Friday, December 15, 2017

didiet & violin & adrenalin rush & lain sebagainya


Orang-orang banyak mengenalnya sebagai “si violinist cilik”. Seperti kemarin waktu ia tampil di Bentara Budaya Jakarta, bersama teman-teman musisinya. Paling tidak ada dua orang teman saya, yang sempat jumpa, mereka asyik menonton. Eh, ini Didiet yang kecil itu dulunya kan? Nyaris mirip pertanyaan kedua teman saya itu kepada saya, tentu tidak bersamaan. Mereka tak saling mengenal kok.
Tentu saja, saya tak mungkin menjawab dengan, ya iyalah dulu kecil sekarang udah besar dong. Kan dia makan dan minum, orang tuanya ya membesarkan dia dengan baiklah. Kasih makananan, minuman, masukkin dia ke sekolah dan mengajarkannya musik dengan baik....
He he he, ga begitulah ya. Publik ada yang masih ingat, si pemain biola cilik, yang bermain di depan presiden di istana, pada suatu waktu sekitar lebih dari 10 tahun lalu  Eh lebihlah dari 10 tahunan sih. 15 tahun-an deh kayaknya ya?
Sebenarnya, sosok pemain biola cilik yang mengesankan penonton televisi tanah air, bahkan sudah sejak sebelumnya. Pria kelahiran 22 Mei 1986 ini katanya, sudah tampil di sebuah acara perayaan salah satu stasiun televisi swasta,waktu umurnya baru menginjak 7 tahun-an!
Nah memang faktanya, si pemain biola cilik ajaib itu, sudah dewasa sekarang. Kan sudah menikah, dan beberapa bulan nanti akan mempunyai anak lho. Artinya, saat ini ia telah menjadi dewasa. Dewasa mudalah. Boleh dong disebut sebagai, pemain biola muda gitu kan ya?

Noldy Benyamin Pamungkas

Dion W Subyakto

Shadu Rasjidi
Pada Kamis malam 7 Desember silam, Sigit Arditya, si violinis muda yang dikenal luas dengan nama Didiet itu tampillah di Bentara Budaya Jakarta itu. Ia mengajak serta banyak sahabat-sahabatnya sesama musisi.
Dalam sebuah konser berbentuk semacam intimate showcase itu, Didiet didukung Eghay (kibor), Indra Prasetyo (gitar), Zoltan Renaldi (bass) dan Dion Subyakto (drums). Formasi itu tampil di beberapa lagu. Ada musisi lainnya, Noldy Benyamin Pamungkas (gitar), main di satu lagu. Kemudian juga ada, Shadu Rasjidi (bass).
Kemudian pada satu lagu lain, Didiet memboyong kelompok musiknya, Kulkul. Dimana ia tampil dengan Demas Narawangsa (drums), mereka berdualah pendiri dan motor utama Kulkul. Selain itu dengan RM. Aditya (kibor) dan Faisar Fazya (gitar). Yang bermain bass, Zoltan Renaldi juga.

Indro Hardjodikoro

Yankjay Nugraha

Tohpati dan Dion Subyakto

Windy Setiadi
Masih ada musisi lain yang mendukungnya. Dimana Indro Hardjodikoro (bass) dan Yankjay Nugraha (gitar), kembali ber-reuni dengan Didiet dan kibordis, Eghay. Tinggal drummernya aja, kalau ada Iqbal ya pas sudah reunian LCLR+ atau BPB+ nya Yockie Suryoprayogo deh.
 Mungkin tepat juga sebenarnya ya, penampilan mereka kemarin itu, sebagai reunian juga memberikan semangat untuk lekas sembuh Yockie Suryoprayogo yang telah mempertemukan mereka. Kalau saja mas Yockie sehat segar, menontonnya, bisa terharu dan....minta ikutan dilibatkan? Waduh!
Selain itu, eh masih ada musisi lainnya? Iya banyak juga kok. Masih ada Tohpati Ario, ya tentu saja gitaris, masak Tohpati main drums? Tentu saja Tohpati, tak bernyanyi dong. Satu lainnya lagi, Windy Setiadi, yang bermain akordion dan...mixer!
Hah, mixer apaan? Windy ini double-job. Windy yang disebut Didiet, suka dipanggil sebagai mbakbro itu, main akordion di satu lagu. Tapi selain itu ia juga punya tugas, berada di belakang mixer utama sebagai sound engineer! Weleh, weleh, multi fungsi.
Tohpati Ario Hutomo


Zoltan Renaldi

Faisar Fayza, Didiet dan Zoltan Renaldi

Demas Narawangsa
Ada 7 lagu yang dibawakan Didiet dengan teman-teman musisinya bergantian main, mendukungnya. Kesemua lagu adalah karya Didiet sendiri. Dan ada di dalam debut albumnya, yang secara resmi dirilis pada saat penampilan live-nya saat itu.
Setelah shownya usai, ngebrel-ngobrollah beberapa waktu. Lalu pulang, nah pas di pintu keluar Didiet pun mencegat saya dan menyerahkan satu keping compact disc albumnya itu. Wah thank you bro ‘diet! Didiet bilang, dengerin ya oom, semoga suka. Pasti dong, jawab saya.
Anehnya Didiet ini, kenapa jadi manggil oom ke saya? Padahal kan kemarin-kemarin juga manggil saya mas lho. Sejatinya, bahkan masih boleh manggil dengan kak lah. Intermezzo dikit lho. Jangan sampai mengernyitkan dahi gitu dong, kenapa dengan panggilan kak? Ha ha ha
Lalu begitulah, saya putuskan ya sudahlah saya review sajalah alumnya Didiet ini. Sudah agak jarang melakukan review terhadap sebuah album rekaman. Tapi album dari seorang pemain violin muda ini rasanya layak untuk ditelisik, dicermati, ditelusuri khusus, lagu demi lagu. Spesialnya, tak banyak album yang mengetengahkan permainan seorang pemain violin di sini kan? Setuju dong?



Iya kalau saya sudah menanti-nantikan album ini beberapa waktu ini. Dari saat saya sering bertemu ataupun bersama-sama Didiet, terutama waktu serial konser Badai Pasti Berlalu plus atau Lomba Cipta Lagu Remaja plus itu. Yang musiknya langsung ditangani Yockie Suryoprayogo. Kan shownya jadi kayak tour, menyinggahi bersambungan di beberapa kota.
Saat itu, eh bahkan sebelumnya Didiet sudah sempat ngobrol soal album rekamannya. Saya cuma ngomporin, hayo dong wujudkan. Sudah saatnya Didiet punya album sendiri. Kerjain dengan bener-bener aja, siapin lagu-lagu terbaikmu, rekaman dan selesaikan.
Lalu sebarluaskan ke publik. Soal gimana jualnya, nanti laku apa tidak, bagaimana respon pasar nanti, ah sudahlah jangan jadi rintangan. Belakanganlah, yang penting jadiin dulu saja.
Orang bijak bilangnya kan begini, jangan “nanti bagaimana tapi bagaimana nanti” saja. Beberapa kali Didiet berucap, iya pengen banget bisa bikin, iya ini lagi diselesaikan nih oom doain ya.Eh kok oom, mas iya mas kok Didiet bilangnya... Dan ternyata, ah jadi juga!



Tampilan sampul album, terkesan sederhana, simple saja. Nah album yang kata Didiet dikerjakan sekitar 1,5 tahun-an itu dibuka oleh,‘Just a Matter of Time’. Nomer riang, dan langsung samuk! Sebuah pembukaan yang kontan merampas perhatian kuping dan hati. Didiet ditemani Indra Prasetyo (electric guitar), Shadu Rasjidi (bass), Dion Subyakto (drums), Eghay (kibor).
Iya, langsung oho, gitu deh kata hati saya. Saya sebut,ini nomer yang paling pop. Nenangin hati dan kuping sih. Rame dan meriah, tapi suasananya itu ceria. Tepat juga ini jadi lagu pembuka. Sebuah introduction yang pas betul! Amaaaan, untuk khalayak ramai gitu dah.
Berikutnya, dengerin ‘Midnight Rain’, yang bersuasana lebih “adem”. Ada sound akordion, dilatari tabla. Lagu ini mengetengahkan solo gitar akustik oleh Tohpati, yang diikuti permainan solo bass. Diikuti kemudian solo drums. Sound keyboard melatari, ditempatkan pada layer sebelah belakang.


Suasana yang timbul jadi rada, middle east gitu. Maroko, Turki, Aljazair? Ah ya kira-kira gitu. Lebih ke suasana Timur Tengah yang lebih dekat Eropa. Terutama pada pola soloing atau rhythm akustik gitar, tabla termasuk akordion. Didiet rupanya juga punya perhatian pada world music.
Tapi asli nih, lagu ini menyenangkan untuk dinikmati. Kalau lagi macet-macet berkandara dan mulai bete, ini mungkin bisa jadi obat memanjangkan sabar.... Beneran? Cobain aja deh.
Ada Tohpati dengan gitar akustik, Dion Subyakto pada drums dan tabla. Lalu bass oleh Shadu Rasjidi. Eghay, memainkan kibor. Dipermanis akordion yang dimainkan Windy Setiadi, perempuan yang saat kemarin di Bentara Budaya Jakarta itu, job utamanya menjadi sound engineer.


Pada ‘Adrenalin Rush’, seolah Didiet memperlihatkan pacuan adrenalinnya. Dalam bermusik? Ya bisa jadi, karena ia banyak mengisi dengan pola permainan yang cepat. Yang mendominasi di sepanjang lagu. Sementara suasana lagunya sendiri diambil, lho kayak suasana musik pada party-nya kaum gypsi ya?
Menunjukkan adrenalinnya, dalam menerima semacam apa ya, tantangan pribadi? Gimana main sarat dengan syncope, tutty, rapat, cepat? Susah lho. Jadi lagu paling susah? Hahahaha. Tapi asyik dengerinnya...
Ini lagu susah betul sih Saya iseng tanya ke Didiet,kenapa lagu ini terkesan paling kompleks. Kompleks apa? Eh bukan, bukan itu jawaban Didiet. Tapi Didiet jawabnya, tertawa lebar. Pengen mencoba main susah ya? Iya, Didiet menjawab lagi dan tertawa lepas lagi
Ini enaknya didengerin, kalau tetiba di rumah suasana sore, sepi tak ada siapa-siapa. So, cukup bebas memutar lagu dengan volume “lewat dari setengah” gitu. Goyang-goyang sedikit juga boleh, mengikuri irama lagu. Hitung-hitung refreshing, melepas penat sambil...stretching!
Pada track selanjutnya, ‘Turning Point’, Didiet “berduet” dengan gitaris, Noldy Benyamin Pamungkas. Noldy memakai akustik gitar nylon dan steel, lebih untuk rhythm. Selain electric, yang mengisi solo. Dan lagu dengan tutty ini dibungkus nuansa rada latin jazz gitu. Tentu saja konotasinya menjadi riang gembira.





Ini album variatif musiknya. Kalau mau menyimak Didiet secara berbeda, ada track cukup pendek, ‘Infinity’. Dimana Didiet berkolaborasi dengan musisi muda yang mengakrabi electronica, atau musik electronic, Ammir Gita Pradhana. Ammir adalah putra dari tokoh musik electronica Indonesia, Diddi Agephe. Ibunya Ammir adalah, pianis dan aranjer perempuan terkemuka, Dian Hadipranowo..
Bentuknya kok ya kayak scoring music untuk film? Kata Didiet sendiri, ini lagu terakhir yang masuk dalam albumnya. Awalnya, hanya terpilih 7 lagu saja. Kemudian adik kandungnya kritis di rumah sakit, itu menginspirasi Didiet jadi tetiba bikin lagu. Akhirnya terciptalah komposisi pendek ini, untuk mengenang sang adik tercinta.
Adiknya itu akhirnya memang meninggal dunia. Karena memerlukan perhatian khusus, selama sang adik dirawat di rumah sakit, teristimewa dalam kondisi kritisnya itulah, jadi salah satu sebab album ini jadi agak tertunda penyelesaiannya.
Cerita Didiet lagi, konsentrasinya waktu itu jadi terpecah. Iapun jadi tak fokus dengan persiapan albumnya. Karena ia memang menyayangi sang adik dan terpukul betul dengan sakitnya sang adik.
Lantas track ‘berjudul ‘Kintamani’, bernuansa etnik. Suasana musiknya saja ya  Lagu ini dibawakannya bersama kelompoknya, Kulkul, yang memang mengedepankan warna fusion bernuansa Bali. Mereka, untuk di atas panggung, kerapkali menyertakan juga instrumentasi perkusi khas Bali.



Kulkul yang menemani Didiet dalam album ini terdiri dari RM Aditya (kibor), Demas Narawangsa (drums), Faisar Fazya (gitar), Zoltan Renaldi (bass). Kalau saja ada tambahan musisi tradisi Bali, dengan instrumennya, mungkin akan jadi lebih kental lagi suasana etnik ke Bali-Bali annya.
‘Sticky Puppet’, agak mengingatkan pada Didier Lockwood. Sedikit saja kok. Cuma apa ya, aksen pada sisi musik dan pilihan nada yang dimainkan Didiet dengan violinnya itu. Violin Didiet, ditemani rapat oleh sound gitar berdistorsi dari Yankjay Nugraha.
Bass dimainkan oleh Indro Hardjodikoro, kibor oleh Eghay. Sementara drums oleh Agung Exo.  Eh ini, sebagian kok formasi “BPB/LCLR+”, proyek musiknya Yockie Suryoprayogo ya? Asyik kok, fusionnya jadi terasa lebih ngerock. Terutama isian gitar Yankay, apalagi saat soloing.
Musik fusion cepat beginian, emang makanannya Indro Hardjodikoro. Indro meng-influence kuat Didiet ya? Maklumlah, karena sering kerja bareng kan? Apalagi ya saat proyek bersama Yockie Suryoprayogo tersebut, ada sekitar 2 tahunan lho mereka jadi sering bersama-sama.
Dengerin ini ke Yockie aja. Sebuah apresiasi jadinya. Doakan supaya mas Yockie, akan segera kembali pulih seperti sediakala. Saat tulisan ini dibuat, Yockie Suryoprayogo masih terbaring lemah, belum sepenuhnya kembali kesadarannya, ia masih harus mendapatkan penanganan medis cukup serius di kediamannya.
Adapun sebagai nomer penutup, ditempatkan sebuah ballad. Judulnya, ‘If Only’. Menampilkan duet, Indra Prasetyo dengan gitar akustik dan Didiet.  Dan kemudian juga didukung voicing, sebagai backing oleh Mery LC. Lagu yang pas juga, sebagai lullaby, menemani di peraduan malam, untuk memancing kantuk segera datang....
Atau boleh juga, duduk-duduk di teras, di sebelahnya ada secangkir kopi di atas meja kecil. Bisa sore hari, bisa malam juga sih. Leyeh-leyeh, bersantai. Rileks sesaat untuk mengendurkan syaraf yang kaku, karena berpikir keras seharian gitulah.
Oh iya, Mery LC itu dulu mantan kekasih tersayangnya Didiet. Dan lelah berpacaran, Didietpun sepakat bersama Mery, menghadap penghulu. Sah sudah menjadi pasangan suami istri. Saat tulisan ini dibuat, Mery tengah mengandung anak pertama mereka.


Lalu tembang favorit yang mana ya kira-kira? Maksudnya, mau tanya saya, sebagai referensi? Ok begini saudara-saudara sekalian, sebangsa dan setanah air. Sejatinya, semua track dalam album ini, recommended!
Ya suasananya beda-beda, tergantung bagaimana situasi dan kondisi di saat mendengarkan. Mood buster seperti apa yang diinginkan? Iya, bisa jadi semacam bebunyian yang menambah semangat, selain gairah hidup.
Jadi ketika mood terbangun sempurna, semangat dinyalakan lebih maksimal. Bekerja jadi lebih fokus, terarah. Membentuk konsentrasi optimal. Hasil kerja, insha Allah bagus. Dan boss, bisa senyum-senyum saja melihat apa yang sudah kita kerjakan dan kita hasilkan. Ga percuma dong?
Artinya jadi begini deh, bahwasanya album didiet & violin ini, dengan tampilan kebiruan berlatar belakang warna hitam di sampul depannya, boleh dikoleksi. Lagunya variatif. Nyenengin hati. Apakah bakal menyenangkan pasangan kita? Oh kalau itu, silahkan saja dicoba. Tak ada salahnya dong, untuk mencoba.
Saya pribadi pilih, track ‘Adrenalin Rush’, ‘Midnight Rain’ dan ‘Sticky Puppet’. Tapi memang itu lebih pada sikon, saat butuh dorongan semangat hidup. Hahahaha, maksudnya menambah kegairahanlah. Ah tapi itu sangat subyektif sih, selera saya ya. Walau sekali lagi, musik dan lagu-lagu dalam debut album Didiet ini beragam coraknya. Jadi silahkan dengerin aja dulu semuanya, pilih aja track favoritnya.
Eh ya lupa. Ya beli dululah CD nya, baru puas-puasin dengerin dimanapun mau mendengarkannya. Beli dong, masak minjem sih, apalagi mengcopy doang.... Hare gene, cuuuy!

Hari gini senengnya main ngopi file aja? Ah, apa kata warung sebelah..../*


No comments: