Ada
sebuah acara berbentuk semacam workshop jazz. Eh, apa diskusi jazz? Ya
kira-kira seperti itulah. Yang menjadi pembicara, tak tanggung-tanggung.
Lumayan banyak. Dan, alhamdulillah saya diajak menjadi salah satu pembicaranya.
Diskusi tersebut dipimpin moderator, pianis yang juga penyanyi jazz, Imelda Rosalin.
Diskusi
tersebut diadakan di Minggu ketiga Oktober 2016 silam. Diadakan sebagai program
acara pembuka dari sebuah festival jazz, yang unik dan berbeda, TP Bandung Jazz
Festival. Festivalnya sendiri adalah program kalender tahunan, dan sudah
berlangsung untuk kali kedua di tahun 2016 tersebut. Penyelenggaranya adalah
pihak hotel bintang lima, The Papandayan
, Bandung.
Tema
sentral dari diskusi tersebut adalah, apa itu jazz Indonesia dan Melihat akan
fenomena maraknya festival jazz di tanah air. Dan dalam jatah waktu untuk
masing-masing pembicara yang lumayan singkat, keluarlah beberapa statement menarik. Quotes berdasarkan atas topik utama, dan memang dari apa yang
terjadi di dunia musik Indonesia, terutama jazz.
Saya
mencoba merangkum quotes dari para pembicara. Terus terang, saya tak sempat
mencatat dengan benar-benar saat itu. Maka ijinkan saya, permisiiii, untuk mengutip saja dari tulisan status setiap foto
yang di upload oleh akun @jazzgirli
di instagram.
Jazz
itu borderless, dimana setiap musisi
bisa bermain jazz di luar daerah asalnya. Setiap orang bisa membuat event, di
luar daerah asalnya, kata Dwi Cahya
Yuniman, salah satu tokoh penggerak jazz di Bandung, biasa dipanggil
sebagai, Kang Niman. Dan kang Niman memang, memperoleh giliran pertama sebagai
pembicara.
Menurut
pembicara berikutnya, Frans “Xar” Sartono, yang adalah wartawan senior dari harian umum Kompas, Jazz is beyond nationality. It has no
(country’s) flag. The flag is the jazz itself. Berikutnya ada wartawan
muda, owner dari jazzualitycom, Riandy Kurniawan yang mengatakan, salah
satu kelebihan jazz adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan budaya lokal.
Sementara
itu menurut wartawan muda lainnya dari wartajazzcom, Agus Basuni, Kehadiran Indonesia di forum jazz internasional mnjadi
penting untuk memahami seperti apa definisi jazz Indonesia. Dan Na’zar Noeman, yang mendirikan dan
mengelola radio jazz satu-satunya saat ini di Indonesia, KLCBS di Bandung, Jazz
harus menjadi good travel agent untuk
menunjukkan identitas, namun harus jujur dan penuh kreatifitas.
Sebagai
pembicara berikut, musisi dengan jam terbang sangat tinggi, mungkin tertinggi
di wilayah musik (jazz) internasional, Dwiki Dharmawan. Dwiki sendiri
berpendapat, “Jazz Festival haruslah menjadi ajang pergaulan sesama pelaku di
dalam musik jazz,”
Kemudian
ada juga Ekki Puradiredja, yang kini
mengerjakan beberapa proyek musik. Sebelumnya, Ekki dikenal sebagai Program Director di Java Jazz Festival.
Jazz Indonesia ditentukan dari sudut pandang yang menikmatinya, begitu kata
Ekki.
Sebagai
pembicara terakhir, eh ya saya. Saya mengatakan bahwa, jazz Indonesia itu
simple banget. Adalah musik jazz yang dimainkan oleh orang Indonesia. Sementara
saya tetap berpendapat, apakah Indonesia memang memerlukan begitu banyaknya
festival jazz? Menurut Agus Basuni, tercatat terhitung ada 60 festival jazz di
tanah air selama ini! 60 lho, saudara-saudara!
60-an
itu, bila dibandingkan bahkan dengan negeri asal jazz sendiri, Amerika Serikat,
hebatnya Indonesia lebih banyak festival jazz nya saat ini! Di USA, satu
persatu jazz festival bertumbangan, collapse
dan habis nafas. Di Indonesia sini, setiap tahun ada saja festival jazz baru
diadakan....
Saya
katakan, banyaknya festival jazz di Indonesia harusnya memberikan banyak
kesempatan bagi para pelaku jazz. Dalam hal ini penyanyi dan
pemusik-pemusiknya. Harus bisa ikut memberi kesejahteraan bagi mereka.
Perhatian utama justru pada pada para pelaku jazz yang aktif, dan terus
bersemangat. Bukan pada penyanyi dan pemusik dari “musik lain” yang seolah
jadinya “mencuri” lahan para jazzer....
Ah
sebenarnya pembahasan,atau apa yang saya katakan di acara tersebut sudah sering
saya utarakan di website saya. Juga di Facebook kek, sampai di acara-acara
diskusi musik (terutama jazz) lainnya. So, saya tetap pada pendirian, atas
sudut pandang saya saja sih.
Jazz
Indonesia, harusnya memang bagi para jazzer Indonesia. Yang diberikan
kesempatan, untuk secara bersama-sama menarik perhatian publik untuk menyukai
jazz. Jazz apapun bentuknya, jazz masa kini keq, jazz masa lalu keq, jazz jaman
modern atawa jazz jaman dulu sekalipun.
Pokoknya,
jazz Indonesia deh. Biarlah para pelaku jazz Indonesia, memang menjadi tuan
rumah di tanah airnya sendiri. Jangan lantas keburu berpikir jauh, misal
bagaimana berkeliling di luar negeri. Sudah touring
kemana-mana, tetapi publik tanah airnya belum pernah nonton juga ya, kurang
sreglah.
Ga
salah sih. Ukurannya bukanlah salah atau benar, tapi kan ada baiknya para
jazzer kita juga dikenal publik tanah air. Mereka harus memperoleh kesempatan
itu. Ke negeri orang mah sama sekali ga salah. Itu urusan rezeki masing-masing.
Tapi
gini, kalau publik luar lebih mengapresiasi sementara festival jazz di tanah
airnya sendiri, tidak memberi apresiasi yang baik dan setimpal. Kayak ada yang
kurang, ya ga sih?
Tempo
hari, dalam kesempatan mengisi TP Jazz Festival di Bandung, Indra Lesmana juga
memberi catatan penting yang unik. Apa lagi yang lebih unik dari, festival jazz
terus bertumbuhan tetapi di sini justru jazz
clubs malah ga ada yang bertahan?
Padahal
bagsnya, club jazz menjadi arena perkenalan, menambah jam terbang yang pas bagi
para jazzer. Nah, selanjutnya sebagai tahapan berikutnya, barulah naik jenjang,
tampil di festival-festival. Tapi jazz clubs juga menjadi arena ntuk memelihara
komunitas, ya ajang bergaulnya para jazzer, dan kesempatan berinteraksi dan
berteman juga dengan para penikmatnya.
Di
USA, jazz clubs dipertahankan. Dan memperoleh ruang gerak lumayan memadai.
Tetapdipelihara dengan baik. Artinya, tetap dipertahankan. Sementara di sini,
satu persatu orang maah memilih membuat festival jazz, sementara jazz clubs
malah pada tutup karena kekurangan audience!
So,
ironis ga, festival bisa sampai 60-an, tetapi jazz clubs sangat minim. Kalau
tidak mau bilang, ga ada. Radio jazz, yang sanggup bertahan panjang hanyalah
KLCBS 100,4 FM di Bandung saja! KLCBS dipertahankan sang pemilik, Nazar Noeman,
selama hampir 35 tahun. Radio-radio yang memilih sebagai jazz station, ataupun “setengah”
radio jazz, pada berttumbangan. KLCBS lantas menjadi, the one and only!
Sisi
itu yang harusnya juga diperhitungkan dan dicermati seksama. Bagaimana jazz
terpelihara dan hidup dengan baik dan benar di sini. Saya tak pernah bisa
membanggakan bahwa negeri saya ini punya 60-an festival jazz, karena
kenyataannya toh musik jazz tak pernah menjadi “musik populer”. Penggemarnya ya
segitu-segitu saja. Kalaupun bertambah, relatif kecil sekali...
Lantas
konteksnya dengan waktu, memasuki 2017 ini. Tahun yang baru, kalender sudah
berganti. Tetap dipertahankan jumlah festival sebanyak itu? Ga juga sih, jumlah
yang bertahan kayaknya ga sampai setengah jumlah itu. Bertahan dengan baik dan
benar ya. Tumbuh cukup sehatlah.
Berapa
banyak festival jazz di Indonesia, yang dapat bertahan lewat dari 5 tahun saja
deh? Ngayogjazz yang unik di Yogyakarta, perlu disebut sebagai yang paling
mampu bertahan hidup, lumayan panjang. Selain Java Jazz Festival, yang
kemegahan dan kebesarannya kerapkali menjadi “ukuran” dan target penyelenggara
festival jazz di luar Jakarta.
Jazz
Gunung di Bromo, juga punya keunikan tersendiri dan sanggup bertahan lama,
lewat dari 5 tahunlah. Nah ada 2 festival jazz lain, yang kebetulan saya ikut
membidani dan menjalankannya, Solo City Jazz dan North Sumatra Jazz Festival,
alhamdulillah sudah masuk tahun ke 8 dan ke 7, di 2017 ini.
Terseok-seok
sih, teteup berdarah-darah. Sudah berdarah-darah begitu, toh juga ada masih
yang kurang memberi apresiasi. Eh tepatnya sih tak mengira gitu, ga ngeh lah, eh udah bisa selama itu?
So
di tahun 2017 ini, ada baiknya festival jazz yang sudah ada, demikian pula
halnya dengan yang tengah direncanakan, dapat benar-benar diperhtiungkan
masak-masak. Apalagi buat yang sedang mempersiapkan, bahwa bikin festival jazz
memang gampang? Duitnya dari mana?
Kalau
modalnya berharap dari pemerintah, lewat apa ya kementrian atau instasi resmi
terkait, ah sudahlah. Sebagian besar festival jazz yang lantas hilang ditelan
angin laut itu, modal utamanya semata-mata berdasarkan aliran dana dari
instansi-instasi resmi. Begitu aliran dana dihentikan, kelar sudah hidup
festival itu!
Kan
ada sponsor dong harusnya? Sponsor apaan? Sponsor yang memahami jazz,
sebenarnya juga minim. Sponsor yang memang mengerti dan mau “memberi apresiasi”
dengan mendukung sebuah acara jazz, saya pikir jumlahnya teramat minim.
Kan
ada badan-badan resmi lain, yang bisa diharapkan memberikan support? Misalnya
Bekraf ya? Tetapi wajar sajalah, kalau merekapun juga memberi “persyaratan-persyaratan”
tertentu, kalau mau didukung oleh mereka. Ya itu tepat dan benar!
Karena
masih banyak juga pihak membuat festival jazz, dengan visi dan misi yang
sebanrnya tak terlalu jelas. Mereka tak mengetahui atau menyadari sepenhnya,
mereka akan membuat apa sebenarnya? Runyamlah, kalau start awalnya begitu.
Tapi
bagaimana dengan konsep memperkenalkan titik-titik eksotis tanah air, sebagai
destinasi potensial untuk meraih atensi wisatawan? Dengan menggelar jazz di
spot-spot tersebut? Tetap harus didukung total oleh pemerintah. Kalau berdiri
sendiri, sampai promosi “sambil lalu”, akan terasa event spontanitas yang tak
direncanakan dengan baik. Sayang sih.
Tapi
dukungannya itu, jangan hanya 1 atau 2 tahun. Harus panjang. Mungkin saja
efektif, sebagai ajang promosi pariwisata akan destinasi-destinasi eksotis yang
relatif baru. Bisa jadi begitu. Tapi kalau hanya “hit and run”, 1 atau 2 tahun
lalu dilepas, ya tak akan efektif.
Jazz
diperlakukanlah dengan memang pandangan dan feel
yang jazz. Bukan hanya sekadar alat. Sehingga malah jadinya, sekedar latah dan
ikut-ikutan. Di tahun 2017 ini, dan kemudian, seharusnya sudah disingkirkanlah
kelatahan begitu. Ga ada dampaknya apapun, untuk dunia musik jazz Indonesia
kok.
Akhirul
kata, sudah lupakan kuantitas festival jazz di Indonesia. Perhatikan dan
kedepankan soal kwalitas dan...jaga betul kontinuitas. Karena untuk hal itu,
bukan perkara mudah. Selalu membesarkan jumlah begitu banyaknya festival jazz
di Indonesia toh tak akan membuat “kiblat” jazz berpindah ke Indonesia juga
kan?
Kalau
festivalnya lebih berkwalitas, memberi tempat dan apresiasi pada
potensi-potensi jazzer negeri kita sendiri ini, membuat jazz Indonesia
bertumbuh dengan relatif sehat dan segar. Insha Allah, hal demikian lebih
berarti.
Ya
kan, ada festival jazz tapi toh para jazzer juga sulit untuk bisa mendapatkan
kesempatan main. Lantas, festival jazz itu buat siapa lagi sih? Sehat ga kalau
begitu? Kan membuat festival jazz yang sanggup bertahan itu susah lho? Kalau
begitu, kenapa juga harus latah-latahan? So, kenapa harus jazz?
Well,
segitu sajalah, pesan dan kesan saya untuk jazz di Indonesia di 2017 ini. JAZZ as Always, dude! /*
.
No comments:
Post a Comment