Tak
disangka, eh tak terasa, ternyata The
Rock Campus sudah sanggup mencapai episode yang ke 68. Lumayan lhow! Iya dong, 68 itu bukan jumlah yang
kecil. Apalagi pasti juga perjuangannya
“ga main-main”. Beok aja, udah ke 69. Wah! Sixtynine...
Untuk
perjuangan, meneruskan nafas sebuah program independent
beginian, terus terang saja The Rock Campus harus diberi acungan 2 jempol
tangan. Yak, jangan kasih jempol kaki, walau sekalipun hanya 1, nanti hilang
keseimbangan bisa jatuh, sob. So 2 jempol saja sudah pantas banget!
Nah
di edisi yang digelar kemarin ini, Kamis 12 Januari, Ezra Simanjuntak sebagai komandan acara. Komandan yang bisa juga
disebut jurumudi lah. Nakhoda shredder gitu. Ia memberi kesempatan kepada “keluarga” Indonesia Maharddhika untuk mengisi acara. Tawaran kesempatan
disambut hangat oleh Kadri Mohamad,
yang adalah produser eksekutif dari Indonesia Maharddhika.
Sedikit
kilas balik, inget kan ya, Indonesia Maharddhika itu adalah sebuah project album kompilasi. Berisikan,
utamanya, lagu-lagu yang menggugah persatuan dan kesatuan bangsa. Juga
membangkitkan rasa cinta tanah air. Yeninots
Journey, bertindak sebagai trio produser eksekutif.
Trio
produser tersebut adalah Hendronoto
Soesabdo, Yeni Fatmawati. Selain
Kadri Mohamad. Ketiga lawyer, yang memiliki kepedulian pada bangsa dan
negaranya. Nah mereka bersinergi, untuk bisa menghasilkan sebuah album musik
yang berdasarkan tema tersebut di atas.
Album
kompilasinya sudah diedarkan 2 tahun silam, dengan 10 lagu. Melibatkan 9 grup
musik, beraliran progressive rock..
Dalam waktu dekat, album berformat CD itu, akan dikemas ulangf. Menjadi sebuah exclusive-boxset, berisi selain CD, ada
DVD video performance dan juga vinyl.
Karena
itulah, jelang beredarnya edisi eksklusif tersebut, Kadri melihat bahwa tawaran
dari The Rock Campus bisa menjadi semacam arena warming up. Ya me-remind
orang, melakukan lagi promosi lanjutan, untuk format woro-woro soal eksklusif tersebut. Dan 4 grup musik, yang terlibat
dalam album tersebut, menyatakan diri siap tampil.
Begitu
deh ceritanya, untuk edisi TRC kemarin itu. 4 band dari keluarga Indonesia
Maharddhika, ditambah dengan grup musik legend,
yang telah beredar namanya sejak era 1980-an, Grass Rock. Lantas belakangan, akan ikut tampil memeriahkan acara,
penyanyi dari kelompok Cockpit, Arry
Syaff.
Cockpit
sendiri, memang juga terlibat dalam album Indonesia Maharddhika. Sayang Cockpit
karena satu dan lain hal, sulit untuk ikut tampil kemarin. Maka hanyalah Arry
yang tampil, berduet dengan kibordis “sejuta band”, Krisna Prameswara. Krisna sendiri tercatat juga sebagai kibordis
yang seringkali mendukung pementasan Cockpit Band.
Acara
dibuka sedikit lewat dari jam 21.00 dengan penampilan kelompok termuda dalam
Indonesia Maharddhika, Van Java.
Mereka tetap dengan formasi Biondi Noya
(gitar), Brenda Mandagi (vokal
utama), Soebroto Harry (bass) dan
drummer, Peter Lumingkewas.
Kebetulan,
Van Java ini juga di akhir tahun silam baru melepas debut album mereka. Fragment. Mereka mengedarkan albumnya
secara indie, dengan penjualan pertama melalui mail-order. Respon yang mereka dapatkan, dari penggemar musik, terbilang
lumayan.
Musiknya
progressive, yang mengandung pelbagai
unsur musik. Menawarkan bentuk musik agak berbeda, dari kebanyakan musik yang
ada di pasaran. Bisa disebut sebagai enerji musik baru, yang seharusnya punya
potensi untuk ditanggapi lebih positif oleh pasar musik Indonesia.
Ok,
saya pernah menulis kok tentang mereka di website saya ini. So, buka-buka deh
halaman-halaman sebelumnya.
Usai Van Java, muncul kemudian Imanissimo. Ini bukan kelompok musik yang baru sebetulnya. Cuma
memang, agak lama menghilang. Album rekaman mereka, Z’s Diary saja, diedarkan lebih dari 10 tahun silam.
Lumayan
sibuk juga kayaknya memang keempat personil grup ini. Sebagian besar adalah
pengajar musik. Imanissimo saat ini adalah Iman
Ismar (bass), Johanes Jordan
(gitar), Tata (drums) dan Raden Agung Hermawan Fitrianto (kibor).
Dengan
sukacita, kibordis Raden Agung juga mengabarkan kepada audience TRC kemarin, bahwa Imanissimo akhirnya akan merilis album
rekaman terbarunya. Dikabarkan, mereka merencanakan pada jelang akhir Februari,
album tersebut akan sudah dapat diedarkan.
Lanjut
terus TRC. Imanissimo selesai menunaikan tugas menghiburnya. Ezra sebagai host lantas ditemani oleh Krisna
Prameswara. Yoih, jadi duet host deh. Jarang-jarang Krisna, naik ke atas
panggung sebagai host lho! Krisna sekalian menyiapkan diri, untuk tampil
berduet dengan Arry Syaff.
Arry
dan Krisna menyelipkan lagu karya Cockpit, ‘Haruskah Berlari’. Lagu tersebut,
menjadi salah satu single hits yang
diandalkan, dalam album Indonesia Maharddhika. Lagu itu, merupakan lagu yang
melalui re-arrangement dari hits
milik vokalis Cockpit pertama, almarhum Freddy
Tamaela. Freddy menyanyikan lagu itu, di pertengahan 1980-an silam.
Berikutnya,
siapa lagi? Oh ada The Kadri Jimmo.
Tetap dengan formasi duo frontliner, Jimmo “putra-petir” dan Kadri Mohamad. Gitarisnya, Noldy Benyamin Pamungkas. Dengan bassis, Soebroto Harry, eh main di 2 band nih semaleman? Ya begitulah. Dan
drummer adalah Iyoen Hayunaji dan
kibordis, Popo Fauza.
Mereka
juga tengah serius-duarius, bahkan lebih, untuk menuntaskan album rekaman
terbarunya. Rencananya sih, dalam waktu dekat ini juga, versi full-length
albumnya, sudah selesai dan siap dirilis. Karena versi EP atawa mini-albumnya,
sudah dirilis, sejak dua tahun lalu! Lamonyo,
uda...?
Disebutkan,
mereka menyajikan warna musik prog yang lebih keunsur pop. Kadri juga Jimmo
memilih sebutan, power-pop,
sebagai warna musik mereka. Memang
terasa lebih ringan dan renyah, tapi tebal dan lumayan bertenaga. Cukup
menghibur dan relatif mudah dicerna. Dicerna perut?
Ya
ditangkap dengan empuk oleh kupinglah, lantas menyejukkan hati. Kira-kira
begitu. Agak sedikit bisa bikin goyang-goyang kecil. Lighting, yang disupport
penuh oleh Lemmonid, menyiram
penampilan The Kadri Jimmo, memberi kenikmatan jadi bertambah. Mudah-mudahan
sih begitu. Setuju ga, eh penontoooon...?
Iya,
lighting memang diperhatikan juga ini kali. Indonesia Maharddhika meminta
dukungan Lemmonid. Dasar pemikiran utama adalah begini sob, tata cahaya panggung itu penting. Secara psikologis bisa
menyolek dan menggugah emosi penonton.
Nah
kan, soal tata cahaya begitu, kalau konser-konser relatif besar ya, sudah
diperhatikan. Konser macam di hall
besar, apalagi di outdoor, sudah
peduli untuk kebutuhan pencahayaan artistik yang maksimal.
Tapi
untuk konser menengah dan yang relatif kecil, misalnya kafe atau clubs,
lighting suka-suka tak menjadi prioritas. Mungkin lebih diperhatikan
ketersediaan sarana tata suara, itu lebih jadi prioritas. Bahkan banyak juga
lho acara di kafe itu, yang penting ada aja. Bisa main. Kalau melibatkan
beberapa band, ya yang penting main barenganlah.
Berbagi
panggung dengan seneng-seneng. Sound
dan, apalagi, lighting disediakan “secukup”nya sajalah. Padahal, seperti saya
tulis di atas kan, dengan penataan cahaya yang “lebih diperhatiin”, suasana bisa
berbeda. Akan membuat lebih nikmat dong, dimana suara ditangkap kuping nyaman,
dan suasana acara di panggung ditangkap mata dengan nikmatnya. Komplit dong ya?
Memang
sih, persoalannya kan ujung-ujungnye dokat
juge adenye, coy. Karena keterbatasan budgetlah, skala prioritas kudu
diatur dengan cermat. Karena itulah, kerapkali soal pencahayaan
menjadi....nomer sekianlah. Iya, dipahamilah. Walau, yang penting bukan sekedar
ada lighting. Bukan dong. Jangan sekedar terang doang.
Jangan
hanya terang dan kelap-kelip. Tapi ada konsep juga. Bagaimana titik spotting lampu-lampu itu misalnya,
diatur cermat supaya lebih menggairahkan suasana. Itu yang harus menjadi
pertimbangan utama. Tahu ga, pencahayaan yang pas dan okay, bikin foto-foto jadi
bagus. Setuju?
Jaman
sekarang, dimana-mana juga orang potrat-potretlah. Juga di acara-acara musik.
Kan handphones sekarang, pasti
dilengkapi camera yang makin canggih
aja. Artinya gini, acara sih di kafe tapi eh asyik banget suasananya, yang bisa
ditangkap kamera. So, orang-orang yang ga sempat datang menonton, bisa menyesal
juga ga datang. Edun, acaranya asyik
juga tuh kayaknya, nyesel iiih ga
nonton....
Image
acara itu, punya potensi “naik kelas”lah. Wah, acara itu serius juga. Bisa
begitu lho, penilaian orang. Ah, ga percaya sih. Coba deh perhatiin bener-bener. Jadi, besok-besok bikin
acara lagi, publik yang doyan nonton, bisa tertarik untuk eits....gw ga mau ketinggalan lagi ah kali ini. Gitu, browcyiiiin.... Ngerti kan ya?
Yak
betul, foto itu punya peran berarti. Sekali lagi, hari gini, kemajuan tehnologi
coy! Eh siapa tuh yang tadi bilang
foto perannya penting sekarang? Angkat tangan dong. Menyerah? Kalau
melambai-lambaikan tangan ke kamera, baru namanya menyerah. Hehehe.....
Ok
ya gitu deh ya. Lighting memadai, yang artinya terkonsep baik dan ga selalu
berarti “ber-biaya besar” lho, akan membuat foto-foto dan perekaman video-video
via handphones jadi bagus. Ah, seinget saya, soal ini sudah pernah saya tulis
di tulisan saya sebelum ini, terutama soal showbiz.
Udah
ah, di u-turn depan putar balik ya.
Kita kembali ke TRC alias The Rock Campus lagi. Giliran berikut adalah Grass
Rock. Saat ini formasi mereka adalah tetap dengan motor utama, dua pendiri grup
asal Surabaya itu, Mohamad “Rere” Reza (drums) dan Tri Witarto
Edi Purnomo a.k.a Edi Kemput
(gitar). Didukung Denny Ireng
(kibor) dan bassisnya, Ersta Satrya.
Dengan vokalis muda, Hans Sinjal.
Grass
Rock di tahun silam, merilis album lagi. Album setelah mereka terpaksa harus
rehat cukup panjang, hampir 15-an tahun lamanya! Oho. Album itu adalah sebuah
album kompilasi rock, 3 to Rock,
dimana selain Grass Rock ada D’Bandhits dan Boomerang juga dalam album
tersebut.
Ya
grup ini harus mengalami pasang surut yang terpaksa dilalui. Terutama lantaran
mereka ditinggal pergi vokalisnya dulu, Dayan.
Kemudian beberapa tahun disusul Yudhi “Yudha Rumput” Tamtama, bassis. Dayan dan Yudhi meninggalkan mereka untuk
selama-lamanya, karena sakit.
Dalam
penampilan mereka kemarin di TRC, mereka menyelipkan lagu-lagu yang pernah
hits. Dari sejak pemunculan pertama mereka, di pertengahan 1980-an dan album
pertama mereka, Peterson (Anak Rembulan),
yang dirilis tahun 1991.
Selepas
Grass Rock yang ternyata tetap ngerock dengan lumayan keras itu, TRC edisi 68
itu ditutup penampilan The Miracle.
Grup ini tetap terdiri dari Faisal
(gitar), Vedy Virmata (bass), Yessi Kristianto (kibor) dan Chemmy (vokal). Mereka menyertakan additional
drummer.
Selama
ini, The Miracle lebih dikenal sebagai salah satu yang terdepan sebagai cover-band dari Dream Theater. Walau
mereka sebenarnya juga merilis album dengan karya-karya sendiri. Seperti karya
mereka, yang juga turut mereka bawakan kemarin di TRC, ‘Free Your Mind’, yang
masuk dalam album Indonesia Maharddhika.
The
Miracle memang agak tersendat jalannya, dalam beberapa waktu belakangan ini.
Karena kesibukan masing-masing seluruh personilnya. Makanya, merekapun terpaksa
sampai mengundang drummer tamu, untuk mendukung penampilan mereka kemarin. Tapi
mereka sendiri tetap berkeinginan untuk terus melanjutkan perjalanan bermusik
mereka nantinya.
Iya dong,kudu jalan terus. Karena kan perjalanan mereka juga terhitung sudah lumayan sejauh ini. Semoga mereka tetap mampu memelihara semangat dan bisa lebih terpacu lagi, setelah melihat banyaknya generasi muda yang juga memainkan prog-rock, ya macam Van Java gitu.
Demikianlah
The Rock Campus edisi spesial kemarin itu. semoga yang datang menonton, bisa
terpuaskan Dan bagi yang tak sempat datang menonton, ah didoakan agar kembali
ke jalan yang benar saja.... Maksudnya, supaya jangan sampai terlewat tontonan
bergizi tinggi beginian lagi nanti-nantinya, kalau ada ya.... Kan saking bergizinya, akan mengenyangkan. Nanti pulang ke rumah, bisa tertidur pulas....
Oh ya minggu depan itu, TRC ke 69. Nah ini, "angka cantik betul" tuh. Sukseslah untuk Ezr Simanjuntak dengan The Rock Campus-nya. Tetaplah setia menjadi tontonan "multi-vitamin", yang memabukkan tapi sehat dan, ini nyang puentiiing bro,... teteup yang terbangsat!
Tabik! /*
No comments:
Post a Comment