Lagi
pengen, menulis tentang apa ya baiknya? Ada banyak hal sih, yang bisa ditulis.
Yang memang melintas di pikiran saya, pada saat ini. Tapi kayaknya menulis
tentang grup musik ini, pada saat ini, ga ada salahnya....
Hebatnya
gini. Saya mendengar mereka, menymak cerita tentang mereka. Membaca tentang
mereka, sudah dari kapan ya, 4-5 tahun silam,mungkin? Lama kelamaan tertarik
juga. At least, tergodalah ya, untuk melihat mereka langsung. Performance
mereka, di panggung. Dan, tibalah kesempatan itu. Baru aje kemarin, bray.... Daaaaan, mereka emang Ngehek!
Yang
cewek dulu, Elda. Dulu saya kenalnya
sebagai Elda Yanuar. Denger kabar, nama itu, sudah ga dipakainya lagi.
Disimpennya dalam laci almarinya, dikunci tu laci. Kuncinya dibuangnya di sungai
Bengawan Solo. Eh apa di pantai Parangtritis, atau pantai Baron? Pokoknya,
sudah dilupakanlah.
Elda Suryani,
begitu nama yang tertera di paspornya, saya kenal baik pada sekitar 10-an tahun
silam. Lamo nian? Iyo, nianlah. Ia saya kenal ketika ia ikut sebagai peserta,
audisi eVo mencari vokalis. eVo itu
nama band “baru”. Di setting-lah, ga
punya vokalis, maka perlu cari vokalis. Mencarinya ini nih, lewat sebuah
program televisi.
Saat
itu, ada juga program sejenis, mencari vokalis grup rock di Amrik sono. Menyoal
eVo, isinya para musisi dari beberapa grup yang “papan selancar eh papan atas”
lah. Didit Saad (gitar,ex Plastik,
waktu itu sudah sibuk sebagai produser dan juga bermain dalam
Syaharani-Queenfireworks), Adnil Faisal
(gitar, ex Base Jam. Setelah itu jadi produser dan session player). Drummernya ada Ronald Fristianto (ex GIGI, ikutan juga di Magenta dan jadi session
player).
Sebagai
bassis adalah bassis sekaligus penulis lagu dan ex Dewa (19), Erwin Prasetya. Sementara itu pada
kibor, sekaligus sound-production dimana ia juga sebenarnya gitaris juga, Angga Tarmizi. Angga ini “pemain
cabutan”, langsung diterbangkan dari Boston, Massachusetts. Ia lagi selesai
studi di Berklee College of Music, sedang aktif berkarir musik di sana, lalu
dipanggil pulang untuk ikut eVo ini.
Ok,
program itu adalah ide dari Dhani Pette
dengan Pos Entertainment-nya. Dan sebagai program televisi, ditayangkan dengan
nama Reinkarnasi, di stasiun
Indosiar. Nah Elda, masuk 10 besar tuh, ia memenangkan audisi di kota
Yogyakarta.
Singkat
cerita, Elda terpilih. Tidak absolut waktu itu. Tapi sedari awal, kalau saya
sendiri melihat, anak mungil ini suara ga begitu bagus-bagus amat. Tapi unik
pada penampilannya. Dan kalau dicermati vokalnya, dia punya warna tersendiri.
Jarang kayaknya penyanyi cewek dengan timbre suara seperti dia.
Pe-er
sebenarnya sih buat kelima eVo. Karena warna vokal nan spesifiknya Elda itu.
Tapi itu tantangan yang menarik buat Didit Saad dan kawan-kawan. Bagaimana
menulis lagu yang bisa pas dibawain Elda dengan karakter vokal khasnya.
Ya
itu sekelumitlah cerita awal perkenalan saya dengan Elda mungil nan unik itu.
Etapi, ngemeng-ngemeng, saya
memangnya ada di eVo juga? Oh, saya di eVo? Bantu-bantu ajalah.... U know what I mean....
Ok then,
lalu tetiba ada Stars and Rabbit. Saya dapat info grup itu, sebagai duo
akustik, dari sahabat bak saya. Riva
Pratama namanya. Riva ini, kenal Elda sama juga. Waktu jamannya eVo. Riva
ikut juga di tim-nya eVo. So, jadi begitulah korelasinya. Saya, Elda dan Riva
Pratama. Jadi begitulah, Riva seneng ngabarin soal Stars and Rabbit.
Konsepnya
memang duo. Elda Suryani dengan Adi
Widodo. Adi bermain gitar. Belakangan format duo begitu, lagi bermunculan
satu demi satu. Sebut saja, ada Endah N Rhesa, eh tapi Endah itu ngegitar dan
vokalis dan Rhesa, main bass sih.
Ada
siapa lagi? Bubugiri. Belakangan juga
AriReda. Ya sebut lainnya deh, yang lainnya yang saya mungkin lupa. Tapi
Stars and Rabbit ini, bisa saya bilang, well...slowly
but sure.
Iya
duet ini, ga langsung melejit tinggi ke atas. Kalau terlalu mendadak melejit tinggi,
suka-suka susah turun, hilang ditelan langit! Atau sebaliknya, tetiba melejit
ke atas, abis power-nya, turunnya
deras betul ke bawah. Menukik tajam. And,
selesai!
Saya
memang niatnya berkisah saja tentang Stars and Rabbit, yang saya ketahui. Ya, terus
terang saja, jujur nih, saya aja baru sekali melihat penampilan panggung
mereka. Eh nyaris 2 kali sebetulnya. Cuma yang pertamakali itu, baru nyaris
aja. Pas dateng, telat euy. Saya sampai di venue, di acara yang mereka tampil,
pas banget mereka baru selesai.
Saya
memang lantas saja penasaran dengan penampilan mereka. Sebelum ini, saya
melihat, atau menonton mereka, lewat youtube
saja. Godaannya kuat betul. Saya melihat, edan nih Elda, udah kayak begitu aja?
Menurut
teman baik saya, Adnil Faisal. Di komennya di path, Elda mah ditempa asli lewat
waktu. Lewat keadaan. Saat ini, 10-n tahun selepas selepas eVo, Elda seperti
berproses mejadi tambah matang dan lebih matang lagi.
Baik
pada suaranya. Pada pilihan kostum dan tata rias. Dan, terpenting buat saya,
pada aksi panggungnya. Itu menjadi sebuah paket lengkap yang “sempurna”! Yang
sempurna dalam membungkus sebaik-baiknya, dari penampilan Stars and Rabbit-nya.
Ia
bertemu Adi Widodo, yang punya konsep musik “sederhana tapi pas”. Folk saja, sebagai dasar. Tapi folk yang “menjelajah” kemana-mana.
Lebarlah gitu. Elda secara pas, menempatkan dirinya, menjadi frontline, dari konsep musik Adi Widodo,
dengan gitarnya itu.
Sebenarnya,
duo saja,mereka sudah “menggiurkan”. Musik mereka terkesan emang sederhana.
Mereka kayaknya main lebih “deep”.
Itu pendapat saya ya. Lihat dari youtube,
atau mendengar beragam single mereka.
Musiknya
sederhana tapi renyah, crispy, ada
manisnya, asin-asin dikit, kadang sedikit spicy.
Enaklah untuk menggoyang kuping. Oh ya, pilihan lirik, yang dibikin Elda, pada
lagu-lagu mereka. Perlu diacungi jempol. Artinya tuh lebar dan luas. Elda memilih
menulis lirik banyak dalam bahasa Inggris. Dan ya itu bagus. Bukan somse sih.
Sok
English gitu? Ga lah. Toh akhirnya,
mereka direspon positif publik musik internasional. Eropa dan Asia,paling ga
lah. Tapi mereka punya potensi mendunia, lebih dari beberapa negara Eropa dan
Asia. Bisa mendunia. Kalau saja nasib mereka baik. Tapi nasib mereka itu,
didukung kejelian mereka dalam menulis lagu, mengemas musik and juga penampilannya.
Oh
ya,untuk jelasnya deskripsi musik mereka, saya pernah menulis begini. Sebuah duo minimalis, bermusik renyah
dan ringan. Tapi seperti mencolek hati, sesekali bisa juga membuat kita terasa
lebih relax. Sebuah racikan music yang lain memang.
Rileks, angkat kaki, ada
secangkir kopi di lawn chair yang kita duduki. Ditemani folk-pop-rootsy adonan musik mereka, mungkin saja bisa
membuat sore kita terasa lebih syahdu dan melenakan. Refreshing? Boleh saja. Yang paling tepat,
menyegarkan, sebetulnya. Gitar mengalun bening dan vokal utama Elda, yang unik,
khas, orisinal.
Saya
pernah menulis profile singkat mereka, di media saya doeloe. Sekitar 3 tahunan
lampau. Masih dalam konsep duo asli, waktu itu. Tapi sebegitupun, saya sudah
seolah tersengat. Eh lucu nih Elda dan Adi...
Waktu
itu, mereka baru saja melansir ‘Worth It’ sebagai single. Tapi dengan single
semata wayang begitu, Stars and Rabbit, sudah berhasil menembus kuping publik
internasional. Apalagi lantas disambung rekaman EP mereka, Live at Deus, berisikan 5 lagu.
Itu
rekaman minimalis dan “simple”. Single-camera. Mereka perform waktu itu di Deus Ex Machina,
Bali. Suara adience yang cukup banyak, juga diambil. Jadinya, materi rekaman
yang cukup untuk menjelaskan lebih lanjut musik duo mereka itu.
Kemudian
merekapun merilis Constellation,
sebagai full-album mereka. Fisiknya,
bentuk compact-disc nya ada, tapi diikuti pula rilis digital. Saya diberi “souvenir”
oleh Riva Pratama, satu ketika di penghujung 2015 silam. Saat mampir di
Yogyakarta.
Saya
lantas dengerin bolak-balik, emangnye kaset. Maksudnya, dengerin beberapa kali
materi album itu. Oh ya, waktu itu bermobil. Lagi touring “iseng” dengan The
KadriJimmo, yang melakukan promo tour radio di Jawa Tengah.
Rekamannya
bagus. Lebih mencermati materi lagu dan syair. Kemudian musik. Sederhana tapi
nikmat, ah macam restoran Padang saja, pake nikmat segala. Cuma saya, juga
Kadri yang ikut menyimak, mengkritisi sedikit. Kayaknya, mixing dan mastering,
harusnya bisa lebih baik?
Tapi
itu mungkin soal selera kuping sih. Namun terpenting, musik mereka secara
keseluruhan kan? Eh kemarin di April, mereka merilis lagi semacam Live Album, Live at Societat Militair. Isinya 8 lagu.
Sebelumnya, single 'The House' dari album Constellation, dirilis duluan. Dan diikuti pembuatan video musik berdurasi 3 menit. Lantas disambung, 'Like It Here', yang ternyata diambil Joko Anwar, menjadi musik untuk trailer filmnya, A Copy of My Mind.
Sebelumnya, single 'The House' dari album Constellation, dirilis duluan. Dan diikuti pembuatan video musik berdurasi 3 menit. Lantas disambung, 'Like It Here', yang ternyata diambil Joko Anwar, menjadi musik untuk trailer filmnya, A Copy of My Mind.
Sementara live album mereka itu, diambil
dari konser mereka yang sukses, alias sold-out,
di Societat, Yogyakarta. Kabarnya, dirilis dalam bentuk kaset. Dan sudah ludes-des
saat record store day yang terakhir,
bulan silam. Dibandrol 50.000,- saja. Selain itu, tentu format digital, via
iTunes.
Menarik
mengamati duo ini. Secara duo saja sebenarnya sudah menarik. Ya itu tuh, saling
mengisinya Elda dan Adi. Tapi belakangan, mereka juga kerap didukung
additional-players. Sehingg berbentuk band. Ada Alam Segara , sebagai bassis. Lalu Vicki Unggul, drummer. Dan Andi
Irfanto, kibordis.
Lebih
berisi dan “melebar”, pada tema musiknya. Saya tak pengen bilang, lebih baik.
Suasananya beda, ya dong format berdua dan berlima. Karena pada dasarnya,
format berduapun, mereka macam dua sejoli yang memadu kasih, di padang ilalang.
Berlarian, kadang berpegangan tangan. Orang yang menonton, tersenyum, merasakan
kebahagiaan cinta mereka. Ahay.
Itu
cuma gambaran saja. Adi sudah menikah, saat saya membuat tulisan ini, tengah
menanti kelahiran anak pertamanya. Elda, kabarnya punya pacar. Belum dikenalin
sih ke saya.
Perihal
band-nya. Para musisi itu, rata-rata berjam terbang lumayan tinggi, di
seputaran Yogyakarta. Di kafe misalnya. Ada juga yang nyambi, sebagai additional player Sheila on 7. Atau mendukung,
grup metal, Captain Jack. Nah dari bentuk “persekutuan kecil” itu aja, juga
terlihat tak kalah menarik. Ya ga?
Jadinya
gimana? Bagus kan? Ya kalau mau bukti, ubek-ubek
youtube ae, cak. Ada kok video-video pentas mereka, termasuk video dari
lagu, ‘Man upon the Hill’. Yang dari live album mereka itu. Diambil dari konser
Grow mereka yang karcisnya sampai bais itu, bray.
Grup
duo ini terbentuk kabarnya dari 2011. Ya dari lingkungan kafe juga adanya. Elda
itu, sebelum eVo, menjadi vokalis grup kafe, Candles. Adi, suka menontonnya dan mengaku
udah suka banget sama vokal dan penampilan Elda saat Candles. Adi ngeband juga, tapi dengan band berbeda. Mereka bisa
berkenalan, dan chemistry pun
menyambung. Jadi ber-duet deh.
Musisi
yang 3 orang, yang lantas mendukung mereka, juga teman-teman dekat mereka
sebelumnya. Well, jadi untuk menyambungkan visi, misi, selera bermusik bisa
lebih lancar. Maka hasil akhirnya, ya membuat Stars and Rabbit, “lebih berbeda”
lagi.
Yah
menarik fenomena apa yang disebut, kalangan indie yang terus growin’ up. Bertumbuh dengan cukup
subur. Cocok tanah en pupuknya, sob! Apalagi, kreatifitas mereka, dalam
menghasilkan format sajian. Macam duo, gitar dan vokal.
Tak
pelak, duo doang, kudu punya kelebihan lain. Dalam meng-cover panggung misalnya.
Menghasilkan enerji berlipat, yang “menaklukkan” penonton. Baik vokalis, harus
punya keunikan, ciri tersendiri. Gitaris juga, ya sami mawon. Mustilah kaya
dalam permainan gitarnya.
Format
duo begitu, bermunculan di yah sejak 5-6 tahun terakhirlah. Beberapa
diantaranya, sukses tampil ke permukaan. Meraih atensi positif. Memperkaya
khasanah indie. Yang aktif merancang strategi jualan sendiri, dalam
menyebarluaskan musik racikan mereka yang tertentu itu.
Bagaimana
“falsafah” hidup, do it yourself dijadiin pegangan. Menjadi landasan berpijak. Jalan
perlahan tapi pasti. Pelan-pelan fans dapat terkumpul, sebagian besar lekas
saja jadi model fans fanatik.
Nah
perkembangan positif model di atas itu, dari wilayah indie, membuat musik kita
tetap terlihat cerah. Major label,
sebagian besar mau tak mau,ikat pinggangnya. Putar otak atur strategi, ya
jualan ya bertahan hidup. Ga kuat, ya ambruk. Seperti ambruknya satu persatu jaringan
toko-toko musik, penjual cd dan kaset.
Major
label kembang kempis, yang kalau kelamaan kempisnya ya...tampias. Alias, gulung tikar. Sementara indie movement, jalan terus menapak pasti. ”Swasembada” saja pada
awalnya dulu. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian....
Kuncinya
sih pada ke-pede-an kayaknya. Pede aja, bro and sis. Yakin. Terus bersemangat.
Semangat dalam jalan terus, sembari aktif merancang ide-ide unik, beda, unik.
Ya untuk musiknya, untuk pentasnya, sampai bagaimana menjual....
Itu
fenomena musik dimana-mana pada saat ini. Fenomena dimana rilis fisik, seperti
cd seolah menurun drastis. Tapi toh tetiba ada yang merilis vinyl lah, sampai
kaset segala. Ada juga ternyata yang membeli. Bukan pasar yang besar sih. Tapi
kan, bisa menjadi “vitamin” untuk merangsang kreatifitas dan semangat?
Kemudian
manggungnya. Satu demi satu, bertambah terus frekwensinya main. Yang kalau sudah
begitu, pasti diikuti, meningkat juga dong “argometer”nya. Semangat untuk terus
main, tampil dimana-mana. Berakibat, ya gitu makin dikenal luas.
Apa
ga heibats bray, ada grup yang indie, tapi sebulan saja bisa mendapatkan order
manggung sampai 19 kali? Kalau frekwensi sudah segitunya, bohonglah kalau fee
alias bandrol mereka, ga ikutan naik!
Khuus untuk Stars and Rabbit, mereka sempat melakukan tur ke beberapa negara Asia, di tahun kemarin. Mengunjuni Tiongkok dan Hongkong. Tahun ini, menurut Riva, mereka berencana meneruskan lagi tur internasionalnya. Yang akan bersambung dengan tur ke beberapa kota di Indonesia.
Khuus untuk Stars and Rabbit, mereka sempat melakukan tur ke beberapa negara Asia, di tahun kemarin. Mengunjuni Tiongkok dan Hongkong. Tahun ini, menurut Riva, mereka berencana meneruskan lagi tur internasionalnya. Yang akan bersambung dengan tur ke beberapa kota di Indonesia.
Well, band-band indie begini, yang penting, teteup teguh aja pada...eksplorasi. Kreatifitas terus menerus digenjot. Jangan cepet puas. Jangan semata-mata duit jadi target utama. Yoih,ga dosa juga sih, cari duit untuk hidup, kalau memang ada peluang bagus ke situ. Wajarlah. Cuma baek-baek kepleset aje, naik kecepetan, lupa diri. Bandrol naik cepet dah, syusyahlah untuk diturunin, apapun alasannya.
Menyoal sisi negatif. Lainnya, bisa begini nih, cepet puas diri juga adanya. Tak merasa perlu lagi kreatif, segitu aja udah laku dan laris-manis. Udahlah, latihan seperlunya aja, yang penting liburan dulu kesana-kemari... Cieeeee, cieeeee, jadi bisa melancong moloooo niii yeeeee.
Begitu
deh, cerita pendek saya tentang Stars and Rabbit, Elda dan Adi. Dunianya
pergerakan indie dewasa ini. Semoga bermanfaat. Menjadi, apa ya, pencerahan
kali yeee? Ya memang sih, dasarnya ya begitulah adanya, Stars and Rabbit ...Ngehek bingits! Apa ga ngehek, bikin gw
jadi kesengsem dan pengen nulis mereka.... /*
3 comments:
Sukses Elda Rabit
Mereka Keren.. Sukses terus untuk Stars and Rabbit dan untuk penulis.
saya baca ini ketika mba elda dan mas adi memutuskan untuk jalan masing-masing.. kalimat "mereka layaknya sejoli" bikin hati ini nyesek, kenapa mas adi memutuskan keluar dan memulai bisnis di bidang advertising? pertanyaan yang sampai sekarang coba untuk tidak ku pertanyaakan untuk menjaga privasi mereka masing2.
ketika album star and rabbit yang ke 2 rilis, saya sebagai fans mereka sejak 2012 via youtube merasa ada yang aneh dari genre musik yang mereka pilih. style fairy dan petikan gitar mas adi yang bisa bikin mata merem itu hilang.. tp tanpa memberikan komntar negatif sedikitpun saya tetap mendengarkan lagu mereka. sampai album ke 3 keluar dan yah lumayan kembali ke jalan nya sih hihiih mengobati sedikit kerinduan akan petikan gitar ala mas adi.
semoga star and rabbit bisa sukses dan terus berkarya menciptakan lagu2 yang beda dari yang lain..
salam dari Makassar
Post a Comment