Friday, October 12, 2018

Solo City Jazz 2018, Jubing, Ermy, Margie dan Sepur Kluthuk



Pada akhirnya, sampailah ke tahun ke sepuluh. Tetapi sebagai penyelenggaraan, masuk ke kali ke sembilan. Lumayan banyak, kalau bicara jumlah atau tahun. Mengingat, tak banyak festival jazz di Indonesia yang mempunyai stamina “sekuat” itu. Sepuluh tahun, cuuuuyyy! Ngebayangin bisa sampai sejauh ini, waduh kayaknya sih ga lah. Udah bisa terselenggara tahun pertama, syukur. Tahun kedua alhamdulillah.
Ya begitulah pada setiap tahunnya. Oh ya, hanya di 2010 sempat skip sekali. Dikarenakan adanya bencana alam, erupsi gunung Merapi. Sehingga terpaksa tak bisa diadakan.



Saya yang kebetulan diajak serta oleh Wenny Purwanti dengan C-Pro nya, yang menjadi penyelenggara acara ini, asli ga pernah ngebayangin bisa sampai di angka 10 tahun. Rasanya demikian pula halnya dengan Wenny Purwanti, serta kompatriot lain, Indrawan Ibonk. Kami bertiga yang bahu-membahu sedari 2009 membangun sebuah festival jazz, yang harus khas dan jangan jauh-jauh dari identitas kota Solo.
Sudah bisa terlaksana, pada setiap tahunnya, kami sudah sangatlah bersyukur. Karena memang dituntut perjuangan yang harus penuh semangat. Maklumlah, kalau ada kategori festival jazz di tanah air, festival kami kelihatannya pas masuk golongan festival kecil saja.
Aduh cita-cita sih ya, pengen bisa bikin festival jazz yang lebuh besar. Artis artis utamanya itu lebih beragam, bintang-bintang yang dikenal luas. Sehingga penonton bisa membludak. Pengen juga festival ini, bisa sebesar beberapa festival jazz yang terbilang besar dan...terlihat lebih “gagah” dan meyakinkan.


Wakil Walikota Solo, Achmad Purnomo (berkacamata) mengucapkan pidatonya sebagai peresmian berlangsungnya Solo City Jazz 201. Bapak Achmad Purnomo didampingi  duo AA, Annas Habibi dan Adia Prabowo.
Apa daya, tangan tak sampai. Padahal maksud hati memeluk gunung. Gunung apa? Konteksnya sih ya sebuah festival jazz. Yang entah mengapa, pada sekitar 10-11 tahun terakhir, menjamur dan bermunculan dimana-mana. Saya selalu bilang, ini Indonesia emang sudah sebegitu ngejazznyakah, sehingga festivalnya bisa lebih dari 50-an dalam setahun?
Lalu kalo saya menulis di atas, ga banyak festival jazz di sini yang berstamina mumpuni, sama sekali bukan pengen menyombongkan diri. waduh, ga lah. Ini juga keluar keringat banyak-banyak, itupun juga berdarah-darah segala.
Sudah berhadapan dengan aneka problema, masih pula dikiritik pula, terutama oleh kalangan media Solo. Ya salaaaaam! Kami hanya bisa menikmatinya, sambil minum kopi, makan roti kacang dan senyum-senyum. Ga papalah, kritik itu memberikan kami kekuatan kok. Jadi suntikan semangat...
Lantas kami cuma bisa bilang dalam hati, plis deh cobain bikin festival jazz yang kudu punya ciri khas. Susahnya itu minta ampun sih. Kalau hanya melihat, menonton, memang relatif “mudah”. Dan juga kalau sekedar bikin “pesta musik” dengan pakai label “jazz”,ah mungkin itu lebih gampang.



Romantikanya macam-macamlah. Herannya, kami terus berupaya menghadapi semuanya, mencoba berstrategi, putar otak, pikir-pikir, supaya bisa mengatasi persoalan-persoalan yang ada.
UUD bray. Yoih, ujung-ujungnya sih duit. Mau bikin apapun, kalau dokatnya ada kan, ga bakalan pusing. Ya ga sih? Kepengen betul, bikin yang lebih besar, paling tidak seperti pergelaran pertama kami di 2009 dulu. Lha pakek duitnya sapa? Sponsor dong.
Sponsor? Susah-susah gampang sih. Sponsor biasanya hanya pengen memilih nama-nama besar, atawa nama populer. Biar pastinya acaranya rame. Nama-nama itu ga ngejazz juga, bukan urusan terpenting buat mereka. Yang penting rame, mau ngepop atau bahkan musik-musik lain, termasuk dangdut sekalipun, mereka tidak concern ke situ sih.
Kalau ada nama-nama populer, pastinya bisa rame. Kalau rame, kita dukung! Habis perkara. Eits tapi dukung berapa dulu nih? Ya gitu deh ya, mungkin kami punya “kelemahan dalam hal menggaet atensi pihak-pihak yang biasa mensponsori satu acara musik. Harus diakui.



Tapi sudahlah, makanya kami memilih kata, alhamdulillah sudah bisa menyelenggarakan sampai sembilan kali. Puji syukur pada semesta. Acara bisa terselenggara dengan relati lancar. Tetap bisa dua hari. Dan eh tahun ini bisa membuat hal “unik” lain. Karena kami sampai memakai kereta uap sebagai salah satu venue-nya. Belum pernah kami lakukan di sepanjang 8 tahun sebelumnya.
Bahkan lebih unik lagi, kami sendiri aja belum pernah mencicipi naik kereta uap, Sepur Kluthuk Jaladara itu selama ini! Seru dong ya? Iya akhirnya bisa merasakan, berkeliling Solo dengan kereta uap legendaris itu sambil membuat acara. Sambil menyelam buang air, namanya. Eh maksudnya, sambil menyelam minum air kan?
Dan Solo City Jazz pun bisa kami adakan di tahun 2018 ini. Di hari pertama, 29 September 2018, dari selepas Maghrib sampai mendekati tengah malam. Tempatnya di pelataran depan Pasar Gede. Ini salah satu pasar tertua dan menjadi destinasi pariwisata kota Solo juga. Salah satu heritage penting.
Di hari Sabtu itu, tampillah kedua MC kami. Bukan sekadar pembawa acara, tetapi duet ini adalah sudah bak saudara kami saja. Kalau saja Solo City Jazz ini macam perusahaan, bisa jadi kedua MC ini sudah layak diberikan bagian saham! Saking langganannya tahun ke tahun, selalu sudi membantu kami.
Mereka adalah Annas Habibi yang simpatik. Dan partner-in-crime nya, Adia Prabowo yang menarik. Kalau mereka bertemu berdua sebagai MC, ah sudahlah....pecahlah sudah! Haceup euy. Terima kasih untuk mereka berdua ya!



Sebagai grup pertama adalah Backyard. Rupanya mereka berisikan para musisi relatif muda, perpaduan musisi Solo dan Boyolali. Menarik juga, ada persekutuan antar dua kota. Dengan hasilnya jazz yang tentu saja, berasal dari pandangan mereka masing-masing terhadap jazz. Maksudnya interpretasi milik mereka.
Dari penampilan mereka, kalau boleh memberikan penilaian. Sudah kayak ajang idol-idolan di televisi saja nih. Boleh ya, dikasih penilaian? Penilaian saya, harus sering ketemu muka, saling silaturahmi, salinglah berkunjung sayu sama lain. Ok?
Sebagai penampil kedua, ini juga grup muda. Tapi yang ini dari Jakarta. Menokohkan vokalisnya, Adam namanya. Adapun grupnya Adam ini, memang masih muda-muda. Semangatnya perlu dipuji, apalagi mencoba memainkan jazz. Dan lagi-lagi jazz menurut interpretasi mereka.
Dan penilaian saya adalah, karena masih muda ada baiknya untuk terus tekun dan rajin-rajinlah belajar ya. Semoga apa yang dicita-citakan, diinginkan kalian bersama, akan dapat tercapai di hari depan nanti.
Berpindah ke grup yang ketiga. Ini The Rangers. Nah ini juga dari Solo. Gini ya, Solo City Jazz tak pernah tidak, selalu pada saban tahun memberi kesempatan potensi-potensi lokal Solo untuk tampil. Untuk berani ke depan dong.
Kesempatan selalu ada. Tapi eits jangan manja dong. Kesempatan harus direbut. Jangan hanya tunggu untuk diajak atau diundang. Harus ada usaha, biar menunjukkan keseriusan. Melamarlah baik-baik dan yakinkan kami, bahwa grup anda itu memang layak tampil di Solo City Jazz. Datangi dong, proaktif ya.
The Rangers terkesan lebih hidup. Apalagi dengan barisan tiupnya. Tambah menarik dengan vokalisnya, Elizabeth Sudira. Eliza, sang vokalis cantik itu telah kami kenal dekat. Ia sempat pula beberapa kali menjadi MC untuk Solo City Jazz. Kali ini, ia tampil sebagai penyanyi utama.
Mereka juga terkesan serius untuk tampil. Sampai menyiapkan sebuah single terbaru, yang mreka mainkan atau perdengarkan pertama kali, ya di Solo City Jazz kemarin itu. Kalau untuk The Rangers, saya beri penilaian bahwa rajinlah berdoa, semoga jalan menuju kesuksesan akan terbentang luas dan lapang dan mulus!




Itu peniliaan atau pesan sih? Penilaian berbau pesan, tepatnya begitu. Karena masak menilai itu harus strictly ke bagus atau jelek, baik ataupun kurang baik? Saya lebih memilih, menilai sekaligus memberi motivasi. Karena biar bagaimanapun, mereka sudah berani tampil kan? Maksudnya dari ketiga performers di atas itu. Lanjutkan sajalah...
Berlanjut ke kelompok bernama Soloensis. Nah mereka kelihatannya memang bukan “grup jazz”. Gimana ya, ga jazz tetapi mereka toh mencoba untuk “tidak terlalu jauh dari jazz”. Menyesuaikan dengan acara ya? Tapi gimana hasil akhirnya?
Soloensis lebih enerjik, lebih keras, semangat tebal betul. Untuk di sisi itu, kita harus berikan acungan jempol dan apresiasi positif. Sembari tak lupa memberi penilaian, lebih aktif untuk merebut kesempatan tampil dimana-mana.




Soloensis berkolaborasi dengan seorang figur seniman, namanya Steven Farid. Ia penyanyi, musisi juga semacam perupa seorang designer grais. Kabarnya ia telah lumayan dikenal di scene musik dan pergerakan seni independen, di kota Yogyakarta.
Bersyukur ia punya waktu, untuk ikut meramaikan Solo City Jazz. Dan cukup sukses, ternyata Steven Farid punya fans tersendiri. Mereka datang dan mendukung banget penampilan idolanya. Datang langsung bergerombil memenuhi areal depan stage.
Ikut bernyanyi dan bergoyang bersama idolanya itu. Dan saat Steven Farid selesai showtime-nya, merekapun kompak serta merta dengan tertib berdiri dan pergi. Kayaknya sih langsung pada pulang deh ke rumahnya....
Tapi sebelum Soloensis dan Steven Farid, tampil lebih dulu seorang solo-performer. Jubing Kristianto, dengan gitar akustiknya. Orangnya ramah, dan memang seramah musiknya. Musik dengan solo gitarnya itu terkesan ramah dan supel. Menghampiri dan membelai kuping semua orang.
Jubing seperti “diselipkan”. Ia dan musiknya menjadi semacam air penyejuk dahaga, melemaskan otot-otot. Santai, rest and relax. Menghibur siapapun. Penonton yang diperkirakan sekitar sedikit lebih dari seribuan orang, menikmati permainan gitar apik dari Jubing. Dan penilaian untk Jubing?
Masya Allah, masak seorang Jubir masih harus saya berikan penilaian? Ya ga lah. Jam terbangnya ekstra tinggi. Ia telah sukses tampil di pelbagai acara, termasuk diantaranya festival demi festival. Juga termasuk lumayan sukses dalam penjualan albumnya. Saya memberi atensi dan respek optimal untuk kesediaannya tampil memeriahkan Solo City Jazz!


Setelah Jubing “ramah” Kristianto, lalu Soloensis dengan Steven Farid. Sampailah kita di penghujung acara. Kamipun menampilkan terlibih dahulu grupjazz lokal Solo, Pelipe. Ini berasal kata Pinggi Kali Pepe. Tapi itu tempat mereka bersilaturahmi jazz di awal. Sekarang mereka sudah pindah ke Pasar Gede lantai 2.
Ada dua musisi senior yang memimpin mereka. Kibor atau pianis Sukat Pusponingrat. Serta gitarisnya, Bambang Sutopo. Mereka memimpin para musisi muda Solo, selain seorang ekspatriat sebagai saxophonist.
Dan kemudian mereka mendampingi penampilan dua bintang utama Solo City Jazz 2018 ini yaitu the living-legend, Ermy Kullit dan Margie Segers. Kami bertiga sebagai penyelenggara, bangga banget dan sukacita ketika kedua legenda musik jazz Indonesia tersebut, akhirnya bisa kami datangkan juga ke acara kami.
Respek dan apresiasi setinggi-tingginya tentu saja untuk kedua mevrouw, yang masih sehat-sehat, cantik, semangat. Dan so pasti do e, suaranya masih....ya ampuuuun bikin “meleleh”! Asli, keduanya masih prima dalam suara dan penampilannya.
Asal tahu saja, aneh tapi nyata, memang keduanya kami sengaja berusaha untuk bisa mendatangkannya ke Solo City Jazz. Dikarenakan, keduanya itu banyak disebut penonton untuk menjadi special-request. Wah, keren ga tuh Solo? Penontonnya Solo City Jazz mintanya...legenda-legenda jazz lho!
Ketika mereka berdua bersedia, dan akhirnya memang datang ke Solo, kami tak habis-habisnya bersyukur. Kehadiran mereka sungguh berarti dan memberikan semacam suntikan motivasi bagi kami sebagai penyelenggara. Eh ini beneran lho. Kami jadi bersemangat membuat Solo City Jazz ke sembilan kali ini tetap unik dan menarik.
Walau festival kami saat ini relatif kecil, masih juga ga mudah menarik perhatian sponsor-sponsor. Tapi kami harus tetap bergulir dan tetap ngejazz dong. Beruntunglah, kami toh akhirnya bisa didukung sahabat-sahabat saya, teman-teman baik kami yang bernama besar juga. Ya Jubing Kristianto, Ermy Kullit dan Margie Segers itu. Senengnya bukan kepalanglah.....



Dan usailah malam pertama Solo City Jazz. Harus segera istirahat. Karena hari kedua dimulai pagi hari! Pagi banget lho, jam 06.30 kami harus sudah tiba di stasiun kereta api Pulosari untuk menaiki Kereta Uap Jaladara. Kamipun pagi hari bergegas ke stasiun, dan tiba pas 06.40. Terlambar 10-an menit. Dan....kereta sudah berangkat!
Kereta jalan tetap on schedule. Walau kami panitya belum ada yang hadir, bahkan ketiga talent utama kami yang akan tampil di atas kereta juga bersama-sama kami, terlambat juga! Seru kan?
Eh yang lebih seru sih gini. Detil konsep acara di hari kedua dengan tempat di dalam kereta uap. Lalu dengan dua stop, yaitu di Sriwedari dan di Ngarsopuro, sebenarnya baru ada di catatan rundown saja. Itupun, memang dibikin sebagai panduan untuk melihat jam atau waktu. Detilnya asli lho, belum ada.
Saya masih belum punya bayangan apapun. Kan saya sudah bilang di atas tuh, saya belum pernah naik kereta tersebut. Dan sayapun belum pernah melihatnya langsung sama sekali. Wiets, blank dong ye? Yoih.
Ini gimana ya, Jubing plus Ermy dan Margie, bagaimana mereka tampil? Dan keputusan terakhir pun akhirnya saya buat di menit-menit terakhir, persis sebelum kami menuju stasiun. Artinya, selepas sarapan, menantikan kendaraan yang akan mengantarkan kami.


Saya meminta ketiga tamu spesial Solo City Jazz itu untuk kumpul bersama saya. Saya lontarkan ide. Dasarnya adalah spontanitas saja. Lalu memang memohon ketiganya bisa berkolaborasi dadakan, asli spontan. Soal lagu, sempat diomongin satu-dua lagu, tetapi kemudian saya meminta mereka nanti lihat sikon saja ya.
Termasuk berapa lagu yang mereka harus mainkan. Karena kami semua masih belum tahu, apakah bunyi lokomotif uap itu memang keras sehingga kami sulit kalau bermain musik di dalam gerbongnya? Apalagi, mustahil kalau di dalam gerbongnya ditempatkan pengeras suara, seminimal apapun.
Jadi main spontan dan langsung, tanpa pengeras suara atau sound-system. Lha bagaimana tuh? Ya sudah, bagaimana nanti sajalah ya. Syukurlah, ketiga tamu khusus itu setuju dan hepi-hepi saja.
Ada juga cerita seru, ini ga kalah serunya sih. Karena kami ketinggalan kereta, lalu rencana jadi batal? Oh ga dong. Jangan batal, lha itu keunikannya kok. Segera diputuskan oleh Wenny Purwanti, kita kejar saja kereta itu. Dan pihak kepala stasiun mengatakan, kereta akan berhenti di satu titik menantikan kami.
Maka kamipun bergegas cepat, sambil berlari kecil. Lalu mikir juga, masak kami berlari, mana kekejar? Jadi, setelah lari beberapa saat, kamipun memanggil becak! Dari lari, naik becak untuk ..... naik kereta! Suasana saat itu, pas Car Free Day, jadi lumayan ramai. Asyiklah pokoknya.


It was really fun for us. Really really! Hahaha. Kereta kekejar dong. Akhirnya naik kereta, dan kereta segera berjalan menuju perhentian pertama, “stasiun” Sriwedari. Jubing, Ermy dan Margie kami tempatkan di bagian depan, di dalam gerbing nomer satu. Ada tersedia 2 gerbong saja. Sayapun meminta mereka main.
Ternyata bisa, suara tiupan uap dari lokomotif tak terlalu mengganggu di dalam gerbong. Merekapun memainkan dan menyanyikan lagu. Dari ‘Naik Kereta Api’ misalnya. Bahkan sampai....’Route 66’. Beberapa lagupun dimainkan.
Sampai di Sriwedari, ada kejadian ga asyik! Sound-system untuk mini stage yang direncanakan dtempatkan di areal gerbang Taman Sriwedari ternyata terlambatr datang. Alhasil, terpaksa batallah mendirikan panggung minimalis di titik perhentian pertama itu. Apa boleh buat, harus segera diambil solusi untuk mengatasi hal itu.
Teman-teman wartawan, yang memang menumpang kereta tersebut juga, diwakili sahabat kami Sadrah Deep mengusulkan ketiganya main di pintu gerbong sajalah. Saya setuju, saya langsung komunikasikan dengan ketiganya. Mereka bertiga bersedia tampil, lagi-lagi spontan dan mendadak, tanpa sound system juga dong.
Penonton banyak datang, ya kan pas CFD itu? Lancarlah penampilan yang hanya sekitar 15 menitan itu. Seusai itu, kereta berangkat lagi. Menuju Ngarsopuro. Kali ini, sound systemnya sudah siap. Dan sudah ada kelompok musik Kemlaka, yang perkusi itu, yang membuka acara.
Kemlaka tengah tampil, kereta kami datang. Lalu Jubing Kristianto, Ermy Kullit serta Margie Segers pun turun dari kereta. Mereka tampil  di panggung minimalis itu. Pertama hanya bertiga saja. Kemudian diusulkan bagaimana kalau ada kolaborasi dengan Kemlaka, saya menyetujui. Jadilah, kolaborasi dadakan, tanpa latihan dan seketika itu saja terjadi!


Pentas di Ngarsopuro lebih dari 20 menit. Setelah itu, kami pun naik kereta lagi menuju stasiun Solo Kota. Di situ, kereta harus berhenti karena mengisi air. Masinis bilang, kereta ini harus minum. Kesempatan itu dipakai teman-teman wartawan untuk melakukan photosession ketiga artis penyanyi dan musisi tersebut.
Setelah selesai, kereta kemudian kembali ke Pulosari. Kami ikut lagi di dalamnya, dan hanya untuk bersenda gurau dan bersantai. Akhirnya, acarapun selesai dengan relatif lancar.
Ya begitulah, kami memang bersyukur betul bahwa untuk hari kedua tersebut, dapat terlaksana karena memang dukungan penuh dari Jubing Kristianto, Ermy Kullit dan Margie Segers. Mereka bertiga bersedia tampil “apa adanya”, dengan sukacita dan santai sampai selesai.
Akhirnya kan, kesampaian juga me”manggung”kan jazz di dalam gerbong kereta uap kuno, salah satu heritage kota Solo juga adanya. Alhamdulillah. Tidur malam yang sangat terbatas waktunya, terbayarlah dengan kelancaran acara itu.
Dengan bersukacita, kami lantas sebagian memilih kembali ke hotel saja. Maklumilah, jam tidur kan tekor. Kami berhasrat membayar “hutang” tidur tersebut. Hehehehe. Itu jauh lebih bijaksana, daripada kami berjalan-jalan keliling Solo kayaknya, di waktu itu.
Begitulah romantikanya Solo City Jazz ke sembilan. Penuh “siasat”, yang kudu sekreatif mungkin demi tetap dapat berlangsungnya acara. Yang berarti menjaga kontinuitas Solo City Jazz sebagai kalender tahunan kota Solo.
Sampai jumpa di Solo City Jazz ke sepuluh di 2019 mendatang. Semoga saja kami mendapatkan suntikan enerji dan motivasi berlebih untuk tetap dapat bersemangat menyelenggarakannya. Sambil tentu saja berharap, akan dapat terjalinnya lagi kerjasama yang mudah-mudahan semakin lebih baik, dengan pihak Pemerintah Kota Solo. /*











No comments: