Monday, August 12, 2019

Yes, Catching the Horses! Yaeyyy.....





Wuidiiiih, megah nian! Iya cuy, melihat arenanya, dan dengan stadionnya, saya berdecak kagum. Sekarang ini namanya menjadi, Jakarta International Equestrian Park. Dulunya memang sudah menjadi arena berkuda, tapi khususnya untuk Pacuan Kuda (Horse Racing).
Langsunglah terbawa perasaan nih, dengan memori puluhan tahun silam. Jadi sekitar awal 1970-an dulu. Mungkin sekitar 1972 sampai sekitar awal 1980-an ya. Saya terbiasa datang ke Pulomas. Utamanya nonton pacuan kuda, biasa diadakan hari Minggu siang sampai sore. Malah sesekali kalau ada very special event, dimulai agak lebih pagi.
Iya dong, waktu itu masih piyiklah. Ke Pulomas juga dengan keluargaku. Ayah, ibu dan kakak. Pertama-tama hanya menonton, palingan sebulan sekali. Lha lama kelamaan, jadi makin sering. Karena di Pulomas, ayah dan ibu, ketemulah dengan keluarga kami lainnya. Famili-famili sesama Kawanua. Malah bisa reunian dengan teman-teman semasa sekolah dan kuliahnya dulu.
Kemudian apalagi kami ketahui, sebagian joki di Pulomas itu, ternyata juga memiliki hubungan keluarga dengan kami. Makin jadi sering. Malah acapkali, kami datang di luar hari Minggu. Untuk berkunjung saja, bertemu saudara-saudara kami yang joki-joki, yang waktu itu sebagian juga tinggal di sana.
Tentu saja jadi bergaul dengan kuda-kuda juga. Entah hanya menonton, melihat-lihat kuda-kuda di kandangnya, atau sedang dilatih. Atau berkesempatan dekat, mengelus-elus kuda. Sampai boleh mencoba menunggang, menaiki kuda lho. Dari situlah, saya makin suka dengan kuda.
Jadi entah gimana ceritanya ya, dulu terutama di era 1970-an, Pulomas menjadi arena pertemuan para Kawanua se Jabodetabek, malah ada yang sengaja datang dari Bandung juga. Menjadi titik kumpul penting. Sebagian besar penonton, juga pemilik kuda, termasuk joki-jokinya adalah warga Kawanua.




Tapi memang pacuan kuda itu, seperti uga jeis olahraga berkuda lain adalah olahraga mahal. Ga murah. Dari kuda-kudanya, walau kuda lokal sekalipun. Oh ya dulu itu, untuk pacuan kuda, ada kelas atau kategori kuda lokal (suka disebut kuda pony). Dan kuda luar negeri, yang disebu thoroughbred (kuda Australia, kebanyakan saat itu didatangkan dari Australia memang).
Kemudian berkembang, pacuan itu ada kategori kuda-kuda persilangan, lokal dan kuda pacu Australia itu. Dan di setiap Minggunya, ada beberapa pacuan kuda. Dibagi dalam kelas-kelas gitulah. Nah dan yang membuat ramai memang ada judinya.
Yaitu bertaruh untuk pemenang. Ada kategori tebakan tepat pemenang pertama. Atau pemenang pertama dan kedua. Atau pemenang 4 teratas. Tentu dari setiap pacuan ataupun race. Judi tebak-tebakan itulah yang asli meramaikan pacuan kuda.
Arena  pacuan kudanya sendiri, dibangun semasa Gubernur Ali Sadikin. Dibuka tahun 1971, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto. Waktu itu, arena pacuan kuda Pulomas disebut-sebut juga salah satu arena terbaik di kawasan Asia.
Saat itu, yang populer memang pacuan kuda saja. Sesekali ada eksibisi Ketangkasan Berkuda (Equestrian). Pernah juga diselipkan kompetisi Equestrian nasional, terutama di era akhir 1970-an. Yang unik, belakangan malah ada olahraga lain, yang juga dimainkan saat itu.
Jadi penonton disuguhi tontonan pacuan kuda dan satu olahraga lain, yaitu motocross! Track untuk pacuan kuda ada sepanjang 2200 meter, melingkar bentuknya. Nah di sebelah dalam di bangunlah track untuk motocross. Tapi kalau untuk kuda ada tebak-tebakkannya. Untuk motor, ga ada.





Awalnya motocross hanyalah eksibisi. Tetapi kemudian menjadi agenda tetap dan diselipkan kompetisi juga, saat itulah mulai mengundang crosser-crosser handal di waktu itu. Yang saya ingat ada nama Bandung Sunggoro, Iwan Bigwanto, Erwin Manca dan lainnya.
Kalau untuk jockey (joki) kuda pacu, ada nama-nama seperti Tenny Palandeng, Arry Rori, Jani Tewuh, Johnny Wullur termasuk kakak-beradik Johnny dan abangnya, James Momongan. Merekalah joki-joki paling populer, disebut juga sebagai joki-joki andalan di jaman itu.
Nah joki-joki tersebut di atas itu, rata-rata datangnya memang asli dari Menokad eh maksudnya Sulawesi Utara. Alias, ya orang-orang Minahasa semua. Ada 2-3 joki yang non Minahasa juga saat itu. Bahkan sempat ada juga joki asing. Kalau pemilik kuda, sebagian juga dari Minahasa. Mereka datang sebagai peternak kuda pacu tradisional gitu. Dimana memelihara dan membesarkan kuda pacu sudah turun temurun.






Kan sebenarnya, banyak daerah di Nusantara ini,mempunyai tradisi pacuan kuda tradisional di daerah masing-masing. Entah dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur, Sumba sampai Jawa Barat. Beberapa arena pacuan kuda tradisional juga bisa dijumpai di beberapa propinsi saat itu.
Sebagian lain, pemilik kuda, datang dari para petinggi. Baik itu perwira tinggi ABRI atau Keplosian, Menteri termasukkeluarga dari Presiden Republik Indonesia. Ada juga milik selebritis. Itu membuat pacuan kuda disebut sebagai olahraga kaum “the haves”.

Kabarnya, pacuan kuda Pulomas mulai meredup, dan mulai ditinggalkan penontonnya saat judi dilarang secara resmi oleh pemerintah. Hilanglah gairah saat itu. Dan jelang tahun 2000, akhirnya pacuan kuda Pulomas ditutup.
Beberapa tahun dibiarkan terbengkalai. Bahkan pernah satu saat dikabarkan, pemerintah daerah DKI Jaya mewacanakan untuk menggusur arena pacuan kuda itu. Menggantikannya dengan pembangunan kompleks apartemen dan pertokoan.
Barulah di saat Jakarta secara resmi terpilih sebagai kota penyelenggara Asian Games ke 18 di tahun 2018, dan Equestrian masuk menjadi salah satu cabang olahraga yang akan dipertandingkan, maka dipilihlah Pulomas sebagai arena peyelenggaraannya.
Dalam kurun waktu sekitar 2 tahun, Pulomas disulaplah menjadi arena ketangkasan berkuda megah, berkelas internasional. Disebutlah sebagai arena ketangkasan berkuda terbaik di kawasan Asia Tenggara. Sayangnya, arena pacuan kuda tergusur habis.
Karena memang pacuan kuda, tidaklah termasuk cabang olahraga yang dipertandingkan di Asian Games tersebut. Dan pacuan kudapun, kembali ke khittahnya, lebih sebagai kegiatan olahraga tradisional beberapa daerah.






Jakarta International Equestrian Park dibuat lengkap. Baik titik utama beruapa stadion utamanya. Dengan dilengkapi berbagai arena kompetisi berkuda, terutama jumping (kuda lompat, lompat rintangan) dan dressage (tunggang serasi). Ada satu lagi, cross country namanya.
Belum lagi, ya so pastilah, tersedia kandang-kandang kuda representatif. Yang juga disediakan bak rumah kost saja, tak sekedar sebagai kandang penginapan untuk kuda-kuda. Dan ditambah lagi dengan penginapan untuk para joki, coach sampai pemilik kuda.
Sedikit info saja,kalau tunggang serasi itu adalah kompetisi untuk keserasian dalam berolahraga berkuda. Penilian pada nilai estetika, yang meilihat keserasian, keluwesan sampai keanggunan kuda. Tentu saja juga joki penunggangnya. Artinya, memang harus terjalin kerjasama yang baik antara kuda dan penunggangnya.




Dilhat dari cara berjalannya kuda. Kemudian sang penunggang juga harus terlihat apa ya, elegan, tegap badannya. Kuda bisa berjalan anggun, atau berlari kecil. Sampai di akhir, bahkan ada penghormatan kepada juri, secara bersama-sama kuda dan jokinya itu.
Sementara untuk lompat rintangan, joki harus dapat mengendalikan dan “memerintahkan” kuda melewati berbagai papan rintangan. Yang bervariasi tinggi, ataupun tingkat kesulitannya.
Keduanya, perlu banget latihan kontinyu yang intens. Terutama bagaimana joki dan kuda, dapat bekerjasama dengan sebaik-baiknya. Kuda dapat melangkah, berhenti, berlati kecil misalnya sampai menghormat, untuk tunggang serasi.
Kalau untuk lompat rintangan, bagaimana joki dapat membuat kudanya sanggup melewati satu persatu papan rintangan dengan baik, dalam kurun waktu yang cepat. Resikonya, kalau saja tetiba dalam sebuah kesempatan sang kuda menolak melompat, kalau joki tak siap bisa saja jatuh terlempar dari pelana kuda. Akibatnya, bisa fatal. Terbayang dong, jatuh dari kuda, resikonya bisa “sekedar” terkilir, lepas persendian, patah tulang sampai bahkan gegar otak.






Ok itu sekedar sekilas gambaran dari saya mengenai olahraga ketangkasan berkuda. Serta dilengkapi juga cerita masa lalu pacuan kuda, di masa sekitar 40-45an tahun silam.
Kembali ke kedatangan saya lagi ke Pulomas. Saya dan istri, sudah mengetahui acara tersebut sejak sekitar 2 bualn sebelumnya. Dapat info tambahan juga dari teman-teman baik di Facebook. Acaranya bertajuk Indonesia Horse Show 2019. Bayangan saya, akan ada kompetisi berkuda (equestrian) dan pastinyalah termasuk pacuan kuda.
Ndilala, saya baru tahu kan, saat tiba di Pulaomas itu, yah arena pacuan kudanya sudah tidak ada lagi. Dan kompetisi yang sebenarnya relaif kecil itu, tidaklah memakai arena kompetisi utama, yang berada di depan stadion besarnya. Tetapi menggunakan areal kompetisi yang lebih kecil, berada di sisi stadion.
Tapi cukuplah mengobati kerinduan saya untuk menonton dan menikmati lagi aksi-aksi berkuda. Mengagumi kembali, dari jarak dekat,kuda-kuda terlatih untuk dressage maupun jumping. Melihat dan mengamati pula para joki-joki muda, yang berupaya dapat meraih prestasi terbaik, bersama kuda-kuda tunggangannya.
Well, ya dong ga hanya menontonlah. Itu mah jangan ditanya. Pastilah, sudah siapin kamera. Untuk memotret. Saya sudah lama ga memotret berkuda lho. Jadi saya menikmati betulkesempatan memotret kemarin itu. Walau aduh, sengatan panas mataharinya itu lho, lumayan bingits!









Jumpa juga dengan beberapa teman di sana, yang memang bergiat di olahraga berkuda. Termasuk orang tua, yang ternyata ada putrinya bersekolah khusus berkuda. Atau sahabat lama, yang sempat bergiat di bisnis masalah kuda.
Dan jumpa juga dengan abang saya, eh broer saya juga dong. Yang kini menjadi coach untuk equestrian. Oh ya, sebagian joki-joki pacuan kuda, saat pacuan kuda tak lagi ramai, berpindah menjadi para penunggang kuda untk equestrian. Mereka di masa 1980an akhir sampai sekitar awal 2000an, bahkan menjadi joki-joki equestrian terbaik Indonesia juga. Berprestasi internasional lho.
Sebagian dari mereka, kini lantas masih berkarir terus di olahraga berkuda, tetapi tidak lagi menjadi atlet. Mereka menjadi pelatih-pelatih handal, dan telah mencetak beberapa atelt ketangkasan berkuda terbaik, yang lantas mampu mengikuti jejak mereka. Yaitu meraih prestasi di tingkat internasional, misal untuk ASEAN, Asia Tenggara atau di arena Sea Games.





Yah olahraga berkuda, memang tetaplah menjadi olahraga mahal sih. Tak banyak yang dapat terjun ke dalamnya. Mungkin karena itulah, prestasi para atlet berkuda kita, belum sampai mampu menembus tingkat Asia. Ada beberapa handicap, yang masih harus diatasi. Ya tentunya soal kuda misalnya, mengingat mendatangkan kuda-kuda terbaik kan juga memerlukan biaya yang relatif besar.
Sebagai gambaran sekilas saja nih ya, ada salah satu kuda peserta Asian Games 2018, yang berasal dari Qatar, yang terbilang sangat istimewa. Sirocco namanya, kabarnya seharga 200 milyar. Dan rata-rata kuda-kuda terlatih baik untuk ketangkasan berkuda, nilainya memang sudah dibilangan....milyar saat ini. Amboi!

Kapan-kapan pengen lagi ah, untuk bisa menonton dan memotret kegiatan olahraga berkuda lainnya. Selalu ada hal-hal menarik lho, menonton acara olahraga berkuda itu. Baikkudanya, keramaiannya, atlet-atlet tua dan muda, besar dan kecilnya. Belum lagi suasananya. Ga percaa? Coba nonton deh nanti.....
Sementara ini, sila nikmati dulu jepretan-jepretan saya di acara kemarin itu. /*









No comments: