Diundang
menonton. Datang sukacita, senang karena bisa menjumpai lagi “the wonder kid”,
eh ok he’s no longer kid anymore...
Menontonnya, menikmatinya. Lalu selesai konser, pulang dan kurang bisa
tidur dengan nyenyak. Ah, masih kangen untuk lebih lama mengagumi kedewasaan si
pianis remaja itu.
Pada
tatanan bahasa gaul Kids jaman Now,
disebut “kentang”. Kena sih tapi tanggung euy.
Puas-puas ga gitu. Ada yang masih terasa, aduh harusnya sih bisa lebih
terpuaskanlah. Tapi jangan diartikan, kecewa.
Kecewa
kan ada juga levelnya, seperti
restoran atau warung-warung sekarang, soal tingkat kepedesan cabe itu ada
levelnya. Kira-kira kecewa, tapi bukan yang level tinggi. Ada sedikit
kecewanya.
But overall,
yang penting buat saya adalah alhamdulillah memperoleh kesempatan menyaksikan
kembali dia. Dulu kenal dan terkagum-kagum, lihat beberapa kali, kenal cukup
dekat juga dengan kedua orang tuanya. Waktu itu ia belum lagi 10 tahun usianya.
Ini anak makannya apa, tidurnya berapa lama, nontonnya apa kalau di rumahnya,
di sekolahnya suka pelajaran apaan sih, seneng olahraga ga sih?
Ya
pertanyaan-pertanyaan usil yang berkembang kemana-mana, lantaran melihat
kemampuannya dalam bermain piano. Dari dulu saja, terasa betul ia menapak jauh
lebih cepat menjadi dewasa dari usianya sesungguhnya saat itu. Tentunya ini
soal permainan pianonya ya.
Nah,
apalagi sekarang! Apa sih yang “berubah”, tentu saja harapan saya pada konteks
positif. Maklum, setelah ia dan orang tuanya memutuskan “hijrah” ke USA,
setelah itu hanya bisa menyaksikan, mendengarkan dan mengagumi permainannya
semata-mata lewat internet!
Dan
12 November, Minggu malam itulah akhirnya kesempatan bersua dengannya
terjadilah. Ttitle konsernya kali ini menarik, A Night with a Million Imaginations. Yang mendatangkannya, pihak
yang sama yang mendatangkannya ke Jakarta di tahun 2016 silam, pihak iCanStudioLive.
Konsernya
tahun ini digelar di kawasan Tangerang Selatan, di ICE, dalam areal perumahan
Bumi Serpong Damai. Sebelum konser utama, yang menampilkannya bersama trionya,
penonton disuguhi penampilan tiga kelompok jazz muda, yang bermain di sebuah stage kecil di ruang dalam, sebelum main-hall.
Sebelum
ia tampil, saya sudah mencoba mencari tahu dulu. Ya informasi singkat saja.
Paling tidak, siapa yang akan menemaninya saat nanti itu. Adalah Dan
Chmilienski, sebagai bassis. Lalu drummernya, Ulyess Owens Jr. Itu adalah
trionya. Sebuah trio yang menjanjikan. Semua musisi muda!
Lihat
saja, Dan Chmilienski.. Kelahiran 28
Desember 1993, mendukungnya sejak album keduanya, Countdown. Ia juga mendukung saxophonist cantik Adison Evans, dalam
albumnya, Hero, dirilis 2016.
Adison, adalah sesama lulusan Julliard School of Music dengan Dan, Saxophonis
itu kerapkali mendukung penampilan Jay z, Demi Lovato dan Beyonce.
Sementara
drummer, Ulysess Owens Jr, kelahiran
6 Desember 1982. Ia tampil mendukung bassis Christian Mc Bride dengan format bigband, dalam albumnya yang meraih Grammy Awards tahun 2011, The
Good Feeling. Ia juga mendukung album dari penyanyi Kurt Eling, Dedicated to You,
yang juga merah Grammy Awards di 2009.
Tahun
kemarin Joey tampil di JIExpo Kemayoran, 22 Mei 2016. Ia waktu itu didukung
juga oleh bassis Dan Chmilienski dan drummernya, Jeff “Tain” Watts. So, ada sedikit perubahan pada
susunan formasi trionya.
Josiah Alexander Sila,
dan kini lebih populer dengan nama Joey
Alexander. Ketemu kemarin memang ia terlihat lebih “langsing”, tetapi
tubuhnya menjadi lebih tinggi. Ia sudah remaja saat ini. Remaja muda, jenius
tetapi memilih lebih suka disebut saja sebagai musisi, bukan prodigy (= anak ajaib).
Memang
keinginan menyaksikan lagi dari dekat, secara langsung, Joey remaja beraksi,
itu sudah bergejolak luar biasa. Kepengen tahu aslinya, bagaimana perkembangan
musikalitas Joey. Bukan karena “meragukan”nya!
Bukan
itu lho. Tetapi lebih pada, saya pengen memiliki juga pengalaman secara live dapat terpesona, mengagumi dan
mungkin hingga terkagum-kagum dengan permainan pianonya. Juga atas karya
lagunya yang dibawakannya sendiri.
Sebagai
orang Indonesia, masak saya tak berbangga hati karena bisa muncul seorang
anak-anak, pada awalnya, kini sudah remaja yang lantas ternyata mampu berbicara
di pentas musik dunia. Apalagi memainkan jazz! Eits, walaupun soal jazz, ini
ada plusnya dan ada minusnya.
Ok
soal plusnya, Joey adalah pianis jazz yang sukses mengguncang publik atau dunia
“industri” jazz, terutama di tanah kelahiran musik jazz sendiri,di Amerika
Serikat itu. Orang Indonesia lho, membuat terkagum-kagum publik Amrik!
Minusnya, ini ga enaknya sih, karena jazz adalah segmented. Apalagi untuk di
Indonesia, tanah kelahirannya Joey.
Sedari
tahun lalu, saat Joey akan melakukan pentasnya di Kemayoran itu, bersama pihak
penyelenggara pernah saya utarakan agak ragunya saya.Shownya Joey, karena itu
jazz, tetap harus hati-hati mengemasnya. Mengemas itu kan ujung-ujungnya
adalah...penjualan tiket!
Padahal
apa coba kurangnya, sebelum konser Joey tampil di ajang paling bergengsi
industri musik dunia, Grammy Awards. Iapun menjadi nominator. Menjadi nominator
Grammy lho, siapa artis atau grup band yang tak bermimpi sampai segitu. Hanya
bisa mimpi!
Biarpun
ada yang sudah mencoba berjuang untuk susah payah menembus keramaian musik USA.
Baru sampai, bisa rekaman dan merilisnya. Dan belum berhasil masuk kategori
nominator Grammy. Joey bisa. Bahkan sampai tampil juga.
Musisi
Indonesia, ya sebut saja yang jazz juga, ada yang sudah nyaris tampil di
setengah dunia ini. Rajin keliling ke mancanegara, tampil di puluhan negara.
Tapi tetap, untuk tampil di Grammy, belum bisa. Bahkan untuk bisa membuat karya
lagu atau albumnya, masuk menjadi nominator sekalipun.
Joey
datang bisa dibilang sendiri, berjuang habis-habisan. Awalnya, tak ada sokongan
apapun dari pemerintah, misal lewat instansi kementrian terkait. Orang tuanya
berjuang, fight dengan berdoa saja.
Yakin dan percayalah. Well, itulah kenyataannya.
Nah
segala cerita-cerita “dramatis” di atas, kalau sudah menyenggol jazz ya, bisa “kurang
berarti”. Maka dari itu, saya juga sudah menulis dan berbicara selama ini,
festival jazz puluhan sampai sejauh ini tak lantas berarti orang Indonesia jadi
seperti sudah “melek” jazz.
Tak
berarti orang Indonesia sudah menyukai jazz banget. Bahkan kalaupun festival
jazz sampai seratusan jumlahnya di seluruh Nusantara, tak akan berarti apa-apa.
Malah jadi membingungkan. Lha, kok bisa? Walau toh kenyataan sudah membuktikan,
sejauh ini saja nyaris setengah dari festival yang ada itu, sebetulnya sudah
vakum. Cuma kuat bertahan dalam kurun waktu sangat terbatas, palingan juga 2 atau 3 kali
penyelenggaraannya saja. That’s it!
Apa
artinya, festival jazz di Indonesia akan mencapai 100 dalam 2 atau 3 tahun
mendatang, kalau di Jakarta saja orang tak begitu antusias menonton seorang
remaja nan fenomenal, Joey Alexander?
Eh
tapi, saya berandai-andai sih. Terpikir juga. Kalau saja, pada kesempatan
mendatang nanti, siapa tahu bisa tahun depan kan ya? Joey Alexander dibawalah
keliling, masuk menjadi headliner
terpenting beberapa festival jazz yang ada di Indonesia sini, di beberapa kota.
Bagaimana?
Mungkin
saja, akan mampu menarik antusiasme publik untuk datang menonton. Mungkin bisa
dipilih 3 atau 4 saja festival jazz, yang ketahuan sudah terbilang mapan,
terselenggara secara kontinyu dengan baik, sudah mampu mempunyai penggemar atau
penontonnya yang terhitung setia.
Bisa
saja kendala utama pada budget. Wajarlah kalau rate untuk performance-fee
Joey Alexander terhitung tinggi. Bahkan, tinggi banget. Joey itu asli bintang
jazz internasional saat ini. Ia itu menjadi headliner penting yang
ditunggu-tunggu, di banyak festival jazz terkemuka di Eropa dan Amerika lho.
Kendala
budget penyelenggara itu, ya dibantu dong sama pemerintah. Tentu melalui
instansi seperti kementrian yang berwenang untuk itu. Pasti ada dana kan untuk
itu? Kan ada dana untuk memberangkatkan atau membawa keliling kemana-mana
seorang musisi jazz Indonesia, selama beberapa tahun ini? Bisa jadi akan
terkesan aneh, kalau lantas tak bisa membawa keliling Joey dan grupnya, berkeliling
tanah airnya.
Joey
biar bagaimana adalah the phonomenon.
Ia sangat berpotensi untuk menjadi satu “contoh” konkrit yang real, untuk memberi inspirasi pada
anak-anak muda di tanah air. Bisa juga menginspirasi para orang tua, untuk
memberi support pada hal positif,
misalnya atas bakat ekstra sang anak? Artinya, dalam hal ini, bermusik itu
positif adanya. Bisa jadi kebanggaan keluarga, bahkan hingga bangsa dan negara.
So,
biar orang Indonesia, bukan mustahil kok bisa berbicara di pergaulan musik
dunia. Dan memang sanggup meraih kesuksesan yang sejati. Joey kan sudah
membuktikannya? Saya suka mendengar, beberapa teman belakangan ini bilang, ada
juga anak-anak seusia Joey yang sama berbakatnya.
Dianggap,
bakatnya itu tak kalah dari Joey. Bahkan ada juga yang menyebut, kalau
dilihat-lihat malah anak ini lebih dahsyat dari Joey, pada saat Joey di usia
semuda itu. Well, boleh saja. Ya mungkin saja benar. Tapi kan kesempatannya ya
yang belum terbuka?
Mungkin
kelak, Joey lah yang menjadi seperti pembuka jalan? Hari ini Joey dan kedua
orangtuanyalah, yang memperoleh anugerah indah dariNYA. Tentu saja terbuka, di
kemudian hari ada “Joey-Joey lain”. Kan bagusnya memang jangan hanya ada satu
orang Joey Alexander saja, di antara lebih dari 200-an juta penduduk Indonesia.
Kembali
kita ke konsernya Joey yang kemarin itu. Sebelum menyinggahi Jakarta, Joey
tampil di Jepang, 4 November. Lalu ke
Hongkong, 9 dan 10 November. Sebelumnya, ia menyinggahi Singapura di 7 November
2017.
Dan
kemudian tampil di Jakarta pada 11 dan 12 November 2017, di dua tempat dan
dengan audience yang berbeda. Malam
pertama Joey dan trionya tampil di kementrian pariwisata, dengan penontonnya
adalah para undangan yang terdiri dari para menteri dan dubes-dubes negara
tetangga dan negara sahabat. Malam kedua, barulah untuk publik.
Ia
dan trionya bermain di sebuah stage
lumayan besar yang berbentuk bulat dan diletakkan di tengah. Jadi tempat duduk
penonton melingkari areal panggung tersebut. Tata cahaya terbilang minimalis,
tapi cukup untuk menerangi penampilan di atas panggung.
Joey
membuka penampilannya dengan membawakan lagu, ‘My Favorite Things’, yang
diambil dari debut albumnya. Album yang lantas terpilih menjadi nominator Grammy
Awards kategori Best Instrumental Jazz
Album, My Favorite Things. Dan, Best Jazz Solo Improvisation atas lagu standard, ‘Giant Step’, karya John
Coltrane yang ada di dalam debut album
yang dirilis pada Mei 2015 tersebut.
Yang
perlu diingat baik-baik, Joey saat itu menjadi nominator termuda dalam
sepanjang sejarah penyelenggaraan Grammy Awards! Usianya kan baru 12 tahun
waktu itu. Dan ia baru setahun bermukim di sana, di New York,
Lewat
album keduanya Countdown, Joey juga
masuk lagi nominasi Grammy Awards, untuk kategori Best Solo Jazz Improvisation.
Dalam album itu, ia sudah didukung Ulysees Owens Jr, Dan Chmilienski. Selain
itu juga Larry Grenadier, bassis yang juga bermain dengan Brad Mehldau dan Pat
Metheny serta saxophonis Chris Potter, yang dikenal bermain dengan Dave Holland
dan Dave Douglas.
Pianis belia yang oleh
New York Times disebut sebagai, “child prodigy … the most talked-about one
that jazz has seen in a while.” melanjutkannya
dengan lagu bersuasana Bali yang berkesan riang. Nah baru 2 lagu nih, tapi
kekaguman saya terasa sudah melambung begitu tinggi. Terkesima.
Kemampuan
musikalitasnya betul-betul terasah dengan baik, salah satunya lantaran
pergaulannya dengan para musisi jazz di sana tentunya. Keputusan orang tuanya,
Denny Sila dan Farrah Leonora Urbach untuk memboyong sang putra tercinta ke “pusatnya
jazz”, adalah hal tepat! Joey berkembang sangat pesat.
Saya merasa ia jauh
lebih dewasa, sekaligus lebih cool
dan deep. Agak sulit saya lukiskan
dengan kata-kata. Kalau terlalu berindah-indah kata, malah jadi common sense lagi nanti. Tapi
kenyataannya begitu.
Ia dewasa, dalam hal
permainan. Makin matang. Tapi dalam pergaulan, ia tetap Joey yang saya kenal
sejak sekitar 5-6 tahun lalu, saat ia masih berusia sekitar 8-9 tahun. Akrab
dan hangat, menyambut setiap sapaan. Juga termasuk sapaan saya. Walau saya agak
ragu juga, apakah Joey masih mengenali saya, karena sekarang rambut saya pendek
banget! Hehehehe. Dulu kan Joey
tahunya saya gondrong, jack.
Ia masih melanjutkan
permainannya dengan lagu-lagu lain. Peran Chimmy, bassis. Serta juga Ulyess,
drummer, nampak mendukung dan kuat melatari permainan piano Joey. Tari-tarian
jarinya remaja yang kini berusia 14 tahun di atas tuts-tuts grand piano kelas premium berharga lebih
dari 2 M itu, memang melenakan.
Ia menyuguhkan
permainan yang ballad, lebih berasa
dalam gitu deh. Ia mampu menyuguhkan permainan lembut, halus. Tapi di lagu lain
ia bisa bergalak-galak, atau bermain agak liar. Sedikit mengingatkan kita akan
pola khas permainan Thelonoius Monk,
pianis legendaris itu.
Dan Monk, pianis
legendaris kelahiran 10 Oktober 1917 dan meninggal dunia pada 17 Februari 1982,
adalah salah satu inspirasi terpenting Joey. Ia mendengarkan karya dan
permainan Monk, sejak masa awal ia mulai mengenal piano, dan yang bisa dibilang
membuatnya menyukai jazz.
Sedikit belok lagi
deh ya, kita senggol soal seorang Thelonious Spehre Monk. Pianis unik ini
mempunyai identitas permainan piano yang berbeda, ditambah lagi ia termasuk
produktif sebagai penulis lagu. Sekitar 70-an karya lagunya, pada masa kini
menjadi lagu-lagu yang tergolong standard-jazz, yang dikenal oleh para pemusik
jazz di seluruh dunia.
Beberapa karya
apiknya yang unik antara lain adalah, ‘Blue Monk’, ‘Straight, No Chaser’, ‘In
Walked Bud, ‘Ruby My Dear’. Dan satu lagu yang terhitung “fenomenal”, ‘Round
Midnight’ (pernah ditulis juga sebagai ‘Round About Midnight’, setelah Miles
Davis membawakannya dan merekamnya dalam album bertitel sama).
Lagu yang pertama kali
direkam pada 1944 itu, lantas tercatat sebagai lagu standard jazz yang paling
banyak direkam dan dimainkan oleh para musisi dimana-mana. Bahkan hingga
sekarang. Menjadi salah satu lagu standard yang sangat disukai para musisi jazz.
Menurut Joey, Monk, he’s full of joy. sense of
humour, shows in his music that he’s funny. Bagaimana dia
memberikannya, ya memberikan begitu saja, itu yang memberi pengaruh pada
musiknya, pada permainannya. Begitu komentar Joey soal sang idola, pada sebuah
video.
Video
tersebut adalah teaser dalam rangka
memperkenalkan album terbarunya, yang adalah album ketiganya, Joey. Monk. Live. Album tersebut baru
saja dirilis, pada September 2017 silam.
Dan setelah
memainkan 5 lagu, diambil dari ketiga album yang telah dirilisnya. Eh 5 apa 6 lagu ya? Lalu Chimmy dan Ulyess turun
panggung. Naiklah bassis dan drummer pengganti. Barry Likumahuwa serta Taufan
Goenarso.
Selain itu Joey juga memanggil dua penyanyi sebagai
special guest star, Glenn Fredly dan
Isyana Sarasvati. Mengalunlah ‘Zamrud
Khatulistiwa’, yang kabarnya dipilih sendiri oleh Joey. Menarik saja, bagaimana
menikmati Joey memberi apresiasi dan melakukan interpretasi terhadap lagu yang
dipopulerkan oleh almarhum Chrisye itu.
Glenn menimpalinya
dengan baik, begitupun halnya dengan Isyana. Sayangnya eh ada iPad di latar depan panggung. Ternyata iPad
itu memuat lirik lagu yang “dicontek” oleh Isyana. Agak mengurangi keelokan
penampilan lagu tersebut sih.
Iya, buat saya kan
hanya 1 lagu itu saja. Apakah betul Isyana, tak bisa menghafalakn liriknya, dan
sangat memerlukan bantuan iPad? Kalau menyanyi sambil melihat teks, bukannya
mengganggu konsentrasi? Apakah Isyana grogi menyanyi dengan bintang remaja dengan
“kaliber” Grammy Awards?
Menariknya, kabarnya
jam session pada lagu tersebut betul-betul spontan dan seketika. Karena
harusnya Joey bermain dengan trionya bersama Glenn dan Isyana. Tapi entah
mengapa, Chimmy dan Ulyess ternyata tak jadi tampil memainkan itu. Aduh, bayangin saja kalau Isyana ternyata
diiringi asli oleh trionya Joey ya, bertambahkah groginya?
Iya mencolek sedikit
saja sih, toh demi kecantikan suara dan penampilannya juga adanya. Mohon maaf,
kalau saja tak harus ada iPad, Isyana pasti tambah cantik, baik suara juga
penampilannya secara keseluruhan...
Kemudian jam session
dilanjutkan lagi. Kali ini dipilih lagu ‘Freedom Jazz Dance’, satu nomer
standard Kali ini tetap dengan bassis,
Barry Likumahuwa. Namun drummer berganti dengan drummer muda, Dimas Pradipta. Sesi jammin’ masih berlanjut, kali ini hanya
bertiga saja, tanpa drummer. Lagu yang dipilih Joey untuk dimainkan adalah,
Black Bird’nya The Beatles.
Lagu ini dinyanyikan
oleh penyanyi muda nan jelita, Adinda
Shalahita. Barry Likumahuwa tetap ikut bermain. Kali ini Adinda juga
mungkin nervous, maka ia nyaris lebih
banyak lebih memandang menyamping, ke arah Joey bukan ke arah penonton.
Terutama penonton di arah depan panggung, dimana berkumpul penonton yang lebih
banyak.
Setelah itu, saya
berharap sesi jammin’ selesai. Dan konser segera memasuki final-session dimana akan ditutup oleh penampilan kembali Joey
bersama Chimmy dan Ulyess. Kalau perlu nanti akan ada encore segala. Ternyata, boro-boro
encore. Konser berakhir sampai di situ saja. Kelar sudah.
Buat saya, amazing tak ada sama sekali “protes”
penonton. Tak ada teriakan...”more..more.”. Penonton langsung dengan tertib
keluar meninggalkan gedung. Saya juga tak kuasa juga kalau lantas berinisiatif
berteriak sendirian.
Well ya sudahlah.
Segitu saja dulu untuk saat ini, “perjumpaan” saya kembali dengan Joey muda,
yang tambah mature as a jazz-pianist itu.
Akhir kata, Joey plis deh bisa balik
lagi. Konser lagi. Tentu dengan menyajikan lebih banyak lagi lagu.... /*
No comments:
Post a Comment