Julukan
yang disandangnya kini, singing-lawyer.
Dan kemungkinan bisa sampai hitungan 223 kali rasanya, dia mendapatkan
pertanyaan dari para host atawa MC, setiap dia manggung, mas pilih mana
anatar jadi penyanyi atau jadi lawyer.
Eh
soal 223 kali itu, bukan hitungan eksak. Bisa saja lebih. Atau bisa juga
kurang. Boleh tanya ga di toko sewelah?
Haiya, cuma becanda saja. Jangan terlalu serius. Biar lebih santai baca tulisan
ini....
Menghadapi
pertanyaan pengacara atau penyanyi, biasanya dia tertawa lebar. Mungkin dalam
hatinya berucap, kagak ada pertanyaan lain ya? Tapi dia senantiasa menjawab,
dan selalu begitu, keduanya saling berjalan dan saling menunjang kok. Lantas,
ia tertawa lebar lagi...
“Dulu
aku mulai nyanyi dengan lebih serius dengan masuk sekolah vokal Bina Vokalia,”
begitu ceritanya. Kita bertemu di sebuah kedai kopi di sebuah mall megah di
selatan Jakarta. Ia membuka obrolan, lalu minum ice chocolate frappe yang
dipesannya.
Sementara saya menyeruput black coffee, americano, dan tanpa gula. Tak lupa, srupat-sruput, sambil menghisap rokok.... Otak terbuka. Omongan jadi lancar.
Eh
iya, lanjutnya cepat, udah kita mulai aja ya. Dia lalu tanya gini, mau gimana
sih enaknya? Ga direkam gitu, pakai apa, recorder atau bisa pakai handphone
kan? Saya tersenyum lebar. Lebar banget.
Lebar
banget mah itu artinya ketawa kan? Beti dah, beda-beda tipis... Saya ga
terbiasa pakai rekam-rekaman. Dan doi memang terkejut, eh lebih “dramatis”
kalau ditulis aja, terperanjat. Lha jadi gimana, tanya doi. Udah kita ngobrol
aja, cerita apa yang mau diceritain.
Saya
keluarkan note-book kecil saya. Eh
ini beneran note book, maksudnya apa sih, notes
gitu. Ukuran sedanglah. Nanti saya catat aja. Lalu saya tambahin gini, gw nulis
tapi elo tak perlu lihat ya tulisan gw tar elo pusing lihatnya. Saya tersenyum,
dia tertawa. Saya emang jadul ya, ucap saya terkekeh-kekeh. Ia geleng-geleng
kepala.
Trust me it works bro! Yakin saya ke dia. Karena kelihatan dia ya memang terkesima, saudaraan kan sama terperanjat, tapi juga jadi ragu. Iya kelihatan, terasa deh gitu. Oh ok, iya tersenyum.
Ok
terserah, tapi mending direkam deh, kali aja ada yang tercecer ga sempat
dicatat kan, ia menyarankan. Well, ok saja. Tapi ya ok deh jadi backup-lah ya.
Asli, saya ga biasa sedari dulu ngobrol atawa wawancara pakai rekam. Hahaha...
So,
lantas lanjut ngobrol lagi. Di dunia menyanyi, aku memulainya sebagai siswa di
sekolah vokal, Bina Vokalia. Waktu itu aku tuh masih bersekolah. dimana
orangtuaku memasukkanku di SD BPSK (Badan Penyelenggara Sekolah Kristen).. di
daerah Petojo.. Kita mulai dari masa sekolah dasar nih.
Dia
mulai bercerita, saya menulis. Ia asyik bercerita deNgan sesekali melirik tangan
saya yang lagi asyik menulis. Pointnya kan gitu, yang penting kita berdua
sama-sama asyik! Ia menambahkan, di kelasnya, ia adalah satu-satunya pelajar
muslim, di sekolah Kristen tersebut. Hal yang sama sekali tidak
dipermasalahkannya.
Kegemarannya
bermusik, terutama bernyanyi, mulai terlihat sejak ia memasuki masa Sekolah
Dasar sebenarnya. Adi kecil pun lalu memasuki kursus menyanyi di Bina Vokalia.
Ia belajar sampai sekitar 4 tahun lamanya, dari 1974 hingga 1978.
Panggilanku
Adi, kalau di rumah. Aku paling menyukai pelajaran menyanyi di masa sekolah.
Menyanyi di depan kelas adalah hal yang paling aku sukai. Karena di sebuah
sekolah Kristen, maka iapun diajari menyanyi lagu-lagu rohani Kristen. Sebagian
ia sukai, ya semata-mata karena kan
emang doyan aja menyanyi.
Ada
satu hal yang tak pernah dilupakann. “Pernah ya aku menonton sebuah konser dari
kelompok Koes Plus, di gelanggang remaja Grogol, Jakarta Barat. Waktu itu Koes
Plus didampingi kelompok lawak, Kwartet Jaya. Kejadian di 1974 itu,” ceritanya.
Ia
bilang, kejadian nonton Koes Plus itu benar-benar membekas di dalam ingatannya.
Yang mulai membuatnya jadi ingin menjadi penyanyi, jadi makin menyukai musik.
Kayaknya enak ya jadi penyanyi, main musik itu, kenangnya.
Di
masa kecilnya, ia juga seringkali mempunyai kesempatan menonton vokal grup
Emerson berlatih. Vokal grup tersebut adalah salah satu kelompok vokal
terkemuka ibukota, dipimpin musisi kawakan, Chris Kayhatu. Saat itu sempat
populer di kalangan anak muda, bentuk kelompok vokal, yang dikenal sebagai vocal group atau kelompok folk song.
Waktu masa kecil hingga remajanya, sebagian
teman-teman sepermainannya adalah datang dari keluarga musisi. Jelasnya, jadi
adik dari penyanyi atau musisi, atau temanku mempunyai paman musisi. Yang
membuatnya jadi acapkali bisa menonton latihan-latihan musik atau grup band.
Seperti Emerson Vocal Group tersebut.
Kalau
di rumah, ia dipanggil Adi. Nah kalau di kalangan teman-temannya, mereka lebih
suka memanggilnya sebagai, Mamad. Nama panggilan akrabnya terus melekat padanya
sampai ia remaja. Nah waktu itu karena pergaulan di sekitar daerah rumahnya,
membuatnya juga jadi sering berkelahi.
“Sekitar
rumahku tuh apa ya, ya banyak anak-anak nakal gitu. Ya preman-preman, pecandu
ganja dan narkoba, tukang palak,tukang bikin onarlah. Gw masih kecil sih, tapi
ya jadi kenal mereka, kan tiap hari ketemu,” terangnya.
Beruntung
ia tak sampai tertular kenakalan yang berlebihan. Si Mamad kecil cuma lantas
jadi suka berantem aja. Itu aja kenakalannya waktu itu. Ia lalu minta break
sebentar, karena ingin ke toilet.
Balik
dari toilet, ia lanjutin lagi. Ok, tetapi ya di sisi lain, aku makin serius
pula menyanyi. Seperti mengikuti Bintang Radio dan Televisi, saat aku masih
kelas 2 SMP di tahun 1976. Ia bersekolah di SMP 60, di kawasan Petojo, Jakarta
Pusat.
Kegiatan
menyanyinya yang lain adalah, terpilih berperan di operette anak-anak berjudul Si Timpang, yang diadakan oleh Bina
Vokalia. Operet tersebut menyusul film layar lebar, yang mana peran utama,
sebagai Si Timpang, diperankan Erwin Gutawa.
Untuk
panggungnya itulah, peran utama sebagai Si Timpang akhirnya diberikan kepada
Kadri, karena Erwin Gutawa tak bisa tampil. Operet itu tampil di berbagai
tempat, sampai di TVRI.
Semasa
ia belajar menyanyi di Bina Vokalia, ia seringkali dipilih menjadi solis dalam
kelompok paduan suara. Saat ia masuk Bina Vokalia itupun, ia bisa langsung
masuk kelas “Bina Vokalia 4”. Berarti melompat kelas, tidak dari kelas. Karena
itulah, ia lantas sering ikut berbagai pergelaran, termasuk Si Timpang.
Begitulah ceritanya.
Sampailah
kemudian di masa SMA, dimana ia lantas bersekolah di sekolah favorit, waktu
itu, SMAN 11 di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Saat itu, ia bergaul dengan
para musisi muda yang bersekolah di sana seperti Rezky Ichwan, Hafiel Perdana.
Yang membuat ia makin serius menyanyi dan mulai menjadi vokalis di sebuah band.
Tapi
sekaligus, ia juga menjadi sosok siswa andalan, bukan di musik tapi sebagai
jagoan berantem. Dan ia lantas mengaku, “Iya antara lain, gwa salah satu yang
ikut memicu perkelahian antar sekolah. Yaitu antara SMAN 11 dan SMAN 9, yang
gedung sekolahnya bersebelahan itu!” Ia tertawa lebar.
Well dude, don’t try
this at home... Eh,
don’t try this at your life. Hehehehe.
Waktu
di SMA itu, ia mengetahui bahwasanya teman-temannya, ternyata sebagian besar
bergabung dengan kelompok Swara Maharddhika. So pasti, ia pengen juga ikutan
masuk SM, begitu “panggilan manis” dari kelompok tari dan musik yang dipimpin
oleh Guruh Soekarno Putra itu.
Ndilalah,,
dia gagal. Cuma gegara, sandal trendy
yang dia khusus beli untuk dipakainya ke acara audisi SM itu, eh putus di
jalan! “Aku malas terus ikut audisi, sandalnya putus. Itu sandal top banget, semua
anak-anak SM pakai itu, jelasnya. “Gw pilih balik ajalah ke rumah. Tengsinlah...”
Aku
kok lapar juga. Kita pesan makanan apaan yok. Saya setuju dan iapun memanggil
pelayan kedai kopi itu, yang ternyata makin ramai pengunjungnya. Selesai
memesan, ia langsung melanjutkan. Udah sampai mana ya kita tadi....?
Well,
ok kenalin dululah doski siokap. Kadri
Mohamad, begitu ia dikenal. Terlahir sebagai Mohamad Kadri, di Jakarta, 21
Februari 1963. Ia adalah seorang penyanyi rock, advokat dan juga aktivis.
Kadri,
atau Adi atauMamad, adalah suami dari Sri Rondang Aida Nasution, kelahiran 20
Juni 1963. Pernikahannya dengan Baby, begitu panggilan sang istri, membuahkan
seorang putra, Viva Kadri Merdeka, yang lahir pada 2 Februari 1995.
Mohamad
Kadri, adalah putra kedua dari lima bersaudara dari pasangan Nizaroeddin dan Sjahrar Malik. Ayahnya, Nizaroeddin, adalah seorang sipil. Berkarir
di Departemen Pekerjaan Umum. Sementara ibunya, Sjahrar Malik, adalah seorang
bidan.
Ia
dilahirkan di Rumah Sakit St. Carolus, pada 21 Februari 1963. Dan pada masa
kecilnya, ibunda membuka klinik bersalin yang langsung dikelolanya sendiri, di
rumah mereka juga.
Balik
deui.... Sampai di SM ya. Karena ia tak ikut menjadi anggota Swara Maharddhika,
iapun tak masuk grup band utama di sekolahnya. Grup utama itu, benar-benar
berisikan para anggota Swara Maharddhika yang satu sekolah dengannya.
Selesai
masa SMA. Iapun berkuliah, di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Saat itu, ia
memang menjadi serius dan mulai berkinginan menjadi seorang penyanyi profesional.
Karena di saat itulah, di waktu awal masa kuliahnya, ia berkenalan dengan
antara lain Tony Wenas, Emiel Kurnia, Glenn Tumbelaka, Boyke Sidharta, Hendrasli Aa Sulaiman dan Edi
Nugroho serta Setiawan Adi. Mereka
adalah kakak-kakak kelasnya, yang saat itu sudah aktif bermusik.
Ia
sebenarnya sempat masuk fakultas ekonomi di Universitas Jayabaya selama
setahun. Tapi menjelang masuk tahun kedua, ia memilih pindah masuk Universitas
Indonesia. Kenapa ia memilih fakultas hukum di Universitas Indonesia itu?
Begini
ceritanya. “Aku dulu bisa dibilang rajin mendengarkan siaran radio. Dan yang
kerapkali didengar waktu itu, siaran tentang informasi musik oleh wartawan
senior, Bens Leo. Dari siaran radio itu, aku tahu ada Solid 80 yang kuliahnya
di fakultas hukum Universitas Indonesia”.
Tambahnya,
“Aku suka dengan Solid 80 itu, dan lantas terbersit keinginan untuk bisa
berteman baik dengan grup musik tersebut. Pengen aja. Karena mereka di UI, ya
lantas aku jadi pindah ke UI.”
Saat
akhirnya dapat masuk kuliah di fakultas hukum Universitas Indonesia itu, satu
cara yang dilakukannya untuk lantas mengenal Solid 80 adalah, pada satu ketika
ia menyanyikan lagu-lagu dari Queen. Karena ia tahu, Tony Wenas, Emiel Kurnia
dan kawan-kawannya ada berkumpul di taman di dalam kompleks kampusnya itu. Ia
bernyanyi di satu sudut taman di kampusnya, dimana di sudut lain ia tahu ada
kelompoknya Tony Wenas.
“Dan
tahu ga, eh siasat tersebut lumayan ampuh. Karena Tony dan teman-temannya
mendengarkan suara gw, lalu ngedatengin gw.
Akhirnya ya kita berkenalan, lantas berteman baik”.
Dimana
kemudian pertemanan mereka berlanjut dengan, pada waktu-waku berikutnya, Kadri
akhirnya diajak serta mendukung kelompok musik Tony Wenas dan kawan-kawannya
itu, Solid 80.
Walaupun
sebenarnya, bergabungnya Kadri dalam Solid 80, tidaklah langsung seketika pada
saat itu. Ada sekian waktu dimana Solid 80 pun lantas menyetujui untuk mengajak
serta Kadri.
Di
saat itu ia juga mulai berkecimpung di kegiatan kesenian di kampus. Terutama
musik, tentu saja. Ia ikut menjadi panitya dalam menyelenggarakan acara-acara
musik. Satu ketika ia mengontak Makara
Band, yang sebagian adalah kakak-kakak kelasnya di Fakultas Hukum. Untuk
meminta Makara bisa tampil di sebuah acara musik di kampusnya.
“Saat
itu, anak-anak Makara setuju untuk tampil tapi dengan satu syarat, aku harus
jadi penyanyinya!”. Karena, waktu itu kebetulan, Makara baru saja ditinggalkan
penyanyinya, Harry Mukti. Mereka juga tanpa gitaris. Kadri pun setuju. Di saat
itulah, ia lantas menjadi vokalis. Tetap menjadi vokalisnya, walau kemudian
Harry Mukti kembali bergabung.
Tapi
tunggu dulu deh ya. Sebelum sampai Makara, ada kelompok Sapta Bhama, di tahun 1983, Kadri dengan Sapta Bhama, mengikuti
ajang kontes band paling bergngsi di waktu itu.
Nama
kontes band itu, Light Music Contest.
Sapta Bhama membawakan dua buah lagu, ‘Blue Rondo a la Turk’ versi Al Jarreau
yang adalah karya Dave Brubeck. Dan lagu, ‘Chopin Larung’ dari Guruh Gipsy.
Bersama
Sapta Bhama dengan Diddi Agephe, Oas TP Simanjuntak, Adi Prasodjo, selain menjadi finalis
Light Music Contest, mereka bermain di beberapa acara. Sampai pernah tampil di
sebuah acara bertema jazz di hotel Savoy Homann, Bandung. Di saat itu ia lantas
bisa berkenalan, dan berteman baik, dengan berbagai musisi dan penyanyi asal Bandung.
Tapi
akhirnya, Ia terpaksa mundur dari formasi Sapta Bhama, dikarenakan ia membaca
Sapta Bhama akan tampil di sebuah acara musik. Ternyata ia tidak disertakan
saat itu. Maka iapun berusaha tetap bisa tampil di acara, yang berjudul Student
Night tersebut. Ia berdua saja dengan Dana,
dari Punk Modern Band. Mereka berdua
membawakan,’Love of My Life’ dan ‘I Don’t Like Monday’.
Punk
Modern Band, memang menarik buatnya. Grup tersebut berdandan ala punk, walau
musiknya tidaklah punk. Punk Modern Band, bisa dibilang salah satu grup band,
yang membuatnya menjadi menyukai rock. Iapun memang mulai meninggalkan jazz,
apalagi saat ia lantas keluar dari formasi Sapta Bhama.
Well
karena jazz tak banyak jobnya Saya becanda. Dia tertawa lebar menanggapi.
Padahal kan penonton jazz wangi-wangi? Kebanyakn di gedung berpendingin udara,
menyanyi dengan suasana sejuk kan nikmat?
Ah
bukan, sergahnya. Rock kayaknya lebih aksi gitu, alasannya. Lebih bersemangat,
lebih anak muda. “Waktu itu aku merasa rock itu enak ternyata pas diperhatiin.
Lebih seru ya. Itulah yang membuatku jadi berpindah...,” jelasnya lagi.
Ia
kemudian, di sekitar 1984, juga diajak masuk formasi Endrass. Di dalam Endrass, terdapat sekitar 100 band anggotanya. Ia
masuk formasi Endrass-1, yaitu band
utama. Ia juga mendapat kepercayaan langsung dari sang ketua yang adalah
pendiri, musisi Ekki Soekarno,
sebagai koordinator grup band.
Sementara
itu, ia juga tetap menjadi vokalis Makara. Nama Makara itu, dengan usilnya
dibilang adalah singkatan dari Mahasiswa Karatan. Dan Makara lantas memang
menjadi sebuah grup musik yang lebih serius. Mereka sampai rekaman,
menghasilkan sebuah album.
Formasinya
waktu itu adalah selengkapnya, Adi Adrian
(keyboard), Andy Julias (drums), Agus Anhar (guitar), Januar Irawan (bass) dengan Harry Mukti dan Kadri, sebagai duo
vocalist. Waktu itu Harry Mukti, yang berasal dari Cimahi, sudah cukup dikenal
sebagai seorang rocker, dari grup sebelumnya, JAM Rock.
Makara
dikenal lewat single hits, ‘Laron
Laron’ yang adalah karya Andy Julias dan Januar Irawan. Single tersebut menjadi
radio-hits, bahkan sebelum albumnya
keluar. Album rekaman mereka, sebagai debut album, dirilis menyusul kemudian.
Judul album dipilihlah, Laron Laron.
Album
tersebut di produksi oleh Prosound Records, diedarkan oleh Billboard Indonesia,
pada tahun 1986. Rekaman diambil di studio Prosound. Bertindak sebagai produser
album ini adalah, James F. Sundah.
Album itu tak terlalu sukses dalam penjualan, walau lagu Laron Laron lumayan
populer, terutama bagi para pencinta musik rock saat itu.
Sebelum
itu, Makara mengikuti sebuah kompetisi band rock. Dalam Festival Musik Rock Indonesia di 1985 itu, Makara menjadi juara
pertama. Dan Kadri sendiri menjadi penyanyi terbaik, dimana saat itu ada
penyanyi-penyanyi lain dengan grup-grup peserta berbeda. Ada nama Ricky Johannes dan Ita Purnamasari saat itu.
![]() |
Kadri bersama Rudolf Dethu dan Brenda Mandagie dan saya. Saat live interview di program radio saya |
![]() |
Kadri bersamakakak-kakak kelasnya di UI dulu, teman-teman musisi dari Chaseiro, PSP dan kak Louise Hutauruk |
Kemudian
bersama Makara, iapun tampil dalam berbagai acara, di beberapa kota. Yang
paling diingatnya adalah acara Rock
Siang Bolong, dimana Makara tampil dengan beberapa grup rock papan atas
saat itu. Rock Siang Bolong Shanta Super
Shandy itu juga digelar di Jogjakarta, dimana Makara juga tampil.
Makara
tampil juga dalam sebuah duel meet dengan grup Surabaya, Squirrel Band yang adalah grup pertama dari Dewa Budjana. Show tersebut diadakan di Gelanggang Olahraga
Kridosono, Jogjakarta.
Show
dengan Grass Rock di gedung Go Skate
Surabaya, diingatnya sebagai show terakhir Makara. Show yang diadakan tahun
1987 itu terbilang sukses. Dan nama Makara sebenarnya makin dikenalluas,
terutama oleh penggemar rock.
Sebelumnya,
di pertengahan 1980an, Kadri juga ikut tampil di acara rock yang besar. Konser
berjudul Konser Merah Putih di
Parkir Timur Senayan, mengundang tampil baik Makara maupun Endrass. Kadri pun
tampil mendukung kedua grupnya tersebut.
Ia
juga diajak musisi Rezky Ichwan, sebagai illustrator musik, untuk mengisi vokal
pada illustrasi film Preman. Film tersebut diputar pada 1985, dan merupakan
juga film pertama Rezky Ichwan sebagai illustrator musik untuk film,
sekembalinya dia dari menunutut ilmu di sekolah musik ternama, Berklee College
of Music.
Bersama
Endrass, ia mengikuti Kompetisi Rock
Menpora. “Kita waktu itu menjadi juara kedua. Dimana juara pertamanya
adalah Grass Rock, dari Surabaya,” kenangnya. Ia buru-buru menambahkan, itu pada
tahun 1986.
Kemudian
di tahun yang sama, Kadri diajak untuk mengisi vokal rekaman teater. Rekaman
tersebut untuk pentas teater Growong,
karya bersama Noorca Massardi, Renny Djayusman dan Radhar Panca Dahana.
Pada
tahun berikutnya, ia masuk formasi Next
Band. Kelompok ini terdiri dari Odink
Nasution, Raidy Noor, Andy Ayunir. Drummer bergantian antara Keenan Nasution atau Yaya Moektio. Ia menjadi penyanyi,
bersama Freddy Tamaela. Grup ini
juga bermain di pelbagai acara, di berbagai kota.
Suatu
waktu, ia juga sempat bermain dengan kelompok FOM, Friends of Mine.
Dimana dalam grup itu ada Freddy Tamaela, Dolf
Wemay dan Keenan Nasution. Menariknya, satu ketika ia mendapat tawaran
manggung. Kebetulan saat itu Next Band berhalangan tampil.
Iapun
dipertemukan dengan grup FOM tersebut, oleh Keenan dan Freddy. Di situlah ia
jadi memahami ada perbedaan-perbedaan pada fee,
di tiap personil grup band. Hal itu, di saat itu adalah lumrah saja.
Koordinator berhak memperoleh bayaran lebih. Sementara si pemberi order, juga
mendapat bagian khusus.
Perjalanan
bermusiknya berlanjut terus. Membawanya ke kelompok musik berikutnya, Brawijaya Band. Dalam kelompok musik
tersebut, ia bergabung bersama penyanyi lain, Doddy Katamsi. Dengan para musisi adalah Krisna Prameswara, Kiki
Caloh, Ardian, Yayat dan Eko Partitur. Ia diajak masuk, menggantikan Yudhi.
Menyusul
masuk ke dalam grup tersebut, yang dikenal sebagai grup rock anak-anak
Kebayoran itu, Once Mekel. Once
masuk menggantikan Doddy Katamsi. Brawijaya Rock Band tersebut didukungnya dari
awal 1990-an sampai sekitar 1992.
Nah
abis Brawijaya itu, saya eh ketemu Once di Dimensi Band-nya Donny Suhendra dan
Rudy Subekti. Yang awalnya, ada Yuke Sumeru juga sebagai pendiri. Setelah
Dimensi, Once sebenanya sempat ikut mempersiapkan berdirinya sebuah grup band
bersama Aria Baron, Dewa Budjana, Thomas Ramdhan lalu Ronald Fristianto. Tapi
ternyata, grup itu berdiri tapi Once ga jadi vokalisnya. Tau kan, grup apa?
Eh
eh eh maap, maap. Intermezzo sedikit soal Once. Konteksnya sih, Once kebetulan
memang lantas menjadi sahabat baik Kadri juga adanya. Karena sama-sama
berangkat dari Fakultas Hukum UI juga sih ya? Yekaaaan, udaBro Kadri?
Kadri
sendiri mengaku, ia juga tetap serius menjalani kuliah hukumnya. Walau karir
musiknya mulaiberjalan dengan laju, pasti dan sistematis. Terukur dan massif
juga? Hush!
Ia
ilang, cita-citanya memang menjadi seorang penasehat hukum, atau advokat yang
baik dan berguna bagi masyarakat banyak. Mulianya cita-citamu nak.... Pasti
kedua orang tuanya begitu bangga dengan keinginan anaknya ini ya?
![]() |
The KadriJimmo. Kadri, Noldy Benyamin, Jimmo, Hayunaji, Soebroto Harry dan Popo Fauza |
![]() |
Kadri bersama saya, Tyas Yahya (paling kiri) dan Ida Arimurti |
Ia
serius untuk mengejar cita-citanya tersebut. Sehingga ketika ia telah dapat
menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia itu, dengan meraih gelar
Sarjana Hukum, ia pun mencoba melanjutkan kuliahnya ke Amerika Serikat. Walau
bukan lagi melanjutkannya di bidang hukum.
Keputusan
melanjutkan kuliah di negara yang begitu jauh sebetulnya adalah keinginan
nekad. Ia tahu persis, orang tuanya tak mungkin mampu membiayainya bersekolah
di Amerika itu. Iapun mencari uang sendiri, untuk bekalnya studi di negeri
orang.
“Bahasa
Inggris juga pas-pasan, kan harus ikut Toefl segala, dan harus dapat nilai
minimal tertentu. Ya gw berjuanglah sendiri. Dengan modal utama hanya kepengen
banget, semangat aja sih,” ungkapnya.
Ia
memang saat itu serius, untuk dapat mengembangkan kemampuannya. Ia berhasrat
pergi kuliah hingga Amerika Serikat, untuk memperdalam masalah bisnis dan keuangan. Ia ingin
memperoleh gelar MBA dari sana.
“Aku
ingin melengkapi pengetahuan dan kemampuanku aja. Tujuannya memang ga
kira-kira, USA! Emak dan bapak gw sebenarnya ya kaget, karena duit dari mana,
mereka ga punya dana untuk ongkosin
gw ke sana,” terangnya lagi.
Lantas
cara yang dipakainya untuk bisa bersekolah lanjutan itu adalah dengan, ia
membeli rumah murah yang berstatus sitaan dari bank, karena pemiliknya adalah
kreditur yang macet pengembalian dana yang dipinjamnya.
Ia
mendapat info rumah sitaan berharga sangat murah, dari seorang sahabatnya yang
bekerja di sebuah bank. Oh ya, ia juga mulai bekerja di bank waktu itu. Jadi
ada temannya di salah satu bank yang memberiinfo tersebut.
Rumah
sitaan dibelinya, direnovasi sedikit, dibersihkan. Lalu ia menjual lagi dengan
harga beberapa kali lipat. Keuntungan dari menjual rumah itulah, menjadi modal
biayanya ke Amerika Serikat.
Sebelum
bertolak ke Amerika Serikat, pada 10 September 1992, ia memutuskan menikahi kekasih
hati. Sang tambatan hati itu, Sri Rondang Aida Nasution. Baby, begitu nama
panggilan sang istri, kelahiran 20 Juni 1963, dan juga mmiliki darah Minang
dalam keluarganya.
Lalu
kembali mengenai negeri Paman Sam itu, sejatinya ia bersekolah berpindah-pindah,
juga domisilinya. Awalnya ia di Indiana, kemudian pindah ke Cleveland. Terakhir
ia tinggal di Washington DC, dimana sejatinya ia sudah kehabisan biaya. Hal
tersebut membuatnya terpaksa kembali ke tanah air, walau kuliahnya belum
selesai
Ia
juga mencoba menjadi penyanyi di sana. Membuatnya pernah tampil untuk acara-acara di kedutaan
besar Republik Indonesia, ataupun acara-acara yang diadakan komunitas mahasiswa
Indonesia di sana.
Saat
di sana,ia lantas sempat masuk sebuah formasi grup band, yang berisikan para
mahasiswa asal Malaysia yang berkuliah di Amerika Serikat. Ia mendengar bahwa
mereka melakukan audisi mencari vokalis, maka ia mendaftarkan diri dan lantas
diterima. Karirnya sebagaipenyanyi grup band itu berlangsung beberapa bulan.
“Di
Amrik itu, menyanyi ya begitu-begitu ajalah. Karena sibuk sekolah, apalagi
pindah-pindah dan kerja part-time lah
biar ada duit untuk biaya sekolah kan? Aku berjuang sendirian saat itu di sana.
Tapi begitulah, karena habis biaya akhirnya, ya susah juga untuk terus
bertahan. Terpaksa aku pulang ke tanah air.”
Ketika
kembali ke ibukota Jakarta, ia lantas bekerja di sebuah firma hukum besar.Di
saat itulah, ia sempat agak mengendurkan aktifitas bermusiknya. Ia mencoba
berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya di HHP, begitu nama firma hukum
tersebut.
Pada
2003, ia mundur dari Hadi Pranoto, Hendrato & Partners (HHP) itu. Ia lantas
pindah ke firma hukum yang lain. Pada waktu itu, karirnya sebagai advokat makin
melaju sebetulnya. Cuma, godaan bermusik atawa bernyanyi terus juga mengusik
ketenangan hatinya.
“Sebenarnya,
memang saling melengkapi sih pada akhirnya,” terang Kadri. Menyoal musik dengan
kepengacaraannya. “Gini, jadi karir
musikku itu justru untuk memperluas networking,
bahkan hingga bisa sekaligus potensi memperoleh klien-klien potensial. Malah
jadi bisa bersinerji dengan pas kan?” Jelasnya lagi.
![]() |
Kiri ke kanan : Soebroto Harry, Hayunaji, Keenan Nasution, Krisna Prameswara, Kadri, Noldy Benyamin, Popo Fauza dan Jimmo. Di North Sumatra Jazz Festival 2015, Medan |
So
sampailah pada Kadri Jimmo and the Prinzes of Rhythm (KJP). KJP merilis album
bertajuk, Indonesia Hebat, di tahun 2008. Grup ini kemudian, dengan perubahan
formasi, lalu menjadi The KadriJimmo saja.
Pada
2011, Kadri juga sempat diajak untuk mendukung pementasan konser yang relatif
besar, Kantata Barock. Konser yang menokohkan Setiawan Djody, Iwan Fals dan
Sawung Jabo tersebut, diadakan di Stadion Utama Senayan, pada Desember 2011.
Rentang
waktu memang lumayan panjang, dari Makara hingga Next Band ke KJP. Waktu di
antara itu, Kadri tampil sporadis, sebagai penyanyi solo. Sempat pula ia
terlibat dalam upaya untuk reuninya Makara, yang akhirnya gagal.
Kadri
lalu secara resmi disertakan sebagai vokalis kelompok kakak-kakak kelasnya di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Solid 80 pada awal tahun 2000. Di saat
itu, Tony Wenas dan kawan-kawan masih berkeinginan meneruskan perjalanan Solid
80, namun harus menerima kenyataan bahwa sebagian personilnya tak bisa lagi
ikut serta.
Hal
itu diceritakan sendiri oleh mijn broer,
Tony Wenas. Tony met Kadri memang
menjadi sahabat baik. Sesama jebolan fakultas hukum, tetapi dengan perjalanan
karir berbeda. Uniknya, kedua tetap juga ga bisa ninggalin musik.
Tentu
saja hal itu karena kesibukan masing-masing para personil dari Solid 80. Bahkan
ada yang sudah di luar negeri. Kadri diajak masuk mendukung Solid 80 sebagai
vokalis, lalu belakangan ikut masuk Solid 80 adalah Jodie Wenas. Jodie, juga sebagai vokalis, adalah adik kandung dari
Tony Wenas.
Makara
sendiri, memang sempat merilis album pada 2008. Album tersebut bertajuk Maureen. Dimana formasi sedikit
berubah, Makara didukung kibordis lain, Krisna Prameswara. Namun album tersebut
bisa dibilang gagal dalam pemasarannya.
Kemudian
ia menjadi produser yang sekaligus berperan serta sebagai pelaku aktif di dalam
sebuah proyek musik, Indonesia Maharddhika.
Proyek musik yang bermuatan kebangsaan, kebhinekaan, cinta tanah air dan
persatuan bangsa. Musiknya sendiri lebih cenderung pada progressive rock yang
mendominasi.
![]() |
Kadri dan rekannya di Yeninotz Journey, Yeni Fatmawati |
![]() |
Kadri, Jimmo dan dengan saya di Ardia FM, Jogjakarta |
Kadri
menjadi produser eksekutif dalam album itu, bersama teman-teman baiknya sesama
lawyer. Adalah Yeninotz Journey
sebagai bendera yang dipakai, dimana Kadri bersama-sama Yeni Fatmawati dan Hendronoto
Soesabdo.
Dalam
album ini, tak sekedar bersyair tentang gempita Indonesia Merdeka saja, namun
Yeninotz Journey memproyeksikan album ini menjadi cerminan sikap merdeka lewat
sikap mental, berkarakter dan berkarya.
Menurut
Kadri, memang kebetulan dirinya dengan Ninot dan Yeni berteman akrab.
Dirinyalah mencetuskan ide, yiuks bikin proyek musik. “Cuma kan duit kita, yang
niatnya ngumpulin bertiga, patungan, ya ga seberapalah,” jelasnya.
Akhirnya
ketemu ide, collecting dana melalui crowd fund. Dimana Yeninotz Journey
merangkul kerabat, teman baik mereka bersama, dari lintas profesi, lintas
provinsi bahkan lintas partai untuk secara bersama urun dana. Demi membiayai
proyek rekaman tersebut.
Proses
produksi album Indonesia Maharddhika dimulai sejak 2012. Perjalanannya panjang
dan oho, penuh lika-lIkunya. Dimulai dengan proses pengumpulan hasil rekaman
dari grup-grup musik progressive tanah air, yang dipilih oleh Yenninotz.
Selengkapnya mereka adalah Cockpit, Imanissimo, The Miracle, Van Java, Discus, In Memoriam, Vantasma, Atmosfera dan The KadriJimmo.
Album
ini mengedepankan satu karya lagu monumental, ‘Indonesia Maharddhika’ yang
adalah karya bersama Guruh Soekarno Putra dan Roni Harahap. Dimana karya lagu
itu diperkenalkan pertama kali di tahun 1976 oleh kelompok Guruh Gipsy, grup
dimana Guruh Soekarno Putra dan Roni Harahap menjadi anggotanya.
Lagu
gagah tersebut kemudian mendapatkan penanganan aransemen ulang. Adalah musikus Iwan Hasan, yang diserahi tanggung
jawab melakukan reinterpretasi terhadap lagu yang bisa disebut sebagai pelopor
genre progressive rock di Indonesia.
Dasarnya,
lagu karya dua musikus kawakan tersebut, bertema kebangsaan dan kebanggaan akan
Indonesia. Dengan dibungkus musik yang tetap mempertahankan bentuk, memadupadankan
musik pentatonis dan diatonis, mempertemukan elemen bunyian musik barat dan
timur. Dimana musik rock dari barat, disandingkan dengan warna musik gamelan
Bali.
Di
tangan Iwan Hasan, lagu itu tetap dipertahankan roh utama kemegahan dan
kegagahannya. Tapi lalu diperkaya dengan keterlibatan banyak nama musisi. Dari
seorang Indra Lesmana, kemudian musisi asli pendukung versi lagu ini yang
pertama dengan Guruh Gipsy itu, yaitu Keenan Nasution..
Ada
juga peran penyanyi Marcell Siahaan.
Lalu ada soprano yang berjam terbang internasional di pentas-pentas opera, Sri
Chairani Proehoeman. Bahkan juga melibatkan salah satu keyboardist
ternama yang adalah pendiri kelompok progressive rock dunia, Yes, Rick Wakeman.
Album
Indonesia Maharddhika, boleh juga dicatat sebagai salah satu album yang lumayan
panjang masa produksinya. Apalagi sampai pada akhirnya, merilis sebuah exclusive boxset, yang memuat versi compact disc, lalu juga rekaman live performance on studio dalam format dvd. Selain rekaman dalam bentuk vinyl
atau piringan hitam.
Cerita
lengkap mengenai Indonesia Maharddhika, sudah saya tulis dan upload di website
saya ini. Silahkan saja, buka-buka page sebelum ini.
![]() |
Saya menerima exclusive boxset Indonesia Maharddhika dari tangan Kadri langsung |
Sebetulnya,
di tahun 2015, Indonesia Maharddhika telah dirilis resmi ke publik hanya dalam
format cakram rekam. Dimana album tersebut berhasil meraih penghargaan dari
ajang Anugerah Musik Indonesia 2015. Adapun penghargaan diberikan untuk
kategori, Artis Penampil Terbaik dan Produser Terbaik.
Dalam
Anugerah Musik Indonesia ke-18 tersebut, penghargaan Artis Penampil Terbaik
diberikan untuk Iwan Hasan, featuring Rick Wakeman, Keenan Nasution, Marcell
Siahaan dan Indra Lesmana. Sementara Produser Terbaik diberikan kepada Yeninotz
Journey.
Sementara
itu, kelompok musiknya sendiri memang lantas menjadi The KadriJimmo. Ada
perubahan nama memang, karena juga ada perubahan pada formasi musisi
pendukungnya. TKJ, begitu nama populernya, lantas beiriskan Popo Fauza sebagai kibordis, Hayunaji sebagai drummer. Kemudian Noldy Benyamin Pamungkas sebagai
gitarisnya serta bassis adalah, Soebroto
Harry Prasetyo.
TKJ
telah merilis sebuah mini album, dengan memuat 5 buah lagu baru. Mini album
atau EP tersebut diberi titel Tanah
Sang Pemberani. Dirilis pada Oktober 2015. Saat ini TKJ tengah mempersiapkan
album penuhnya, semoga bisa dirilis tak lama lagi.
Ya
IM itu, Indonesia Maharddhika maksudnya, menyedot enerji, waktu dan pikiran
tersendiri. Begitu pengakuan Kadri. “Aku sih enjoy aja, walau prosesnya begitu
panjang kan? Sempat ada keragu-raguan pada diri sendiri juga, ini beresin
sampai boxset apa ya sudahi saja?”
Keraguan
itupun, lanjut Kadri, datang dari teman-teman baiknya di dalam IM tersebut. “Wajar
karena kan sedari awal, aku juga sudah menginginkan bisa rilis bentuk
boxsetnya. Sudah bikin live performance di studio juga. Cuma memang ga mudah
mewujudkan cita-cita itu.”
Masalah
dana, jelas adalah hambatan paling krusial. “Ga gampang lagi untuk mencarikan
tambahan dana, demi bisa menuntaskan proyek ini. Dan jelas, ga banyak orang
yang bisa membantu untuk mencarikan dana tambahan. Itu,” ucapnya.
Alhamdulillah,
akhirnya Kadri juga yang menemukan “sumber dana” yang lantas memungkinkannya merealisasikan
niatnya, yang sempat diragukan itu. Ia lantas jadi single-fighter memang. Tapi nah soal single-fighter itu, emang
karakter dia juga sih.
“Hahahaha,
masak sih. Iya gini, gw fight aja
kalau pengen bisa bikin sesuatu ya. Jalan dan yakin. Jadi kayak TKJ tuh, gw
coba all-out untuk jualannya, langsung jual istilahnya door to door,” ceritanya sambil tertawa.
Memang
ia sampai melakukan penjualan sendiri, untuk mini album TKJ. Bahkan juga untuk
exclusive boxset IM tersebut. Ia sendiri mengontak teman-teman, koleganya,
menyolek mereka untuk beli. “Begitulah indie
label, hahaha. Kalau ga berusaha, ya gimana mau laku?” Ucapnya lagi, masih
sambil tertawa.
Bagaimana
juga dengan karir advokatmu dong, udaBro? Oh iya, gw lantas bikin AKSET kan, di
tahun 2010. Dimana ia membangunnya bersama Arifidea
D. Saraswati, Johannes C. Sahetapy
Engels, Abadi Abi Tisnadisastra
dan Inka Kirana.
Akset
sendiri didirikan dengan target utama adalah menjadi sebuah firma hukum modern,
yang brkeinginan untuk bisa go global. Mereka telah memasang target yaitu di
2020, Akset akan menjadi lawfirm yang sudah go global tersebut. Salah satu
rintisan ke arah itu, sudah dilakukan dengan antara lain bekerjasama dengan
lawfirm terkemuka dari Jepang.
Memang
mencermati akan perjalanannya pada dunia seputar hukum tersebut, Kadri memilih
posisi lebih sebagai seorang corporate
lawyer. Ia memang tak berkeinginan menjadi seorang
Memang
Akset itu diperjuangkan keras, oleh kami pendirinya, tambah Kadri. “Syukur,
kalau Akset bisa growin up dengan relatif baik. Juga terasa cepat ya? Oh ya,
aku lebih pilih saja menjadi corporate lawyer begini sih, bukan menjadi kayak
pengacara selebriti gitu,” ia menjelaskan.
![]() |
Kadri bersama Indrawan, Nini Sunny, Aray Daulay, Didit Saad dan Tyas Yahya. Saya juga ada... |
![]() |
Kadri dalam Konser Salam 2 Jari di Gelora Bung Karno |
![]() |
Kadri dengan Emil Abeng |
![]() |
Kadri dengan Bongky Marcel dan Rival Pallo Himran |
Maksudnya,
ia sengaja tak memilih menjadi penasehat hukum yang melakukan pendampingan atau
pembelaan terhadap artis-artis atau selebriti, yang tengah dirundung kasus
tertentu. “Aku ga mau yang begitu. Ya teman-teman pegacara lainlah, yang
melakukan itu, aku ga ke sana.”
Mengenai
musiknya, Kadri sendiri juga kerapkali memotori beberapa pergelaran atau konser
musik. Dimana konser-konser tersebut rata-rata bermuatan dukungan atas
persatuan, kebangsaan dan cinta tanah air. Selain itu, juga mendukung aktif
dalam pergelaran yang lebih berlandaskan pada tujuan sosial.
Antara
lain bisa disebutkan, mengadakan konser mengenang tokoh rock progresif
Indonesia, yang adalah juga rekan mainnya di Makara, yaitu Andy Julias.
Mengadakan konser Indonesia Hebat.
Lalu
juga mendukung secara penuh dalam pementasan konser Lomba Cipta Lagu Remaja, (LCLR) yang menokohkan Jockie Suryoprayogo sebagai tokoh
musisi, yang lantas langsung menjadi direktur musik pergelaran tersebut.
![]() |
Kadri bersama Roi Rahmanto, Yokie Suryoprayogo, Krisna Prameswara dan saya |
![]() |
Kadri ujung kanan, saya ujung kiri. Mengapit Yockie Suryoprayogo, Andy /rif dan Magi /rif |
Konser
tersebut di atas, diadakannya pada Oktober 2015 bersama sahabat-sahabatnya
sesama alumnus SMAN 11 Bulungan. Mereka kemudian memakai bendera, XI Creative. Konser LCLR, kemudian berlanjut
dipentaskan di kota-kota lain yang diadakan pihak promotor tertentu yang
berbeda. Dipimpin langsung oleh Yockie Suryoprayogo sendiri.
XI
Creative ikut dibentuknya, bersama teman-teman baiknya dulu semasa bersekolah
di SMAN 11 Bulungan. Antara lain bersama Ario
Wibisono, Irman Alvian, Rezky Ichwan, Dadang Nugraha, Shanty, Rina Novita, Nana Krit dan lainnya.
Waktu
mereka menggelar konser LCLR plus itupun, ada misi sosialnya. Dimana mereka
berbagi penghasilan dari tiket masuk yang didapat, dengan para mantan guru-guru
mereka di masa sekolah dulu.
Terakhir
ini, mulai di tahun 2017, ia juga masuk dalam kepengurusan PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi dan Rekaman Indonesia), yang
diketuai oleh Hendropriyono. Dalam organisasi
tersebut, ia juga dilibatkan dalam tim khusus yang sedang mengolah Rancangan
Undang-Undang Musik.
Menurut
Kadri, ia bergabung di dalam sebuah tim khusus. Di dalamnya ada nama-nama lain
seperti Glenn Fredly, Anang Hermansyah, Johnny Maukar dan lain-lainnya. Mereka bertugas menyusun ide dan
masukan kepada pemerintah untuk keperluan Undang-Undang Musik tersebut, yang
mereka sampaikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat.
![]() |
Kadri bersama Ario Wibisono, teman baiknya sejak SMA dan kini juga bersama-sama di XI Creative |
![]() |
Dalam Konser LCLR plus pertama di Jakarta. Kadri dengan Once, Yockie Suryoprayogo, Harry Sabar, Ari Malibu, Redha, Debby Nasution dan Dhenok Wahyudi |
![]() |
Backstage LCLR Plus di Bandung dengan Sys NS, Donny Hardono, Benny Soebardja, Husein Alatas dan Harry Sabar |
Ia
memang juga aktifis. Banyak be’eng
kegiatanmu? Ia tertawa, ya karena pergaulan dan pertemanan sih. Maka, ia
menunjuk pada keterlibatannya di Koin
untuk Kepedulian lalu juga Salam 2
Jari. Oh iya, pernah juga jadi pengurus Ikatan Alumni Universitas Indonesia kan ya? Ia mengangguk, “Iya
kepengurusan periode 2012 sampai 201 lalu. Waktu dipimpin Melly Darsa,” jawabnya lagi.
“Eh
gw kayaknya udah laper, mau makan rada berat ah. Cukup kali ya,
ngobrol-ngobrolnya? Kalau ada yang kurang, kita berkabarlah. Elo masih mau
nambah minum, atau makan kali? Apa kita cari makan ajalah ya....” Kadri
menawarkan.
Kemana
ya baiknya? Ya boleh aja. Dan kitapun lantas cabut ke mall sebelahnya, mencari
makanan rada berat. Rekamannya bagus kan,Kadri mengecek. Jawaban saya, “Tulisanku
udah cukup lengkap nih...” Kita ketawa lebar. Teteup... old school boy!
Kita
ga foto-fotoan sama sekali kemarin itu. Kagak
ade acare wefie-wefie an juga. Karena di warung itu makin rame soalnya. Kita
tuh bertigaan sebenarnya. Adalah Tyas
Yahya, asisten pribadi, sangat pribadi bingitsku
yang turut serta.
Tyas
juga yang punya inisiatif menyodorkan hape-nya, untuk merekam apa yang
disampaikan Kadri. Belakangan Tyas bilang, udahlah kamu terserah mau dengerin
atau ga rekaman di hape ini, tapi yakin sih kayaknya kamu juga ga perlu....
Kita berdua tertawa. Ah, kamu tahu aja sih....
Kitapun
memang pergi ke sebuah resto. Dan di sana... Ah sudahlah. Ya kita makan. Tapi
masak diceritain juga? Hehehehe. Dan
tulisan ini, lumejen juge ye?
Dilengkapi foto-foto, semua jepretan saya, dari puluhan acara, dimana Kadri
terlibat menjadi penyanyinya. Atau foto-foto dengan teman-teman kami.
Satu
hal yang saya lihat dari sosok Kadri Mohamad adalah enerjinya luar biasa.
Maunya gerak cepat, dan seringkali ia tak menunggu lama, malah ia bisa
mendahului siapapun dalam mengerjakan suatu hal. Apalagi yang memang dia juga
kepengen. Semangatnya tinggi betul! Semoga selalu sehat walafiat saja.
Terima
kasih sudah membaca. Dan siap-siap aja beli albumnya Kadri sama TKJ nya.
Musiknya gawatlah! Hahaha. “Iya musiknya
TKJ tuh musiknya yang gw pengen dan juga disukai sama semua personil lain.
Semoga sukses deh, doain ya bro.”
Kalau
gitu sih, ya didoain semoga juga disukai para penggemar musik tanah air. Sukses ya, udaBro! Thank you atas waktunya..../*
No comments:
Post a Comment