Friday, June 3, 2016

Musik, Lagu dan Welfie di Konser BADAI PASTI BERLALU+




Rasanya, pasti ga mudah untuk mempersiapkannya. Membuatnya, mengemasnya. Tapi juga, di sisi lain, tak mudah untuk menerima, mencerna dan memahaminya.
Ya ga gampang bikin, ga gampang dengerin, tapi diem-diem sudah melintas di 4 kota. Maksudnya, menyambangi. 4 kota! Mau ke kota kelima, insya Allah September mendatang, begitu kabarnya. Giliran kota gudeg, Yogyakarta. Saya ga mengira, ini bisa jalan satu demi satu, mampir di satu persatu kota.
Sudah ada target, atau mungkin tepatnya impian atawa keinginan, semoga bisa keliling Jawa. Mungkin terjauh, Bali? Dan menjadi semacam penyebaran virus. Virus untuk ooooi, jangan lupa sejarah.Bukan lantas jadi mengkultuskan.Tapi, menghormati saja, itu sudah sangat baik.

Musik itu luas. Cem-macem genre ada. Semua juga baik, semua juga asyik, semuanya juga nyenengin. Apalagi buat para penggilanya. Kalau buat para musisi yang mainin? Iya, tapi baek-baek jangan kelewat seneng, jadi keliatan orgasme sendiri. Onani?
Tetap saja pada konteksnya, musik yang dimainin harus bisa tersebar luas. Disenengin tak hanya lima-enam orang. Hari ini dua puluh tujuh – dua puluh delapan orang. Besok harus targetkan bisa disukai empat puluh-an orang, misalnya.
Konser bisa dimana saja. Kafe, kenapa tidak? Yang penting, musiknya hidup dan menyebar. Jangan pernah lelah berusaha, “menebar virus”.Jangan pernah puas dengan pencapaian “Like” di media-media sosial. Jangan kelewat senang, dipuja-puji di Facebook misalnya. Kenyataan dong, yang nonton siapa? Yang hepi siapa?

Nah kita lantas lihat konsep pergelaran satu ini. Saya tulis di atas, ini ga gampang nyiapinnya. Secara musik aja deh. Lebih dari dua puluhan lagu dengan sekitar sepuluhan penyanyi. Lagu-lagu dengan materi musik yang “tak biasa”. Kompleks. Kompelsk tentara? Anak kolong dong?
Kompleksitas nadanya, juga dalam kemasan musiknya. Paling kawatir adalah, jaman sekarang semua menjadi sangat mudah “dicerna”. Kenapa harus mendengarkan lagi yang “susah-susah”. Eits, tunggu dulu coy. Yang gampang, biasanya mudah masuk, mudah keluar. Dan....selesai!
Kalau yang relatif susah, begitu bisa masuk, akan bisa lama “mengendap”. Menari-nari di jiwa dan pikiran. Stay nya lama. Dinget. Nyangkut banget, istilahnya. Nyangkut di hati dan pikiran.

So, yang rada susah, ga susah sebenarnya dicerna kan ya? Bisa saja begitu. Tapi kalau menyangkut konser Badai Pasti Berlalu ini, memang ada tawaran nostalgia. Mengenang masa-masa indah, di waktu lampau. Album Badai Pasti Berlalu, memang menjadi salah sat album musik terpenting, yang seperti memicu lahirnya musik-musik Indonesia lain, yang memperkaya khasanah musik kita.
Konser ini memakai tajuk Badai Pasti Berlalu plus. Plus karena ada banyak karya lagu yang dimainkan, muncul dari album di luar album yang dirilis tahun 1977 itu. Sekedar mengingatkan, album Badai Pasti Berlalu musiknya diarahkan Eros Djarot. Eros juga menulis sebagian besar  lagu di dalamnya. Ia menuliskan bersama Yockie Suryoprayogo, juga mengemas musiknya.
Adalah lanjutan dari konser serial, Lomba Cipta Lagu Remaja Plus (LCLR +), yang dimulai di Jakarta di Oktober 2015. Kemudian ke Bandung dan Surabaya. Sebenarnya materi lagu yang dimainkan, bisa dibilang sama, hanya judul saja difokuskan kali ini pada album fenomenal itu.

Pada sejarahnya, baik Badai Pasti Berlalu dan Lomba Cipta Lagu Remaja (albumnya bertitel 10 Lagu Terbaik, untuk tahun pertama), dirilis dalam tahun yang sama, 1977. Dan kedua album itu dianggap sebagai album yang “melahirkan” apa yang disebut sebagai “pop kreatif”.
Pop kreatif itu sebuah sebutan rada kontroversial sebetulnya. Maksudnya adalah pop yang berbeda, lebih “sulit”, dibanding pop biasa. Nah, pop biasa saja itu “dilecehkan” dengan nama “pop cengeng”. Ya sama-sama punya penggemarnya sendiri-sendiri sih. Walau terkesan, pop kreatif lebih ke kalangan penggemar musik menengah ke atas dan di kota-kota besar.
Sementara pop cengeng, dianggap masuk di kuping dan hati kalangan di luar kota besar. Juga di strata sosial menengah ke bawah. Tapi mungkin secara jumlah,kalau saja mau dihitung, rasanya bersaing. Punya basis massa kuatlah.
Di era itu, harus diingat pula, selain kedua sub jenis musik itu, masih ada jazz(y) pop, yang juga lumayan populer. Ataupun, belakangan juga ada rock. Selain itu, masih ada era band-band pop, misalnya Koes Plus dan Panbers.

Menyoal konser di kota Malang, pada 27 Mei silam itu. Penamaannya tidak lantas berarti, sebagian besar karya lagu dalam album yang dilansir tahun 1977 itu dimainkan. Justru, dari album itu hanya ada ‘Pelangi’, ‘Matahari’, ‘Angin Malam’ dan so pastilah, ‘Badai Pasti Berlalu’ yang disajikan.
Lagu pembuka saja, ‘Jurang Pemisah’, itu diambil dari album bertitel sama. Dilepas ke pasar juga di tahun 1977, yang adalah album seperti kerja bareng Yockie Suryoprayogo dan alm. Chrisye, sebagai penyanyi. Di Malang kemarin itu, lagu tersebut dibawakan duet, Kadri Mohamad dan Husein Al Atas.
Musik panjang, bertenaga. Seperti langsung memancing naik tinggi tensi pertunjukkan. Musik memang padat dan seperti penuh enerji. Kedua vokalis, agak sedikit keteteran, teristimewa dalam stage-act. Hampir kayak mati gaya, karena lagu memang panjang, dan didominasi instrumental sebenarnya. Lagu ini memang liriknya terbilang minim...

Sambung lagu kedua, ‘Dalam Kelembutan Pagi’. Dinyanyikan Fryda Lucyana, berduet dengan Yockie Suryoprayogo. Ini lagu diambil dari Lomba Cipta Lagu Remaja pertama, di tahun 1977. Karya dari Baskoro. Fryda lalu melanjutkan penampilannya dengan, ‘Rindu’ karya Eros Djarot.
peluhku berjatuhan...menikmati sentuhan ... perasaan yang teramat dalam....tlah kau bawa sgala yang kupunya rindu ini tlah sekian lama terpendam
Disebut oleh Yockie, ini salah satu apa yang disebut “plus”, dari pergelaran ini. Diambil dari album solo Fryda Lucyana sendiri, Nuansa Cinta, yang dirilis 1995. Album tersebut berisi 8 lagu, kesemuanya karya Eros Djarot. Lagu ‘Rindu’ itu, kemudian dipopulerkan lagi oleh Agnezmo.
Seperti khittahnya konser yang mengumbar lagu-lagu penuh kenangan, maka penonton datang memang siap untuk koor bareng. Sing along, tak sungkan dilakukan mulai langsung lagu kedua. Ditingkahi pula oleh sambutan riuh penonton, ya untuk lagu dan ya untuk penyanyinya.
‘Nuansa Bening’, dibawakan Keenan Nasution, sebagai lagu berikutnya. Lagu tersebut diambil dari album Di Batas Angan Angan, solo album Keenan, yang dirilis tahun 1978. Liriknya ditulis Rudi Pekerti, dengan musik ditangani Addie MS. Lagu ini baru intro saja dengan, “Hmmm....”, langsung mendapat respon riuh penonton. Koor barengpun berlanjut....


Ada Host, yang adalah master of ceremony kawakan. Ia beken banget di seputaran 1980-1990an. Tetap enerjik, dan...tetap gondrong. Ovan Tobing. Abis chitchat Ovan Tobing dengan Keenan, muncul kemudian ElfondaOnceMekel dengan, ‘Resesi’. Musiknya riang, ada nuansa reggae. Dan penonton menyambut antusias. Yaaaa, Once gettoooo lhoooo.
Lagu Resesi itu, dikenal lewat album milik alm. Chrisye, yang berjudul sama. Lagu dibuat oleh Chrisye sendiri, bersama Eros Djarot. Dirilis ke pasar pada 1983, merupakan album hasil kerja bareng Eros Djarot, Chrisye dan Yockie Suryoprayogo.
Suasana makin hangat, ketika masuk lagu kelima. Kali ini, Yockie sendiri yang menjadi penyanyinya. Tetap sambil memainkan 7 set keyboard dan synthesizer, yang mengelilinginya. Lagu yang dibawakan, ‘Citra Hitam’.
Ohh semesta... Simphonymu tiada pernah nyata. Paduan nada mengiringi. Hidupmu insan... Niskala
Suasana langsung terasa...kelam. Sendu. Muram. Liriknya seperti menyebar ke seluruh penjuru ruangan Ijen Suites Convention Centre, dengan lirih. Walau Yockie menyuarakannya dengan lantang dan cukup ekspresif.

Selesai Yockie, muncul Dian Pramana Poetra. Kembali suasana menjadi lebih ceria. Penonton segera menyalakan lagi semangatnya. Siap-siap menyanyi bareng. Dian membawakan, ‘Kau Seputih Melati’.
Kalau Citra Hitam dikenal sebagai lagu dalam album Sabda Alam-nya Chrisye, yang diedarkan tahun 1978. Oh ya itu lagu dibuat oleh Chrisye, Yockie dan Junaedi Salat. Maka lagunya Dian, lumayan populer di seputaran 1986. Menjadi salah satu hits, dari album yang bertitel sama, dan merupakan album pop kolaborasi Dian dan Yockie Suryoprayogo.
Dian melanjutkan dengan, ‘Selamat Jalan Kekasih’, yang ah membuat ruangan sejuk, adem, sejak en segerrr...gemah ripah loh jinawi  tentrem rahardja... Ini juga hits milik Chrisye, dari album Metropolitan, dirilis tahun 1984. Album itu lagi-lagi buah kolaborasi tiga sekawan, Eros – Chrisye – Yockie.
Selesai Dian menuntaskan Selamat Jalan Kekasih, iapun memanggil teman duetnya. Sebut saja, “kekasih setianya” di atas panggng. Deddy Dhukun. Mereka menghadirkan medley beberapa hits karya mereka, ‘Ooya’, ‘Duhai Kekasihku’, ‘Melyang’ dan ‘Semua Jadi Satu’.

Nah ketika Deddy memilih muncul dari floor, menembus penonton. Membuat penonton histeris. Saking histerisnya, sebagian di antaranya mulai nekad, mengajak foto-foto bareng. Welfie deh gitu, ya Deddy. Saat Dian mencoba menjemput Deddy, mereka berdua langsung ditarik penonton untuk foto-foto.
Ini serunya konser model begini. Kesempatan foto-foto dengan artis itu, kayaknya menjadi target utama yang harus kesampaian, bagi para penonton. Alhasil, setiap kesempatan di depan mata, tak pernah dilewatkan begitu saja!
Masih bisa terkendali sih, di saat awal itu. Tapi penonton memang terlalu bersemangat. Ga bisa lihat penyanyi turun panggung,menghampiri penonton. Langsung diajak berfoto-foto. Padahal, lagi menyanyi.
Suasana foto-fotoan massal begitu, lebih rame di Malang. Walau sesungguhnya, di setiap kota pasti ada penonton menyerbu artis penyanyi,buat welfie-welfie an begitu. Tapi di Malang kemarin, para ibu-ibu lebih bersemangat dan...nekad! Ibu-ibunya duluan, lantas menggerakkan bapak-bapaknya untuk...tak mau kalah aksi!
 Ya gimana ga nekad? Mencegat langsung artis penyanyi lho, sampai seringkali terjadi, si penyanyi jadi sulit lagi meneruskan nyanyiannya. Untung tak lantas bikin suasana kelewat gaduh. Ga chaos. Tapi....ga aman sih.
Serba salah, kalau ditolak, atau penyanyi ogah berfoto-foto, nanti dianggap somse. Kalau diikuti, mau foto-fotoan, penonton lain terpancing untuk minta foto-foto juga. Mau dijagain para penyanyi itu juga sulit, pihak sekuriti jengah kalau untuk “mengusir” para ibu-ibu.
Dimana sosial media sudah begitu populer, foto-foto jadi hal sangat penting. Apalagi bisa berfoto dengan para bintang pujaan hati. Yang penting sih, harus ingat saja, jangan terlalu bersemangat. Nanti bisa mengganggu acara.


Masih soal foto-foto. Itu juga membuat beberapa orang, mencari berbagai cara untuk bisa menembus sampai ke ruang tunggu artis! Mereka dengan penuh ceria, meminta satu persatu berfoto-foto dengan mereka. Hal itu terjadi di Malang kemarin. “Beruntung” para penonton nekad itu, panitya tak terlalu “peduli” dengan keamanan (dan kenyamanan) artis di ruang tunggu. Sehingga, ada yang leluasa...
Fenomena tersendiri dari pentas konser saat ini. Bukan hanya menyangkut konser musik populer, yang penontonnya kaum muda. Kaum dewasa, macam bapak-bapak dan ibu-ibunya tak kalah sigap dan lincah untuk merebut kesempatan berfoto-foto. Bukan lagi  minta tanda tangan. Yang penting foto-foto. Dan langsung...upload!

Apalagi ketika konser berakhir. Kemarin, seusai lagu terakhir yang dinyanyikan seluruh artis penyanyi, ‘Lilin Lilin Kecil’, maka penonton langsung menyerbu ke atas panggung! Lagi-lagi, ada barikade sekuriti di depan panggung, bisa tembus dengan “akal-akalan” penonton, terutama kaum ibu-ibu....
Hanya bisa dikendalikan sesaat saja. Selanjutnya, mereka “leluasa” memenuhi panggung. Padahal areal panggung, masih penuh dengan peralatan para musisi. Misalnya seperti asesoris-asesoris gitaris, bassis atau pemain violin. Areal itu harusnya tetap “steril”, sebelum semua peralatan diselamatkan.

Ngefans sih boleh banget. Puja-puji ya ga papa. Histeris juga lumrahlah. Tapi, bisa ga ya, nyanyi-nyanyi barenglah yang penting. Foto-fotonya nanti, tahan dulu, sabar saja sedikit. Nanti juga akan datang kesempatan itu kok. Percaya deh.
Tapi memang penonton yang begitu antusias itu, mau ga mau sisi positifnya adalah, menghidupkan acara keseluruhan. Ya kayak nyanyi-nyanyi bareng itu. Tambah meriah dan ramai. Seru liat atmosfirnya.
Atau, mungkinkah sampai harus dipasang peraturan tegas, dilarang membawa hape atau peralatan foto ke dalam gedung? Ekstrim lah itu. Pasti akan lebih ekstrim dan “mengecewakan” kalau saja sampai ada peraturan, mau memotret harus...bayar dulu! Nah makanya, sebelum sampai ada peraturan begitu “kejam”, menontonlah dengan lebih tertib, tenang, sabar. Senang-senang saja....Nikmati, dengan melihat dan mendengar. Jangan mau buru-buru foto-fotoan...


Ok lewati soal semangat berlipat para penonton, terutama untuk berfoto. Balik lagi ke konser Badai Pasti Berlalu +. Total ada 23 lagu yang dibawakan. Penyanyinya sendiri total berjumlah 11 orang.
Lagu-lagu lainnya, yang dihadirkan dengan musik yang rata-rata cenderung ke arah rock atau progressive rock itu antara lain,’Khayal’ dan ‘Kharisma Indonesia’oleh Louise Theresia Hutauruk. Marcell membawakan, ‘Cinta’dan ‘Kala Sang Surya Tenggelam’.
da pula Gilang “Idol” Samsoe, yang membawakan ‘Pelangi’. Sebelumnya, ia berduet dengan Kadri Mohamad, membawakan, ‘Apatis’. Gilang juga membawakan, ‘Juwita’ berduet dengan Marcell, yang menjadi lagu pamungkas kedua terakhir, sebelum grand finale dengan ‘Lilin LiLin Kecil’ itu.


Ada juga, Berlian Hutauruk yang sangat ekspresif dengan lagu, ‘Matahari’ dan ‘Badai Pasti Berlalu’. Yang sukses membuat suasana menjadi begitu dramatis. Penonton menjadi seolah tersihir. Diam, menikmati suara Berlian yang memang “berlian” itu. Sampai lupa foto-foto kan? Mau nyanyi bareng juga bingung sih....
Once naik panggung lagi untuk membawakan, ‘Angin Malam’ Dimana penulis lagunya itu, kibordis, Debby Nasution, ikut tampil sebagai kibordisnya juga. ‘Negeriku Cintaku’dibawakan secara bergemuruh dan megah, dan oh ya panjaaaang, dengan Keenan Nasution. Keenan memulainya dengan bermain drums, sehingga ia berduet drums dengan Mohamad Iqbal. Debby juga ikut bermain di lagu megah itu.
Lagu lain, ‘Anak Jalanan’ yang ditulis Guruh Soekarnoputra untuk almarhum Chrisye dan masuk di album Sabda Alam. Lagu ngerock itu dibawakan oleh Husein “Idol Al Atas, lengkap dengan gaya metal-nya.
Sebelum itu, penulis lagu yang sebagian dibawakan di konser ini juga dipanggil naik ke panggung. Eros Djarot, memang selalu datang menonton, duduk di row terdepan. Ia becanda dengan Yockie sesaat, mengajak penonton bangga atas ke-Indonesia-an kita semua. Lalu sempat membawakan sekitar setengah lagu, salah satu hits dari album Badai Pasti Berlalu, ‘Merpati Putih’.


Secara keseluruhan tontonan konser ini memang sukses, dalam hal menawarkan musik bergizi. Menyehatkan jiwa dan pikiran. Bisa juga jadi obat stres. Memuaskan dahaga, akan musik-musik enerjik nan “bermusik penuh” dan well, sebagian memang sih “komplit-plit”.
Walau mungkin, perlu dicermati soal durasi konser. Kali ini di Malang, terlihat ada penonton yang perlahan, satu demi satu, meninggalkan acara. Padahal konser belum berakhir. Tidak membuat gedung langsung kosong sih, tapi pemandangan kurang asyik juga, melihat ada penonton pulang, di tengah-tengah konser.

Sebelumnya, semisal di Bandung dan Surabaya, tak begitu terlihat penonton yang pulang di saat konser masih berlangsung. Terutama di Bandung, bisa dibilang seluruh penonton tetap seru dan bersemangat, dari awal sampai akhir! Durasi relatif sama di setiap konser ini, sekitar 3 jam.

Konser ini baik untuk sekaligus  mengingat dan menghargai karya-karya lagu dan musik masa lalu, yang terasa tetap sedap. Tetap saja nikmat untuk disantap, walau sudah 20an bahkan 30an tahun lebih usianya.
Tak hanya sehat buat kalangan berusia kisaran seputar 40-50an tahun atau lebih. Sebagai arena nostalgia, sekaligus bisa reunian dengan sahabat-sahabat masa lalu. Tapi harusnya juga menyegarkan dan menyenangkan bagi generasi yang lebih muda, untuk mengenal musik-musik dan lagu berbeda di era sebelumnya.
Positifnya, saya melihat, antusiasme "Like" atau komen-komen pujian di Facebook itu kelihatan real. Kenapa? Mereka yang berharap, lewat komen-komennya, untuk bisa didatangi rombongan sirkus eh rombongan LCLR+ atau Badai Pasti Berlalu+ di kotanya masing-masing itu, ternyata ga sekedar menulis. Mereka datang menonton, bahkan mau beli tiket walau harga tiket tak terlalu murah lho.


Yockie Suryoprayogo memang menjadi “benang merah utama”. Seluruh karya yang dimainkan, didominasi lagu karyanya ataupun lagu yang pernah ditangani musiknya. Yockie, dalam musik, didukung oleh Indro Hardjodikoro, bassis. Kehadiran Indro dan bandnya, membuat suasana musik dan lagu menjadi enak banget didengerinnya. Sedaaaapdi lidah,eh maksudnya di kuping!


Indro, ditemani drummer, Mohamad Iqbal atau Yoiqball. Ada violin, yang dimainkan oleh Sigit Didiet violinArdityo. Ada Eggy Eghay, sebagai kibordis dan Yankjay Nugraha sebagai gitarisnya. Ada juga 3 backing vocals nan cantik. Yaitu Mery, Dewi Faradila dan Mia Adhitya.
Penampilan konser Badai Pasti Berlalu +, lebih disempurnakan lagi oleh dukungan semua peralatan band beserta tata suara dari DSS Sound. Dimana langsung Donny Hardono, owner DSS, yang turun tangan sebagai sound engineer.

Harus diberi pujian dan acungan jempol, masih ada pihak promotor, yang peduli dengan karya-karya emas monumental era sebelumnya.  Untuk dihadirkan lagi, dengan unsur kemegahan yang cukup terjaga. Adalah Mahana Live dan Interact, yang kali ini juga didukung Digisparks menjadi penyelenggara, setelah kota Bandung di Januari silam.
Sampai jumpa lagi, pada kota tujuan berikutnya..... Hidup Musik Indonesia! / *











No comments: