Friday, March 25, 2016

Bedanya Rock dan Jazz di Indonesia Saat Ini....



Sering banget dulu mendengar celoteh teman-teman. Kalau jazz mah enak ya,festivalnya gede dan banyak.Rock susahlah, blues juga komunitasnya kecil. Jazz itu kayak borrju, rock itu kayak .. Rock itu “proletar”. Memangnya anggapan itu benar?
Saya coba sodorin beberapa hal nih.  Iseng aja bikin corat-coret. Antara Jazz dan Rock dewasa ini di tanah air kita.  Kayak gini nih catatan saya. Catatan rapi atau corat-coret sih? Corat-coret dululah, lalu dirapihin, jadinya kan catatan? Gitu aja kok repot....

R O C K

Rock festivalnya sedikit? Ga juga. Bertambah terus kok. Beberapa kota sekarang puya pentas rock berskala festival. Kecil kan? Ga juga. Ada yang terbilang relatif besar. Ga usah dijabarkan detil, anda semua pasti tahu. Rock fans pasti akan mudah mnyebutnya.
Hammersonic, Bandung Berisik, Rock in Solo, Rock in Celebes, Hellprint, menyebut sedikit saja di antaranya. Panggung rock, besar, multi-stage, puluhan performers, udara terbuka. Lahan lebar terbuka, memungkinkan pulha ribu rock-fans menjubeli pentas-pentas berkonsep a la festival itu. Festival ya, yang berkonotasi “murni”. Yaitu sajian rock performers macam-macam, bukan ajang kompetitif. Pesta sajalah gitu.
5-6 tahun terakhir, terus bertambah jumlahnya. Tentu iklim rock jadi lebih hangat. Ruang pun makin terbuka, untuk memotivasi band-band rock muncul. Arena-arenanya ada kan, sayang aja kalau tak dimanfaatkan? Kesempatan jadi terbuka.
Belum lagi gigs di kafe, yang juga terus bertambah. Tak hanya program-programnya saja, tapi juga tempat-tempatnya. Kafe-kafe sebagai venue untuk regular-gigs juga bermunculan, terutama di kota-kota besar. Lebih khususnya Jakarta.

Menarik diamati, kalau rock dihidangkan, murni rock kayaknya. Gini,performers nya itu banyak banget.Tua-muda, “besar-kecil”, senior-junior. Bayangin aja, God Bless yang sudah 42-an tahun saja masih eksis? Tiap tahun terus lahir band-band baru. Pilihannya begitu banyaknya. Fans termasuk loyal, fanatik dan laten.
Alhasil hidangan rock, baik program berbentuk regular gigs di kafe ataupun skala festival yang besar di lapangan terbuka, ya pede abis jack, untukmenampilkan para “real-rock” performers.Mau yang hard rock, heavy metal, grunge, death metal sampai menyenggol blues rock, dan pelbagai turunannya.
Dan grup-grup rock itu berdatngan dari mana-mana, dari segala penjuru Nusantara raya ini deh. Ga hanya didominasi sebatas Jakarta dan Bandung atau dengan Yogya dan Surabaya saja saat ini. Dari mana-mana, bermunculanlah rock-band yang penuh semangat, dengan cita-cita besarnya masing-masing.
So, jumlah sudah relatif banyak, hebatnya masing-masing juga punya massa tersendiri, maka rock ga begitu butuh “pemanis”. Ga perlu yang namanya, “nama-nama yang berpotensi menjadi magnet penonton”, atawa “nama-nama populer untuk jualan.”
Tak perlu memanfaatkan nama-nama tertentu, yang danggap lebih “light”, lebih dikenal luas, lebih populer, untuk “disuruh” lebih ngerock. Biar bisa ditampilin, dan akibatnya bisa memancing lebih banyak penonton. Apaan lagi yang kudu dipancing, penonton seberapa banyak lagi yang mau dipancing datang?
Rock akhirnya menjadi murni kebisingan, kekerasan, kehangatannya. Orisinal, asli ga luntur. Tak pakai ragu-ragu. Tak usah pikir-pikir banyak lagi. Penontonnya ga pernah kering kok. Selalu banyak aja penntonnya. Beneran?
Gelagatnya begitu Ah sudahlah, ga perlu pake gelagat segala. Kenyataan sudah membuktikan. Sementara asyiknya, harga tiket juga kayaknya bisa kok untuk, ga “murah-murah amat”. Soalnya sebelumnya kan, rock fans sebagai penonton festival itu, kadung dianggap berkantong terbatas ya. Jual mahal dikit, penonton males dateng. Tar ga bisa beli rokok! Datang, tapi nongkrong aja di sekitar pintu masuk. Menanti harap-harap cemas, pintu bakal dibuka lebar-lebar nanti.

Penuh harap, bisa nonton gretongan, dan panityanya bermurah hati banget.  Panityanya kekeuh-surekeuh, pasang tiket rada mahalan, siap-siap aja...kita jebol aja pintunya. Pokoknya kita harus nonton rock, biar kata duit mepet. Perilaku gitu, perlahan mulai “memudar”. Bagus dong? Mudah-mudahan bener-bener begitu sih. Sehat jadinya tontonannya....
Yang ada kasus berbeda. Ok tidak menonton gratisan sih, tapi mau menonton, kumpulin komunitas. Ada pulhan, syukur-syukur bisa ratusan. Kontak panitya, dan minta harga tiket khusus, diskon spesial. Atas nama komunitas nih. Kita pengen nonton atawa kita harus nonton. Minta harga khusus dong! Nah terserah panitya, atau promotor atau event-organizer, bisa memakluminya ga, dan bisa kasih diskon berapa?

Selama ini,kelemahan agak miris pada event rock adalah, sisi show-productionnya kurang “dianggap” secara maksimal. Perhatian itu, masih “terbatas”. Sebatas, yang penting ada tontonan festival, lebih dari 1 panggung, lebih banyak panggung, lebih bagus. Sound system,backlines atau lighting, piye cak? Itu nomer berikutnya saja. Yang penting stagenya lebih dari 1 atau 2 deh.
Alhasil, tontonan menjadi kurang sempurna bangetlah. Sound dan backlines di-nomerdua-in, lighting juga ga terlalu penting-penting banget, pasti agak mengurangi kenikmatan. Khittahnya konser, kelas festival sekalipun, ya harusnya “mendekati sempurna” untuk enak ditangkap mata, sedap disantap telinga. Sound okeh, lighting juga okeh. Hati penontonpun akan senang. Walau tak punya uang? Kalau ga punya uang, gimana bisa nonton, bray?

Rock itu kan tontonan lakik banget! Maka ya ga terlalu banyak sponsor mau mendukungnya. Anggapan itu, perlahan mulai rada luntur sih. Banyak kok cewek-cewek manis, yang sekarang doyan rock. Cewek-cewek bening, wangi-wangi, bersih, makin banyak yang berani nonton rock sekarang. Wangi dan bersih, tapi nontonnya outdoor? Yang penting kan, waktu datangnya, bersih-bersih? Kalau udah bubaran, jadi kusut dan bau debu, ya resikolaaaah.....
Cewek-cewek yang suka rock, juga mulai ga ragu mendatangi venue kayak cafe gitu, untuk lihat tontonan musik rock. Katanya, cewek-cewek tuh banyak yang “halus-halus” gitu, tapi doyan “bad-boys”! Badboys means...rockers! Hahaha, jaman sekarang tuh ya, rocker soleh juga makin banyak. Ga semua juga badboys kok. Rambut gondrong en penuh tato, ga bisa dong identik dengan rebel,bad-things, anarkis, kasar? Gondrong, bertato pulak, tapi sopan-sopan, juga banyak sekarang. Sopan tapi playboy? Ah, gw ga ikut-ikutanlah....

Catatan lain, kalau yang berjenis “metal-metal”an kesannya lebih aman. Untuk jenis yang juga ngerock, apaya,eh iya blues deh misalnya.Sekali dibikin, antusiasme publik sih ada. Lumayanlah. Tapi edisi-edisi berikutnya, terlihat menuyurut. Ga tau kenapa. Padahal ad dukungan sponsor. Saya pikir, salah satu alasan adalah terbatasnya performers.
Blues lumayan naik ketika Gugun Blues Shelter menjadi makin populer. Trio itu bisa jadi kayak lokomotif gitu ya. Menjadi ikon blues buat anak-anak muda. Tapi kalau hanya GBS terus, memang repot juga. Orang-orang bisa berpikir, nonton GBS mah nanti aja di kafe, jagain gig GBS aja. Ga harus lihat di festival.

Termasuk ya juga tontonan di kafe. Sekali lagi, masalah utama rasanya karena terbatasnya band atau penyanyi blues. Sementara kalau omongin gig, event di kafe kan ya sejauh ini, relatif jarang. Masih bisa dihitung dengan jarilah gitu...
Rock lainnya, apaan lagi? Prog rock misalnya? Masih terbilang sporadis. Ada sedikit pergerakan diupayakan oleh komunitas bertajuk, IPS, Indonesian Progressie Society. Tapi masih harus berjuang. Perlu ditingkatkan frekwensinya, sekaligus memancing lahirnya lebih banyak grup-grup muda. Bagaimana memancing anak-anak muda jaman sekarang, yang doyan ngeband, pengen  jadi musisi, ya mau mainin prog-rock.
Menghidupkan musik-musik tertentu di kalangan anak muda sekarang, itu penting banget. Supaya nanti tak berjarak, kalau mau mengundang datang penonton muda. Sementara kan, kalau buat saya, lebih banyak grup-grup muda dan apalagi penonton muda yang datang, itu tanda-tanda positif. Bahwa proses regenerasi berlangsung dengan baik, menjamin keberlangsungan hidup musik itu sendiri.
Well itulah situasi dan kondisi pentas rock jaman sekarang. Karena penontonnya ada, setia-setia lagi, makanya acara-acaranyapun terus bertambah. Bikin acara,tapi penontonnya susah, kan ya bisa nyungsep-sep dong organizernya. Yang ada malah cepet jera, kawatir dan emoh bikin tontonan rock lagi....


  
J A Z Z

Gimana dengan jazz? Relatif jauh lebih baik dong? Kan festivalnya banyak? Dimana-mana ada, udah kayak kalender.... Amerika sebagai “pusat”nya jazz aja ga punya festival sebanyak di Indonesia sini. Hebat memang. Tapi benerankah sikonnya jauh lebih baik?
Tunggu dulu jack. Oho, sekilas sih iya. Coba kita telisik lebih jauh ya. Mulai dari mana nih enaknya? Musisi, grup musik, penyanyinya? Yang muda-muda bertumbuhan dengan lumayan subur. Situasinya mengingatkan dengan keadaan di era 1980-an, waktu dimana jazz dianggap menjadi salah satu trend yang ada.
Tapi, saat ini, malah lebih banyak dan lebih bergairah sebenarnya. Begitu pernah diutarakan Indra Lesmana. Sikonnya lebih menyenangkan sih. Tapi seberapa banyak dari para bakat muda tersebut, yang bisa diandalkan untuk mendatangkan penonton?


Festival jazz memang tumbuh diman-mana. Apakah lantas berarti itu menjadi “ladang yang menjanjikan” untuk para jazzer, baik yang senior maupun yang muda-muda? Aduh, sayangnya ga tuh. Dunia jazz inilah yang memberlakukan, talent-talent tertentu yang menjadi magnet untuk mendatangkan lebih banyak penonton.
Runyamnya adalah, talent-talent yang dipercaya jadimagnet itu, bukanlah penyanyi atau grup jazz. Apalagi musisi. Nah apalagi, ini menyangkutyang senior-senior... Sponsor yang lantas memberlakukan “ketentuan” itu. Acara boleh bertajuk jazz, nama keren dengan jazz-jazzan. Apakah talentnya nge-jazz?
Satu sponsor pernah kepengen membuat ur jazz ke kota-kota besar di luar Jawa. Sponsor itu punya duit, punya ide, kontak organizer. Lalu talent listpun keluar. Talent yang mereka inginkan. 90% bukan jazz. Semua nama pop! Apesnya,ada 1 nama yang relatif ngejazz, dan menejemennya neka-neko. Selesai sudah! Ya tur itu jalan, dan ya tetap bernama jazz. Tapi performers nya pop.

Pop? Tapi tunggu, nyanyi mereka ngejazz lho. Pakai improvisasi gitu? Saya pikir, mereka mencoba menjadi penyanyi jazz. Mencoba ya. Mereka kebanyakan dibilang sebagai penyanyi RnB sebetulnya. RnB atau jazz sih? Masalahnya, kalau di sini, yang ngejazz dan yang RnB udah “berbaur”. Tapi sebagian besar diantaranya menariknya nih, malu-malu dibilang penyanyi jazz. Ya memang mereka aslinya penyanyi pop.
Tapi, penyanyi pop yang seneng-seneng aja menerima job untuk mengisi acara jazz. Salahkah mereka? Sponsor juga berkilah, mereka-mereka itu juga main kok di festival. Festival mana? Java Jazz Festival! Nah. Jadi karena itulah, mereka lantas jadi penyanyi “jazz”.
Padahal? Pop lah. Kekenesan, rupawan, kostum, lagak-lagu, pop banget. Vokal? Kan sudah diupayakan, dengan “meliak-liuk” seolah berimprovisasi itu. Java Jazz Festival (JJF) aja menerima mereka. Meletakkan mereka di panggung-panggung utama pula! Sah kan?
Penyanyi pop, penting betul dengan rupa, kostum. Bedalah. Ga begitu “sempurna” di rupa, maka memilih memakai kostum yang “lebih irit bahan”. Kalau perlu mencontoh sekalian, penyanyi-penyanyi...apa ya, kulih hitam yang populer dan...dianggap, RnB. Toh gaya menyanyi, menurut mereka mungkin ya, udah ga beda-beda jauhlah. Mereka juga kan pandai dalam “meliak-liukkan” suaranya.


Eh bentar, iya tapi kan RnB? Bukan jazz lho. Mungkin mereka akan dengan santainya bilang, JJF kan ga minta saya harus jadi penyanyi jazz dulu biar bisa tampil di situ.....
Eh ga semua. Ada kok penyanyi-penyanyi kita yang muda-muda, yang nge-jazz. Berusaha sih ya, tapi hasilnya lumayan memuaskan. Masalahnya, masih lebih banyak yang, tetap ngepop saja. Cuma kadung dinilai, pas jadi magnet itulah. Ga ada mereka? Bahkan Java Jazz Festival pun terkesan takut ga bisa mengundang banyak penonton, apalagi festival-festival jazz yang relatif lebih kecil?
Festival-festival lebih kecil, berharap pada sponsor, untuk keberlangsungan hidupnya. Dan begitulah coy, sponsor maunya festival itu disusupi nama-nama yang diyakini bisa menjadi magnet. Jazz atau bukan jazz, itu kan bisa saja di”olah”. Dan nama-nama magnet itupun alhasil, sukses menyita porsi para jazzer beneran. Yang muda-muda, apalagi yang senior.
Ada kok, musisi yang relatif muda ya, yang pelan tapi pasti mulai dikenal juga. Tetap “nge-jazz” tapi mulai lebih populer. Tertentu sih, ga banyak. Mereka itu sudah berhasil memperoleh tingkat “apresiasi” lumayan dari penyelenggara festival. Termasuk sekelas JJF. Mulai juga ada, satu dua musisi muda mulai sedikit “lupa diri”. Biasalah itu...
Tapi yang harus mereka ingat, sebagian dari mereka itu bisa sukses mendapatkan fee bagus, yang di atas para musisi (jazz) lebih senior. Yang lebih dulu bermain dibanding mereka. Yang jangan-jangan, guru mereka? Itu kan tergantung rejeki juga dong?
Yang jadi masalah,ada juga yang anak-anak muda, begitu mudahnya memperoleh kesempatan main di JJF. Walau tiap tahun, nyaris tak berubah banyak. Serunya, mereka ga “jazz-jazz amat”. Ada lho, grup yang sebenarnya nge-poplah. Tapi selalu dapat kesempatan.

Padahal, pernah ada info, organizer dari JJF mensyaratkan setiap performers, sebaiknya terus kreatif supaya bisa mendapat kesempatan main terus tiap tahun. Katanya mereka lebih suka, untuk tak tiap tahun main, sehingga bisa memberi kesempatan kepada musisi atau grup band yang lainnya. Kenyataannya?
Musisi atau grup lain itu, apalagi yang relatif lebih senior, tetap tak mudah memperoleh kesempatan. Aturan berlaku bisa tegas kepada mereka, kan tahun lalu sudah. Atau, kan dua tahun lalu dan tahun lalu sudah, nah tahun ini giliran kesempatan buat yang lain ya? Diskriminasi deh yang terjadi.... Ada faktor like and dislike nih? Faktor, “kenal dan tak kenal”?
Ah sudahlah itu “hak prerogatif” mereka. Berbagai aspek yang pasti jadi pertimbangan. Ada yang bisa mudah mendapat kesempatan, walau sudah sering tampil. Ada juga yang sulit. Apalagi, musisi yang relatif lebih senior,misal dari generasi 80-90an. Apalagi yang generasi 70-an. Ya kalaupun dapat kesempatan kan, fee-nyapun terbatas. Kalau minta “disesuaikan”, ti-ati aje, bisa-bisa ga jadi dapat kesempatan itu....

JJF memang sudah mendunia. Target pencapaiannya memang sudah “worldwide”. Klaimnyapun tak main-main, festival jazz terbesar di dunia saat ini. Eh bukan lagi, salah satu yang terbesar lho. Skala internasional, so sah-sah saja punya persyaratan tak mudah untuk bisa tampil di situ.
Jadi, lebih mengutamakan yang internasional, dari luar negeri? Yang lokal-lokal, hanya yang muda-muda, itupun juga “selektif”? Kelihatannya begitu sih. Hanya merekalah yang tahu. Apesnya, JJF kadung jadi “barometer” festival jazz di Indonesia.
Festival-festival lain lebih suka memilih menjadi “followers” JJF. Apa yang ditampilkan JJF, ya mereka tampilkan di festival masing-masing. Termasuk pada talent performers-nya. JJF saja menerima mereka, kenapa mereka tidak? Dan akhirnya?
Akhirnya kan kelihatan, justru JJF dan festival-festival itu malah jadi berjarak dari para jazzer. Jelasnya, mereka jazzer tapi susah mempunyai perasaan “memiliki”. Awalnya bangga juga Indonesia punya festival jazz akbar, tapi lantas mereka malah berjarak. Mereka kerapkali, hanya jadi penonton saja.

Nah inilah bedanya dengan Jakjazz, festival jazz besar yang duluan ada. Almarhum Ireng Maulana, masih berusaha “memikirkan” talent yang akan main di Jakjazz, perihal “jazz atau tidak jazz”. Pernah berbincang dengan almarhum, soal talent itu.Ngobrolin, kenapa si A kok ga main, kok si B ga ada oom? Saya ingat jawabnya, agak hati-hati, ooh iya mereka ya, tapi mereka itu jazz bukan ya? Kalau bukan jazz, saya harus hati-hati, nanti diprotes teman-teman musisilain, juga penonton....
Saat almarhum Ireng Maulana akhirnya “mengundang” alm. Harry Roesli & DKSBnya memeriahkan Jakjazz 1996 pun, itu dilakukannya hati-hati. Ia pertimbangkan betul. Ia mengajak dulu ketemu “komandan”nya itu, ngomongin konten musiknya DKSB tersebut. Hal ini pernah diceritakan oleh almarhum Harry Roesli kepada saya.
Mas Harry bercerita, ia tahu kok, diundang main karena mengkritik Jakjazz di tahun sebelumnya. Tapi ternyata, sebelumnya Ireng itu mengajak diskusi dulu, mau tahu konten yang saya siapkan untuk Jakjazz. Akhirnya Harry & DKSB “aman” main di Jakjazz, setelah tema Jakjazz tahun itu memang mengutamakan musik ethnic, terutama etnik Nusantara. DKSB muncul dengan mengandalkan bedug-jepun saat itu, yang mengandung unsur tradisi juga....

Apresiasi seorang Ireng Maulana, terhadap teman-teman musisi jazz memang baik. Toh kenyatannya, kelihatan jadi “terlalu idealis”. Lalu, lihat sekarang kan, susah untuk diteruskan? Kenyataan itu memang sulit untuk dibahas lebih lanjut lagi. Jadi, kalau “terlalu nge-jazz”, mana bisa laku? Masalah utamanya, kan ada title jazz di situ....
Festival jazz besar di luar juga ada yang sangat terbuka. Montreaux Jazz Festival misalnya, atau beberapalainnya. DeepPurple, bahkan Alice Cooper saja bisa main. Tapi masih lebih banyak festival yang ternyata memang lebih mengutamakan jazz. So, konsepnya jadi beda dong, JJF dan Jakjazz? Targetnya sih yang mungkin saja berbeda. JJF ingin menjadi festival akbar yang lebih mengutamakan unsur “festive”-nya. Jazz nya ada, tetap banyak, tapi lebih untuk yang internasional. Lokalnya terbatas. Jakjazz, ingin menjadi sebuah pesta jazz, jazz beneran. Akhirnya, ga ada yang salah, ga ada juga yang benar sih. Susah diperdebatkan lebih jauh dong. Soalnya niatnya memang mungkin sudah beda.
JJF makin menjadi industri. Makin ketat dalam menyaring talent-talent lokal. Mungkin memang berkeinginan menjadi “etalase” musisi internasional, dari berbagai negara, untuk menunjukkan kemampuannya. Ditonton oleh publik sini, jadi bahan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan akan jazz. Eits, tapi memang banyak penonton datang ke JJF untuk....nonton jazz?

Itu untuk festival. Jadi, bisa dilihat kan ya persoalannya apa? Kalau untuk event di kafe-kafe, tak terlalu ngepop. Ya selain, event model tur yang didanai sponsor, seperti yang saya tulis di atas. Event jazz reguler itu, pada perjalanan kemudian akhirnya punya persoalan lain, sponsor susah untuk diajak kerjasama. Sponsor nampaknya, tak terlalu peduli memang sih, jazz atau bukan.
Buat sponsor, sederhana kok. Potensi acaranya, bisa rame ga. Seberapa rame? Kalau rame, kita dukung. Kalau ga rame, mau ga kita rame-in, kita masukkin talent-talent ini deh. Mereka kan pop, bukan jazz? Ya gini deh, mau rame ga, mau kita bantu ga?
Tapi walau masih “bleeding”, beberapa event reguler, terus dijalankan. Bisa menjadi salah satu “sel-sel aktif” yang menghidupkan dunia jazz kita. At least, bisa menjadi wadah untuk munculnya musisi, penyanyi dan grup muda jazz kan? Syukur-syukur sukses, lalu bisa mengumpulkan banyak penggemar. Modal bagus banget, buat memperkuat posisi tawar ke festival-festival, terutama terhadap JJF. Untuk dapat kesempatan main, dan dengan nilai fee yang “menyenangkan”lah gitu.
Kalau soal acaranya itu sendiri ya Insya Allah bisa punya stamina bagus. Bisa bertahan lama dan menjadi panggung untuk para musisi menambah jam terbang, sekaligus ya itu tadi, menambah penggemar. Insya Allah bertahan...

Ya itulah peta permusikan kita. Salah dan tidak salah. Pop akhirnya “lebih diandalkan” oleh event festival jazz. Alhasil jazz menjadi “kabur” nih akan bentuk sebenarnya, terutama bagi publik. Atau membuat publik, akhirnya tak terlalu mementingkan, ini penyanyi ngejazz atau bukan, grup band ini ngejazz ga ya. Yang penting mereka eksis, datangin festival jazz, foto-foto, sebar di sosmed. Anak gaul, gaulnya aja di festival jazz!

Ternyata rock masih jauh lebih baik dong? Ya gimana ya. Kelihatannya gimana? Apa yang anda tangkap dan lihat dan rasakan? Jazz tak lebih baik dari rock dong? Situasi dan kondisi yang ada ekarang, ya kira-kira seperti yang saya ungkapkan di atas sih.
Gini deh, untuk para musisi muda, iya terutama yang muda-muda. Mainkan terus musikmu sajalah. Terus dan terus. Belajar dan kembangkan terus saja bakatmu, bikin bandmu makin asyik. Band asyik, pasti bakal dapat penonton. Kalau sudah dapat banyak fans, jalan terbuka untuk lebih jalan lagi. Tampil dimana-mana, band nge-jazz ga bisa tampil di festival jazz, ah jangan jadi problem. Sapa tau bisa dapat menarik perhatian sponsor, sehingga dapat kesempatan tur? Begitu juga yang nge-rock.
Cukup sekian dan terima...jadi!Long live Rock and Jazz Indonesia...  /*













Thursday, March 24, 2016

Tentang Reuniannya State of Groove...





Rabu malam, datang masBro. Ok.  Ada apaan nih? SoG mau kumpul-kumpul kecil aja. Oho, siaaaap kalau gitu. Sudah, ya gitu aja, calling-annya.
Begitu datang, dari sore-an, jam 5 gitu. Mereka sudah siap. Cuma vokalis, masih mau jalan, telat dikit. On the way, istilahnya. Belakangan baru ketauan, si vokalis harus rekaman dulu dengan band-nya yang satunya lagi. Itu yang bikin doski rada telat.
Yang ngagetin, lho alat-alat kok sudah terpasang. Amplifiers untuk 2 gitar, bass lantas juga ada satu set electric-drums. Ini ngumpulnya ternyata lumayan serius? MasBro, kenalin dulu nih, ini original members nya State of Groove dulu. Lama kita ga ketemu, eh akhirnya ketemu juga sekarang. Joko, dulu bassis. Hallo bro.
Ini drummer kita bro, Tomo namanya. Oh ok, hallo Tom. Ada brother Anton Canga sudah di situ juga. Well, ini jadi serius? Gw pikir, hanya ngobrol-ngobrol aja dulu nih bro. Ternyata alat-alat sudah terpasang gitu? Emil, si empunya acara dan yang punya tempat, cuma melempar senyum. ovba-coba aja lagi lah, kangen-kangenan dulu mas...

Ok, sebelum jauh nih. Ada memang band 90-an, sebetulnya mereka tepatnya nongol jelang akhir 90-anlah. State of Groove namanya. Disingkatnya memang SoG. Pada masa itu, home-basenya adalah di VIM Studio, di daerah Prapanca situ.
Kata Emil sih, emang mereka pengen aja ngeband. Dia yang berinisiatif, ajak temen-temennya. Lalu latihan sebentar, langsung rekaman. Jadi! Album mereka dilansir resmi, sekitar ujung 1990-an itu. Lumayan singkat sebetulnya prosesnya.
Dan SoG kudu “bertempur” dengan band-band yang duluan dikenal luas masa itu. /rif misalnya. Java Jive juga ada. Sapa lagi? Edane juga masih ada dan eksis. the Groove juga ada kan? Eh tapi kalau itu, musiknya mah beda. Oh ya Adegan dong ya? Oh itu juga kayaknya udah istirahat, waktu SoG muncul. PADI ya, yang baru muncul juga kan? Caffein juga kan?
Ok then, SoG memang ngerock dasarnya. Tapi rocknya emang keras-keras agak membelai telinga. Rock kenceng juga bisa sih, tapi tetap terasa empuk masuk kuping, dicerna hati. Model gitulah. Vertical Horizon, The Calling, The Cure ah ya sebutlah band-band luar yang lumayan berjaya di era 1990-an. Termasuk juga Lenny Kravitz, dan lain sebagainya.

Tapi akar mereka tetap pada rock n roll, tetap berangkat dari inspirasi dasar dari Rolling Stones dan Beatles. Campur dah semua jadi satu. Rock empuk, modern, legit. Satu yang penting, juga bisa ngegoyang yang nonton, atawa yang dengerin. So, bayangin saja musik merekalah, kalau misalnya ada yang belum tahu mereka.
Musik mereka itu ya gitu deh, memang beda, ada yang uniknya juga. Tapi ya sayang, menurut Emil, umur SoG mungkin tak lebih dari 2 tahun-an saja. Terpaksa bubar jalan, dan agak kurang asyik saat harus pisah sebetulnya. Yaeyalaaaah, baru juga sealbum kan? Baru juga “ngagetin” pasar, belum populer banget, eh udahan.


Nah intinya adalah pada musiknya. Tadi di atas itu, saya sudah sebut mereka beda. Ga banyak yang memainkan musik kayak mereka, di jaman itu, kalau ga malah dibilang ga ada yang nyamain musik mereka. Sayang sih ya?
Beberapa waktu lalu, Emil memang pernah ngobrol-ngobrolisenglah gitu, cerita juga tentang SoG. Sayang ya udah bubar. Padahal musiknya kan, sebenarnya tetap up to date, kalau didengerin sekarang, iya ga sih mas? Saya jawab, eh iya dong. Ga lawas-lawas amat kok. Harusnya sih masih bisa masuk di jaman sekarang.
Lha tau-taunya, malah bisa kumpul lagi! Iseng sih memang kelihatan awalnya. Iseng, tapi sebenarnya kan cukup serius, lihat aja mereka mau “nyoba” untuk main bareng lagi kan? Hasilnya? Ga mengecewakan sebenarnya.

Mereka sempat bawain beberapa lagu mereka, yang masuk di album mereka itu. Ada,’Disko’, ‘Maafkan’, ‘Inilah Aku’, ‘Only’ dan ‘Bayang-Bayangmu’. Lalu session “iseng-iseng berhadiah botol cantik” malam itu, diramaikan lagu-lagu lain. Dari Oasis sampai Queen segala! Cem-macemlah dibunyiin....
Apalagi, ada juga dateng menengok, Tyo Nugros. Sebelumnya muncul Erwin Prasetya juga. Ini dua orang mantan Dewa. Dulunya dewa, sekarang mungkin mereka memilih, “jadi manusia biasa, yang bermusik aja teteup sih”. Nah jadinya, ada jam session spontan gitu. Apalagi muncul pula, the one n only p*l*r in da world, sape lagi kalau bukan, Denny Chasmala!

Canga cerita saat dulunya itu dengan SoG. Gimana mereka kalau kumpul, sering begadangan gitu. Seminggu bisa 2 atau 3 kali, nongkrong bareng, ngeband, seru-seruan. Semua senang. Denny Chasmala dulu itu juga banyak membantu SoG dalam merampungkan album rekaman mereka.
Sebuah pertemuan lagi yang seru. Reuni yang memang cukup pas. Pas untuk apa? Ga sih, maksudnya pas aja waktunya. Kalau soal, reunian untuk apaan? Itu coba kita sodorin sama Emil dan temen-temennya saja. Ya Emil, ya Ariyo Wahab,vokalis yang datang telat itu. Atau Tomo dan Joko. Juga pada Chiko, gitaris, yag datangnya jelang jam 12 malam!

Menariknya, peristiwa kemarin itu, didokumentasikan cukup serius. Divideoin lah. Ada Vick Urias dan Dimas yang ngerjain syutingnya, dibantu juga ada Lesa. Lesa ini belakangan eh disuruh nyanyi juga, sebagai backing vocal. Nge-backing bareng Mila Wahab, yang datang belakangan juga. Ga barengan sama lakinya, Ariyo. Karena kan Ariyo abis rekaman.
Ya, reunian untuk satu atau dua saat aja. Atau reunian mau jalan bareng lagi. Memang itu tergantung mereka saja. Walau, sekali lagi, musik mereka itu “berbahaya”. Kalau saja muncul tetap dengan musik begitu lagi, mereka punya potensi. Tinggal bagaimana mengemasnya saja, gimana menjualnya. Akan kemana.Akankah “dari bawah” dulu lagi, main di event-event rock di cafe ke cafe dulu.
Atau mungkin, bikin acara sendiri. Pede aja lageeee. Asal yang penting ada ide bagus dan keren, untuk kemasan konser kecilnya itu. So, begitulah yang penting adalah ide. Kreatifitas. Jual-menjual juga sangat terkait dengan ide dan kreatifitas.
Sekedar bermusik dan lempar ke pasar, ya bisa aja. Tapi kan sayang, apalagi kalau sudah bermodal effort yang diupayakan maksimal. Ya ga?  Karena hari ini ya, memang katanya dunia musik lagi nyungsep, bray. Dimana-mana, industri musik itu lesu darah.


Tapi biar gimanapun, memang ada yang collapse, tapi toh ada juga yang malah sukses? Ada juga nih, yang ga disangka-sangka, malah melejit dan mengejutkan. Masih ada banyak surprise pada dunia musik.
Dunia musik itu sekarang memang lebih “dikuasai” kaum indie. Indie menjadi jalur alternatif yang “menggairahkan”. Pergerakannya memang sporadis, tapi dimana-mana. Kecil-kecil  tapi banyak. Ya ga masuk televisi sih,belum membuat televisi jadi bukapintu lebar-lebar ya, tapi toh eksis dan punya penggemar.

Alhasil, ada catatan bahwa banyak band-band yang berjalan di jalur indie itu, tetap bisa “hidup dengan baik dan nyaman”. Kreaitiftas, ide ditambah niat sih. Jeli membaca pasar, untuk berhati-hati melangkah. Soalnya, hari ini ya, semua musik itu serasa punya ruang yang sama.

Semua musik itu punya “kesempatan hidup” yang sama. Tinggal bagaimana mengolah lantas memelihara pasar itu. Memikirkannya baik-baik, lalu membentuk pasar, mengelus pasar itu dengan intens. Yoih, bisa ngelus-nya apa nggak, itu kuncinya sih. Gimana caranya, biar bisa mendekati pasar dan “berkawan akrab dan dekat” dengan pasar itu. Itu usaha yang memang perlu kejelian dalam mengendus “arah angin”....

Hari ini kan ya, kabarnya legal atau illegal download file mulai agak ditinggalkan. Eranya mulai masuk pada bentuk streaming. Itu yang mulai dilirik sebagai salah satu jalan keluar, untuk melanggengkan eksistensi. Termasuk tentunya, untuk mencuri perhatian.Untuk membuat pemunculan tiap penyanyi,grup band atau musisi, bisa berarti walau baru tahap awal.
Emil sudah mencoba berpikirlebih ke depan sebenarnya.Ia tengah menyiapkan semacam rumah produksi musik. Di dalamnya ada menejemen kecil band atau artis, record-label yang akan berusaha memproduksi rekaman dari penyanyi atau grup band potensial. Bahkan melebar ke situs musik yang lengkap, dengan radio streaming, music streaming. Mencoba membuat streaming-tv juga.
Emil memulainya dengan grup musiknya yang baru, Daddy’s Day Out. Tentang ini, sudah pernah saya ceritain kok di tulisan sebelum ini.Yang mengenai Emil dengan keinginan, pemikiran dan langkahnya di dunia musik saat ini.

Artinya SoG, yang kan masih punya potensi. Potensi itu bisa bermanfaat, bila memang diniatin untuk diterusin.Tapi ya gitu deh, bisa juga, tak bermanfaat apapun, kalau saja ternyata niat ga bulat misalnya. Kalau ga bulat, boleh ga lonjong? Masalahnya SoG itu ada keunikannya. Itu aja sih. Kita lupain, kalau mereka ga punya modal berarti itu....

Cuma memang sih, musik yang kita rasa asyik juga, belum tentu kan, didenger orang lain juga asyik? Belum tentu juga, sudah upaya maksimal, misal dengan promosi yang gencar, eh kok ya mentok juga.

Kalau berandai-andai saja, memang tak akan bergerak jauh. Terlalu berhitung, saya pikir, tak punya faedah. Mending jangan terusin. Artinya, berhitung kelewat hati-hati. Etapi, ga lantas ya udah jor-joran aja. Eits, tunggu dulu. sayang dokat dong.....

Udah ah, ini udah mau masuk subuh euy. Udahan dulu ya. Kita tunggu aja deh sama-sama, SoG langkah lanjutannya apaan. Tapi kalau mereka berniat serius untuk jalan lagi bareng, siap-siap aja digoyang musik mereka. Percaya deh, sob.... /*














Tuesday, March 22, 2016

God Bless You! 42 Tahun Sudah Usia Mereka...



GOD BLESS (GB) dimulai dari Crazy Wheels, dengan Ludwig Lemans, Donny Fattah, Fuad Hasan, Deddy Dores, main di sebuah nightclub di Singapura. Menggantikan The Rollies saat itu. Nama itu, diberikan oleh Derek Madradi, pereli nasional yang temen baik Fuad Hasan .
Waktu itu Iyek, kepikiran plesiran di tanah air, mengajak Ludwig Lemans. Iyek dan Ludwig punya band Clover Leaf di Belanda. Iyek ke Belanda, sebetulnya juga dalam rangka studi. Tapi jadi main band lagi, karena ia sendiri sejak umur 16 tahun itu sudah nge-band. Band bocahlah kata Iyek satu ketika. Ia main antara lain dengan keluarga dari Titi Qadarsih.
Lalu dari Singapura, mereka dapat kesempatan tampil di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki, konser di sana pada 4 & 5 Mei 1973. Teatrikal dengan mengusung peti mati dan ada mayat hidup segala. Lighting juga diupayakan dengan konsep, walau ya disesuaikan dengan jaman itu, tentunya. Saat itu, kibor sudah berganti, Deddy Dores digeser Yockie Suryo Prayogo. Yockie ini awalnya dikenal lewat grup rock “Anak Menteng”, Zonk dan Fancy.
Yockie pernah dipuji secara khusus oleh Jon Lord, waktu GB menjadi band pembuka konser legendaris Deep Purple, 4 & 5 Desember 1975. Waktu itu Yockie dan GB memainkan,’Celebration’ dari grup art rock ternama Italia, PFM. Saat berani membawakan lagu itulah, dengan permainan kibornya yang apik, Jon Lord memberi pujian!
Oh ya Deep Purple saat itu formasinya adalah Jon Lord (kibor), Tommy Bolin (gitar), Ian Paice (drums), Glen Hughes (bass) dan David Coverdale vokal). Konser akbar pertama di Indonesia itu, yang digelar di Stadion Utama Senayan, sempat rusuh. Kabarnya rusuh, saat penonton bereaksi “terlalu bersemangat”, ketika Iye’ menyalakan kembang api. Itu terjadi pada konser malam kedua.
Balik ke GB. GB sendiri begitu muncul memang terbilang serius. Ya harus serius, karena saat itu grup-grup rock yang ada juga “mati-matian” on stage. Nah GB itu “menang”-nya, konsepnya lebih gokil, bray.
Dry ice,lampu-lampu dan ada ornamen-ornamen spesifik, jadi properties panggung. Macam lonceng besar atau pohon yang batang-batang dan rantingnya di bungkus kertas timah. Disorot lampu, jadi terkesan magis gitu. Sementara soal lagu, mereka membawakan karya-karya hitsnya Deep Purple, Led Zeppelin, James Gank, Edgar Winter, Johnny Winter, King Pin Meh, ELP sampai Genesis.
Karena itu, mereka dinilai grup rock yang paling siap untuk mendampingi Deep Purple, ini cerita Denny Sabri, promotor konser tersebut. Denny Sabri kan yang berinisiatif, dengan modal “nekad”, mengundang Deep Purple main di Jakarta waktu itu. Ia merangkul Buena Production, sebagai event organizernya.
Kang Denny kepada saya mengatakan, ya GB paling solid saat itu, ga mungkin saya taruh grup lain  selain mereka. Seperti diketahui, pada era itu, ada The Rollies, AKA, Freedom of Rhapsody, antara lain, grup-grup rock yang ada di sini. Kalau saya taruh GB kan, ga malu-maluin lah, terang alm. Denny Sabri kepada saya. Udah lama cerita itu ya.
Jadi alm. Denny Sabri kan memang wartawan musik juga, ia cukup lama jadi koresponden Aktuil di Jerman. Saya bertemu, malah lantas sekantor di majalah Vista. Saat itu, saya suka iseng ngobrol dengannya. Ia menjadi salah satu “guru” dan ya teman dekat saya di Vista itu, selain Achmad Rizal Buyung dan alm. Remy Soetansyah. Oh ya, saya bisa masuk Vista itu karena ajakan Buyung.
Abis dari TIM, mereka lantas membakar panggung Sumer 28 (dari kata Suasana Meriah 28) yang digelar di Pasar Minggu. Formasi mereka saat itu, GB Mark II, dimana Dores masuk lagi menggeser gantian Yockie. Jadi, sebelum mereka tampil dengan Deep Purple.
Setelah tampil dahsyat di Pasar Minggu pada Agustus 1973 itu, Ludwig Lemans pamit mundur. Alasannya visa habis. Maka Deddy Dores ganti alat, jadi gitaris. Kibordis adalah Soman Lubis, datang dari grup Shark Move. Itu menjadi GB Mark III. Padahal, order manggung mulai berdatangan. Mereka langsung laris manis...
Saking ngetopnya, mereka juga diajak main di film musikal, Ambisi. Yang disutradarai oleh Nya’ Abbas Acup, dan menjadi film musikal pop pertama di sini. Mengetengahkan Bing Slamet dan Benyamin S, sebagai pemeran utama, sebagai penyiar di Undur Undur Broadcasting Service, yang menurut ceritanya adalah sebuah stasiun radio ternama di kalangan anak muda. Selain GB, film itu menampilkan pula Bimbo, Koes Plus, Deddy Damhudi, termasuk lagu-lagunya.
  
Rocker Top Kota Malang

Tapi Soman ternyata tak bertahan lama. Ia memilih melanjutkan kuliahnya di Bandung. Soman Lubis pun pamit mundur. Masuklah Deddy Stanzah sebagai bassis, dengan Donny Fattah menjadi gitaris. Itu menjadi formasi GB Mark IV. Tapi itu masak hanya bertahan untuk main di 2 kota saja.
Deddy Stanzah terpaksa dikeluarkan, karena terlalu intim dengan drugs. Deddy satunya lagi, eh kemudian ikut pamit, karena kelelahan harus pulang-pergi Jakarta-Bandung. Sampailah di peristiwa 9 Juni 1974, saat Soman Lubis dan Fuad Hasan mengalami kecelakaan tragis di Pancoran. Keduanya meninggal karena kecelakaan itu. Alhasil, saat itu God Bless asli tinggal tersisa Achmad Albar dan Donny Fattah.
Akhirnya, GB Mark V, diisi dengan 3 bersaudara Nasution. Keenan, Odink dan Debby masuk GB. Karena memang GB juga saat itu latihan rutin terus di kediaman keluarga Nasution itu. Tapi formasi itu hanya berjalan untuk beberapa bulan saja.
Keluarga Nasution mundur bareng. Masuk kemudian dua musisi rock yang sudah ngetop di Malang, lewat kelompok Bentoel, yaitu Ian Antono dan Teddy Sujaya. Kemudian Yockie masuk lagi. Itulah menjadi GB Mark VI, dan dianggap sebagai GB formasi terbaik. Saat itu juga GB masuk jaman keemasannya.
Kabarnya, Ian Antono dan Teddy Sujaya, saat itu sempat tampil memeriahkan panggung hiburan Jakarta Fair. Saat itu masih di Monas. Personil God Bless mengintip penampilan mereka dengan Bentoel Band-nya. Dari situlah, GB tertarik untuk menarik mereka berdua mendukung GB. Mereka masuk GB, dan Bentoel Band pun collapse!
Dengan formasi itulah, GB menjadi opening act Deep Purple. Dengan sebelum konser di Senayan itu, GB kembali melakukan latihan intensif dengan karantina di kawasan Gadog, Puncak. Selain itu, mereka juga tampil menjadi pembuka dari lady rocker, Suzy Quatro, yang konsernya digelar di Balai Sidang Senayan.
Mereka juga kembali ikut mendukung produksi film. Saat itu ada film, Laila Majenun. Dimana lagu temanya dibikin GB. Kemudian disusul Si Doel Anak Modern. Dan di 1975, God Bless merilis debut album rock-nya, sebuah selftitled album, yang diproduksi dan diedarkan oleh Pramaqua. Album perdana tersebut, memuat 8 tracks.
‘Huma di Atas Bukit’ (karya Donny Fattah dan Syuman Djaya), ‘Rock di Udara’ (Donny Fattah), ‘Sesat’ (Donny Fattah dan Syuman Djaya, dari film Laila Majenun). Mereka juga mencover dan melakukan sedikit perubahan aransemen lagu,’Eleanor Rigby’ (karya John Lennon dan Paul Mc Cartney. Dari album Revolver, 1966)
Selain itu ada lagu,’Gadis Binal’ (Ian Antono), ‘Setan Tertawa’ (Donny Fattah, yang diambil dari film Semalam di Malaysia) dan ‘She Passed Away’ (Donny Fattah). Menyelip lagi lagu cover lainnya, dari Easybeats, ‘Friday on My Mind’.
Sebagai catatan penting, ini mungkin merupakan album “real rock” pertama. Hard rock. Yang tak terlalu kompromistis, seperti beberapa grup lain yang rekaman sebelum mereka. Dan tanggapannya lumayan positif waktu itu, walau penjualannya tak langsung melesat tinggi. Slowly but sure? Not really.

Panggung Sandiwara

Tak lama setelah album dirilis, GB seperti kelelahan. Mereka justru masuk masa vakum. Ketika vakum itulah, Yockie menghasilkan album feomenal, Badai Pasti Berlalu. Sementara  Achmad Albar, yang biasa dipanggil Iye’, membuat duet dengan Ucok “AKA” Harahap. Duet itu bernama Duo Kribo, yang sampai jadi film, yang disutradarai Eduard Pesta Sirait, diedarkan 1978.
Dengan musik yang ditangani Ian Antono, konon kabarnya semua album Duo Kribo terjual minimal 100.000 keping tiap albumnya. Mereka menghasilkan hits macam, ‘Neraka Jahanam’ dan ‘Cukong Tua’ (Vol.1). ‘Penari Jalang’, ‘Pelacur Tua’, ‘Tertipu Lagi’ (Vol.2, 1978). Lalu, ‘Terkekang’, ‘Selamat Tidur Raja’, ‘Rayuan Harta’ yang menjadi hits dari album ketiga Duo Kribo, Special Edition, 1978.

Dan ada lagi album berikutnya, Dunia Panggung Sandiwara, dirilis oleh Musica di tahun 1978. Dalam album ini keluarlah hits macam, ‘Aku Harus Jadi Superstar’, ‘Duo Kribo’ dan ‘Panggung Sandiwara’. Duo Kribo ini memang fenomenal dan bisa dibilang, lekat betul dengan God Bless. Apalagi khususnya lagu,’Panggung Sandiwara’, yang liriknya ditulis Taufik Ismail itu. Lagu itu sering dibawakan GB, sehingga ada yang menduga itu lagu dari GB.


Cermin dan Anak Adam

Kemudian GB kembali lagi berkumpul. Ah syukurlah, vakumnya ga kelamaan. Tapi salah satu alasan GB “terpaksa” vakum, mungkin karena iklim pasar musik waktu itu, kurang bersahabat dengan rock. Pentas-pentas rock juga memang seperti meredup.
Ada pergantian formasi lagi. Masuklah Abadi Soesman, menggantikan Yockie Soeryo Prayogo, yang makin sibuk dengan solo projectnya. Cermin dirilis pada 1980, dengan musiknya nampaknya ada perubahan. GB lebih ke progressive rock di album ini. Misal lihat ‘Anak Adam’, yang lumayan kompleks, apalagi berdurasi sampai sekitar 11 menit.
Dalam album ini ada, ‘Cermin’ (Donny Fattah), ‘’Selamat Pagi Dunia’(Ian Antono), ‘Musisi (Donny Fattah), ‘’Balada Sejuta Wajah’ dan ‘Sodom dan Gomorah’, keduanya karya Ian Antono. Selain itu, ada pula, ‘Anak Adam’ (Benny Likumahuwa dan Donny Fattah), ‘Insan Sesat’ (Abadi Soesman), ‘Ingat (Donny Fattah) dan ‘Tuan Tanah’ (Ian Antono).
Sayangnya, ini disebut-sebut sebagai album GB yang paling gagal di pasaran. Walau pada masa berikutnya, serunya ya, justru jadi album GB paling dicari oleh kolektor dan fans fanatik GB!  So, setelah album ini, mereka minim show dong? Pada saat itu, suasana pentas rock belum terlalu membaik.
Dan GB pada saat itu, justru tampil balik menjadi cover band. Merekapun membawakan lagu-lagu Van Halen juga, selain Deep Purple, Led Zeppelin, Edgar Winter, James Gank sampai juga David Bowie. Tapi yang tak berubah adalah, tampilan mereka yang tetap keren sebagai glam rock. Jadi, bisa disebut, GB juga menjadi ikon glam rock Indonesia yang terdepan.
Taste mereka bagus soal kostum. Menurut mereka, sedari awal, kalau kostum mereka tak terlalu pikirin betul. Tapi mungkin mereka dapat inspirasi dari liat tampilan rocker-rocker luar. Iye’juga, dengan pengalaman berkelana di Eropa, sesekali memberi masukan. Malah memberikan sedikit arahan soal kostum. Tapi secara umum, kostum mereka sebetulnya, berangkatnya dari selera pribadi saja.



Sekolahan Kru dan Tehnisi

Di sekitar 1984, Donny Fattah pergi ke Amerika Serikat. Maka GB pun harus vakum lagi. Pada masa sekitar itu, GB sempat disebut zombie-zombie rock. Alias senioren rock yang sempat “mati” lantas bangkit dari kubur. Mereka muncul ketika panggung rock mulai berdenyut lagi. Grup-grup muda bermunculan.
Ya ngingetin dikitlah. Jaman jelang pertengahan 80-an itu kan muncullah grup-grup rock generasi lanjutan. Antara lain ada Cockpit, Symphony, Wow, Rolland (Yogyakarta), El Pamas (Pandaan),  sampai Harley Angels dari Bali segala. Atau beberapa grup cover seperti Cockpit, Bharata, Cikini Stone Complex (cikal bakalnya Slank), Acid Speed Band, Seedz. Belakangan muncul lainnya macam Grass Rock, Power Metal, Rock Trickle dari Surabaya, dan lainnya.
Satu ketika GB tampil di acara All Indonesian Jazz & Rock Stars, di Balai Sidang Senayan. Bassis waktu itu adalah Rudy Gagola, adik dari Donny Fattah. Dengan kibordis, Dodo Zakaria. Konser itu menyatu-panggungkan para “pendekar” rock dan jazz. Rock diwakili GB dengan Rudy Gagola. Sementara di wilayah jazz, diwakili oleh Christ Kayhatu, Yance Manusama, Karim Suweileh, Djoko WH, Jopie Item, Jackie Bahasoean serta Iwang Gumiwang.
Ingat juga bahwa ada 2 kali saya sempat menyaksikan pementasan mereka. Di awal 1980 dan di sekitar 1983. Pada kedua penampilannya itu, GB membawakan sepenuhnya lagu-lagu hits rock barat. Merekatak memainkan sama sekali lagu-lagu karya mereka. Walau ada beberapa penonton sempat merikuesnya.

Sampai di titik itu, yang menarik adalah Iye; bercerita bahwa, GB itu juga menjadi sekolahannya para kru band. Banyak kru-kru seperti tehnisi, roadies bahkan sampai dengan sound engineer, lighting engineer, belajar dari mengikuti GB. Jadi, kata Iye’, ya ada kru-kru itu yang kalau GB ga main mereka berkeliaran di grup-gruplain. Tapi begitu kita mau manggung, mereka langsung balik lagi ke kita. Bahkan tanpa perlu diminta.
Salah satu yang menjadikan GB sebagai salah satu sekolah penting adalah Alex Kumara. Saat itu Alex disebut-sebut sebagai “dokter”nya sound system. Alex pernah mengaku banyak belajar dari GB, terutama soal sound engineer. Perlu diketahui Alex ini lengkap, sebagai tehnisi band sampai sound. Juga lantas menjadi sound engineer atau penata suara. Ia sekarang adalah petinggi di salah satu stasiun televisi, sempat pula memimpin stasiun televisi plat merah, TVRI.

Raksasa Semut Hitam

Formasi berikutnya GB, sebelum Donny Fattah pergi memang sudah menerima Dodo Zakaria sebagai kiboris. Dikarenakan waktu itu, Abadi Soesman memilih keluar, untuk kembali fokus dengan grupnya sendiri, Abadi Soesman Band. Band tersebut saat itu malah lebih cenderung ke jazz rock.
Namun di sekitar 1986-an, formasi GB kembali ke formasi album pertama. Dimana Yockie Suryo Prayogo masuk kembali, tentunya dengan menggantikan Dodo Zakaria. Fromasi ini menghasilkan album Semut Hitam, yang lantas berlanjut dengan tur ke berbagai kota di seluruh Indonesia.
Menurut catatan yang ada, album Semut Hitam ini adalah album tersukses GB. Dirilis 8 tahun setelah album kedua mereka, Cermin. Dua hits yang sangat dikenal luas dari album ketiga mereka itu adalah, ‘Kehidupan’ (Yockie Suryo Prayogo) dan ‘Rumah Kita’ (Ian Antono, dengan syair oleh wartawan musik, Theodore KS).
Lagu-lagu lain dalam album ini adalah seperti,’Semut Hitam’ (Donny Fattah, YockieSuryo Prayogo), ‘Damai Yang Hilang’ dan ‘Orang Dalam Kaca’ (karya bersama Yockie Suryo Prayogo dan Iwan Fals).Kemudian, ‘Ogut Suping (Ian Antono, dengan syair ditulis oleh wartawan musik lainnya, Remy Soetansyah), ‘Suara Kita’ (Yockie Suryo Prayogo), ‘Badut Badut Jakarta’ (Donny, Ian, Yockie), ‘Trauma’ (Teddy Sujaya dan Iwan Fals) serta ‘Bla..Bla..Bla...’ (Ian Antono dan Remy Soetansyah)..

Masuk ke tahun 1989, maka GB kembali mengalami pergantian formasi. Tetap dengan Achmad Albar, Donny Fattah, Yockie Suryo Prayogo dan Teddy Sujaya. Tapi dengan gitaris Eet Syahranie yang menggantikan Ian Antono. Langsung masuk studio rekaman dan hasilnya adalah album Raksasa. Warna musik menjadi berubah lagi.
Peran Eet dengan aksentuasi modern rock seperti Van Halen atau Ac/DC, baik pada permainan dan sound-nya, memberikan pengaruh kuat pada musik GB. Lagu-lagu dalam album itu adalah, ‘Maret 1989’ (Donny Fattah dan Yockie Suryo Prayogo), ‘Menjilat Matahari’ (Yockie), ‘Misteri’ (Yockie), ‘Emosi (Eet Syahranie dan Achmad Albar), ‘Cendawan Kuning’ (Yockie). Selain itu, ‘’2002’(Yockie), ‘Pemburu Ilusi’ (Donny), ‘’Sang Jagoan’ dan ‘Anak Kehidupan’ (karya bareng Yockie dan Sawung Jabo), dan ‘Raksasa’ (Teddy Sujaya, Rudy Gagola dan Yockie).
Log Zhelebour sebagai executive producer album ini, dengan Logiss Records-nya, lantas juga menjadi promotor untuk tur panjang GB menyinggahi 40 kota di seluruh Indonesia. Sayangnya, tur panjang itu harus berhenti di tengah jalan, karena sponsor utama tur itu punya masalah dengan masalah cengkeh. Memang sponsor utama itu adalah produk rokok.
Merekapun kemudian masuk studio lagi, menghasilkan album kompilasi, The Story of God Bless’. Album ini kembali dirilis oleh Logiss, pada 1990. Ada 10 lagu yang dimasukkan ke dalam album ini, semua diambil dari keempat album GB terdahulu.
Tapi ada 5 lagu, yang mewakili album pertama dan kedua GB, musiknya digarap ulang, dengan penataan aransemen lebih modern dan terkesan sedikit lebih galak. Lagu yang digarap ulang adalah,’Huma di Atas Bukit’, ‘Musisi’, ‘She Passed Away’, ‘Setan Tertawa’ dan ‘Sesat’. Lagu lainnya adalah, ‘Raksasa’, ‘Kehidupan’, ‘Cendawan Kuning’, ‘Rumah Kita’ dan ‘Menjilat Matahari’.

Selepas album ini, GB kembali vakum. Walau sempat merilis, ‘Vonis’ karya bersama Teddy dan Yockie sebagai single, di tahun 1991. Masing-masing personil, sibuk dengan berbagai proyek musik lainnya. Seperti Ian Antono yang dibantu pula oleh Donny Fattah dan Achmad Albar, membentuk Gong 2000 dengan drummer, Yaya Moektio. Sempat awalnya  Ian dan Donny bersekutu degan Indra Lesmana dan Gilang Ramadhan, dalam sebuah proyek bernama Gong.
Di sisi lain, Eet membangun grup rock sendiri, Edane dengan Fajar Satritama, Iwan Xaverius dan Ekky Lamoh. Sementara itu Yockie dengan dibantu pula oleh Donny Fattah, menggarap proyek musik Kantata dengan Setiawan Djodi, Sawung Jabo dan Iwan Fals. Teddy berkecimpung dalam studio rekaman, antara lain memproduksi album dari beberapa penyanyi antara lain Anggun C. Sasmi dan Yossie Lucky.
Mereka Juga Kena Imbas Krismon

Pada 1997, Iye’ berhasil menyatukan teman-teman mainnya lagi. Maka merekapun kumpul lagi. Donny Fattah, Yockie Suryo Prayogo, Eet Syahranie dan Teddy Sujaya. Malah lantas Ian Antono pun ikutan ngumpul lagi. Maka formasi dengan duo gitaris itulah menjadi formasi GB Mark XI. Lalu mereka sepakat workshop lagi, lagi-lagi ke kawasan Puncak. Hasil mereka “liburan” bareng itu adalah, Apa Kabar?”.
Itu menjadi album kelima mereka, dengan isinya, ‘Apa Kabar?’ (Teddy, Yockie, Ian dengan lirik ditulis Sawung Jabo), ‘Anakku’ (Yockie), ‘Srigala Jalanan’ (Teddy, Eet, Donny Fattah dengan lirik juga oleh Sawung Jabo), ‘’Asasi’ (Ian, lirik ditulis Ali Akbar), ‘Diskriminasi’ (Eet, Ian dan lirik oleh Ali Akbar).
Selanjutnya, ada lagu, ‘Roda Kehidupan’ (Ian. Lirik digarap bareng oleh Fajar Budiman, Ali Akbar dan Ian), ‘Pengamen Kecil (Yockie dan syair ditulis Sawung Jabo), ‘Balada si Toha (Yockie), ‘Nurani’ (Ian dengan syair oleh Ali Akbar lagi, bersama Ian) dan lagu, ‘Kembali’ (Ian dan syair dari Ali Akbar). Album diedarkan oleh Logiss Records.
Setelah album ini, Eet Syahranie pamit mundur. Ia memilih berkonsentrasi dengan Edane-nya saja. Maka GB era duo gitaris pun berakhir. Sempat melakukan tur show kecil ke beberapa kota, tapi akhirnya jalan mereka terhenti. Terkena imbas dari krisis moneter nasional, yang membuat mereka tak bisa bergerak kemana-mana. Mereka empat merilis single, ‘Aku Bersaksi’ karya Yockie. Tapi tak bisa berlanjut sampai rekaman.
Setelah terpaksa vakum beberapa tahun, GB muncul lagi. Bahkan melakukan tur cafe to cafe. Dengan formasi berbeda. Kali ini, Iye, Ian dan Donny ditambah kakak-beradik dari keluarga Noorsaid yaitu, Inang dan Iwang. Selain masuknya lagi Abadi Soesman,menggantikan Yockie.
Nah formasi ini, saya sempat menyaksikan di 2 kafe. Saat itu, saya merasakan ada kesan kuat mereka kelelahan. Karir musikmereka sudah begitu panjang, mungkin mereka sudah kecapekan. Atau,jenuh? Saya sempat berpikir, mungkin ada baiknya mereka beristirahat panjang saja. Seperti bubar, tapi nanti bisa melakukan reuni. Jadi, sudahlah “jualan”ya reuni saja....

Terus terang, GB waktu itu saya lihat, hanya sekedar bertahan saja. Kurang nikmat sebetulnya menyaksikan mereka di kafe, dan main di kafe itu juga sebetulnya sangat jarang mereka lakukan, malah mungkin belum pernah, pada masa sebelumnya. Formasi ke XII itu jadinya kayak rada dipaksain sih. Sorry lho ya.
Formasi tersebut bertahan sekitar 2 tahun lamanya, lantas Iwang dan Inang keluar. Masuklah drummer Gilang Ramadhan. Cukup mengejutkan memang formasi ini, dengan menarik masuk Gilang. Saat itu saya juga mendengar bahwa mereka akan rekaman lagi. Tapi musiknya akan balik ke era 1970-1980, mungkin lebih dekat ke musik periode album Cermin.
Iya ada suara-suara terdengar begitu. Mereka akan menjadi grup yang lebih cenderung ke progressif rock. Lagi-lagi pasti membuat orang, terutama fansnya akan bertanya-tanya. Seriuskah info ini? Karena prog-rock konotasinya lebih ribet, lebih kompleks dan....tidak “komersial”. Tapi info itu memang tinggal jadi info semata sih... GB malah saat manggung, mulai lebih mengedepankan lagu-lagu karya mereka sendiri. Belum ada lagu baru, terutama yang mengarah pada prog-rock.
Lifetime Achievement

Masuk di tahun 2007, dimana sebelumnya mereka sempat menjadi pembuka konser dari Uriah Heep di Jakarta, drummer mengalmi pergantian. Gilang digantikan Yaya Moektio. Nama yang pasti sudah tak asing lagi, karena Yaya pernah bermain dengan Ian, Iye’, Donny dalam Gong 2000. Kehadiran Yaya ini, ditanggapi cukup positif oleh fans GB. Saya juga berpendapat, kayaknya Yaya akan lebih pas menjadi drummer GB. Mereka jadi serius lagikah?
Dengan fomasi GB Mark XIV itu, GB melansir album 36th. Menandakan usia GB yang sudah 36 tahun sebagai rock band. Font God Bless pada sampul album, kembali ke font terawal, yang persis album perdana mereka. Album ini dirilis lewat label Nagaswara, bekerjasama dengan Kharisma Jaya Mandiri. Musiknya memang terasa lebih cenderung ke progresif rock, walau tetap terkesan modern.
Menariknya, seluruh 10 lagu yang ada dalam album ini, semua liriknya ditulis oleh “orang-orang luar”. Atau bukan ditulis oleh personil GB. Selengkapnya lagu-lagu yang ada adalah,’N.A.T.O’ (Ian dan lirik oleh Cahya Sadar), ‘Prahara Timur Tengah’ (Ian dan Ali Akbar), ‘Kar’na Ku Ingin Kau Bahagia’ (Anadi dan Cahya), ‘Biarkan Hijau’ (Donny dan lirik oleh Donny dan Cahya Sadar), ‘Pudar’ (Ian dan Cahya Sadar).
Selain itu ada juga lagu lain,’Jalan Pulang (Ian dan Hans Miller Banurea), ‘Sahabat’ (Donny dengan syairnya oleh Diah P dan Donny), ‘’Syair untuk Sahabat’ (Ian dan Yudhi F. Oktaviadhi), ‘Dunia Gila (Ian dan Ali Akbar) dan ‘Rock N Roll Hidupku’ (Abadi dan Ali Akbar). Dan pada tahun 2009, dimana album ini dirilis, GB mendapatkan 2 penghargaan.
Lifetime Achievement, dari ajang awarding, Anugerah Musik Indonesia (AMI). Kemudian The Immortal, yang mereka peroleh dari majalah Rolling Stone Indonesia. Dan mereka tetap meneruskan perjalanan bermusiknya. Intens, tetap terus dan mereka juga berencana untuk bertahan selama mereka mampu. Bahkan menginginkan dapat menghasilkan lagi album-album rekaman.
Formasi ini cukup solid sebenarnya. Dan gelagatnya dapat bertahan lama. Tapi ternyata, pada 2012,mereka mengalami agi pergantian formasi. Lagi-lagi posisi drummer yang berganti personil. Yaya keluar, digantikan oleh Fajar Satritama, drummer kelompok Edane itu. Untuk banyak orang, formasi dengan Fajar ini, dianggap formasi yang dapat menjadi lebih solid.
Rocknya lebih berasa, karena drums mengisi rapat dengan pola permainan drums lebih modern. Selain itu, Fajar dianggap lebih hard rock. Apakah lantas berarti GB bergeser lagi musiknya, menjadi kembali ke hard rock? Ga terlalu sih sebetulnya.
Sempat pula, GB terpaksa harus kehilangan sementara bassis, Donny Fattah. Donny terkena serangan jantung, yang mengharuskan ia beristirahat dari musik. Ituterjadi di tahun 2012. Selama Donny sakit, GB mengundang bassis Arya Setiadi, yang lebih dikenal sebagai instruktur bass. Formasi sementara itu sempat tampil memeriahkan ajang Java Jazz Festival! Hebat kan, GB menembus Java Jazz Festival lho....
Setelah beristirahat beberapa bulan,Donny kembali masuk formasi GB. Bahkan terlihat lebih sehat dan segar, dan tentunya tak lagi merokok dan mengurangi banget kopi. Musik rock GB nampaknya menjadi semacam terapi penyembuh yang ampuh, yang membuat Donny kembali bugar.


Panggung Sandiwara

Pada dua tahun silam dan tahun silam, God Bless berhasil menggelar konser yang relatif besar. Walau dalam bentuk lebih eksklusif, karena dalam ruangan berpendingin udara. Hal mana agak “menggusarkan” mereka, karena merasa bahwa musik mereka lebih cocok disajikan di lapangan terbuka, outdoor. Pada 2014, Megapro menggelar tontonan konser 41 Tahun God Bless di ballroom Hotel Harris, Bandung. Konser itu bertajuk To Commemorate God Bless 1973 – 2014.
Pada konser itu GB mengundang para personil yang lama, untuk ikut berman bersama lagi.Yaitu ada Yockie Suryo Prayogo, Eet Syahranie dan Tedy Sujaya. Konser dibuka penampilan grup rock Edane dan Kotak.

Dan selanjutnya, adalah Helmy Yahya yang seperti "mengembalikan" GOD BLESS ke Jakarta lagi, sebagai kota kelahirannya. Lengkap dengan kemegahan dan "kemewahan"nya. Sebuah apresiasi dan respect atas perjalanan demikian panjang mereka, sebagai sebuah supergroup kebanggaan Indonesia.
Dan lantas Iye' atau Achmad Albar pun menyatakan dari atas pangung bahwa ini juga konser ulang tahun ke 42 dari GOD BLESS, yang berdiri "resmi" (disebutkan namanya sebagai God Bless) pada 5 Mei 1973.
Helmy Yahya melibatkanlah sahabatnya, Donny Rochyadi untuk mewujudkan mimpinya. Mimpi seorang fans fanatik sekian waktu. God Bless dianggap grup rock terdahsyat dengan eksistensi yang nyaris tak pernah berhenti. Senantiasa terus dikagumi dan disukainya abis-abisan. Donny juga "kebetulan" fans berats GB! Klop dong?
Title dari konser ini adalah, selengkapnya, Musikukeren – GOD BLESS, Panggung Sandiwara. Digelar pada 7 Agustus malam.
Ini adalah konser dimana dasarnya adalah menempatkan GOD BLESS sebagai grup "teramat besar", kebanggaan bangsa. Dan mengemasnya dengan bentuk eksklusif, yang rasanya pantas dan pas untuk grup dengan jam terbang tertinggi di Indonesia kita itu. Pas dong, kata Helmy Yahya, karena GB itu sudah seperti Rolling Stones lho, terus bermain dari 1973!

Tak heran, dipilihlah theatre eksklusif Ciputra Artpreneur. Memang eksklusif, walau keliatannya lantas menjadi "rada kekecilan dan sesak" untuk sajian tontonan Hard Rock total a la GOD BLESS itu. Duduk nyaman, adem, nyantai. Lumayan mewah, ga heran juga kalau harga tiket...bisalah disebut, "kelas premium"!
Pada akhirnya gedung berkapasitas hanya 1200-an ini, malam kemarin memang dibakar habis oleh "keras n bising"-nya musik yang dimainkan oleh Achmad Albar, Donny Fattah, Ian Antono, Abadi Soesman, Fajar Satritama.
Dimana juga didukung oleh orkestrasi "mini" dipimpin Astrid Lea, dilengkapi 4 backing vocals. Masih ditambah para bintang tamu, gitaris Eet Sjahranie. Dan 3 penyanyi dengan karakter khas tersendiri berbeda-beda yaitu Husein "Idol" Alatas, Maria Calista dan Candil. Ditambah orkestra mini yang dipimpin oleh Astrid Lea.


Soal Special Effects

Sempurna dan tidak sempurna. Puas dan tidak begitu puas. Wajar-wajarlah saja, kawans! "Nobody's Perfect" kan kata orang Banyumas, eh orang bule sonoooo... Yoi gara? (Lho? ini kyknya krn keasyikan nikmatin lagu, 'Ogut Suping" niiiih)
Harusnya bisa lebih wah lagi, ada yang bilang begitu. Gedungnya kesempitan, kata orang yang lain lagi. Atau, ah ini yang banyak juga....Harga tiketnya itu lho bro, repots punya tuh! Abis Lebaran lagi kan?
Kalau perihal harga tiket, benar dan tak benar. Mahal itu relatif. Kalau grup-grup luar dipanggungin di sini, kenapa bisa diserbu publik? Padahal ya sejuta, dua jutaan juga, bahkan lima jutaan harga tiketnya.  Ada yang sampai 10 juta-an bahkan lebih...!
Yaaaaa karena jarang2 kita bisa liat mereka dong, jawab sebagian kecil orang. Oh ok. Tapi God Bless, dengan kemasan eksklusif dan "lengkap". Jelaslah lengkap, 20 lagu, mek! Kesempatan langka juga lho. Bahkan GOD BLESS sendiri mengakui, jarang-jarang banget dapat kesempatan konser begitu. Belum tentu bisa lagi, atau belum tentu ada lagi di lain waktu.
Belum tentu ya,misal tahun depan kita dapat main di konser kayak yang dibikin Helmy dan Donny itu. Umur kita kan ga muda lagi, usia udah banyak nih.... Begitu ucap Iye', Ian Antono, Donny Fattah dan Abadi Soesman di lain-lain kesempatan.

Yang jelas ya, kita harus acungkan jempol melihat kesungguhan dan semangat rocker dengan usia yang "jelas tak muda lagi". Bayangin jack, umur mereka berempat sudah lewat 60-an tahun! Cuma Fajar Satritama, drummer yang masuk paling belakangan, yang relatif muda. (Belum 50 kan ya, Fajar?)
So, melihat semangat demikian tebal mereka itu, kalaupun misal dianggap ah sayang lighting "agak kurang sempurna". Maklumi dan pahamilah. Lalu special effects yang dijanjikan sebelumnya akan mewah dan sekelas band-band papan atas internasional, kenyataannya kok "segitu aja".Itu juga haruslah dipahami dan dimengerti....
Oh ya konsep Nolimits, yang menghadirkan specail-effects itu sebenarnya memang wah. Kalau jadi ya. Tapi at very last minute, misalnya ada 1 spc-fx dengan permainan api sekeliling bibir panggung terpaksa batal. Karena pihak gedung tak bisa mengijinkan, beresiko tinggi. Walau sudah dijelaskan bahwa itu aman dan biasa dipakai di konser-konser di luar negeri, khususnya dalam ruangan!
Tak heran, Donny Rochyadi yang juragannya Nolimits sempat pula stress dan pusing, karena konsep special-effects nya yang bakal jadi surprise dahsyat jadi batal. Ada juga spc-fx yang batal karena tak cocok dengan God Bless, alias teman-teman God Bless "menolak". Juga di saat-saat terakhir, ini karena alasan tehnis sih.

Tapi ya akhirnya toh, segala sesuatunya telah terjadi. Dan konser berlangsung relatif lancar. Konser lengkap dan tetap terbilang mewah dong. Ya gedungnya. Ya ada special effects, walau "minimalis" jadinya. Sound optimal yang didukung DSS dengan Donny Hardono, khususnya utk backlines dan monitoring, selain menanganinya langsung.. Selain dukungan additional lighting dari Mata Elang.
Semua pendukung kemasan konser tersebut di atas, adalah nama-nama terdepan dan terbesar di bidangnya masing-masing di Indonesia sini.



God Bless dan Kekeluargaan

Puas lah jadinya, pada akhirnya. Cukup puas, lebih tepatnya. Tanpa sponsor, toh alhamdulillah bisa tetap jadi terselenggara. Sponsor? Ga mudahlah. Malah memang nyaris mustahil, karena sponsor-sponsor mayoritas tak begitu doyan membidik pangsa pasar "legend" Atau sebut saja, menjaring massa dari kalangan "lebih berumur".
Kenapa, bukankah "berumur" pastinya kan pegang duit? Bagaimana ga berduit, harga tiket kelas premium gitu? Walau last minute juga ada kalangan yang memohon very special discount ++ yang akhirnya dapat didiskusikan dan "dicarikan jalan keluarnya" oleh promotor. Permintaan spesial banget, dengan banyak pertimbangan yang....memang dimaklumi kok..  Itu hanya untuk kelas tertentu saja sih.

Begitulah God Bless. Nama besar di pentas musik rock Indonesia. Namanya itu, sedemikian besar, mereka memang harus dan khittahnya jadi begitu besarnya. Soal “nama besar” itu diutarakan oleh Triawan Munaf, saat sebelum konser Panggung Sandiwara di Jakarta itu.
Ah memang nama besar yang bisa dibilang luar biasa. Ya bayangkanlah, masuk di 2016, mereka berarti telah 42 tahun eksis sebagai hard rock band. Menjadi tonggak penting musik cadas tanah air, menginspirasi begitu banyak rocker-rocker muda tanah air. Tahun ini juga catat, bahwa Achmad Albar yang dipanggil Iye’ itu, sudah 70 tahun umurnya!


Menurut mereka, salah satu yang membuat mereka tetap bertahan, karena hubungan satu sama lain. Mereka sudah seperti keluarga, dan betapa istri dan anak-anak mereka juga bergaul akrab dan dekat satu sama lain. Kalau mereka manggung, misalnya, para istri pasti akan mendukung satu sama lain. Otomatis ya semua kumpul dan membantu para suami, begitu terang mereka.

Lalu, grup yang namanya itu didapat tak sengaja dari kartu Natal yang ide itu datang dari almarhum Fuad, akan sampai kapan bertahan sebenarnya? Mereka hanya tertawa lebar. Bisa sampai lebih dari 40 tahun begini saja, mana ada yang menyangka? Kita bersyukur banget, masih bisa bertahan, terus sampai umur kita segini, ucap Donny yang diiyakan personil lainnya.
Iya kitapun sejatinya harus bersyukur, punya ikon rock yang terus bertahan. Aktif berkarya, tak henti. Dan dengan sejarah yang sedemikian panjangnya, dengan sekitar 20-an musisi terbaik pernah terlibat di dalamnya. Semoga mereka terus bisa memanaskan musik Indonesia kita saja. Untuk waktu yang lebih panjang lagi. Sehat selalu ya kakak-kakak God Bless. God Bless you all. Mereka lantas menjawab cepat, Ok God Bless you too..... /*

Foto-foto God Bless 1970-an dari Legend-NewsMusik (Koleksi AKTUIL)
Foto-foto lainnya  :   Gideon Momongan