Saturday, January 14, 2017

Ngehek ga sih... Tontonan Terbangsat itu, jadi makin Memabukkan!


Tak disangka, eh tak terasa, ternyata The Rock Campus sudah sanggup mencapai episode yang ke 68. Lumayan lhow! Iya dong, 68 itu bukan jumlah yang kecil. Apalagi pasti juga perjuangannya  “ga main-main”. Beok aja, udah ke 69. Wah! Sixtynine...
Untuk perjuangan, meneruskan nafas sebuah program independent beginian, terus terang saja The Rock Campus harus diberi acungan 2 jempol tangan. Yak, jangan kasih jempol kaki, walau sekalipun hanya 1, nanti hilang keseimbangan bisa jatuh, sob. So 2 jempol saja sudah pantas banget!
Nah di edisi yang digelar kemarin ini, Kamis 12 Januari, Ezra Simanjuntak sebagai komandan acara. Komandan yang bisa juga disebut jurumudi lah. Nakhoda shredder gitu. Ia memberi kesempatan kepada “keluarga” Indonesia Maharddhika untuk mengisi acara. Tawaran kesempatan disambut hangat oleh Kadri Mohamad, yang adalah produser eksekutif dari Indonesia Maharddhika.
Sedikit kilas balik, inget kan ya, Indonesia Maharddhika itu adalah sebuah project album kompilasi. Berisikan, utamanya, lagu-lagu yang menggugah persatuan dan kesatuan bangsa. Juga membangkitkan rasa cinta tanah air. Yeninots Journey, bertindak sebagai trio produser eksekutif.

Trio produser tersebut adalah Hendronoto Soesabdo, Yeni Fatmawati. Selain Kadri Mohamad. Ketiga lawyer, yang memiliki kepedulian pada bangsa dan negaranya. Nah mereka bersinergi, untuk bisa menghasilkan sebuah album musik yang berdasarkan tema tersebut di atas.
Album kompilasinya sudah diedarkan 2 tahun silam, dengan 10 lagu. Melibatkan 9 grup musik, beraliran progressive rock.. Dalam waktu dekat, album berformat CD itu, akan dikemas ulangf. Menjadi sebuah exclusive-boxset, berisi selain CD, ada DVD video performance dan juga vinyl.
Karena itulah, jelang beredarnya edisi eksklusif tersebut, Kadri melihat bahwa tawaran dari The Rock Campus bisa menjadi semacam arena warming up. Ya me-remind orang, melakukan lagi promosi lanjutan, untuk format woro-woro soal eksklusif tersebut. Dan 4 grup musik, yang terlibat dalam album tersebut, menyatakan diri siap tampil.
Begitu deh ceritanya, untuk edisi TRC kemarin itu. 4 band dari keluarga Indonesia Maharddhika, ditambah dengan grup musik legend, yang telah beredar namanya sejak era 1980-an, Grass Rock. Lantas belakangan, akan ikut tampil memeriahkan acara, penyanyi dari kelompok Cockpit, Arry Syaff.
Cockpit sendiri, memang juga terlibat dalam album Indonesia Maharddhika. Sayang Cockpit karena satu dan lain hal, sulit untuk ikut tampil kemarin. Maka hanyalah Arry yang tampil, berduet dengan kibordis “sejuta band”, Krisna Prameswara. Krisna sendiri tercatat juga sebagai kibordis yang seringkali mendukung pementasan Cockpit Band.

Acara dibuka sedikit lewat dari jam 21.00 dengan penampilan kelompok termuda dalam Indonesia Maharddhika, Van Java. Mereka tetap dengan formasi Biondi Noya (gitar), Brenda Mandagi (vokal utama), Soebroto Harry (bass) dan drummer, Peter Lumingkewas.
Kebetulan, Van Java ini juga di akhir tahun silam baru melepas debut album mereka. Fragment. Mereka mengedarkan albumnya secara indie, dengan penjualan pertama melalui mail-order. Respon yang mereka dapatkan, dari penggemar musik, terbilang lumayan.
Musiknya progressive, yang mengandung pelbagai unsur musik. Menawarkan bentuk musik agak berbeda, dari kebanyakan musik yang ada di pasaran. Bisa disebut sebagai enerji musik baru, yang seharusnya punya potensi untuk ditanggapi lebih positif oleh pasar musik Indonesia.
Ok, saya pernah menulis kok tentang mereka di website saya ini. So, buka-buka deh halaman-halaman sebelumnya. 



Usai Van Java, muncul kemudian Imanissimo. Ini bukan kelompok musik yang baru sebetulnya. Cuma memang, agak lama menghilang. Album rekaman mereka, Z’s Diary saja, diedarkan lebih dari 10 tahun silam.
Lumayan sibuk juga kayaknya memang keempat personil grup ini. Sebagian besar adalah pengajar musik. Imanissimo saat ini adalah Iman Ismar (bass), Johanes Jordan (gitar), Tata (drums) dan Raden Agung Hermawan Fitrianto (kibor).
Dengan sukacita, kibordis Raden Agung juga mengabarkan kepada audience TRC kemarin, bahwa Imanissimo akhirnya akan merilis album rekaman terbarunya. Dikabarkan, mereka merencanakan pada jelang akhir Februari, album tersebut akan sudah dapat diedarkan.
Lanjut terus TRC. Imanissimo selesai menunaikan tugas menghiburnya. Ezra sebagai host lantas ditemani oleh Krisna Prameswara. Yoih, jadi duet host deh. Jarang-jarang Krisna, naik ke atas panggung sebagai host lho! Krisna sekalian menyiapkan diri, untuk tampil berduet dengan Arry Syaff.



Arry dan Krisna menyelipkan lagu karya Cockpit, ‘Haruskah Berlari’. Lagu tersebut, menjadi salah satu single hits yang diandalkan, dalam album Indonesia Maharddhika. Lagu itu, merupakan lagu yang melalui re-arrangement dari hits milik vokalis Cockpit pertama, almarhum Freddy Tamaela. Freddy menyanyikan lagu itu, di pertengahan 1980-an silam.
Berikutnya, siapa lagi? Oh ada The Kadri Jimmo. Tetap dengan formasi duo frontliner, Jimmo putra-petir” dan Kadri Mohamad. Gitarisnya, Noldy Benyamin Pamungkas. Dengan bassis, Soebroto Harry, eh main di 2 band nih semaleman? Ya begitulah. Dan drummer adalah Iyoen Hayunaji dan kibordis, Popo Fauza.



Mereka juga tengah serius-duarius, bahkan lebih, untuk menuntaskan album rekaman terbarunya. Rencananya sih, dalam waktu dekat ini juga, versi full-length albumnya, sudah selesai dan siap dirilis. Karena versi EP atawa mini-albumnya, sudah dirilis, sejak dua tahun lalu! Lamonyo, uda...?
Disebutkan, mereka menyajikan warna musik prog yang lebih keunsur pop. Kadri juga Jimmo memilih sebutan, power-pop, sebagai  warna musik mereka. Memang terasa lebih ringan dan renyah, tapi tebal dan lumayan bertenaga. Cukup menghibur dan relatif mudah dicerna. Dicerna perut?
Ya ditangkap dengan empuk oleh kupinglah, lantas menyejukkan hati. Kira-kira begitu. Agak sedikit bisa bikin goyang-goyang kecil. Lighting, yang disupport penuh oleh Lemmonid, menyiram penampilan The Kadri Jimmo, memberi kenikmatan jadi bertambah. Mudah-mudahan sih begitu. Setuju ga, eh penontoooon...?



Iya, lighting memang diperhatikan juga ini kali. Indonesia Maharddhika meminta dukungan Lemmonid. Dasar pemikiran utama adalah begini sob, tata cahaya panggung itu penting. Secara psikologis bisa menyolek dan menggugah emosi penonton.
Nah kan, soal tata cahaya begitu, kalau konser-konser relatif besar ya, sudah diperhatikan. Konser macam di hall besar, apalagi di outdoor, sudah peduli untuk kebutuhan pencahayaan artistik yang maksimal.
Tapi untuk konser menengah dan yang relatif kecil, misalnya kafe atau clubs, lighting suka-suka tak menjadi prioritas. Mungkin lebih diperhatikan ketersediaan sarana tata suara, itu lebih jadi prioritas. Bahkan banyak juga lho acara di kafe itu, yang penting ada aja. Bisa main. Kalau melibatkan beberapa band, ya yang penting main barenganlah.
Berbagi panggung dengan seneng-seneng. Sound dan, apalagi, lighting disediakan “secukup”nya sajalah. Padahal, seperti saya tulis di atas kan, dengan penataan cahaya yang “lebih diperhatiin”, suasana bisa berbeda. Akan membuat lebih nikmat dong, dimana suara ditangkap kuping nyaman, dan suasana acara di panggung ditangkap mata dengan nikmatnya. Komplit dong ya?

Memang sih, persoalannya kan ujung-ujungnye dokat juge adenye, coy. Karena keterbatasan budgetlah, skala prioritas kudu diatur dengan cermat. Karena itulah, kerapkali soal pencahayaan menjadi....nomer sekianlah. Iya, dipahamilah. Walau, yang penting bukan sekedar ada lighting. Bukan dong. Jangan sekedar terang doang.
Jangan hanya terang dan kelap-kelip. Tapi ada konsep juga. Bagaimana titik spotting lampu-lampu itu misalnya, diatur cermat supaya lebih menggairahkan suasana. Itu yang harus menjadi pertimbangan utama. Tahu ga, pencahayaan yang pas dan okay, bikin foto-foto jadi bagus. Setuju?
Jaman sekarang, dimana-mana juga orang potrat-potretlah. Juga di acara-acara musik. Kan handphones sekarang, pasti dilengkapi camera yang makin canggih aja. Artinya gini, acara sih di kafe tapi eh asyik banget suasananya, yang bisa ditangkap kamera. So, orang-orang yang ga sempat datang menonton, bisa menyesal juga ga datang. Edun, acaranya asyik juga tuh kayaknya, nyesel iiih ga nonton....
Image acara itu, punya potensi “naik kelas”lah. Wah, acara itu serius juga. Bisa begitu lho, penilaian orang. Ah, ga percaya sih. Coba deh perhatiin bener-bener. Jadi, besok-besok bikin acara lagi, publik yang doyan nonton, bisa tertarik untuk eits....gw ga mau ketinggalan lagi ah kali ini. Gitu, browcyiiiin.... Ngerti kan ya?

Yak betul, foto itu punya peran berarti. Sekali lagi, hari gini, kemajuan tehnologi coy! Eh siapa tuh yang tadi bilang foto perannya penting sekarang? Angkat tangan dong. Menyerah? Kalau melambai-lambaikan tangan ke kamera, baru namanya menyerah. Hehehe.....
Ok ya gitu deh ya. Lighting memadai, yang artinya terkonsep baik dan ga selalu berarti “ber-biaya besar” lho, akan membuat foto-foto dan perekaman video-video via handphones jadi bagus. Ah, seinget saya, soal ini sudah pernah saya tulis di tulisan saya sebelum ini, terutama soal showbiz.
Udah ah, di u-turn depan putar balik ya. Kita kembali ke TRC alias The Rock Campus lagi. Giliran berikut adalah Grass Rock. Saat ini formasi mereka adalah tetap dengan motor utama, dua pendiri grup asal Surabaya itu, MohamadRereReza (drums) dan Tri Witarto Edi Purnomo a.k.a Edi Kemput (gitar). Didukung Denny Ireng (kibor) dan bassisnya, Ersta Satrya. Dengan vokalis muda, Hans Sinjal.



Grass Rock di tahun silam, merilis album lagi. Album setelah mereka terpaksa harus rehat cukup panjang, hampir 15-an tahun lamanya! Oho. Album itu adalah sebuah album kompilasi rock, 3 to Rock, dimana selain Grass Rock ada D’Bandhits dan Boomerang juga dalam album tersebut.
Ya grup ini harus mengalami pasang surut yang terpaksa dilalui. Terutama lantaran mereka ditinggal pergi vokalisnya dulu, Dayan. Kemudian beberapa tahun disusul Yudhi Yudha Rumput Tamtama, bassis. Dayan dan Yudhi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya, karena sakit.
Dalam penampilan mereka kemarin di TRC, mereka menyelipkan lagu-lagu yang pernah hits. Dari sejak pemunculan pertama mereka, di pertengahan 1980-an dan album pertama mereka, Peterson (Anak Rembulan), yang dirilis tahun 1991.


Selepas Grass Rock yang ternyata tetap ngerock dengan lumayan keras itu, TRC edisi 68 itu ditutup penampilan The Miracle. Grup ini tetap terdiri dari Faisal (gitar), Vedy Virmata (bass), Yessi Kristianto (kibor) dan Chemmy (vokal). Mereka menyertakan additional drummer.
Selama ini, The Miracle lebih dikenal sebagai salah satu yang terdepan sebagai cover-band dari Dream Theater. Walau mereka sebenarnya juga merilis album dengan karya-karya sendiri. Seperti karya mereka, yang juga turut mereka bawakan kemarin di TRC, ‘Free Your Mind’, yang masuk dalam album Indonesia Maharddhika.
The Miracle memang agak tersendat jalannya, dalam beberapa waktu belakangan ini. Karena kesibukan masing-masing seluruh personilnya. Makanya, merekapun terpaksa sampai mengundang drummer tamu, untuk mendukung penampilan mereka kemarin. Tapi mereka sendiri tetap berkeinginan untuk terus melanjutkan perjalanan bermusik mereka nantinya.
Iya dong,kudu jalan terus. Karena kan perjalanan mereka juga terhitung sudah lumayan sejauh ini. Semoga mereka tetap mampu memelihara semangat dan bisa lebih terpacu lagi, setelah melihat banyaknya generasi muda yang juga memainkan prog-rock, ya macam Van Java gitu.



Demikianlah The Rock Campus edisi spesial kemarin itu. semoga yang datang menonton, bisa terpuaskan Dan bagi yang tak sempat datang menonton, ah didoakan agar kembali ke jalan yang benar saja.... Maksudnya, supaya jangan sampai terlewat tontonan bergizi tinggi beginian lagi nanti-nantinya, kalau ada ya.... Kan saking bergizinya, akan mengenyangkan. Nanti pulang ke rumah, bisa tertidur pulas....
Oh ya minggu depan itu, TRC ke 69. Nah ini, "angka cantik betul" tuh. Sukseslah untuk Ezr Simanjuntak dengan The Rock Campus-nya. Tetaplah setia menjadi tontonan "multi-vitamin", yang memabukkan tapi sehat dan, ini nyang puentiiing bro,... teteup yang terbangsat! 
Tabik! /*










No comments: