Pada
akhirnya, sampailah ke tahun ke sepuluh. Tetapi sebagai penyelenggaraan, masuk
ke kali ke sembilan. Lumayan banyak, kalau bicara jumlah atau tahun. Mengingat,
tak banyak festival jazz di Indonesia yang mempunyai stamina “sekuat” itu.
Sepuluh tahun, cuuuuyyy! Ngebayangin
bisa sampai sejauh ini, waduh kayaknya sih ga lah. Udah bisa terselenggara
tahun pertama, syukur. Tahun kedua alhamdulillah.
Ya
begitulah pada setiap tahunnya. Oh ya, hanya di 2010 sempat skip sekali. Dikarenakan adanya bencana
alam, erupsi gunung Merapi. Sehingga terpaksa tak bisa diadakan.
Saya
yang kebetulan diajak serta oleh Wenny
Purwanti dengan C-Pro nya, yang
menjadi penyelenggara acara ini, asli ga pernah ngebayangin bisa sampai di angka
10 tahun. Rasanya demikian pula halnya dengan Wenny Purwanti, serta kompatriot
lain, Indrawan Ibonk. Kami bertiga
yang bahu-membahu sedari 2009 membangun sebuah festival jazz, yang harus khas
dan jangan jauh-jauh dari identitas kota Solo.
Sudah
bisa terlaksana, pada setiap tahunnya, kami sudah sangatlah bersyukur. Karena
memang dituntut perjuangan yang harus penuh semangat. Maklumlah, kalau ada
kategori festival jazz di tanah air, festival kami kelihatannya pas masuk
golongan festival kecil saja.
Aduh
cita-cita sih ya, pengen bisa bikin festival jazz yang lebuh besar. Artis artis
utamanya itu lebih beragam, bintang-bintang yang dikenal luas. Sehingga
penonton bisa membludak. Pengen juga festival ini, bisa sebesar beberapa
festival jazz yang terbilang besar dan...terlihat lebih “gagah” dan meyakinkan.
Wakil Walikota Solo, Achmad Purnomo (berkacamata) mengucapkan pidatonya sebagai peresmian berlangsungnya Solo City Jazz 201. Bapak Achmad Purnomo didampingi duo AA, Annas Habibi dan Adia Prabowo. |
Apa
daya, tangan tak sampai. Padahal maksud hati memeluk gunung. Gunung apa?
Konteksnya sih ya sebuah festival jazz. Yang entah mengapa, pada sekitar 10-11
tahun terakhir, menjamur dan bermunculan dimana-mana. Saya selalu bilang, ini
Indonesia emang sudah sebegitu ngejazznyakah, sehingga festivalnya bisa lebih
dari 50-an dalam setahun?
Lalu
kalo saya menulis di atas, ga banyak festival jazz di sini yang berstamina
mumpuni, sama sekali bukan pengen menyombongkan diri. waduh, ga lah. Ini juga
keluar keringat banyak-banyak, itupun juga berdarah-darah segala.
Sudah
berhadapan dengan aneka problema, masih pula dikiritik pula, terutama oleh
kalangan media Solo. Ya salaaaaam!
Kami hanya bisa menikmatinya, sambil minum kopi, makan roti kacang dan
senyum-senyum. Ga papalah, kritik itu memberikan kami kekuatan kok. Jadi
suntikan semangat...
Lantas
kami cuma bisa bilang dalam hati, plis
deh cobain bikin festival jazz yang kudu punya ciri khas. Susahnya itu minta
ampun sih. Kalau hanya melihat, menonton, memang relatif “mudah”. Dan juga
kalau sekedar bikin “pesta musik” dengan pakai label “jazz”,ah mungkin itu
lebih gampang.
Romantikanya
macam-macamlah. Herannya, kami terus berupaya menghadapi semuanya, mencoba
berstrategi, putar otak, pikir-pikir, supaya bisa mengatasi persoalan-persoalan
yang ada.
UUD
bray. Yoih, ujung-ujungnya sih duit. Mau bikin apapun, kalau dokatnya ada kan, ga bakalan pusing. Ya
ga sih? Kepengen betul, bikin yang lebih besar, paling tidak seperti pergelaran
pertama kami di 2009 dulu. Lha pakek duitnya sapa? Sponsor dong.
Sponsor?
Susah-susah gampang sih. Sponsor biasanya hanya pengen memilih nama-nama besar,
atawa nama populer. Biar pastinya acaranya rame. Nama-nama itu ga ngejazz juga,
bukan urusan terpenting buat mereka. Yang penting rame, mau ngepop atau bahkan
musik-musik lain, termasuk dangdut sekalipun, mereka tidak concern ke situ sih.
Kalau
ada nama-nama populer, pastinya bisa rame. Kalau rame, kita dukung! Habis
perkara. Eits tapi dukung berapa dulu nih? Ya gitu deh ya, mungkin kami punya “kelemahan
dalam hal menggaet atensi pihak-pihak yang biasa mensponsori satu acara musik.
Harus diakui.
Tapi
sudahlah, makanya kami memilih kata, alhamdulillah sudah bisa menyelenggarakan
sampai sembilan kali. Puji syukur pada semesta. Acara bisa terselenggara dengan
relati lancar. Tetap bisa dua hari. Dan eh tahun ini bisa membuat hal “unik”
lain. Karena kami sampai memakai kereta uap sebagai salah satu venue-nya. Belum pernah kami lakukan di sepanjang
8 tahun sebelumnya.
Bahkan
lebih unik lagi, kami sendiri aja belum pernah mencicipi naik kereta uap, Sepur Kluthuk Jaladara itu selama ini!
Seru dong ya? Iya akhirnya bisa merasakan, berkeliling Solo dengan kereta uap
legendaris itu sambil membuat acara. Sambil menyelam buang air, namanya. Eh
maksudnya, sambil menyelam minum air kan?
Dan
Solo City Jazz pun bisa kami adakan
di tahun 2018 ini. Di hari pertama, 29 September 2018, dari selepas Maghrib
sampai mendekati tengah malam. Tempatnya di pelataran depan Pasar Gede. Ini salah satu pasar tertua
dan menjadi destinasi pariwisata kota Solo juga. Salah satu heritage penting.
Di
hari Sabtu itu, tampillah kedua MC kami. Bukan sekadar pembawa acara, tetapi
duet ini adalah sudah bak saudara kami saja. Kalau saja Solo City Jazz ini macam
perusahaan, bisa jadi kedua MC ini sudah layak diberikan bagian saham! Saking
langganannya tahun ke tahun, selalu sudi membantu kami.
Mereka
adalah Annas Habibi yang simpatik.
Dan partner-in-crime nya, Adia Prabowo yang menarik. Kalau mereka
bertemu berdua sebagai MC, ah sudahlah....pecahlah sudah! Haceup euy. Terima kasih untuk mereka berdua ya!
Sebagai
grup pertama adalah Backyard.
Rupanya mereka berisikan para musisi relatif muda, perpaduan musisi Solo dan
Boyolali. Menarik juga, ada persekutuan antar dua kota. Dengan hasilnya jazz
yang tentu saja, berasal dari pandangan mereka masing-masing terhadap jazz.
Maksudnya interpretasi milik mereka.
Dari
penampilan mereka, kalau boleh memberikan penilaian. Sudah kayak ajang
idol-idolan di televisi saja nih. Boleh ya, dikasih penilaian? Penilaian saya, harus
sering ketemu muka, saling silaturahmi, salinglah berkunjung sayu sama lain.
Ok?
Sebagai
penampil kedua, ini juga grup muda. Tapi yang ini dari Jakarta. Menokohkan
vokalisnya, Adam namanya. Adapun grupnya Adam ini, memang masih muda-muda.
Semangatnya perlu dipuji, apalagi mencoba memainkan jazz. Dan lagi-lagi jazz
menurut interpretasi mereka.
Dan
penilaian saya adalah, karena masih muda ada baiknya untuk terus tekun dan
rajin-rajinlah belajar ya. Semoga apa yang dicita-citakan, diinginkan kalian
bersama, akan dapat tercapai di hari depan nanti.
Berpindah
ke grup yang ketiga. Ini The Rangers. Nah ini juga dari Solo. Gini ya, Solo
City Jazz tak pernah tidak, selalu pada saban tahun memberi kesempatan
potensi-potensi lokal Solo untuk tampil. Untuk berani ke depan dong.
Kesempatan
selalu ada. Tapi eits jangan manja dong. Kesempatan harus direbut. Jangan hanya
tunggu untuk diajak atau diundang. Harus ada usaha, biar menunjukkan keseriusan.
Melamarlah baik-baik dan yakinkan kami, bahwa grup anda itu memang layak tampil
di Solo City Jazz. Datangi dong, proaktif ya.
The
Rangers terkesan lebih hidup. Apalagi dengan barisan tiupnya. Tambah menarik
dengan vokalisnya, Elizabeth Sudira. Eliza, sang vokalis cantik itu telah kami
kenal dekat. Ia sempat pula beberapa kali menjadi MC untuk Solo City Jazz. Kali
ini, ia tampil sebagai penyanyi utama.
Mereka
juga terkesan serius untuk tampil. Sampai menyiapkan sebuah single terbaru,
yang mreka mainkan atau perdengarkan pertama kali, ya di Solo City Jazz kemarin
itu. Kalau untuk The Rangers, saya beri penilaian bahwa rajinlah berdoa, semoga
jalan menuju kesuksesan akan terbentang luas dan lapang dan mulus!
Itu
peniliaan atau pesan sih? Penilaian berbau pesan, tepatnya begitu. Karena masak
menilai itu harus strictly ke bagus atau jelek, baik ataupun kurang baik? Saya
lebih memilih, menilai sekaligus memberi motivasi. Karena biar bagaimanapun,
mereka sudah berani tampil kan? Maksudnya dari ketiga performers di atas itu.
Lanjutkan sajalah...
Berlanjut
ke kelompok bernama Soloensis. Nah
mereka kelihatannya memang bukan “grup jazz”. Gimana ya, ga jazz tetapi mereka
toh mencoba untuk “tidak terlalu jauh dari jazz”. Menyesuaikan dengan acara ya?
Tapi gimana hasil akhirnya?
Soloensis
lebih enerjik, lebih keras, semangat tebal betul. Untuk di sisi itu, kita harus
berikan acungan jempol dan apresiasi positif. Sembari tak lupa memberi
penilaian, lebih aktif untuk merebut kesempatan tampil dimana-mana.
Soloensis
berkolaborasi dengan seorang figur seniman, namanya Steven Farid. Ia penyanyi, musisi juga semacam perupa seorang
designer grais. Kabarnya ia telah lumayan dikenal di scene musik dan pergerakan
seni independen, di kota Yogyakarta.
Bersyukur
ia punya waktu, untuk ikut meramaikan Solo City Jazz. Dan cukup sukses,
ternyata Steven Farid punya fans tersendiri. Mereka datang dan mendukung banget
penampilan idolanya. Datang langsung bergerombil memenuhi areal depan stage.
Ikut
bernyanyi dan bergoyang bersama idolanya itu. Dan saat Steven Farid selesai showtime-nya, merekapun kompak serta
merta dengan tertib berdiri dan pergi. Kayaknya sih langsung pada pulang deh ke
rumahnya....
Tapi
sebelum Soloensis dan Steven Farid, tampil lebih dulu seorang solo-performer. Jubing Kristianto, dengan gitar akustiknya. Orangnya ramah, dan
memang seramah musiknya. Musik dengan solo gitarnya itu terkesan ramah dan
supel. Menghampiri dan membelai kuping semua orang.
Jubing
seperti “diselipkan”. Ia dan musiknya menjadi semacam air penyejuk dahaga,
melemaskan otot-otot. Santai, rest and relax. Menghibur siapapun. Penonton yang
diperkirakan sekitar sedikit lebih dari seribuan orang, menikmati permainan
gitar apik dari Jubing. Dan penilaian untk Jubing?
Masya
Allah, masak seorang Jubir masih harus saya berikan penilaian? Ya ga lah. Jam
terbangnya ekstra tinggi. Ia telah sukses tampil di pelbagai acara, termasuk
diantaranya festival demi festival. Juga termasuk lumayan sukses dalam
penjualan albumnya. Saya memberi atensi dan respek optimal untuk kesediaannya
tampil memeriahkan Solo City Jazz!
Setelah
Jubing “ramah” Kristianto, lalu Soloensis dengan Steven Farid. Sampailah kita
di penghujung acara. Kamipun menampilkan terlibih dahulu grupjazz lokal Solo,
Pelipe. Ini berasal kata Pinggi Kali Pepe. Tapi itu tempat mereka
bersilaturahmi jazz di awal. Sekarang mereka sudah pindah ke Pasar Gede lantai
2.
Ada
dua musisi senior yang memimpin mereka. Kibor atau pianis Sukat Pusponingrat. Serta gitarisnya, Bambang Sutopo. Mereka memimpin para musisi muda Solo, selain
seorang ekspatriat sebagai saxophonist.
Dan
kemudian mereka mendampingi penampilan dua bintang utama Solo City Jazz 2018
ini yaitu the living-legend, Ermy Kullit
dan Margie Segers. Kami bertiga
sebagai penyelenggara, bangga banget dan sukacita ketika kedua legenda musik
jazz Indonesia tersebut, akhirnya bisa kami datangkan juga ke acara kami.
Respek
dan apresiasi setinggi-tingginya tentu saja untuk kedua mevrouw, yang masih sehat-sehat, cantik, semangat. Dan so pasti do e, suaranya masih....ya ampuuuun
bikin “meleleh”! Asli, keduanya masih prima dalam suara dan penampilannya.
Asal
tahu saja, aneh tapi nyata, memang keduanya kami sengaja berusaha untuk bisa
mendatangkannya ke Solo City Jazz. Dikarenakan, keduanya itu banyak disebut
penonton untuk menjadi special-request. Wah, keren ga tuh Solo? Penontonnya
Solo City Jazz mintanya...legenda-legenda jazz lho!
Ketika
mereka berdua bersedia, dan akhirnya memang datang ke Solo, kami tak
habis-habisnya bersyukur. Kehadiran mereka sungguh berarti dan memberikan
semacam suntikan motivasi bagi kami sebagai penyelenggara. Eh ini beneran lho.
Kami jadi bersemangat membuat Solo City Jazz ke sembilan kali ini tetap unik
dan menarik.
Walau
festival kami saat ini relatif kecil, masih juga ga mudah menarik perhatian
sponsor-sponsor. Tapi kami harus tetap bergulir dan tetap ngejazz dong.
Beruntunglah, kami toh akhirnya bisa didukung sahabat-sahabat saya, teman-teman
baik kami yang bernama besar juga. Ya Jubing Kristianto, Ermy Kullit dan Margie
Segers itu. Senengnya bukan kepalanglah.....
Dan
usailah malam pertama Solo City Jazz. Harus segera istirahat. Karena hari kedua
dimulai pagi hari! Pagi banget lho, jam 06.30 kami harus sudah tiba di stasiun
kereta api Pulosari untuk menaiki Kereta Uap Jaladara. Kamipun pagi hari
bergegas ke stasiun, dan tiba pas 06.40. Terlambar 10-an menit. Dan....kereta
sudah berangkat!
Kereta
jalan tetap on schedule. Walau kami panitya belum ada yang hadir, bahkan ketiga
talent utama kami yang akan tampil di atas kereta juga bersama-sama kami,
terlambat juga! Seru kan?
Eh
yang lebih seru sih gini. Detil konsep acara di hari kedua dengan tempat di
dalam kereta uap. Lalu dengan dua stop, yaitu di Sriwedari dan di Ngarsopuro,
sebenarnya baru ada di catatan rundown saja. Itupun, memang dibikin sebagai
panduan untuk melihat jam atau waktu. Detilnya asli lho, belum ada.
Saya
masih belum punya bayangan apapun. Kan saya sudah bilang di atas tuh, saya
belum pernah naik kereta tersebut. Dan sayapun belum pernah melihatnya langsung
sama sekali. Wiets, blank dong ye? Yoih.
Ini
gimana ya, Jubing plus Ermy dan Margie, bagaimana mereka tampil? Dan keputusan
terakhir pun akhirnya saya buat di menit-menit terakhir, persis sebelum kami
menuju stasiun. Artinya, selepas sarapan, menantikan kendaraan yang akan
mengantarkan kami.
Saya
meminta ketiga tamu spesial Solo City Jazz itu untuk kumpul bersama saya. Saya
lontarkan ide. Dasarnya adalah spontanitas saja. Lalu memang memohon ketiganya
bisa berkolaborasi dadakan, asli spontan. Soal lagu, sempat diomongin satu-dua
lagu, tetapi kemudian saya meminta mereka nanti lihat sikon saja ya.
Termasuk
berapa lagu yang mereka harus mainkan. Karena kami semua masih belum tahu,
apakah bunyi lokomotif uap itu memang keras sehingga kami sulit kalau bermain
musik di dalam gerbongnya? Apalagi, mustahil kalau di dalam gerbongnya
ditempatkan pengeras suara, seminimal apapun.
Jadi
main spontan dan langsung, tanpa pengeras suara atau sound-system. Lha
bagaimana tuh? Ya sudah, bagaimana nanti sajalah ya. Syukurlah, ketiga tamu
khusus itu setuju dan hepi-hepi saja.
Ada
juga cerita seru, ini ga kalah serunya sih. Karena kami ketinggalan kereta,
lalu rencana jadi batal? Oh ga dong. Jangan batal, lha itu keunikannya kok.
Segera diputuskan oleh Wenny Purwanti, kita kejar saja kereta itu. Dan pihak
kepala stasiun mengatakan, kereta akan berhenti di satu titik menantikan kami.
Maka
kamipun bergegas cepat, sambil berlari kecil. Lalu mikir juga, masak kami
berlari, mana kekejar? Jadi, setelah lari beberapa saat, kamipun memanggil
becak! Dari lari, naik becak untuk ..... naik kereta! Suasana saat itu, pas Car
Free Day, jadi lumayan ramai. Asyiklah pokoknya.
It
was really fun for us. Really really! Hahaha. Kereta kekejar dong. Akhirnya
naik kereta, dan kereta segera berjalan menuju perhentian pertama, “stasiun”
Sriwedari. Jubing, Ermy dan Margie kami tempatkan di bagian depan, di dalam
gerbing nomer satu. Ada tersedia 2 gerbong saja. Sayapun meminta mereka main.
Ternyata
bisa, suara tiupan uap dari lokomotif tak terlalu mengganggu di dalam gerbong.
Merekapun memainkan dan menyanyikan lagu. Dari ‘Naik Kereta Api’ misalnya.
Bahkan sampai....’Route 66’. Beberapa lagupun dimainkan.
Sampai
di Sriwedari, ada kejadian ga asyik! Sound-system untuk mini stage yang
direncanakan dtempatkan di areal gerbang Taman Sriwedari ternyata terlambatr
datang. Alhasil, terpaksa batallah mendirikan panggung minimalis di titik
perhentian pertama itu. Apa boleh buat, harus segera diambil solusi untuk
mengatasi hal itu.
Teman-teman
wartawan, yang memang menumpang kereta tersebut juga, diwakili sahabat kami
Sadrah Deep mengusulkan ketiganya main di pintu gerbong sajalah. Saya setuju,
saya langsung komunikasikan dengan ketiganya. Mereka bertiga bersedia tampil,
lagi-lagi spontan dan mendadak, tanpa sound system juga dong.
Penonton
banyak datang, ya kan pas CFD itu? Lancarlah penampilan yang hanya sekitar 15
menitan itu. Seusai itu, kereta berangkat lagi. Menuju Ngarsopuro. Kali ini,
sound systemnya sudah siap. Dan sudah ada kelompok musik Kemlaka, yang perkusi
itu, yang membuka acara.
Kemlaka
tengah tampil, kereta kami datang. Lalu Jubing Kristianto, Ermy Kullit serta
Margie Segers pun turun dari kereta. Mereka tampil di panggung minimalis itu. Pertama hanya
bertiga saja. Kemudian diusulkan bagaimana kalau ada kolaborasi dengan Kemlaka,
saya menyetujui. Jadilah, kolaborasi dadakan, tanpa latihan dan seketika itu
saja terjadi!
Pentas
di Ngarsopuro lebih dari 20 menit. Setelah itu, kami pun naik kereta lagi
menuju stasiun Solo Kota. Di situ, kereta harus berhenti karena mengisi air.
Masinis bilang, kereta ini harus minum. Kesempatan itu dipakai teman-teman
wartawan untuk melakukan photosession ketiga artis penyanyi dan musisi
tersebut.
Setelah
selesai, kereta kemudian kembali ke Pulosari. Kami ikut lagi di dalamnya, dan
hanya untuk bersenda gurau dan bersantai. Akhirnya, acarapun selesai dengan
relatif lancar.
Ya
begitulah, kami memang bersyukur betul bahwa untuk hari kedua tersebut, dapat
terlaksana karena memang dukungan penuh dari Jubing Kristianto, Ermy Kullit dan
Margie Segers. Mereka bertiga bersedia tampil “apa adanya”, dengan sukacita dan
santai sampai selesai.
Akhirnya
kan, kesampaian juga me”manggung”kan jazz di dalam gerbong kereta uap kuno,
salah satu heritage kota Solo juga
adanya. Alhamdulillah. Tidur malam yang sangat terbatas waktunya, terbayarlah
dengan kelancaran acara itu.
Dengan
bersukacita, kami lantas sebagian memilih kembali ke hotel saja. Maklumilah,
jam tidur kan tekor. Kami berhasrat membayar “hutang” tidur tersebut. Hehehehe.
Itu jauh lebih bijaksana, daripada kami berjalan-jalan keliling Solo kayaknya,
di waktu itu.
Begitulah
romantikanya Solo City Jazz ke sembilan. Penuh “siasat”, yang kudu sekreatif
mungkin demi tetap dapat berlangsungnya acara. Yang berarti menjaga kontinuitas
Solo City Jazz sebagai kalender tahunan kota Solo.
Sampai
jumpa di Solo City Jazz ke sepuluh di 2019 mendatang. Semoga saja kami mendapatkan
suntikan enerji dan motivasi berlebih untuk tetap dapat bersemangat
menyelenggarakannya. Sambil tentu saja berharap, akan dapat terjalinnya lagi
kerjasama yang mudah-mudahan semakin lebih baik, dengan pihak Pemerintah Kota
Solo. /*
No comments:
Post a Comment