Paul Gilbert |
Audience and The Calling |
Ale Band, The Calling |
If you don’t know the
blues...There’s no point in picking up the guitar and playing rock and roll or
any other form of popular music – Keith Richards
Apakah
dengan line-up “lintas usia”, sekaligus juga “lintas genre”, sebuah festival
blues akan dapat memancing animo publik untuk datang dan nikmatin? Intinya emang, udu pinter-pinter “ngacak” line up,
apalagi untuk nama-nama beken internasional.
Alex Band of The
Calling, Ken
Hensley from Uriah Heep, Paul Gilbert dan Ron Bumbleefoot ex Guns n Roses
misalnya. Itu nama-nama yang diandalkan ajang bertajuk Jakarta Blues International Festival 2019, digelar di Tennis Indoor
Senayan, akhir pekan pertama di bulan terakhir 2019 kemarin.
Ditambah
nama-nama lokal, antara lain seperti the legendary,
The Rollies. Lalu juga tokoh-tokoh
blues macam Gugun Blues Shelter, Adrian Adioetomo lalu ada juga Edwin Marshall Syarif “Cokelat” dalam solo-project nya. Kongko Blues dengan Electric
Cadillac, atau nama muda, Satria & The Monsters. Ditambah rombongan
blues dari Bandung, Blues Libre,
dipimpin sang legenda, Hari Pochang.
Digelar
dua hari, pas Sabtu dan Minggu, harga tiket daily
lebih dari gopek-ceng. Dengan “kelengkapan”
stand-stand makanan, minuman, kopi, snacks
and so on. Dimeriahkan tiga stage, Iconic
Stage, Crossroad Stage dan Vintage
Stage.
Edwin Marshal Syarif |
Gugun, GBS |
Ginda Bestari, Blues Libre |
Saya
menyempatkan datang hanya sehari, yaitu di hari Minggu. Menurut ukuran mata dan
rasa saya, jumlah penonton terlihat lumayanlah. Memang tak sampai
berdesak-desakkan, tidak sampai penuh-nuh gimana gitu.
Tapi
jumlah penonton begitu, cukup bikin nyaman kan? Bisa nonton sambil leyeh-leyeh
santai, dari sudut manapun yang disuka. Enak aja menikmati dan mengapresiasi
para performers yang beraksi di atas
panggung.
Di
seputaran kawasan Senayan, pada Sabtu dan Minggu juga ada berbagai event lain.
Relatif besar. Bahkan juga ada festival lain. Maka event-event tersebut lantas “bersaing”
untuk mendatangkan para penonton dong.
Di
luar sebuah perayaan Natal ya, yang ini malah yang mungkin paling besar. Maklum
perayaan Natalnya diadakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno cuy. Pastinya
umat Kristiani yang hadir, jumlahnya puluhan ribulah, datang dari mana-mana.
Bagaimana
dengan festival blues yang diadakan oleh Boart
Indonesia, di bawah pimpinan Triadi
Noor itu? Yang pasti, festival blues ini kembali dapat dihidupkan, setelah
pernah berlangsung beberapa kali sebagai agenda tetap setahun sekali. Lalu
vakum, seperti juga berhenti beraktifitasnya komunitas blues Indonesia, yang
waktu itu menjadi penyelenggara. Ina-Blues namanya.
Gugun,
gitaris GBS yang kini memotong endek rambutnya, sempat berucap dari atas
panggung,”Kayaknya penggemar blues di Indonesia kan banyak ya....?” Penonton
tersenyum, ada juga yang menimpali, iya iya. Tapi di depan GBS trio malam itu,
penonton memang tidaklah padat, tidak berjubelan.
Gugun, GBS |
Fajar Adi Nugroho, GBS |
GBS on Stgae, foto Tyas Yahya |
Blues Libre |
Blues
kan segmented. Model jazz lah. Tetapi
jazz itu lebih “populer”. Iya dong, lebih punya magnetlah, lihat saja berbagai
kota, berbagai daerah rame-rame bikin
festival jazz! Dipicu oleh Jakjazz International Jazz Festival, sejak 1988. Kemudian
lebih dipopulerkan lagi oleh Java Jazz Festival, sejak 2005.
Tetapi
begini bray, lihat ya festival jazz,
termasuk Java Jazz Festival yang terbesar itu, harus mengedepankan nama-nama
populer sebagai pemikat publik, biar datang menonton. Yoih, walaupun nama-nama
populer itu, bukanlah jazz performer
ya, teristimewa deretan penyanyi-penyanyinya.
Bukan
jazz, tetapi hadir dan ngeramein
festival jazz. Dan, lumayan juga menjadi magnet. Maka resep itupun ditiru
beberapa festival jazz lain di Indonesia ini. Menjadi festival jazz yang ga
harus jazz-jazz amatlah. Kalau perlu, banyakin yang popnya, asal dikenal, biar
tiketnya laku kan? Biar penontonnya banyak dong....
Tapi
kan namanya jazz? Apakah blues di Indonesia, kudu ngikutin resep jitu festival
jazz? Yah gimanalah ya. Pro kontra sih, untuk jazz. Tetapi satu hal pasti, toh
upaya itu terbukti manjur, paling tidak untuk menjamin keberlangsungan festival
jazz tersebut.
Yoiqball a.k.a Muhamad Iqbal, additional drummer GBS |
Gugun, GBS, foto Tyas Yahya |
Hari Pochang, Blues Libre |
Nanti
hasil akhirnya, bukan blues-blues amat gimana? Kalau heavy metal atau hard-rock
gitu ya, festival-festivalnya ga perlu “gincu-gincu” pemantes untuk jadi magnet
sih. Apakah karena metal-fans jauh
lebih banyak dan loyal dan...fanatik? Jazz ga segitu fanatiknyakah?
Satu
hal yang jelas sih, keberadaan festival blues ini mempunyai nilai positif.
Sebagai salah satu alternatif tontonan yang sehat dan segar. Sebut saja, yang “baik
dan perlu” untuk penikmat musik Indonesia. Setuju ga?
Artinya,
kudu didukung. Mungkin harus lebih kreatif lagi,dalam “memasak konsep”nya,
kemudian menjualnya? Pakai “bumbu-bumbu penyedap” nama-nama non-blues? Baek-baek cuy, nama-nama populer kan
berarti....cost production berpotensi
membengkak lho. Repot juga. Ga repot, kalau dokatnya
ada sih sebenarnya.
Tetapi
biar gimanapun, terima kasih karena sudah menghidangkan tontonan bergizi yang
agak berbeda. Rasa atau gaya bluesnya masih terasa dan terlihat, lumayan
kentallah. Dan, itu saya suka!
Kan
akhirnya, sayapun bisa santai dan leluasa dan enak untuk memotret toh? Kalau
penonton jauh lebih padat, bisa penuh perjuangan nantinya. Eh ada juga sisi
positifnya ya kan?
Untuk
kesempatan berikutnya, didoakan bisa dapat kontinyu terselenggara. Kembali
menjadi agenda tetap, mungkin ga perlu setahun sekali. 2 tahun sekali juga, ga
terlalu masyalalah. Asal saja,
dipertahankan ke-blues-annya, biar tetap kental.
Usul
dan doa dan pengharapan itu, semoga dapat diterima dengan baik oleh
penyelenggara. Termasuk oleh semesta raya. Sampai jumpa di perhelatan
berikutnya, di tahun-tahun mendatang.
Blues is easy to
play, but hard to feel – Jimi Hendri /*
Foto-foto Gideon Momongan
Paul Gilbert, foto Tyas Yahya |
Foto Tyas Yahya |
Foto Tyas Yahya |
No comments:
Post a Comment