Tuesday, April 12, 2016

KRAKATAU - Reunion, Saat Mereka Meletus Kembali....


-repost-
Sempat dipersiapkan serangkaian show fenemonal di tahun silam. Bahkan lantas menjadi rancangan tur show. Tapi semua memang, saya lebih suka menyebutnya sebagai, alam belum merestuinya. Manusia berkehendak, semestalah yang menentukan. Toh akhirnya, waktu itu datang juga…
Nama mengandung doa dan enerji. Pemilihan pada nama Krakatau, tentu saja bukan “asal pilih”. Karena KRAKATAU, kadung dikenal sebagai nama gunung dengan letusan yang tercatat sebagai, letusan volcano terdahsyat di dunia pada tahun 1883. So, bayangkan enerji yang terkandung di dalam nama itu.
Kita coba kesampingkan dulu, soal spiritual di balik nama. Kembali ke musik sajalah. Krakatau, pada catatan sejarah musik Indonesia, bisa disebut sebagai salah satu nama paling fenomenal. Mereka muncul dengan waktu relatif cepat, langsung melesat naik. Catatan prestasi mereka, alamak! Padahal mereka tetap saja, jazz. Namun bisa bersaing dengan begitu sukses, sekaligus mengagetkan, pasar musik tanah air!
Nah ini, mengenai penampilan perdana kembali dari KRAKATAU, yang menjadi salah satu headliners penting Java Jazz Festival 2014. Penampilan reuni Krakatau, diagendakanpada Sabtu, 1 Maret, jam 18.30 waktu Kemayoran. Berdurasi sekitar 75 menit.
Sejak siang hari, seluruh Krakatau sudah berkumpul di ruang Clear-Hall, D-2. Ini adalah venue terbesar dan paling eksklusif di JJF. Dikarenakan nama Krakatau yang fenomenal itu, dengan segala rangkaian rencana show dan tur yang ternyata belum berhasil dilakukan. Well, tak pelak, reuni Krakatau menjadi maha penting. Maha penting, karena salah satu the Most Wanted Reunion
Drums set untuk mereka agak terhambat. Tapi semua dapat diatasi dengan baik. Peran seorang Donny Hardono, sebagai owner DSS dan juga pendukung utama reuni Krakatau adalah besar sekali. Teristimewa untuk dapat terealisirnya rencana mereka untuk manggung kembali, beneran bisa reuni-an. Donny langsung juga menangani persiapan panggung, dari masa latihan lalu hingga check lines di panggung. Sebelum jam 17.30, semua rampung.
Keenam Krakatau yang siap ber-reuni, Donny Suhendra (gitar), Prasadja Budi Dharma (bass), Gilang Ramadhan (drums), Trie Utami (vokal utama), Indra Lesmana (keyboard/synthesizer) dan Dwiki Dharmawan (keyboard/synthesizer), semua sibuk mempersiapkan diri. Ikut menemani mereka Rully Fabian, suami dari Trie Utami.
Ada juga Shahnaz Haque, istri dari Gilang Ramadhan. Hanni “Honhon” Lesmana, istri dari Indra Lesmana. Ita Purnamasari, istri dari Dwiki Dharmawan, juga hadir, Kemudian muncul para musisi lain seperti Gerry Herb dan Adi Darmawan. Ada juga Ukie Rasuki. Danny Ardiono, seorang sound engineer. Beberapa rekan dari menejemen Gilang Ramadhan, Indra Lesmana dan Dwiki Dharmawan juga menengok backstage sesaat.
Sebelum naik panggung, mereka sempat berfoto bersama sekilas. Dan jreeeng, persis 18.30 mereka sudah di atas panggung lengkap. Well, semua mereka Nampak rileks dan malah terkesan antusias. Tak terkesan ada yang grogi atau senewen, menghadapi peristiwa reuni yang setahun terakhir ini dipersiapkan. Atau, diidam-idamkan. Here comesthe real-time!

Penonton telah menempati seluruh kursi yang disediakan di dalam hall, dan banyak yang terpaksa berdiri. Jumlah penonton terus bertambah dengan cepat. Keseluruh “dharma-wanita” Krakatau, bersiap menjadi penonton di deretan terdepan kursi penonton, ditemani sahabat dan management Krakatau. Suami Trie Utami, Rully, memilih tempat di sisi belakang, dekat Front-House (FOH) dekat dengan Donny Hardono.
Dan reuni itupun kesampaian juga! Begitu tirai panggung dibuka, 5 personil langsung membunyikan instrumennya dan disusullah pemunculan Trie Utami. Mereka menggebrak dengan sangat manis dan “berarti”, lagu pertama adalah, ‘Kembali Satu’. Ini lantas jadi momen nostalgia yang sesuatu banget, bukan hanya bagi keenam personil tapi juga semua penonton!
Saya pilih posisi di deretan terdepan, sebelah kiri dan sisi pas belakang, ada penonton yang aktif banget ikut menyanyi! Tak putus, terus sing along. Kayaknya, penggemar fanatik nih! Mereka juga acapkali berteriak dan menyambut hangat, setiap lagu yang dibawakan.
Lantas disusullah berturutan seperti lagu-lagu lain, antara lain, ‘Imaji’, ‘Kemelut’, ‘Seraut Wajah’, ‘Dirimu Kasih’, ‘Perjalanan’. Trie Utami sempat berucap, ‘Teman-teman Krakatau ini sebenarnya membuat lagu instrumental. Mereka tidak pernah memikirkan porsi atau peran penyanyi. Nah lagu instrumental, lalu dikasih lirik.” Penonton tersenyum.
Harus diakui, Iie, begitu panggilan manisnya, tampil optimal dan sangat siap. Ia melahap habis semua lagu-lagu, yang memang sesungguhnya lagu-lagu “sangat sulit”. Yang ia sebut, “lagu instrumental tapi dikasih lirik”. Dan di sisi lain, Iie membuktikan kemampuan gokil olah vokalnya. Tingkat nada tidak berubah, masih sama persis dengan era 1980-an silam! Nyaris prima, dan memang memukau.
Lalu kelima musisi, ah sudahlah. Mereka tampil tentu saja dengan segala pengalaman yang telah mereka jalani, sekian puluh tahun lamanya. Kalaupun ada yang membedakan, mereka tampil lebih dewasa secara musikalitas. Aransemen menjadi lebih mengedepankan harmoni, bunyian menjadi tak sekadar kencang bertenaga, konstan dan…”ribet” atawa “berat” lagi. Krakatau versi Reunion ini bermain lebih santai dan sedap dinikmati telinga!
Tapi catat saja, bahwa dengan “perbedaan” penampilan mereka dibanding 24-25 tahun silam, tetap saja menegaskan posisi mereka saat ini. Pantas saja, pengalaman segudang kan, begitu kumpul lagi, apalagi lewat serangkaian persiapan yang lumayan panjang mereka tetap ada di atas. Tetap layak betul, menjadi ikon pergerakan fusion di Indonesia, dari dulu sampai sekarang.
Mereka berenam, saat ini memang ada di posisi terhormat. Ini serunya, kesemua members Krakatau masing-masing sudah ada di posisi tertentu, yang terhormat, pada saat ini. Keseluruhnya adalah para musisi berpengalaman, dan berkwalitas mumpuni di peta musik nasional. Bahkan berkelas internasional!

Setelah 24 tahun, akhirnya Krakatau bisa kembali satu, bereuni, begitu ucap Iie dari atas panggung. Penonton terus mengelu-elukan mereka. Dan menantikan, lagu mereka selanjutnya. Dan hall terasa meledak, ketika ‘Haiti’, lagu paling populer dari mereka dibawakan. Tanpa vokal! Ini bisa dibilang, lagu jazz(y) instrumental paling dikenal dari mereka.
Apalagi, ketika masuk pada “sesi terakhir”, penampilan Krakatau Reunion ini. Ketika mereka seperti memuaskan lapar dan dahaga semua penonton akan hits mereka yang paling dikenal luas. ‘La Samba Primadona’, ‘Sekitar Kita’, ‘Kau Datang’ sampai tentu saja, ‘Gemilang’. Penonton tak dapat terbendung lagi, langsung merangsek maju ke depan untuk bergoyang dan tetap…sing along menciptakan koor massal. 

Iie mengajak penonton berdiri, maju ke depan dan berpesta bersama. “Ini pestanya kita semua…” Penonton antusias menyerbu. Dan jadinya, sebuah ending dari sebuah reuni yang telah dinanti-nanti sekian waktu, yang sangat manis dan berkesan. Penonton sempat meminta tambahan lagu, tapi sulit dipenuhi karena keterbatasan waktu yang tersedia.
“Gunung” itu, akhirnya meletus lagi! Pada waktu yang, ditentukan sendiri oleh alam semesta. Mengharu biru semua penonton. Semua personil Krakatau saling berpelukan, berangkulan dan sangat terharu. Waktu itu akhirnya datang, dan merekapun bisa bermain bersama kembali di depan ribuan penonton.

Emosi keharuan memang langsung menyerbak keluar, sangat terasa di backstage, setelah usainya reuni mereka yang sangat sukses itu. Mereka tak mengira, penonton juga sama antusiasnya dengan mereka. Dan tak sedikit penonton langsung bertanya, kapan mereka akan tampil lagi?

Tak pelak, Krakatau-Reunion sukses menjadi highlight JJF 2014. Salah satu mata acara yang ditunggu banyak penonton, dan akhirnya juga memang menyedot sekitar 4000-an penonton memadati area hall tersebut. Membuat JJF 2014 tambah semarak jadinya. Tanda-tanda bagus bahwa Krakatau versi reunian ini, akan berlanjut terus? /*

State of Groove, It's All About Noise and Groove

Sebelum saya bercerita tentang teman-teman baik saya yang ini. Mau tanya dulu dong. Ada yang lupa ga dengan SoG? Eh kenapa, yang duduk deket jendela tuh, kerasan dikit dong.... Apa, boro-boro lupa, malah belum pernah denger? Oooh. Nah mas kok lain sendiri, tuh yang lain ada yang tahu, ada juga yang pernah denger kok.

Pegimane, cing? Dulu tinggal jauh? Eh tau ga, yang tinggal di Los Angeles aja, ada lho yang tahu banget dengan SoG ini. Jiaaaah, ga percaya? Ini beneran, bray....

Ini cerita awal dulu. Kilas balik ke sekitar 1997-1998an. Ariyo Wahab memulai cerita, ini grup saya pertama, yang bisa dibilang membuat saya mencintai musik. Jadi kepikirlah untuk jadi profesional di musik. Dan membuat saya makin suka nge-band. Ya kayak gitulah, “jadi grup ini berarti banget memang buat gw.”
So, Ariyo itu bertemu Candra, orang yang lantas menjadi menejer pertama grup ini. Candra itu teman dari EMIL juga. Maka merekapun dipertemukanlah. EMIL dan Ariyo. Pertemuan di sebuah studio di kawasan Hidup Baru, Cipete. Dari pertemuan itu, kayaknya langsung “nge-klik”.
Berikutnya, bertemulah lagi. Langsung di VIM Studio, yang pada waktu berikutnya, menjadi markas mereka. Ariyo memperkenalkan drummer Arastio Gutomo atau Tomo. Juga bassis, Djoko Sirat. Mereka kebetulan sebelumnya bermain bareng, dengan band kampus. Sekampus dulunya, mereka bertiga.
Grup ini ya tempat ngegembel barengan. Gw tuh tidur di studio, kumpul terus. Main PS bareng-bareng. Seru aja. Waktu itu, gw bau mau kuliah. Ini memang juga menjadi ayak memotivasi gw buat menjadi gitaris profesional yang serius. Begit tutur gitaris, Yudha Wijaya atau yang dikenal dengan Chiko. Nah Chiko itu sebetulnya masuk menggantikan Taraz Bistara, yang sempat barengan tapi hanya sebentar saja.
Iya memang gw dan Tomo itu diajak Ariyo. Waktu itu, gw dan Tomo juga mulai main band dengan grup lain. Kita ketemu EMIL dan ngobrol serius. Prosesnya cepat aja kok. Coba bentar aja, langsung merasa ada kecocokkan. Oh ya awalnya drummer adalah Anton Canga, sempat berjalan beberapa waktu. Rekaman awal malah dengan Canga, begitu jelas Djoko.
Canga mundur, ketika rekaman mulai intens. Gw masuk diajak juga Ariyo dan juga Djoko. Gw merasa cocok. Maka gw langsung rekaman tuh. Prosesnya memang terasa cepat banget, instan deh, jelas Tomo.

Kalau gw sendiri memang kepengen bikin band. Serius. Musiknya rock, dasarnya. Tapi tentu saja, rock seperti apa kita obrolin bareng. Gw belajar ngeband serius ya dengan grup ini. Gw jadi belajar juga, ngeband bareng itu, bukan perkara mudah lho. Lebih susah sebetulnya, dibanding bikin keluarga. Ungkap EMIL, dengan senyum lebar.
Nama grup, State of Groove. Lantas jadi biasa disebut dengan “nickname”-nya, SoG. Ini datang dari EMIL. Menurut EMIL, artinya adalah “dalam keadaan nge-groove”. Ariyo, Djoko, Tomo dan kemudian Chiko setuju dengan nama itu.
Nah nge-groove itulah yang kemudian memang menjadi pembeda, musik SoG dengan musik grup rock lain. At least, pada kurun waktu sekitar itu. Ya sekitar 1997-an. Sementara album mereka yang bertitel Bebas, sebagai debut album, dirilis 1999. Titip  edar dengan Musica. Dimana gitaris, sahabat baik mereka, Denny Chasmala, menjadi music director mereka.
Yang jelas kita juga ga lupa, kita sempat mengalami suasana kelamnya kerusuhan Mei 1998. Kita sampai ga bisa kemana-mana, ya di studio aja sambil rekaman dan kumpul-kumpul, cerita Ariyo. Kerusuhan yang disusul suasana krisis moneter itu, sedikit banyak ada imbasnya ke SoG, lanjut EMIL. Agak sedikit tersendat, proses penyelesaian albumnya, Ariyo menambahkan dan disetujui EMIL.
Ya musik mereka itu menjadi pijakan dasar dari musik SoG pada album perdananya itu. Rock yang nge-groove. Mungkin jadi terkesan rada ngegoyang, ga terlalu metal atau ga keras banget. Rock seperti itu, ya beda dengan beberapa grup yang muncul di era sama.
Tak hanya itu lho. Tomo dan Djoko menyebut juga, SoG dulu membuat mereka punya pengalaman pertama, mewarnai rambut mereka warna-warni! Iya, SoG memperhatikan soal kostum, termasuk tetek bengek assesoris. Rambutnya kita aja sampai sepakat untuk warna-warni tuh, ucap Djoko dan Tomo lagi yang diiyakan Ariyo.

SoG jadi unik dan beda kan. Misal bila dibanding dengan /rif yang waktu itu lebih alternatif, Java Jive yang lebih light, pop-rock.  Atau apalagi misal dengan Edane yang lebih hard rock. Jadi pada waktu sekitar itu, muncul beberapa grup lain, yang lantas belakangan menjadi besar. Sebut saja The Groove misalnya. Termasuk PADI sampai Sheila on 7.
SoG memperoleh sambutan lumayan positif, dengan album perdananya itu. Mereka dibuatkan klip untuk lagu,’Maafkan’, oleh Musica. Itu menjadi single yang “jualan”. Masuk ke radio-radio. Membuat mereka mulai dikenal luas. Mereka kemudian juga membuat video klip lain, untuk lagu, ‘Inilah Aku’ dan ‘Disko’.
Memang pada saat itu, ketiga lagu tersebut, sukses lumayan. Setiap mereka main dimanapun, banyak penonton merikues ketiga lagu itu. Musica, sempat membawa mereka tur beberapa kota, bersama Inka Christy, Louder, Batere, Bening. Tour musik Jawa – Bali itu, dilalui dengan bis, dengan semua artis menggunakan bis yang sama. Tur yang seru, ingat EMIL.




Mereka juga adalah grup pembuka dari konser Sheila on 7 di Lampung, yang lantas terjadi insiden dengan memakan korban nyawa beberapa penonton. Rusuh memang, walau mereka sebetulnya juga tak terlalu paham, kenapa sampai ada kerusuhan. Malah sampai ada yang meninggal.
Saat itu, secara komersil, SoG mulai populer. Terutama di pasar musik. Sementara di kalangan musisi sendiri, mereka mulai mendapat perhatian juga. Dianggap grup rock yang “ajaib”, keren dan bagus. Maka sampai satu saat, Andy /rif ga bisa menyimpan kekagumannya terhadap SoG. Ia, secara becanda tentunya bilang, ah grup ini bagus banget gw sumpahin cepat bubar.

Apesnya, beberapa waktu kemudian, SoG beneran “selesai”. Terhenti. Dan ga bisa terus. Mereka padahal mulai dikenal luas, fans fanatik mulai terkumpul. Image mereka bagus waktu itu, apalagi launching album juga lewat konser launching di Fashion Cafe. Suasana meriah dan ramai, bray...
Dan begitulah, sayang memang terhenti di awal 2000-an. SoG tak bisa berlanjut. Salah satu alasan, mereka mulai sibuk dengan job masing-masing, makin susah untuk ngumpul bareng. Album keduapun, yang sempat mulai dirintis, akhirnya tak berlanjut.
Bebas, menjadi satu-satunya album rekaman yang mereka hasilkan. Ada 11 tracks di dalam album perdana tersebut. Racikan musiknya baru dan unik, pada masanya itu. Malah juga ada yang menganggap, konsep musik SoG itu kayak “mendahului jaman”...
Tak sedikit pula yang menyayangkan, SoG kenapa harus stop saat itu.
Ya kayak gini deh, panggung baru dinyalain, sound baru hidup. SoG baru mainin beberapa lagu, penonton baru mulai panas, mulai hanyut, mulai berasyik-masyuk dengan musik panasnya SoG. Eeeh, berhenti. Terasa “kentang” kali ya, alias “kena tanggung”. Ga heran, banyak yang sedih dan kuciwa....
Ealaaaa, groovy-nya dalam musik rock adonan mereka itu, buseeetttt ternyata ngangenin! Etapi, coba tunjuk tangan, siapa aja coba dweeech yang masih inget SoG dan lantas kangen sama musik mereka?

Sampailah di awal 2016. Tetiba saja, SoG bisa dikumpulin lagi. Ngobrol-ngobrol dululah. Silaturahmi, setelah nyaris tuh 17-18 tahun ga ketemuan lagi. Reunian, cerita-cerita masa lalu. Segitu aja? Ternyata, mereka sepakat mencoba untuk ngobrol-ngobrolnya diterusin....Diterusin dengan alat-alat musik masing-masing! Eng ing eng....
Yoi jack, selengkapnya formasi album, bisa dan mau kumpul lagi. Arastio “Tomo” Gutomo (drums), Yudha “Chiko” Wijaya (guitar/backing-voc), EMIL (guitar/backing-voc), Djoko Sirat (bass) dan Ariyo Wahab (lead vocal).
Kejadian deh, mereka lantas latihan bareng. Dan bisa kesampaian, untuk kembali kumpul dan main bareng. Jadi, mau serius lagi? Ariyo dan EMIL mengatakan, bukan tak mungkin kalau kita lantas jalan bareng dengan serius. Selanjutnya gimana dong?
Main dulu, kata mereka. Sambil memikirkan, kemungkinan bisa rekaman lagi, jelas Ariyo. EMIL menambahkan, saya dan teman-teman ya pengen serius lagi. Mereka juga menyadari, grup-grup rock itu banyak saat ini. Jadi mereka pasti perlu strategi khusus, untuk bisa muncul lagi dan meneruskan eksistensi mereka.
Ga hanya sekedar nongol dan meramaikan panggung musik kan? Ya mereka setujui itu. Tak berhenti sekedar meramaikan. Harusnya bisa lebih berarti lagi. Walau mereka juga masing-masing punya proyek musik lainnya.
EMIL dengan Daddy’s Day Out nya, Chiko yang membantu banyak show dan rekaman. Tomo dan Djoko demikian pula, dengan antara lain bermain dengan pelbagai entertainer-band, di kafe-kafe misalnya. Apalagi Ariyo, dengan Free on Saturday atau FoS nya dan The Dance Company.

Nah gitu deh, sekilas cerita tentang State of Groove nan groovy ini. Modal mereka itu bagus banget. Malah emang sih, waktu mereka mainin musik mereka waktu itu, mungkin bener ya rada “mendahului jaman” coy. So, saya pikir, musik mereka tuh kalau aja dibunyiin lagi sekarang, masih apa ya, matched lah dengan musik sekarang.

Yoih, ga out-of-date kok. Yang misal belum kenal, ya langsung kenal dan rasa-rasanya bisa langsung suka. Yang lupa-lupa ingat, bisa jadi bakal cepat keinget. Artinya kan ya, mereka ini tetap punya potensi buat back for really sure. Gitu deh bahasa kerennya. Kembali untuk apa ya enaknya dibilangnya, memanaskan lagi panggung-panggung musik? Yes, bisa banget. Bisa begitu kok....
Well, ya marilah memanjatkan harapan. Kita bakalan ga kelamaan kentang lagi nih. Uhuy! SoG dengan rocknya yang menggoyang, eh mulai on lagi. Yiuks ah! Be ready peeps!***














Monday, April 11, 2016

ARIEF SETIADI, Saxophonist yang Bijaksana


Elo ada duit, nteu? Nih gw ada,....diapun lantas memberikan dua ribu rupiah. Bulan depannya, saya gantian tanya, ada duit ga? Sayapun memberikan dia dua ribu rupiah... Kadang nanyanya, ada ongkos pulang ga? Maka yang dikasih juga hanya seribu atau dua ribu doang. Pernah dia ngasih ke saya lima ribu, katanya, nih elo bengong aja pasti lagi ga punya duit, gw kasih elo nih....
Itu becandaan khas saya dengan pemain tiup legendaris satu ini. Dulu “jagoan” Bandung. Sapa tak kenal Arief... Jesus panggilannya. Karena menurut banyak musisi Bandung, Arief dulu itu memang kayak Jesus, mana gondrong lagi....
Husein Arief Setiadi, begitu nama lengkapnya. Gampang aja, ada nama Husein, karena rumahnya dulu dekat dengan lapangan terbang, Husein Sastranegara, di Bandung. Anak bungsu dari 5 bersaudara, putra dari pasangan Soekotjo dan Siti Widamar Koentowiyatie. Yang jadi musisi, kayaknya hanya dia seorang. Apalagi yang jadi profesional, terus dan sampai sekarang. Sampai kapan, kangBro? Gila nanyanya elo, eh masak begitu jawabannya.
Tanya dong, guru gw pertama siapa? Ok kang, siapa Imam Prass? Oh itu pianis juga, dia tuh murid pianoku pertama. Gitu ceritanya. Lalu nyambung lagi, nah ini bener nanya begini.... Jadi Imam itu, belajar piano, tapi dia juga bawa flute. Dia bisa flute juga, lalu saya bilang aja, eh itu apaan? Bisa? Kalau bisa ajarin dong. Dari situlah, ia mengenal dan langsung belajar flute.
Arief Bijaksana, begitu Indra Lesmana pernah memperkenalkannya di atas panggung. Waktu dia main dengan Indra Lesmana Reborn. Dan kalau sekarang, dia salah satu pemain tiup paling senior yang masih bertahan. Terus eksis. Senang bersepeda sehat, tapi sudah ditinggalkan. Senang dengan mobil-mobil Jerman. Dia punya VW kodok, itu dibeli ayahnya dulu, beli baru banget di 1967. Sekarang jadi kendaraan setianya.
Mau dijual ga, kodoknya, kangBro? Sambil ketawa dia becanda, elo punya duit berapa? Ga bakalan cukup duit elo, ini mahal banget. Tangan pertama. “Saya mah ga pernah kepikiran mau jual kodok ini. Mungkin ya,mungkin kalau saya udah gila, ga keinget apa-apaan, mungkin aja saya jual. Tapi begitu inget, begitu sadar lagi, pasti saya minta balik...!” Kita ketawa seru.
Terlalu bersejarah ini VW Kodok, jelasnya lebih lanjut. Bayangin aja, tangan pertama dari bokap lalu aku terusin memakainya,merawatnya total lah. Sampai satu ketika, gw bisa bawa ke panggung segala! Nah ni dieee, kita berdua tertawa lebar. Iya, VW Kodok Arief memang pernah jadi background stage acara saya di Graha Bhakti Budaya TIM.
Itu kegilaan elo dan Bintang kan, ia mengingatkan. Iya, jadi memang VW naik panggung, itu sih karena idenya Bintang Indrianto. Kan Arief main dengan Phylosophy ABG, ya dengan Bintang dan Gerry Herb. Ada band lain waktu itu sih, semua format tri.Nikita Dompas Trio, Donny Suhendra Trio dan Indro Hardjodikoro Trio. Edun lah...
Balik deui ke akang Jesus eh akang Arief. Kemarin ini, dia sakit. Ga jelas apaan, tapi dia kayak terkena sakit di paru-paru. Dia harus berobat dengan intens. Dia ga pernah bilang, sakit apa. Tapi yang jelas, berat badan memang menurun rada drastis. Ya kan kelihatan dari mukanya saja, makin...tiris gitu. Hidup sehatlah, kangBro.

Pemain saxophone kayak dia, dengan level usia dia, jangan-jangan tinggal Arief Setiadi seorang. Seniorennya, macam Maryono, Udin Zach dan Embong Rahardjo. Ketiganya sudah pulang duluan ke rumahNYA. Arief juga mengaku bingung, kenapa ya para musisi senior itu cepat bener pergi.
Padahal mereka penting dan berarti bagi musik Indonesia, begitu ucap Arief. Iya,saya setuju, kang. Mereka penting, tak hanya sebatas jazz. Lihat saja, rekaman musik, terutama pop atau jazz-pop di era 1980-1990an. bisa dibilang semua pengisian instrumen tiup untuk saxophone dan flute. Kalau tidak Embong ya Udin Zach. Semua pementasan jazz, pasti ada Maryono, selain Embong dan Udin Zach juga.
Dan menggantikan mereka, susah. Menurut Arief,”Dari ketiga musisi tiup itu, mereka emang pemain tiup bagus. Semua idola saya, karena mainnya berkarakter banget. Saya senang lihat mereka main. Inspiratif gitu. Saya mah masih jauh dari mereka...”
Susah ga sih menjadi pemain tiup? “Susah? Ga juga. Kalau hanya menebak atau mengira-ngira, ya susah. Sekedar bisa main, meniup gitu, mungkin sih ga susah. Sedikit lebih susah kalau mau serius, jadi musisi bermain alat tiup dengan benar.”
Lalu ia mengatakan lagi,”Kalau mau main tiup dengan benar, terutama saxophone ya, perhatikan aja bener-bener soal menghasilkan suara yang enak dulu. Sound production. Itu paling dasar deh. Mau pakai sopran, alto atau tenor dan bariton sekalipun. Ya berikutnya, memang soal alat penting juga. Saxophone itu ada berbagai jenis, ada yang untuk main-main saja, ada yang menengah, ada yang untuk profesional.”
Dia lantas menunjukkan contoh, sekarang banyak saxophone yang bagus, keren, mengkilat. “Ya bagus, lebih menarik. Biar saja, bagus untuk bikin orang jadi suka kan? Untuk bikin orang jadi pengen belajar. Nanti kalau mau serius, baru cari yang memang untuk beneran, untuk profesional. Persoalannya, peralatan kayak saxophone yang bagus itu memang sih ga murah...”

Menyangkut Arief, memang ya uniknya begitu. Pemain piano sebetulnya. Ia pernah belajar piano klasik, beberapa waktu. Semua anak belajar musik, begitu ceritanya. Ga heran sih, ayahnya itu memang pemain biola dan ibunya sempat menyanyi. Tapi dari piano lalu pindah ke flute, dan saxophone. “Pernah dikasih sebuah saxophone sama keluarga saya, jadi makin seneng maininnya. Sekarang sih udah ga ada saxophone itu,”ceritanya.
Ia saya temui pertama kali di Bumi Sangkuriang. Waktu ia masih menjadi pianis Wachdach, itu lho grup legendaris Bandung. Kalau di Jakarta pernah ada Gold Guys di Green Pub, nah di Bandung itu Wachdach. Arief “Jesus” adalah pianisnya. Saya mah cuma nonton aja. Lihat, sambil nongkrong dengan teman-teman.
Jadi, di Wachdach juga, kemudian Arief pindah instrumen, ya ke tiup. Flute dulu, baru saxophone. Dari Wachdach, grup berikutnya adalah Straight Ahead. Dan kemudian, penggemar Scott Hamilton dan Oscar Petterson ini, baru saya ketemu lagi di...studionya Bintang Indrianto. Waktu itu mereka rekaman Jazzy Duet.
Dari situlah, persahabatan begitu lengketnya dengan Bintang Indrianto dimulai. Ya, sampai ini harilah. Rekaman Jazzy Duet, lantas Jazzy Sax, sebagai solo album pertamanya. Ia mengisi banyak rekaman lain, yang diproduseri Bintang. Namanya juga, bassis paling aktif en paling kreatif. Soal itu, Arief juga langsung bilang, Bintang mah susah dicari tandingannya soal aktif, kreatif.
Idenya banyak banget. Dan suka ngagetin dan mendadak, juga unsur spontannya gede. “Asyik dan seru kalau dengan Bintang. Baik soal ide, juga mainnya. Kalau soal main, ga pernah sama mainin satu lagu itu...,” Arief terkekeh-kekeh.
Salah satu kegilaan Bintang adalah membentuk Phylosophy ABG Trio. Namanya itu, sekian waktu Bintang aja ga ketemu. Mungkin lebih tepatnya,kurang begitu peduli. Yang penting memang musiknya. Cerita Arief, saking free-nya musiknya itu, sampai rekaman aja di stasiun! Dilihatin orag, ah udah hajar aja, musisi kan kita.... Hahahaha, musisi niii yeeee.
Dan kerjaan rada iseng itu, rekaman di stasiun, eh beneran masuk album. Itu album pertama ABG Trio, yang bertajuk Phylosophy. Dimana cover depannya adalah...VW kodok 1967 milik Arief! Masih ada yang lebih seru, Trio itu mau main di Salihara, dalam waktu sangat cepat, Bintang minta Arief dan Gerry Herb untuk bikin solo album! Buat apaan?
Ya, buat dijual waktu di Salihara itu. Jadilah album paling unik. Yaitu ketiga personil Trio itu, masing-masing ada album solo. Isinya? Ya saxophone saja, drums saja dan bass saja. “Bintang bikin dengan cepet banget. Gendeng sih, tapi asyik banget kan? Mana pernah kebayang, bikin solo album asli saxophone aja?” Arief lagi-lagi senyum lebar.
Saya juga baru inget ide gokil itu. Bintang tetiba saja punya ide itu. Rekaman dibuat sangat cepat, langsung di duplikasi. Jadilah album. Ya memang ada 3 album. Saya inget, Bintang pernah bilang,”Nanti kita lihat saja, siapa yang paling laku albumnya, berarti dia paling banyak fansnya...” Hahahaha. Ada-ada saja.
Arief juga pernah mengembara di Australia, ngendon beberapa tahun di Sydney. Ia sempatkan belajar dengan gurunya, Dan Burrows. Iya, jadi ceritanya dia kursus dengan gurunya itu. “Lha sering ketemu, malah diajak main bareng. Ya gitu deh, saya mah seneng-seneng aja.”
Pulang dari negeri Kangguru itu, Arief balik jadi musisi lagi. Nah ia makin sering di Jakarta jadinya, malah pindah menetap di Depok. Bandung dia tinggalin. Sampai di 1996 dan 1997, dia sempat tampil di North Sea Jazz Festival, Den Haag.
Dia inget, dia tampil di Belanda antara lain dengan Oele Pattislanno, Yance Manusama, grupnya namanya Mahadewa. Penyanyinya itu, Warren Wiebe, yang ditemenin kibornya. “Saya lupa nama kibordisnya. Tapi saya inget-inget, waktu itu drummernya Inang Noorsaid, kalau ga salah. Ada juga Eka Bhakti ikut main.”
Catatan saja, Warren Wiebe itu penyanyi yang diajak kerja bareng David Foster. Lagu,’This Must Be Love’ dari album River of Love, dinyanyikan oleh Wiebe bersama Jeff Pesceto. Dalam album yang dirilis oleh Atlantic di  penghujung tahun 1990 itu, Wiebe juga menyanyikan lagu lain seperti,’Living for a Moment’ dan ‘Is There a Chance’. Salah satu album David Foster yang cukup populer di sini.
Nah tragisnya, setahun setelah mereka main di North Sea itu, jadi di 1998, Wiebe ditemukan meninggal pada 25 Oktober. Ia meninggal karena bunuh diri, dengan menembak pakai pistol. Menurut kabar, ia diduga stress berat saat itu.
Kembali kita menjumpai akang yang bijaksana dan jago maen alat tiup ini. Padahal dia sebenarnya,bisa dibilang, multi-instrumentalist euy.Semua alat juga bisa. Bahkan...tak ada akar, kayupun berguna.Eh, ga kebalik? Ah gini yang penting, tak ada saxophone, tas plastik kresek juga bisa dipakai.
Buat bawa barang belanjaan, ya kan? Ga lagi gratis lho, sekarang. Bukan itu.Tas plastik kresek itu bisa jadi...alat musik! Di tangan Arief, tas plastik begituan bisa diberdayagunakan dengan maksimal. Dasar orangnya kreatif dan kritis! He he he.
Emang bisa dipakai dong, jadi kayak alat perkusi,begitu ungkapnya. Ketika dia bunyikan, mirip suara shaker. Atau juga, cabassa ya? Dia mengaku, dia melihat musisi di Australia memakai alat musik plastik kresek gitu. “Udah lama lupa euy. Eh baru keinget lagi. Jadi sering sengaja nyiapin tas plastik begitu, masukkin kantong celana,” lanjut Arief lagi.
Saat ini, Arief masih terus main dengan rutin. Sesekali, masih bermain dengan Indra Lesmana Reborn, dengan catatan kalau memang diajak, begitu jelasnya. Tapi grup tetapnya memang Phylosophy ABG. Selain itu dengan Nial Djoeliarso.
Masih ada juga, grup akustikan gitu. Dimana Arief bermain dengan Oele Pattiselanno dan Jeffrey Tahalele. Awalnya, formasi lengkap dengan drummer Jacky Pattiselanno dan pianis Glenn Dauna juga. Tapi saat bung Jacky sakit, akhirnya diteruskan dalam format trio saja.
Ia juga masih mengajar. Di sekolah musiknya Otti Djamalus dan Yance Manusama, di kawasan Radio Dalam. Menurutnya, selalu ada saja anak-anak yang kepengen mencoba belajar saxophone. Sebagian sih ada yang terus dan jadi musisi tiup beneran. Walau ada juga yang kelihatannya, hanya pengen tahu saja. Tapi bagusnya, lanjut Arief, sebagian besar anak-anak muridnya sekarang sudah mempunyai saxophone sendiri. Modal mereka lumyan kan?
Selain itu, ia sesekali kerap mengajarkan secara private untuk orang-orang tua. Ya ada juga yang kayak pejabatlah, petinggi gitu. Yang kepengen bisa main saxophone. Banyak yang serius lho, jelasnya.
Menurut Arief, ia sendiri melihat, tetap ada generasi penerus potensial untuk musisi tiup. Ia menunjuk pada Ricad Hutapea dan Eugen Bounty misalnya. Didiek SSS dan Agus, dua adik kandung dari almarhum Embong Rajardjo, juga masih aktif main saat ini. Yang penting kan, belajar dengan baik dan berani untuk tampil saja.
Ia juga menunjuk, banyak musisi tiup muda, yang belajar di sekolah-sekolah musk formal. Mereka juga sekarang aktif main di orkestra-orkestra. “Banyak kok anak-anak muda sekarang, yang belajar serius alat tiup, baik flute, saxophone. Atau ya trumpet, trombone, dan alat tiup lainnya. Generasi penerus itu banyak, semua mereka rata-rata semangatnya bagus.”
Mengenai jenis musik, Arief melihat, kalau baru mulai tak perlu buru-buru langsung pilih musik tertentu. Belajar aja dulu, mengenal alat musik tiupmu dengan benar. Lalu bunyikan dengan benar dulu deh. Abisitu, coba mainkan nada-nada. Kalau soal jenis musik, nanti saja. Nanti akan kebentuk dengan benar, insya Allah. Jangan buru-buru langsung pengen jadi pemain tiup jazz misalnya.”
Tapi kan kalau mereka pengen main jazz dengan baik, boleh dong Arief Setiadi ajarin? Arief hanya senyum, ya boleh. Mau mainin musik apapun, hayiuks aja. Saya mah bukan peniup saxophone jazz. “Gw itu, memainkan musik dengan alat tiup gw, musik yang pengen gw mainin. Dan ketika saya tuh ikut main, ya harus bisa bikin musik di lagu itu jadi makin enak didengerin, enak dinikmatin...”
Kalau pengen bisa mainin bariton saxophone, kayak yang Arief mainin lebih banyak sekarang? Arief senyum lebar, ah sudah nanti deh. Bertahaplah. Tapi memang, saat ini saya jadi lebih suka bariton ini, soalnya kan jarang yang mainin. Biar keren aja, begitu ia becanda sambil tertawa lebar.
Udah ah, kang. Hatur nuhun untuk obrolannya. Punya duit ga? Ia langsung menjawab, kayak elo punya duit aja, via whats app messenger. Memang,obrolan iseng-iseng seru saya dan Arief itu, lewat whats app kok...../*