Bintang Indrianto lagi.
Ia merilis album Gambang Suling,
berisikan karya-karya dalang kenamaan, mendiang Ki Nartosabdo. Dan Bintang terus menggeliat, mungkin pas istilah
itu. Seperti ga bisa diam, kegatelan sih ga, tapi mungkin saja ia justru merasa
tak nyaman otot-ototmya menjadi mengkristal kali, kalau ia kelamaan berdiam.
Artinya
menggeliat untuk bergerak, terus melakukan eksplorasi bermusik. Tanpa ada
akhirnya. Ia bisa tuh, saat mengerjakan satu konsep musik, tettiba ia lantas
muncul dengan ide lainnya. Artinya kan, satu belum selesai, sudah ada satu
lainnya menanti.
Boleh
jadi, Bintang adalah satu dari sedikit saja bassis Indonesia yang sekaligus
produser rekaman, yang paling aktif memproduksi album. Mana lagi cem-macem jack musiknya.
Sedikit
tentang seorang seniman bernama Ki Nartosabdo. Sama sih seperti Bintang,
sayapun tak pernah secara langsung mengenal beliau. Juga tak begitu paham akan karya-karya
musiknya. Tapi biar bagaimanapun, saya harus menelusuri dulu mengenai Whos Who
beliau. Ah menghindari dari kesan “pah
poh”, tulisan yang terlalu commen
sense....
Ki
Nartosabdo, sudah meninggal dunia pada 7 Oktober 1985. Ia adalah salah satu
dalang terbaik yang pernah ada di Indonesia. Ia juga menggubah berbagai
lagu-lagu, tentu berbahasa Jawa, senantiasa dibawakannya saat ia mendalang. Ki
Nartosabdo lahir di Klaten, 25 Agustus 1925.
Ia
sejatinya adalah pemain kendang. Ia menjadi dalang setelah mengikuti grup
Wayang Orang Ngesti Pandowo. Adalah Ki Sastrosabdo, pendiri Ngesti Pandowo, yang kemudian
mengajarinya mendalang. Dan Sunarto muda, begitu nama aslinya, lantas mendalang.
Pertama kali di Jakarta, 28 April 1958. Bertempat di gedung PTIK, dimana
acaranya tersebut disiarkan langsung oleh RRI.
Ia
pun kemudian menjadi seorang dalang mahsyur, yang dianggap salah satu tokoh
pembaharu dunia perdalangan. Karena ia kerap menggubah cerita-cerita sendiri
yang akan dia tampilkan. Maka ia dikenal melahirkan setumpuk karya cerita
perwayangan untuk dalang, selain komposisi musik.
Kabarnya
ada tercatat 300-an karya musik yang telah mendiang hasilkan sepanjang
hidupnya, baik berupa gending maupun lelagon.
Pada masa 1980-an, ia menjadi makin aktif menghasilkan komposisi lagu-lagu
Jawa, setelah ia juga memiliki grup karawitan sendiri, Condong Raos.
Nah
Bintang memperoleh cerita mengenai Ki Nartosabdo, dari pergaulannya dengan
sesama seniman musik. Yang terbiasa mengakrabi karya-karya tradisi seperti
Buttet Kertaradjasa, Djadug Ferianto lalu juga Agus Noor. Karena itulah, ia
lantas tertarik.
Ia
mendengarkan dan menelusuri musik-musik Ki Nartosabdo. Kemudian iapun melakukan
interpretasi terhadap karya-karya mendiang tersebut. Disesuaikan tentunya oleh
apa yang dia ketahui, yang ia mainkan saat ini. Terutama sebagai seorang
bassis. Pemain bass Indonesia, yang telah merasakan memainkan berbagai-bagai
jenis musik itu.
Hasil
dari semacam pendekatan reinterpretasi Bintang Indrianto tersebut, atas
karya-karya Ki Nartosabdo menghasilkan album rekaman. Album itu dirilis
beberapa waktu lalu, dengan dipasarkan oleh Demajors.
Kemarin,
pada kesempatan acara Musik Kamisan
di Bentara Budaya Jakarta, Bintang pun menyuguhkan materi albumnya tersebut ke
publik, tentu secara live. Pada album, ada
komposisi yang digubah almarhum Ki Nartosabdo, yang dimainkannya.
Ia
menyertakan para pendukung album rekamannya, untuk tampil bersama. Ada Imam Garmansyah, sebagai kibordis. Lalu
juga kelompok Bianglala Voices. Pada
perkusi ia mengajak Taufan Irianto
Siswadi, menggenati peran Kiki
Dunung Basuki, yang mengisi dalam rekaman.
Selain
itu, Bintang mengajak pula saxophonis, Eugen
Bounty. Masih ada trio pengrawit yang ikut tampil mendukung, Sriyanti (pesinden), Bagiyanto (gender dan dalang) serta Sulasno Wigati (rebab).
Suasana
memang terkesan akrab, terutama juga karena di dalam ruangan. Penonton disuguhi
lagu-lagu yang berdasarkan gending yang ditulis almarhum Ki Nartosabdo, dalam
nuansa musik berbeda.
Ini
upaya entah keberapa kali, dari Bintang Indrianto untuk membawa warna berbeda
ke luar dari “komunitas” yang telah mengenal dan mengakrabinya sebelumnya.
Sekian waktu memang Bintang terkesan jadi rada nyeleneh dengan ide-ide usil, nakal, iseng, kreatif, legit,
asem-manis model begitu.
Sekedar
mengingatkan saja, ia pernah mengemas album Yaiyo-nya Sudjiwo Tedjo.
Menjadi suguhan khas Sudjiwo nan Tedjo tapi dengan toping “pemanis dan pemantes” dari Bintang Indrianto. Ia pernah
memberi bungkusan kesegaran pada permainan gitar mendiang Soegeng Sarjadi.
Ada
lainnya, ini lebih iseng-iseng berhadiah, membesut dangdut koplo menjadi berasa
jazz, yang menari-nari di rongga mulut, dan dalam tempurung kepala, dalam karya
album Festival. Festival dimainkan
oleh formasi grup, salah satu yang paling bandel, Bintang Indrianto Trio ++ (bacane,
plus-plus).
Bintang
memang sahabat lama. Sebagian album-albumnya dulu, bahkan kemudian menyertakan
saya sebagai pihak yang membantu peredarannya. Di saat industri rekaman tengah
hancur lebur, dimana label rekaman sayapun terkena imbasnya, memang kerjasama
kami terhenti.
Tetapi
namanya persaudaraan atawa persahabatan, kan sejatinya tak lekang dimakan
waktu. Dasarnya adalah respek dan apresiasi antara kami berdua. Saling peduli,
saling mendukung, tanpa terputus. Selama hayat masih di kandung badan.
Bahwasanya
album telah dirilis, ingat saja judulnya Gambang
Suling – Ki Nartosabdo. Kemrain itu juga bisa didapatkan oleh penonton showcase-nya. Ini menjadi karya eksplorasi baru seorang
Bintang Indrianto, yang ternyata sukses dalam merampingkan tubuhnya. Turun
sudah sampai beberapa kilogram, membuatnya lebih segar dan sehat. Itu katanya,
juga bisik-bisik istrinya sih.
Saya
sebagai sahabat baiknya, selalu berharapia tetap terus sehat-sehat saja. Waras.
Selalu tak bisa diam, untuk aktif berkarya. Diam itu bukan emas, pada posisi
dalam konteks kreatif. Diam, bisa-bisa jadi...pengapuran! Maksudnya, mungkin
harus diam dengan terpaksa karena ada sakit, ya pengapuranlah, asam urat dan
sejenisnya. Amit-amit deh.... Insha Allah kita dijauhkan.
Dalam
waktu hampir bersamaan, Bintang pada beberapa waktu lalu juga memproduksi dan
lantas merilis album dari Bianglala Voices, yang membawakan karya-karya macam
musikalisasi puisi. Grup accapella senior itu, mengangkat puisi-puisi karya
Sapardi Djoko Damono.
Oh
kemarin itu, Bianglala tampil dengan format
6-voice. Dimana mereka selengkapnya terdiri dari Ritmanto Saleh, Freddy Lengkong,
Sri Tursinta, Tanti Hudoro, Afdhal Zikri dan
Nanda Muamarsyah.
Sayapun
seperti juga penonton lain, pulang dengan hati tenang dan nyaman. Musiknya
menyamankan hati, telinga, otak. Membuat bisa tidur lebih nyenyak. Walau
kenyataannya, eh saya itu selesai acara rada tumbang. Terkena serangan flu,
yang lagi seru-serunya menyerang saya beberapa waktu belakangan ini.
Dan
influensa adalah virus berbeda. Sama sekali tak terkait dengan Gambang Suling.
Apalagi dengan Bintang Indrianto dan musiknya. Emang kudu istirohat aja sih. Salam! /*
No comments:
Post a Comment