Rasanya,
pasti ga mudah untuk mempersiapkannya. Membuatnya, mengemasnya. Tapi juga, di
sisi lain, tak mudah untuk menerima, mencerna dan memahaminya.
Ya
ga gampang bikin, ga gampang dengerin, tapi diem-diem sudah melintas di 4 kota.
Maksudnya, menyambangi. 4 kota! Mau ke kota kelima, insya Allah September
mendatang, begitu kabarnya. Giliran kota gudeg, Yogyakarta. Saya ga mengira,
ini bisa jalan satu demi satu, mampir di satu persatu kota.
Sudah
ada target, atau mungkin tepatnya impian atawa keinginan, semoga bisa keliling
Jawa. Mungkin terjauh, Bali? Dan menjadi semacam penyebaran virus. Virus untuk
ooooi, jangan lupa sejarah.Bukan lantas jadi mengkultuskan.Tapi, menghormati
saja, itu sudah sangat baik.
Musik
itu luas. Cem-macem genre ada. Semua juga baik, semua juga asyik, semuanya juga
nyenengin. Apalagi buat para penggilanya. Kalau buat para musisi yang mainin?
Iya, tapi baek-baek jangan kelewat seneng, jadi keliatan orgasme sendiri.
Onani?
Tetap
saja pada konteksnya, musik yang dimainin harus bisa tersebar luas. Disenengin
tak hanya lima-enam orang. Hari ini dua puluh tujuh – dua puluh delapan orang.
Besok harus targetkan bisa disukai empat puluh-an orang, misalnya.
Konser
bisa dimana saja. Kafe, kenapa tidak? Yang penting, musiknya hidup dan
menyebar. Jangan pernah lelah berusaha, “menebar virus”.Jangan pernah puas
dengan pencapaian “Like” di
media-media sosial. Jangan kelewat senang, dipuja-puji di Facebook misalnya.
Kenyataan dong, yang nonton siapa? Yang hepi siapa?
Nah
kita lantas lihat konsep pergelaran satu ini. Saya tulis di atas, ini ga
gampang nyiapinnya. Secara musik aja deh. Lebih dari dua puluhan lagu dengan
sekitar sepuluhan penyanyi. Lagu-lagu dengan materi musik yang “tak biasa”.
Kompleks. Kompelsk tentara? Anak kolong dong?
Kompleksitas
nadanya, juga dalam kemasan musiknya. Paling kawatir adalah, jaman sekarang
semua menjadi sangat mudah “dicerna”. Kenapa harus mendengarkan lagi yang
“susah-susah”. Eits, tunggu dulu coy. Yang gampang, biasanya mudah masuk, mudah
keluar. Dan....selesai!
Kalau
yang relatif susah, begitu bisa masuk, akan bisa lama “mengendap”. Menari-nari
di jiwa dan pikiran. Stay nya lama.
Dinget. Nyangkut banget, istilahnya. Nyangkut di hati dan pikiran.
So,
yang rada susah, ga susah sebenarnya dicerna kan ya? Bisa saja begitu. Tapi
kalau menyangkut konser Badai Pasti
Berlalu ini, memang ada tawaran nostalgia. Mengenang masa-masa indah, di
waktu lampau. Album Badai Pasti Berlalu,
memang menjadi salah sat album musik terpenting, yang seperti memicu lahirnya
musik-musik Indonesia lain, yang memperkaya khasanah musik kita.
Konser
ini memakai tajuk Badai Pasti Berlalu
plus. Plus karena ada banyak karya lagu yang dimainkan, muncul dari album
di luar album yang dirilis tahun 1977 itu. Sekedar mengingatkan, album Badai
Pasti Berlalu musiknya diarahkan Eros
Djarot. Eros juga menulis sebagian besar
lagu di dalamnya. Ia menuliskan bersama Yockie Suryoprayogo, juga mengemas musiknya.
Adalah
lanjutan dari konser serial, Lomba Cipta
Lagu Remaja Plus (LCLR +), yang
dimulai di Jakarta di Oktober 2015. Kemudian ke Bandung dan Surabaya.
Sebenarnya materi lagu yang dimainkan, bisa dibilang sama, hanya judul saja
difokuskan kali ini pada album fenomenal itu.
Pada
sejarahnya, baik Badai Pasti Berlalu dan Lomba Cipta Lagu Remaja (albumnya
bertitel 10 Lagu Terbaik, untuk tahun pertama), dirilis dalam tahun yang sama,
1977. Dan kedua album itu dianggap sebagai album yang “melahirkan” apa yang
disebut sebagai “pop kreatif”.
Pop
kreatif itu sebuah sebutan rada kontroversial sebetulnya. Maksudnya adalah pop
yang berbeda, lebih “sulit”, dibanding pop biasa. Nah, pop biasa saja itu
“dilecehkan” dengan nama “pop cengeng”. Ya sama-sama punya penggemarnya
sendiri-sendiri sih. Walau terkesan, pop kreatif lebih ke kalangan penggemar
musik menengah ke atas dan di kota-kota besar.
Sementara
pop cengeng, dianggap masuk di kuping dan hati kalangan di luar kota besar.
Juga di strata sosial menengah ke bawah. Tapi mungkin secara jumlah,kalau saja
mau dihitung, rasanya bersaing. Punya basis massa kuatlah.
Di
era itu, harus diingat pula, selain kedua sub jenis musik itu, masih ada
jazz(y) pop, yang juga lumayan populer. Ataupun, belakangan juga ada rock.
Selain itu, masih ada era band-band pop, misalnya Koes Plus dan Panbers.
Menyoal
konser di kota Malang, pada 27 Mei silam itu. Penamaannya tidak lantas berarti,
sebagian besar karya lagu dalam album yang dilansir tahun 1977 itu dimainkan.
Justru, dari album itu hanya ada ‘Pelangi’, ‘Matahari’, ‘Angin Malam’ dan so pastilah,
‘Badai Pasti Berlalu’ yang disajikan.
Lagu
pembuka saja, ‘Jurang Pemisah’, itu diambil dari album bertitel sama. Dilepas
ke pasar juga di tahun 1977, yang adalah album seperti kerja bareng Yockie
Suryoprayogo dan alm. Chrisye, sebagai penyanyi. Di Malang kemarin itu, lagu
tersebut dibawakan duet, Kadri Mohamad
dan Husein Al Atas.
Musik
panjang, bertenaga. Seperti langsung memancing naik tinggi tensi pertunjukkan.
Musik memang padat dan seperti penuh enerji. Kedua vokalis, agak sedikit
keteteran, teristimewa dalam stage-act.
Hampir kayak mati gaya, karena lagu memang panjang, dan didominasi instrumental
sebenarnya. Lagu ini memang liriknya terbilang minim...
Sambung
lagu kedua, ‘Dalam Kelembutan Pagi’. Dinyanyikan Fryda Lucyana, berduet dengan Yockie Suryoprayogo. Ini lagu diambil
dari Lomba Cipta Lagu Remaja pertama, di tahun 1977. Karya dari Baskoro. Fryda
lalu melanjutkan penampilannya dengan, ‘Rindu’ karya Eros Djarot.
peluhku
berjatuhan...menikmati sentuhan ... perasaan yang teramat dalam....tlah
kau bawa sgala yang kupunya rindu ini tlah sekian
lama terpendam
Disebut
oleh Yockie, ini salah satu apa yang disebut “plus”, dari pergelaran ini. Diambil
dari album solo Fryda Lucyana sendiri, Nuansa
Cinta, yang dirilis 1995. Album tersebut berisi 8 lagu, kesemuanya karya
Eros Djarot. Lagu ‘Rindu’ itu, kemudian dipopulerkan lagi oleh Agnezmo.
Seperti
khittahnya konser yang mengumbar lagu-lagu penuh kenangan, maka penonton datang
memang siap untuk koor bareng. Sing along, tak sungkan dilakukan mulai langsung
lagu kedua. Ditingkahi pula oleh sambutan riuh penonton, ya untuk lagu dan ya
untuk penyanyinya.
‘Nuansa
Bening’, dibawakan Keenan Nasution,
sebagai lagu berikutnya. Lagu tersebut diambil dari album Di Batas Angan Angan, solo album Keenan, yang dirilis tahun 1978.
Liriknya ditulis Rudi Pekerti, dengan musik ditangani Addie MS. Lagu ini baru
intro saja dengan, “Hmmm....”, langsung mendapat respon riuh penonton. Koor
barengpun berlanjut....
Ada
Host, yang adalah master of ceremony kawakan. Ia beken banget di seputaran
1980-1990an. Tetap enerjik, dan...tetap gondrong. Ovan Tobing. Abis chitchat
Ovan Tobing dengan Keenan, muncul kemudian Elfonda
“Once” Mekel dengan, ‘Resesi’. Musiknya riang, ada nuansa reggae. Dan
penonton menyambut antusias. Yaaaa, Once gettoooo lhoooo.
Lagu
Resesi itu, dikenal lewat album milik alm. Chrisye, yang berjudul sama. Lagu
dibuat oleh Chrisye sendiri, bersama Eros Djarot. Dirilis ke pasar pada 1983,
merupakan album hasil kerja bareng Eros Djarot, Chrisye dan Yockie
Suryoprayogo.
Suasana
makin hangat, ketika masuk lagu kelima. Kali ini, Yockie sendiri yang menjadi
penyanyinya. Tetap sambil memainkan 7 set keyboard dan synthesizer, yang
mengelilinginya. Lagu yang dibawakan, ‘Citra Hitam’.
Ohh
semesta... Simphonymu tiada pernah nyata. Paduan nada mengiringi. Hidupmu insan...
Niskala
Suasana
langsung terasa...kelam. Sendu. Muram. Liriknya seperti menyebar ke seluruh
penjuru ruangan Ijen Suites Convention Centre, dengan lirih. Walau Yockie
menyuarakannya dengan lantang dan cukup ekspresif.
Selesai
Yockie, muncul Dian Pramana Poetra.
Kembali suasana menjadi lebih ceria. Penonton segera menyalakan lagi
semangatnya. Siap-siap menyanyi bareng. Dian membawakan, ‘Kau Seputih Melati’.
Kalau
Citra Hitam dikenal sebagai lagu dalam album Sabda Alam-nya Chrisye, yang
diedarkan tahun 1978. Oh ya itu lagu dibuat oleh Chrisye, Yockie dan Junaedi Salat.
Maka lagunya Dian, lumayan populer di seputaran 1986. Menjadi salah satu hits,
dari album yang bertitel sama, dan merupakan album pop kolaborasi Dian dan
Yockie Suryoprayogo.
Dian
melanjutkan dengan, ‘Selamat Jalan Kekasih’, yang ah membuat ruangan sejuk,
adem, sejak en segerrr...gemah ripah loh
jinawi tentrem rahardja... Ini juga
hits milik Chrisye, dari album Metropolitan,
dirilis tahun 1984. Album itu lagi-lagi buah kolaborasi tiga sekawan, Eros –
Chrisye – Yockie.
Selesai
Dian menuntaskan Selamat Jalan Kekasih, iapun memanggil teman duetnya. Sebut
saja, “kekasih setianya” di atas panggng. Deddy
Dhukun. Mereka menghadirkan medley beberapa
hits karya mereka, ‘Ooya’, ‘Duhai Kekasihku’, ‘Melyang’ dan ‘Semua Jadi Satu’.
Nah
ketika Deddy memilih muncul dari floor, menembus penonton. Membuat penonton
histeris. Saking histerisnya, sebagian di antaranya mulai nekad, mengajak
foto-foto bareng. Welfie deh gitu, ya
Deddy. Saat Dian mencoba menjemput Deddy, mereka berdua langsung ditarik
penonton untuk foto-foto.
Ini
serunya konser model begini. Kesempatan foto-foto dengan artis itu, kayaknya
menjadi target utama yang harus kesampaian, bagi para penonton. Alhasil, setiap
kesempatan di depan mata, tak pernah dilewatkan begitu saja!
Masih
bisa terkendali sih, di saat awal itu. Tapi penonton memang terlalu
bersemangat. Ga bisa lihat penyanyi turun panggung,menghampiri penonton.
Langsung diajak berfoto-foto. Padahal, lagi menyanyi.
Suasana
foto-fotoan massal begitu, lebih rame di Malang. Walau sesungguhnya, di setiap
kota pasti ada penonton menyerbu artis penyanyi,buat welfie-welfie an begitu. Tapi di Malang kemarin, para ibu-ibu lebih
bersemangat dan...nekad! Ibu-ibunya duluan, lantas menggerakkan bapak-bapaknya
untuk...tak mau kalah aksi!
Ya gimana ga nekad? Mencegat langsung artis
penyanyi lho, sampai seringkali terjadi, si penyanyi jadi sulit lagi meneruskan
nyanyiannya. Untung tak lantas bikin suasana kelewat gaduh. Ga chaos. Tapi....ga aman sih.
Serba
salah, kalau ditolak, atau penyanyi ogah berfoto-foto, nanti dianggap somse. Kalau diikuti, mau foto-fotoan,
penonton lain terpancing untuk minta foto-foto juga. Mau dijagain para penyanyi
itu juga sulit, pihak sekuriti jengah kalau untuk “mengusir” para ibu-ibu.
Dimana
sosial media sudah begitu populer, foto-foto jadi hal sangat penting. Apalagi
bisa berfoto dengan para bintang pujaan hati. Yang penting sih, harus ingat
saja, jangan terlalu bersemangat. Nanti bisa mengganggu acara.
Masih
soal foto-foto. Itu juga membuat beberapa orang, mencari berbagai cara untuk
bisa menembus sampai ke ruang tunggu artis! Mereka dengan penuh ceria, meminta
satu persatu berfoto-foto dengan mereka. Hal itu terjadi di Malang kemarin. “Beruntung”
para penonton nekad itu, panitya tak terlalu “peduli” dengan keamanan (dan
kenyamanan) artis di ruang tunggu. Sehingga, ada yang leluasa...
Fenomena
tersendiri dari pentas konser saat ini. Bukan hanya menyangkut konser musik populer,
yang penontonnya kaum muda. Kaum dewasa, macam bapak-bapak dan ibu-ibunya tak
kalah sigap dan lincah untuk merebut kesempatan berfoto-foto. Bukan lagi minta tanda tangan. Yang penting foto-foto.
Dan langsung...upload!
Apalagi
ketika konser berakhir. Kemarin, seusai lagu terakhir yang dinyanyikan seluruh
artis penyanyi, ‘Lilin Lilin Kecil’, maka penonton langsung menyerbu ke atas
panggung! Lagi-lagi, ada barikade sekuriti di depan panggung, bisa tembus dengan
“akal-akalan” penonton, terutama kaum ibu-ibu....
Hanya
bisa dikendalikan sesaat saja. Selanjutnya, mereka “leluasa” memenuhi panggung.
Padahal areal panggung, masih penuh dengan peralatan para musisi. Misalnya
seperti asesoris-asesoris gitaris, bassis atau pemain violin. Areal itu
harusnya tetap “steril”, sebelum semua peralatan diselamatkan.
Ngefans
sih boleh banget. Puja-puji ya ga papa. Histeris juga lumrahlah. Tapi, bisa ga
ya, nyanyi-nyanyi barenglah yang penting. Foto-fotonya nanti, tahan dulu, sabar
saja sedikit. Nanti juga akan datang kesempatan itu kok. Percaya deh.
Tapi
memang penonton yang begitu antusias itu, mau ga mau sisi positifnya adalah,
menghidupkan acara keseluruhan. Ya kayak nyanyi-nyanyi bareng itu. Tambah
meriah dan ramai. Seru liat atmosfirnya.
Atau,
mungkinkah sampai harus dipasang peraturan tegas, dilarang membawa hape atau
peralatan foto ke dalam gedung? Ekstrim lah itu. Pasti akan lebih ekstrim dan “mengecewakan”
kalau saja sampai ada peraturan, mau memotret harus...bayar dulu! Nah makanya,
sebelum sampai ada peraturan begitu “kejam”, menontonlah dengan lebih tertib,
tenang, sabar. Senang-senang saja....Nikmati, dengan melihat dan mendengar.
Jangan mau buru-buru foto-fotoan...
Ok
lewati soal semangat berlipat para penonton, terutama untuk berfoto. Balik lagi
ke konser Badai Pasti Berlalu +. Total ada 23 lagu yang dibawakan. Penyanyinya
sendiri total berjumlah 11 orang.
Lagu-lagu
lainnya, yang dihadirkan dengan musik yang rata-rata cenderung ke arah rock
atau progressive rock itu antara lain,’Khayal’ dan ‘Kharisma Indonesia’oleh Louise Theresia Hutauruk. Marcell membawakan, ‘Cinta’dan ‘Kala
Sang Surya Tenggelam’.
da
pula Gilang “Idol” Samsoe, yang membawakan ‘Pelangi’.
Sebelumnya, ia berduet dengan Kadri Mohamad, membawakan, ‘Apatis’. Gilang juga
membawakan, ‘Juwita’ berduet dengan Marcell, yang menjadi lagu pamungkas kedua
terakhir, sebelum grand finale dengan
‘Lilin LiLin Kecil’ itu.
Ada
juga, Berlian Hutauruk yang sangat
ekspresif dengan lagu, ‘Matahari’ dan ‘Badai Pasti Berlalu’. Yang sukses
membuat suasana menjadi begitu dramatis. Penonton menjadi seolah tersihir.
Diam, menikmati suara Berlian yang memang “berlian” itu. Sampai lupa foto-foto
kan? Mau nyanyi bareng juga bingung sih....
Once
naik panggung lagi untuk membawakan, ‘Angin Malam’ Dimana penulis lagunya itu,
kibordis, Debby Nasution, ikut
tampil sebagai kibordisnya juga. ‘Negeriku Cintaku’dibawakan secara bergemuruh
dan megah, dan oh ya panjaaaang, dengan Keenan Nasution. Keenan memulainya
dengan bermain drums, sehingga ia berduet drums dengan Mohamad Iqbal. Debby juga ikut bermain di lagu megah itu.
Lagu
lain, ‘Anak Jalanan’ yang ditulis Guruh Soekarnoputra untuk almarhum Chrisye
dan masuk di album Sabda Alam. Lagu ngerock itu dibawakan oleh Husein “Idol Al
Atas, lengkap dengan gaya metal-nya.
Sebelum
itu, penulis lagu yang sebagian dibawakan di konser ini juga dipanggil naik ke
panggung. Eros Djarot, memang selalu datang menonton, duduk di row terdepan. Ia becanda dengan Yockie
sesaat, mengajak penonton bangga atas ke-Indonesia-an kita semua. Lalu sempat
membawakan sekitar setengah lagu, salah satu hits dari album Badai Pasti
Berlalu, ‘Merpati Putih’.
Secara
keseluruhan tontonan konser ini memang sukses, dalam hal menawarkan musik
bergizi. Menyehatkan jiwa dan pikiran. Bisa juga jadi obat stres. Memuaskan
dahaga, akan musik-musik enerjik nan “bermusik penuh” dan well, sebagian memang
sih “komplit-plit”.
Walau
mungkin, perlu dicermati soal durasi konser. Kali ini di Malang, terlihat ada
penonton yang perlahan, satu demi satu, meninggalkan acara. Padahal konser
belum berakhir. Tidak membuat gedung langsung kosong sih, tapi pemandangan
kurang asyik juga, melihat ada penonton pulang, di tengah-tengah konser.
Sebelumnya,
semisal di Bandung dan Surabaya, tak begitu terlihat penonton yang pulang di
saat konser masih berlangsung. Terutama di Bandung, bisa dibilang seluruh penonton
tetap seru dan bersemangat, dari awal sampai akhir! Durasi relatif sama di setiap konser ini, sekitar 3 jam.
Konser ini baik untuk sekaligus mengingat dan menghargai karya-karya lagu dan musik masa lalu, yang
terasa tetap sedap. Tetap saja nikmat untuk disantap, walau sudah 20an bahkan
30an tahun lebih usianya.
Tak
hanya sehat buat kalangan berusia kisaran seputar 40-50an tahun atau lebih.
Sebagai arena nostalgia, sekaligus bisa reunian dengan sahabat-sahabat masa
lalu. Tapi harusnya juga menyegarkan dan menyenangkan bagi generasi yang lebih
muda, untuk mengenal musik-musik dan lagu berbeda di era sebelumnya.
Positifnya, saya melihat, antusiasme "Like" atau komen-komen pujian di Facebook itu kelihatan real. Kenapa? Mereka yang berharap, lewat komen-komennya, untuk bisa didatangi rombongan sirkus eh rombongan LCLR+ atau Badai Pasti Berlalu+ di kotanya masing-masing itu, ternyata ga sekedar menulis. Mereka datang menonton, bahkan mau beli tiket walau harga tiket tak terlalu murah lho.
Yockie
Suryoprayogo memang menjadi “benang merah utama”. Seluruh karya yang dimainkan,
didominasi lagu karyanya ataupun lagu yang pernah ditangani musiknya. Yockie,
dalam musik, didukung oleh Indro Hardjodikoro, bassis. Kehadiran Indro dan
bandnya, membuat suasana musik dan lagu menjadi enak banget didengerinnya. Sedaaaapdi lidah,eh maksudnya di kuping!
Indro,
ditemani drummer, Mohamad Iqbal atau Yoiqball.
Ada violin, yang dimainkan oleh Sigit “Didiet violin” Ardityo. Ada Eggy Eghay, sebagai kibordis dan Yankjay Nugraha sebagai gitarisnya. Ada
juga 3 backing vocals nan cantik.
Yaitu Mery, Dewi Faradila dan Mia
Adhitya.
Penampilan
konser Badai Pasti Berlalu +, lebih disempurnakan lagi oleh dukungan semua
peralatan band beserta tata suara dari DSS
Sound. Dimana langsung Donny Hardono,
owner DSS, yang turun tangan sebagai sound engineer.
Harus
diberi pujian dan acungan jempol, masih ada pihak promotor, yang peduli dengan
karya-karya emas monumental era sebelumnya. Untuk dihadirkan lagi, dengan unsur kemegahan
yang cukup terjaga. Adalah Mahana Live
dan Interact, yang kali ini juga
didukung Digisparks menjadi
penyelenggara, setelah kota Bandung di Januari silam.
Sampai
jumpa lagi, pada kota tujuan berikutnya..... Hidup Musik Indonesia! / *
No comments:
Post a Comment