Mas Bre pun pangsiun!
Kenal sih cukup lama. Tapi lebih "searah" saja. Saya
membaca tulisan-tulisannya, sejak 1980-an. Maklum, saya dibiasakan ayah untuk
setiap pagi, sarapan penting itu adalah membaca koran. Dan dari saya balita, keluarga
kami maksudnya ayah, adalah pelanggan setia Kompas.
Maka saya seperti "dibesarkan" juga oleh
Kompas. Dengan segala berita-beritanya. Saya sangat menikmati Kompas, terutama
artikel-artikel tentang olahraga dan musik/budaya.
Iya saya seringkali sebelum sarapan, mengambil koran dulu dan yang pertama saya cari, memang kolom olahraga. Saya menikmati berita-berita sepakbola dan bulutangkis, terutama.Tapi juga mengenai balapan Formula 1 dan bola basket misalnya.
Iya saya seringkali sebelum sarapan, mengambil koran dulu dan yang pertama saya cari, memang kolom olahraga. Saya menikmati berita-berita sepakbola dan bulutangkis, terutama.Tapi juga mengenai balapan Formula 1 dan bola basket misalnya.
Ga berhenti sampai di situ saja, sebetulnya semua
berita tentang berbagai-bagai cabang olahraga, saya baca habis. Apalagi
berita-berita saat Olimpiade, Asian Games, Sea Games sampai Piala Dunia
sepakbola dan bola basket.
Iya lucu juga, saya tuh dulu pelahap banget
berita-berita olahraga! Musik serta budaya itu, nomer dua.... Ternyata saya tak
otomatis jadi wartawan olahraga ya?
Hidup ini aneh juga... Hahahaha.
Hidup ini aneh juga... Hahahaha.
Tulisan seorang Bre Redana terekam dengan baik dalam pikiran dan
jiwa saya, itu bahasa "keren"nyalah. Selain tulisan beberapa wartawan
Kompas lain, teristimewa yang beredar di era 1970-1980an. Langsung tak
langsung, saya "diajari" menulis. Menjadi wartawan, pada akhirnya.
Padahal dulu masa sekolah, pelajaran mengarang saya, nilainya cukupan saja sebenarnya sih.
Modal nekad saja, akhirnya bisa jadi wartawan. Ya
karena saya otodidak kan, tak pernah belajar formal di dunia jurnalistik. Dan
eh saya lantas jadi wartawan musik pula. Dan mana pula, jazz. Gegara, saya
memang suka dan penikmat jazz, sejak masa sekolah.
Banyak tulisan-tulisan Bre Redana saya baca, tak
sekedar liputan musik dan budaya, juga tulisan berbentuk essay, masih seputar
musik dan budaya. Atau, gaya hidup. Bahkan juga saya melahap karya cerita pendeknya.
Bre tentu saja tak sadar, ia memberi inspirasi bagi
penulisan yang kaya kata-kata, suasana, sering bermain dalam setting tertentu, suasana sampai pilihan
kata yang rada-rada "old-school".
Tapi tak terkesan ketinggalan jaman, karena mengalir lancar. Enak saja
dibacanya, dinikmatinya.
Cara bertutur lewat tulisannya terkesan lugas, menyapa
hangat pembacanya. Dan mempunyai kedalaman. Artinya begini, tulisan panjang,
tapi memberi sesuatu pada pembacanya. Tak sekadar hiburan, atau informasi.
Mencerdaskan? Boleh disebut begitu, kalau saja tidak dianggap berlebihan.
Gaya penyajian tulisan mendalam begitu, mulai tak
biasa di era sekarang. Jaman dimana lebih dipentingkan kehangatan berita,
maksudnya waktu peristiwa dan saat membaca yang sedekat mungkin. Seketika. Kecepatannya. Tak begitu mementingkan
kedalaman.
Membuat pembaca saat ini, lebih dimanjakan dengan
sajian berita dalam tulisan yang ringkas, padat tapi asli hangat. Fresh from the oven? Karena berita,
bersaing serius dengan jurnalisme jalanan, via media sosial!
Maaf, itu sekedar curhat saya saja. Mengalami yang
namanya, jurnalisme ringkas dan “seperlunya”, jamanNOW! Well, ya makanya lucu juga kan, kok ya bisa, saya lantas jadi
wartawan musik. Eh malah “sok-sokan” pake motret juga. Motret juga, saya lebih
suka menyebut sebagai otodidak juga. Aneh juga sebenarnya sih. Aneh ga hidup
ini?
Mas Bre itu aseli
70's. Pernah saya perhatiin lalu pikir-pikir
ya, figur khasnya, gondrong ikal betul, kok ya seolah "personifikasi"
jurnalis 60-70an, Woodstock, Flower
Generation, The Beatles, Procol Harum, sampai Pink Floyd...Andy Warhol?
Dan kemudian bisa mengenalnya, sejak sekitar 1990-an,
saat peliputan musik bareng. Eh tunggu dulu, antara 1990an, atau mungkin sudah
sejak sekitar akhir 1980-an. Baru mulai mengenal saja saat itu.
Namun saat itu, hanya ber-hai hai saja. Tak terlalu
banyak ngobrol. Tidak panjang lebar mendiskusikan apa gitu ya. Tidak juga soal
musik,misal mengenai artis ataupun acara yang akan kita liput bareng di saat
itu.
Lalu masuklah di 2000-an, ketika saya beruntung
dilibatkan dalam tim kerja, tim inti utama pelaksana dari konser besar,
Megalitikum-Kuantum. Tontonan kolosal yang mengedepankan etnomusikolog, Rizaldi Siagian,sebagai sebut saja
penggagas dan sutradara eksekutif.
Diadakan di Jakarta Convention Centre, lalu berlanjut
dibawa ke Bali. Untuk dipentaskan di Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran. Dibuat
dalam rangka HUT 40 Tahun Kompas.
Dari situlah jadi seringkali bertemu, paling tidak
dalam rangkaian meeting persiapan
acara kolosal, yang melibatkan banyak seniman musik dan tari kenamaan Indonesia
tersebut.
Lantas lima tahun berselang, 2010, jadi tambah dekat
karena pementasan musikal DIANA. Karena DIANA, jadi sering nongkrong bareng,
diskusi. Seringkali terlalu kemana-mana, tetapi lantas balik ke soal...
"romantika"nya persiapan DIANA itu. Memang penuh cerita, drama,
suka dan duka.
Mas Bre adalah teman diskusi yang asyik, seringkali
sambil menyeruput kopi atau meneguk wine
atau beer. Bisa di Jakarta, bisa di Solo. Diana itu memang rangkaian latihannya
diadakan di Solo dan Jakarta.
Mas Bre sering mengajak saya diskusi soal gimana
baiknya DIANA itu... Kayaknya diskusi serupa juga dilakukannya sih dengan
pihak-pihak yang "lebih berkepentingan" tentunya, di lain kesempatan.
Yaitu Garin Nugroho, sebagai
sutradara peran dan Yockie Suryoprayogo
sebagai sutradara musik. Juga dengan Eko
Supriyanto, sebagai sutradara "olah gerak".
Hal mana kemudian, membuat saya kalau bertemu atau melihat Bre,
ya langsung teringat DIANA. DIANA itu memang sarat perjuangan penuh romantika.
Yang setelah berakhir, saya cuma bisa bersyukur, pernah mempunyai pengalaman
terlibat dalam sebuah konser besar seperti itu. Konser yang merupakan perayaan
HUT Kompas, tentunya untuk yang ke 45 tahun.
Salah satu konser musikal terbesar yang pernah ada,
sarat "pernak pernik". Lihat Bre, jadi teringat sahabat baik saya
juga, teramat baik, kakak saya, teh Erliani Eni. Teh Eni lah yang mengajak saya terlibat dalam konser
itu. Teh Eni sebagai produser pelaksana, pimpinan utama pelaksana acara. Saya?
Ah kalau saya mah, seperti biasalah, prajurit "di
segala lini, di banyak sektor". Main-job
saya sebenarnya adalah Talent Coordinator,
persis sama posisinya dengan saat Megalitikum-Kuantum. Tapi lantas cukup
melebar. Yang saya nikmati saja dengan penuh semangat!
Oh ya Bre Redana adalah penggagas, lalu penulis cerita
dan pembuat skenario dasar pergelaran musikal Diana tersebut. Kami intens
bertemu sejak awal, terlebih saat pemilihan talent-talent
yang akan memerankan tokoh-tokoh dalam cerita Diana tersebut. Membuat saya jadi
sering berdiskusi dengan Bre, juga Garin Nugroho dan Yockie Suryoprayogo.
Saya cuma melakukan apa yang bisa saya lakukan :
mengerjakan apa yang bisa saya kerjakan. Seperti penjahit : asal kaki bergoyang
lhir jahitan. Begitupun menulis. Asal corat coret jadi tulisan. Begitu tulis
Bre Redana.
Dan sampailah di Rabu, 28 November silam. 3 minggu
sebelumnya, mas Bre mengirimkan Undangannya, via ... SMS! Saya langsung
jadwalkan, request khusus ke istri
saya, tolong ingatkan ada undangan dari Bre Redana nanti di akhir bulan.
Saya via SMS begitu menerima, langsung menjawab
singkat, siap hadir mas. Dan memang saya hadir. Ditemani istri saya dong,
pastinya. Perayaan itu diadakan di aula tertutup, Bentara Budaya Jakarta,
Palmerah Selatan.
Pensiunnya Bre setelah 30-an tahun menjadi
"prajurit" Harian Umum terbesar, KOMPAS, dirayakan dengan sebuah
"pesta". Yang isinya macam pergelaran fragmen, ,ah memang... “Bre
banget”, suasananya itu sangat 60-70an. Ia juga merilis buku baru, KORAN KAMI
With LUCY IN THE SKY
.
Memang aslilah, 60-70annya sudah merasuk banget dalam jiwanya. Lihat pilihan Bre itu, 'Lucy in the Sky', yang kental nuansa psychedelic dari The Beatles, diambil dari album yang memang bersuasana psychedelic, Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band. Salah satu album fenomenal dari The Beatles. Bebungaan, warna-warni, keliaran tapi khas betul The Beatles sih.
Lagu ‘Lucy in the Sky with Diamond’, ditulis bareng
John Lennon n Paul Mc Cartney, diedarkan di tahun 1967 dengan albumnya tersebut
di atas. Yang sempat jadi kontroversi soal...lagu ini dengan judul
"unik"nya itu. Disebut unik dan malah misterius, karena kalau
disingkat menjadi kok ya... LSD.
Isi bukunya tersebut mengenai seorang wartawan senior,
yang menjelang masuk masa purna tugasnya, menerima tawaran dari sahabat
baiknya, untuk membuat koran baru. Meskipun dianggap musykil, membuat koran
cetak di jaman digital begini, tapi tawaran tersebut diterimanya.
Sang wartawan, San Santiana. Lalu menamai koran itu
sebagai KORAN KAMI. Lalu kenapa ada judul lagu The Beatles segala? Bukan
berarti koran baru itu adalah sebuah koran musik. Gila aja! Koran musik jaman
modern begini? Hehehe
Ceritanya, kebetulan album yang kental suasana flower generationnya itu, masuk di usia
50 tahun peredarannya. Ada lagu, ‘Lucy in the Sky’ tersebut di dalamnya. Lalu
dalam buku, serta merta sosok Lucy menjelma menjadi cewek muda, cantik, cerdas,
makmur, fashionable.
Digambarkanlah ia berada di tengah para veteran yang
dibesarkan oleh zaman yang dulunya, melahirkan generasi yang mengira hidup
cukup hanya dengan cinta saja! Waow...absurd?
Kan itu soal generasi “pencinta bunga-bungaan”? Termasuk bunga ganja? Kan ganja
dan opium juga menjadi simbol perlawanan terhadap arus globalisme, yang
dipaksakan negara kapitalis terhadap negara-negara berkembang?
Absurditas tak penting lagi, rasanya. Karena hal ini
lebih pada konteks sejarah peradaban.Di satu masa itulah, betapa cinta menjadi
hal dijunjung tinggi. Menjadi sakral? Paling tidak, dipuja-puji....
Kok jadi teringat lirik sebuah lagu dangdut... Hidup
tanpa cinta, bagai taman tak berbunga, begitulah kata pujangga.... Kalau sudah
begitu, maka bisa tersenyujm, sambil menggoyang-goyangkan badan? Atau boleh
juga, sekedar dua jempol tangan saja yang digoyang-goyangkan sih.
Eh tapi ini tak menyenggal-nyenggol dangdut. KORAN
KAMI, lebih sebagai potret suasana sebuah penerbitan. Dan dengan jaman yang
mana koran tersebut tumbuh, atau dilahirkan. Sekaligus, diwarnai....
Pada acara party kemarin itu, ada fragmen berisi
pembacaan sebagian isi buku Bre Redana tersebut. Yang dibacakan para wartawan
Kompas secara bergantian, yang adalah sahabat-sahabat Bre Redana juga adanya.
Selain ada cuplikan olah gerak, suasana teatrikal, yang mendukung suasana
pembacaan buku.
Selain itu juga ada musik. Dibunyikan, atau
ditampilkan oleh duo yang “tak lazim”. Eh sebut saja, “tak biasa”lah. Gitaris Aria Baron,yang tetap menjadi gitaris
salah satunya dalam kelompok gitaris, Six Strings.Namun kini ia juga menjadi
manager dari kelompok pop rock, GIGI.
Aria Baron, disandingkanlah dengan seorang filsuf
muda, gondrong. Rada 70’s juga sih. Bergaul luas juga, macam Bre Redana lah. Tommy Awuy namanya. Tommy memang
kerapkali tampil bernyanyi selain bermain alat musik. Kali ini ia bermain
kibor.
Sajian duo yang lumayan memberi warna tersendiri. Kan
memang duet yang tak biasa. Tak biasa, buat saya sebenarnya, yang cukupterpana
melihat mereka! Mereka sempat membawakan juga, ya so pasti, ‘Lucy in the Sky’.
Lengkap dengan mengajak penonton semua bernyanyi, dengan big screen menayangkan lirik lagu tersebut.
Begitulah sedikit cerita tentang saya dan Bre Redana,
juga mengenai acara pelepasannya. Masuk masa purna bakti. Emang bakalan pangsiun
beneran? Wartawan kok ya pensiun toh?
No comments:
Post a Comment