ia inget betul sama ayahnya. Jadi, ayah saya tuh dulu janji
sama saya, begitu kenangnya. Kalau sudah main 4kali ya, saya akan dapat 1
nintendo. Begitu itu, lanjutnya, cara ayah saya memberi semangat bermusik
kepada saya. Jadi, akhirnya tuh dapat berapa nintendo nya?
Kalau
soal musik, di waktu itu, ia menerima semua musik. Dengerin musik,pokoknya.
Dengerin, lalu coba menguliknya, untuk bisa mainin. Kalau ternyata ga bisa-bisa
juga,baru dia ga dengerin lagi. Pindah, dengerin yang lainnya. Simple dah ya.
Nah
iya, yang lantas memberinya semangat berlipat ganda, untuk mejadi violinis
memang Didier Lockwood. Tapi yang pertama-tama memberinya inspirasi, dan itu
mejadi magnet kuat buatnya, ya pastinya ayahnya sendiri.
Setiap
hari, ia terbiasa melihat sang ayah bawa partitur, untuk dikulik sendiri. Ayahnya
kan ikut Nusantara Simphony Orchestra – RRI. Ayah itu, rajin betul belajar
terus sendiri, ya mengulik lagu, terutama yang akan dibawain orkestranya. Ia
melihat dan menikmati betul hari kehari, apa yang sang ayah lakukan itu.
Ok
kalau ia teryata ga jadi pemain violin, ia mungkin pilih gitar. Ya jadi
gitaris. Kan itu instrumen musik paling umum, ia juga slama kuliah di UNJ,
mengambil minornya itu gitar. Ia juga sekarang ini,memakai gitar untuk mencari
chord tertentu. Gitar itu memudahkan kan, untuk bisa meng-create sesuatu, begitu jelasnya. Tentunya kreasi terkait musik
dong.
Sekarang
ini, ia mengaku tak tentu lagi waktunya untuk latihan sendiri. Tapi ia selalu
pegang instrumennya itu, dan kalau mood-nya emang lagi bagus, lagi pengen main
gitu,”Itu bisa lupa waktu, beneran. Bisa sampai 5 jam-an, mungkin lebihlah,”
begitu terangnya dengan semangat.
Eh,jadi
kalau sekarang nih, punya berapa biola di rumah? Ia menjawab,ada 8 atau 9
kayaknya. Dari semua itu, ada satu biola yang ceritanya unik banget. Biola itu
merknya Amati, buatan tahun 1680. Biola legend banget ya?
Biola
itu adalah warisan sang ayah, yang didapatnya dari pemain tanjidor Betawi. Satu
ketika, sang ayah mau pulang, melewati sekelompok tanjidor yang lagi latihan.
Dekat rumah mereka, di daerah Bambu Apus. Well, dasarnya pemain biola,
kupingnya langsung menangkap bunyian biola yang bagus. Iseng deh ayahnya tanya,
pak itu biolanya mau dijual ga?
Ndilala,
itu bapak-bapak yang sudah cukup berumur, yang main biola itu menjawab, iya
nih. Udah ketuaan. Saya pengen ganti dengan biola listrik aja, biar suaranya
bisa lebih keras. Kalau saya jual 1,5 juta, mau ga ya? Ayahnya lalu pulang
kerumah buru-buru, ambil uang, 2 juta. Langsung balik dan bayar biola itu.
Bapak pemain tanjidor itu kaget dan terima kasih banget dikasih 2 juta.
Jadi,
itu salah satu biola kesayangannya sekarang. Dijaganya baik-baik. Ia bilang,
pernah ada kolektor, berani menawar sampai 110 jutaan untuk dapatin biola itu
ke ayahnya, tapi ya pastinya tidak dilepas. Karena memang biola bersejarah, dan
masih bagus kondisinya.
Peralatan
tempurnya saat ini, yang sering digunakannya adalah biola Barcus Berry, itu
biola akustik elektrik 4-strings. Itu khusus untuk show akustik. Alatnya yang
lain, Yamaha SV400, itu digunakan untuk musik yang relatif lebih keras. Tapi
kalau musiknya lebih ribet dan relatif susah, ia pilih menggunakan Yamaha
EV205, 5-strings. Itu peralatan buat show. Kalau rekaman, tentunya lain lagi.
Ia
memakai biola akustik, buatan Perancis, ia lupa merknya.Itu cukup untuk
rekaman, karena kan sistem pengambilan suaranya, dengan ditodongkan mikrofon. Ia
untuk rekaman, pilih untuk lebih clean saja, tidak memakai asesorisataupun effects.
Kalau
show, ia kerapkali memakai effects seperti delay,
reverb dan octayer. Tujuannya
untuk menambah bottom sound-nya
seperti misal sound cello, biar lebih
tebal. Ditambah juga dengan chorus, biar
kesannya ada violin yang lain. Suka pakai distortion
juga, misal untuk solo pada lagu yang nge-rock.
Ia juga menggunakan preamp, gunanya untuk tone
shaper violinnya, supaya punya sound violin sendiri. Dan ya sebenarnya,
masih banyak sound-effects lain, yang
gak bisa dijelasin satu-satu. Tergantung kebutuhan saja. Eh, mungkin, akunya, dia
adalah pemain violin yg menggunakan efek paling banyak saat ini, di sini....
Selain violin, ia juga gamers, itu akunya. Seneng main game, ya dari dulu. Sekarang ia
asyik dengan PS-4 nya. Koleksi action
figure juga. Dan, yang lainnya adalah, ia penonton film aktif! Ia pencinta film, ya nonton di bioskop,
televisi atau DVD ataupun blueray.
Kalau lagi menganggur, tak ada kerjaan musik, ia mengaku
bisa betah seharian nonton berbagai film. Untuk televisi, ia lebih suka Cable, dimana National Geography Channel adalah favorit utamanya. Karena
tayangannya itu real dan asyik. Menambah pengetahuan dan wawasannya tentang
misal survival orang-orang, bagaimana membuat sesuatu, bagaimana mengamati
orang, kehidupan dan sejenis itu.
Ia itu jarang berlibur. Karena kesibukannya di
musik,ia susah memperoleh waktu senggang yang cukup ntuk bisa jalan-jalan,
menikmati liburan. Ia pilih, mengisi day-off nya ya di rumah saja.
Paling-paling ya, jalan-jalan sama pacar, hehehehe.
Betewe, suka ngantuk? Ia tertawa ditanya begitu. Lantas
menjawab, kalau di jalan, dalam mobil dan tidak menyetir. Kok ya, kalau sedang
tidak menyetir, ia bisa cepat terlelap. Tidurnya juga lumayan nyenyak. Makanya,
iasuka menerima dengan senang hati, kalau ada temannya yang mau menyetirkan
mobilnya.
Eh kalau yang bikin bete, apaan? Menunggu, jawabnya
cepat. Ga sabar kalau disuruh menunggu. Kalau kelamaan, jadi suka bingung mau
ngapain. Makanya, salah satu jalan keluar terbaiknya, ia menyiapkan komik, yang
bisa dibacanya saat sedang menunggu. Ya menunggu apapun.
Kembal kemusik ya, bray.
Musisi favoritmu siapa? Ia menyebut,
tentu saja, Didier Lockwood! Ia paling suka album Didier Lockwood Group dan
Quartet-nya, antara 1982 sampai 1986. Lagu-lagunya itu bayak memberinya
inspirasi. Banyak licks yang ada di album itu, yang dikulik bener-bener. Dan
ternyata, tanpa disadarinya, beberapa lagu karyanya sangat terinspirasi dari
album tersebut.
Ia juga menyebut violinis cewek, Karen Briggs, “Lady in Red”,
sebagai musisi idolanya yang lain.Yang perlu diketahui,Karen kelahiran
Manhattan itu, dikenal sebagai violinis dari musisi kontemporer ternama, Yanni.
Selain itu juga mendukung Dave Grusin, Wu-Tang Clan,Diana Ross sampai Chaka
Khan.
Ia juga menyukai Matthew
Bellamy, itu lho multi-instrumentalis, yang dikenal sebagai personil
pentingnya, Muse. Selain itu, juga
Sting. Sting, buatnya adalah musisi yang pada setiap dekade, mempunyai pelbagai
ramuan musik, yang berbeda-beda, unik dan menarik.
Sting itu senantiasa terkesan tetap original, begitu pendapatnya. Karena
kekayaan aransemen dan ide bermusiknya, ia bermimpi, bisa berkolaborasi satu
ketika dengan Sting. Boleh kan, mimpi
sedikit? Ga masalah kok, bro.
Mudah-mudahan tercapai.... Ga ada yang mustahil, sob.
Oh ya, soal musisi yang kepengen dia bisa kolaborasi
nih. Selain Sting, ada nama Idris Sardi. Pernah sebetulnya ngobrol,
untuk bikin sesuatu. Sayangnya oom Idris Sardi keburu pergi duluan. Selain
almarhum Idris Sardi, dia juga kepengen tetap meneruskan kolaborasi, atau main
bareng, dengan musisi yang memang ia pernah mendukung.
Ia menyebut antara lain Tohpati, Dewa Budjana.
Sampai nama gitaris lainnya, Jubing Kristianto atau Wayan Balawan. Musiknya semua nama itu, menurutnya beda-beda dan
tantangannya lain-lain tapi asyik.
Bermain mendukung serangkaian konser dari Yockie
Suryoprayogo, juga disukainya. Memberi wawasan lain lagi buatnya, dengan
bermain bersama rocker legendaris seperti Yockie Suryoprayogo. Ia memang
terlibat dengan band pendukung konser Yockie Suryoprayogo seperti LCLR+, Badai Pasti Berlalu+, baik di Jakarta,
Bandung, Surabaya, Malang. Dimana sisi musiknya itu, band pengiringnya,
dipimpin Indro Hardjodikoro.
Ini tentang pengalaman bermusiknya, yang paling
dikenangnya. Untuk rekaman, ia tak akan lupa proses rekaman yang diikutinya
saat masih berusia sekitar 10 tahunan. Rekaman di studio yang jauh, di daerah
Pluit, eh apa Sunter, sekitar itulah. Dia lupa nama studionya.
Karena rekaman masih analog, maka harus mencapai
tingkat presisi, sempurna dalam bermain. Kalau tidak atau ada missed, ia harus mengulangi lagi, dari
awal. Itu memang melelahkan prosesnya. Tapi menjadi pengalaman berharga, untuk
karir musik serta pengetahuan bermusiknya.
Bayangin, ceritanya ya, kalau salah kan harus ulang.
Nah untuk mengulanginya, lanjutnya, ya harus tunggu pita rekaman di-rewind, sampai pas betul pada part yang harus diulang itu. Untuk anak
umur 10 tahunan, kerja begitu di studio rekaman kan, apaga seru tuh, kenangnya
sambil tertawa.
Kalau untuk show, ia tak lupa konser tunggalnya di tahun 2014. Ia dibantu bintang tamu, Hendri Lamiri dan Jubing Kristianto.
Dan bisa mengundang Rossa, sebagai
penyanyinya. Rossa, kan mahal? Iya, waktu itu memang Rossa syukurlah mau banget
membantu saya. Beneran membantu banget. Gratis pula, ia tertawa.
Itu mungkin cara Rossa memberi apresiasi terhadap
permainannya, selain pernyataan terimakasihlah.
Karena ia sudah 10-an tahun selalu mendukung penampilan Rossa di
konser-konsernya.
Ini ada pesannya nih, untuk yang berminat mencoba bisa
bermain biola. Sebenarnya ya, terangnya,1 hal yang perlu diinget, jangan cepat
putus asa, mengingat biola adalah alat musik tersulit. Ya kan lihat ya, nafas
nada ada di tangan kanan, jari tangan kiri gak boleh miss walau sedikit karena, gak ada grip seperti gitar.
Kan alat musik lainnya kalo udah tuning, ya gak akan fales
selama mencetnya bener, ia meneruskan.. Biola itu beda. Biola saat ini sih banyak
yang bagus kok. pabrikan dari Ceko atau China, itu ya biasanya yang dijual di
toko-toko alat musik umum.
Kalo misal masih belum bagus atau belum terasa enak
ditangan, bisa fitting up ke orang yang
biasa upgrade biola juga. Menurutnya,
jaman skrg pengrajin yang bisa menolong
itu, udah banyak. Gak kaya jaman dia waktu kecil dulu, kalau mau fitting kudu ke Jogja atau Solo. Karena
ya adanya hanya di situ saja.
Sarannya untuk beginner
atau musisi muda, coba ikutin pelan-pelan tiap pelajaran-pelajaran musik yang
dikasih oleh gurunya. Targetin pengen
seperti siapa, tapi gak usah muluk-muluk dulu lho ya. Yang penting punya
panutan dan ya jelas gitu, citaicitanya.
Misalnya nih sudah bisa sampai di tahap setara atau lebih hebat dari
panutannya, bikin gaya bermain musik sendiri. And take it easy, itu gak sebentar. Iya, lanjutnya lagi, prosesnya
panjang banget. Harus sabar makanya. Pantang untuk cepat bosan dan jenuh.
Mulai saat Ramadhan kemarin, ia mencoba pelan-pelan
menyiapkan rekaman solo albumnya. Ia kepengen bisa menyelesaikannya di tahun
ini. Mudah-mudahan bisa tercapai, begitu harapnya. Ia dibantu
sahabat-sahabatnya seperti drummer, Dion
Subyakto. Gitaris, Indra Prasetyo.
Juga Eggy, kibordis. Serta bassis, Shadu Rasjidi.
Oh iya, ia juga tetap menjalankan grupnya, Kulkul. Ini grup worldmusic, yang
memainkan fusion, dengan memiliki warna tradisi Bali Grup ini dibentuknya dengan sahabatnya, Demas Narawangsa, yang kini tengah
menimba ilmu di Los Angeles, USA.
Soal rekaman albumnya, ia berkeinginan album itu juga
bisa memberi inspirasi bagi para musisi muda. Terutama, tentunya pemain biola.
Bisa berbagi ilmu kepada violinis-violinis muda. Karena ia, sampai sejauh ini,
tak mengajar.
Tapi di waktu depan, ia juga punya keinginan bisa
mendirikan sekolah musik. Sekolah khusus untuk violinis. Dengan metode
pengajaran berbeda, yang sesuai gayanya. Jadi, berbeda dari sekolah musik lainnya.
Well, Didiet Lockwood hehehe, Didiet Violin, begitu nama populernya. Trims berat nih, untuk waktunya,
mau cerita dan berbagi. Good luck ya
bro, untuk karir musikmu. Sampai jumpa lagi, di acara-acara musik lain /*
No comments:
Post a Comment