Setahu
saya, ga begitu banyak, grup musik yang merilis album live berupa video. Salah satu dari jumlah yang tak banyak itu
adalah, MONTECRISTO. Tapi memang
biasanya, grup-grup outside-mainstream, lebih berani dan lebih semangat
berkreasi.
Jelaslah,
itu point positif, bahwa ada
ketersediaan rekaman live format dvd yang bisa dinikmati masyarakat.
Walau diproduksi dalam jumlah terbatas. Kan jadi ada alternatif lain dalam
menikmati musik.
Tapi
memang membuat rekaman video itu, memerlukan persiapan konsep yang teencana dan
dipersiapkan dengan matang dan sebaik-baiknya. Soal konsep dan persiapan matang
itu, tentu saja penting, demi menghasilkan karya hasil rekaman gambar, tentu
diikusi audio, yang baik. Artinya, nyaman dan enak dintonton dan dinikmati.
Nah
terus terang, dalam hal ini MONTECRISTO mempunyai kekurangan. So, konsep
menyodorkan rekaman video dalam dvd sudah bagus banget, namun implementasinya
dalam menghasilkan rekaman yang baik, itu titik persoalan.
Dikarenakan
ternyata, konser Once Upon a Time with
MONTECRISTO yang pernah digelar di sebuah clubs di kawasan Kuningan, beberapa waktu lalu, mempunyai
kelemahan. Masalahnya, persoalan yang timbul itu ternyata terkesan agak diluar
dugaan, di luar keinginan dari teman-teman MONTECRISTO.
Jadi
rupanya, konser itu digelar sekaligus direkam secara proper, untuk nantinya dapat diedarkan sebagai rekaman video live
mereka. Saat konser tersebut, dimana saya menonton juga, saya sudah langsung
berkomentar bahwa sayangnya lighting tak memadai dan sound kurang maksimal. So,
ketika lantas ternyata konser itu direkam untuk album live dvd, jelaslah saya
kaget!
Beraninya
mereka, menurut saya lho. Visualisasi dan audio untuk penonton saat itu kan
terbilang, ya sebut saja ekstrimhya sih gagal. Lalu, direkam dan dishooting. Bagaimana hasil akhirnya?
Well,
jadi saya tak terlalu kaget melihat hasil akhirya. Terasa ada upaya untuk
melakukan editing maksimal, demi menolong gambar yang ditampilkan dalam video.
Tapi asli, itu susah payah pastinya.
Karena
memang saat konser kan seperti saya bilang di atas, dan sudah saya tulis juga
di artikel liputan konser tersebut, lighting
terutama ya, “harusnya bisa digarap dengan lebih baik”. Sound juga sebaiknya lebih matang dipersiapkan.
MONTECRISTO
membuat acara khusus, semacam presentasi atas video live mereka, yang berjudul
sama dengan konsernya tersebut. Acara diadakan pada Jumat malam, 3 November
silam, di Queenshead, Kemang Raya.
Beberapa
rekan jurnalis musik diundang, termasuk saya. Selain itu hadir pula,
teman-teman dekat dari MONTECRISTO lainnya. Di malam itulah, diputarkan
perdana, video tersebut. Selain berkesempatan menyaksikan sebagian video live
mereka itu, juga diadakan sesi diskusi musik, terutama menyoal progressive rock
di Indonesia di masa milenial sekarang.
Yang
menarik buat saya, memang bukan hasil akhir videonya itu. Tetapi justru lebih
seru soal diskusi musiknya. Bagaimana MONTECRISTO mencoba dapat eksis di pasar
musik, dengan musik mereka yang kental betul aroma prog-rocknya tersebut.
Mereka menceritakan perjuangan mereka, siasat mereka dalam berpromosi.
Sampai
bagaimana hasil rekaman mereka, dalam hal ini adalah album berformat compact discnya, ternyata banyak dipesan
penggemar musik dari Eropa, Amerika Utara sampai Amerika Selatan.
Bagaimana
mungkin mereka dapat dikenal publik musik luar negeri, padahal mereka toh
berjuang sendiri dalam melakukan penjualan albumnya.Dengan melalui jalur
distribusi label lokal saja. Itu yang mengejutkan seorang Iwan Hasan, tokoh utama progrock Indonesia, melalui grupnya yang
memang sudah berkelas internasional, Discus.
Nah
mengenai bagaimana mereka meningkatkan eksistensinya di tanah airnya sendiri.
Semisal mendorong naiknya secara signifikan, penjualan albumnya. Selain juga
memperoleh kesempatan manggung, agar dapat terus aktif bergerak. Itu juga
menjadi diskusi yang tak kalah menarik.
MONTECRISTO
menyetujui dan menyambut hangat akan usul Kadri
Mohamad, yang sukses memproduksi album format boxset, Indonesia
Maharddhika, selain juga album kelompoknya sendiri,The KadriJimmo. Dalam hal merebut kesempatan manggung, agar lebih
dikenal luas, tentunya.
Kuncinya,
merapatkan komunitas. Membentuknya lalu memeliharanya dengan baik. Di titik
ini, saya bisa setuju da tidak. Karena saya sejak dulu senantiasa berpikir,
adalah baik ada ‘sekelompok” orang yang bisa dikumpulkan dan menjadi fans
setia.
Tapi
kalau hanya sejumlah orang itu saja yang membuat kita puas, rasanya perjalanan
musik kita akan menjadi sangat terbatas. Dan hanya di situ-situ saja. Sementara
itu, dalam jumlah yang relatif “sangat” terbatas itupun, harus dipertanyakan
juga dong, sejauh mana loyalitas mereka?
Yang
sederhana saja deh ya. Gini, pastikah mereka beli semua CD ataupun produk
rekaman yang kita hasilkan? Akankah mereka selalu, kan soal loyalitas nih,
menonton setiap konser kita. Baik show berbayar ataupun gretongan?
Karena
kebiasaannya, fans fanatik itu ada yang bisa militan untuk selalu rajin membeli
semua rekaman dan menonton show. Tapi ada juga sebagian yang ga terlalu rajin
nonton, dengan segala alasannya, juga ga selalu beli CD ataupun album kita,
tetapi sangat kritis dan sangat tajam kalau melemparkan kritik.
Salah
dikit, atau bermusik “beda” aja sedikit, maksudnya terlihat atau terdengar
beda, akan jadi masalah tuh. Nah itu bisa dikritik keras. Bahkan dikecam. Dibikin
goyahlah kita, tak tenang tidur kita. Padahal jumlah mereka tak “seberapa”.
Dan, kalaupun terjadi pergeseran “sedikit”, itupun demi bisa meluaskan cakupan
penggemar, bukan?
Mana
mungkin capek-capek rekaman bikin album, lalu kita puas dibeli hanya oleh
300-400 orang misalnya? Itu jumlah dari kalangan komunitas yang kita anggap
fans fanatik. Padahal kita saja mencetak CD misalnya, sebanyak ya sebut deh
berapa, 1000 keping misalnya? Lantas yang tersisa, 600-an CD gimana? Disimpan
dalam kamar? Jadi pajangan rak di ruang tamu masing masing personil?
Itu
yang selalu saja saya tak bosen-bosennya ingatkan pada banyak musisi ataupun
penyanyi ataupun juga grup band dari kalangan indie, jangan berhenti hanya
karena “sukses” dipuja-puji kalangan tertentu. Harus lebar dan luas penggemarnya,
yang harus dipahami sebagai pendengar dan penikmat musik kalian!
Iya
dong, artinya kreasi musik kalian kan punya prospek untuk terus berlanjut.
Suksesnya real gitu. Bukan sukses
semu. Terjamin, bahwa kalian mampu menjual produk musik kalian dengan “baik dan
benar”. Yang menjamin keberlangsungan kreatifitas bermusiknya di kemudian hari.
Basic
penggemar, atawa komunitas tertentu, boleh dong. Ada bagusnya, itu pasti.
Tetapi jangan jadi patokan utama. Biar bagaimanapun, haruslah mampu meluaskan
penggemarnya. Jangan lantas diam karena kepentok stigma, ya musik beginian kan segmented, pendengar dan penggemarnya
memang terbatas sih di sini.
Gini
bro and sis, music today di sini ini, ga ada trend! Artinya, sangat terbuka
segala jenis musik lainnya, ikut sukses. Ada yang akan mendengar, menyimak dan
menyukainya. Terbukti kok, musik yang mungkin sebelumnya dianggap, “aneh”
bahkan dituding “terbatas pasar”nya, ternyata lumayan sukses.
Suksesnya
ok deh, bukan booming. Tapi paling
tidak kan, bikin dulu 1000 CD eh habis. Naik ke 2000, juga habis ternyata lho.
Tambah produksi ulang lagi, jual 3000-4000 CD lho habis juga.
Kemudian
jualan digital contentnya via etalase
situs-situs streaming, ternyata bisa meraih pendengar yang sebut misal
melampaui angka 3000-4000an misal. Bagus dong? Ya bagus. Beberapa grup-grup
muda masa kini, dengan musiknya yang relatif “ga mudah” sebenarnya, ternyata
lumayan jalan jualannya. CD-nya banyak yang beli diikuti, permintaan panggung
yang relatif terus bertambah saban bulannya.
Iya
situasi dan kondisi saat ini, musik jaman
Now itu begitu saat ini. Kuncinya buat saya, bergaullah. Sering bergaul
kesana kemari. Muncul di pelbagai kesempatan acara, di macam-macam komunitas. Pede aja dong. Kalau kulonuwun-nya bersahabat, “relasi” jadi
terbuka kemana-mana. Bisa tampil dimana-mana, dan itu kan artinya mendapat
tambahan penggemar?
Memang
begitulah adanya, penggemar musik jaman Now itu, terkesan tak lagi menganggap musik
segmented atau tidak. Ga ada lagi sebenarnya jenis musik tertentu yang
dianggap, “pasarnya sempit”. Pasar itu bisa dibentuk, dengan kreatifitas,
dengan semangat dan kejelian. Eh kejelian apaan? Kejelian menerobos pasar yang
ada, menggoyang pasar yang ada, untuk mau menerima musik yang kita mainkan.
Well,
MONTECRISTO nan gagah itu, dengan teman-teman baik saya para musisinya yang
ganteng-ganteng dan ciamik bermusiknya itu, asli dong juga mempunyai potensi
sama. Peluang untuk merebut perhatian dari pasar. Meluaskan wilayah
penggemarnya kan?
Apalagi,
mereka sudah dengan beraninya menghasilkan karya rekaman video. Setapak lebih
maju lho. Memberi tawaran bagi penggemarnya, juga penggemar musik lebih luas,
untuk bisa mendapat alternatif bentuk lain untuk menikmati musik mereka.
Ya
tinggal, teman-teman MONTECRISTO yang melanjutkan apa yang telah mereka
hasilkan, untuk lantas menjadi “peluru-peluru” yang efektif dalam “menembakkan”
pasar musik. Mungkin ini bisa diartikan, konsep-konsep promosi yang tepat dan
efektif yang diperlukan,untuk bisa memakai bahan-bahan yang telah dihasilkan
tersebut, sehingga berdaya guna tinggi.
Dalam
album DVD konsernya tersebut, MONTECRISTO menyuguhkan 9 lagu. Materi lagu
semuanya dari 2 album yang telah mereka rilis, Celebration of Birth (2010) dan A Deep Sleep (2016).
Antara
lain ada lagu pembuka, ‘Celebration of Birth’. Disusul kemudian,’Rendezvouz’, ‘Crash’,
ini lagu yang saya sukai juga dan sukses membuat saya menyimak tayangan
videonya kemarin itu.
Ada
juga lagu, ‘A Blessing or A Curse?’, ‘A Romance of Serendipity’, berlanjut
dengan ‘Ballerina’. Lantas ‘Mother Land’ dan, nah ini juga lagu yang tayangan
videonya lumayan memukau saya, eh juga mungkin karena sinopsis dari isi
liriknya, ‘Ancestral Land’.
Album
DVD tersebut kemudian ditutup oleh lagu, A Deep Sleep’, sebuah lagu yang musik
mendukung akan liriknya yang “dalam”, seperti menggiring pendengarnya untuk
berkontemplasi. Saya sudah pernah menulisnya kok soal lagu dan albumnya ini
sebelumnya. Ini lagu yang punya “nyawa” tersediri, enerjinya tuh beda.
Jadi
dalam acara kemarin di Kemang itu, mereka menampilkan beberapa materi isi dalam
video mereka tersebut, dimana lantas DVD nya dibagi-bagikan kepada yang hadir.
Ditambah ada 2 materi lagu, yang diambil dari album DVD mereka sebelumnya, Live
at Bentara Budaya Jakarta, yang dirilis
tahun 2012.
Dalam
tayangan video album DVD sebelumnya itu, ada 2 lagu dimana MONTECRISTO
berkolaborasi dengan Yockie Suryoprayogo.
Di salah satunya, juga ada peran Sa Unine string ensemble, yang dipimpin
langsung oleh Oni Krisnerwinto, sang
“concert-master cum dirigen” kawakan tersebut.
Secara
khusus pada acara itu juga dikirimkan oleh doa untuk kesembuhan maestro musik
Indonesia itu, Yockie Suryoprayogo, yang pada waktu itu tengah bergumul dengan
penyakitnya dan dalam kondisi kritis dirawat di sebuah rumah sakit di kawasan
Bintaro.
Secara
khusus juga saya pay more attention
pada penampilan Yockie pada kedua video itu, dan memang seperti menokohkan
sosok Yockie sebagai salah satu tokoh musik yang banyak memberi inspirasi, bagi
para musisi Indonesia saat ini. Sambil menonton, saya akui dalam hati saya,
well mas Yockie memang one of the
greatest, dan susah juga untuk dicari sosok lain yang sama dengannya di
waktu-waktu sekarang.
Akhirul
kata, tiada lain tiada bukan, saya wajib mengucapkan selamat kepada kesemua
MONTECRISTO yaitu Rustam “Keith” Effendy (gitar), Haposan
Pangaribuan (bass), Keda Panjaitan
(drums), Fadhil Indra (kibor dan
vokal latar), Alvin Anggakusuma
(gitar dan vokal latar) dan tentu saja, Eric
Martoyo (vokalis dan penulis lirik).
Selamat
meneruskan perjuangannya, brothers!
Musik kalian memang beda, mau dibilang berat yaaaa berat, tidak berat ya
sebenarnya tidaklah terlalu berat. Berat atau “ringan” kan lantas jadi relatif,
kalau di musik? Progressive rock banget, ya so pastinyalah.
Well
seperti catatan saya di atas, sebagai sebentuk “nasehat”. Semuanya pada
akhirnya tergantung, konsep, kreatifitas en
jangan lupa semangat. Pasar di masa sekarang, terbuka kok untuk MONTECRISTO
berbicara lebih banyak, untuk bersuara lebih nyaring. Harusnya sih begitu,
sobat. Tabik! /*
No comments:
Post a Comment