Wednesday, October 5, 2016

Akhirnya, SYMPHONY Reuni Juga Deeeh.......


Venue nya ga begitu besar.  Tentunya membuat areal stage sekilas terkesan agak terbatas, menampung perabotan mereka. Sebuah grup band “lawas”, didukung “grup band” lainnya. Ditambah 2 vokal latar dan 4 pemudi cantik yang bermain 2 violin, 1 viola dan 1 cello.
Mereka lawas tapi teteup pas. Artinya gini, memang masa jaya mereka jauh banget di waktu lalu, 1980-an coy. Tetapi asli, sejatinya musik mereka itu, bahasa kerennya ya, tak lekang dimakan waktu. Masih sedap saja dikecap kuping kita. Setuju kan? Kok dikecap sama kuping?
Diterima, dinikmati dan masuk ke hati. Menyegarkan syaraf en otot-otot yang kaku mungkin. Saya jadi ingat, pertama kali mereka bikin album, oho ini band “modern amat”! Dasar bule dah. Bule itu panggilan akrab Fariz Rustam Munaf. Saat grup ini rekaman dan meluncurkan album Trapesium, sebagai debut album mereka, yang dilepas Akurama Record di tahun 1982.


Kuping saya tersengat. Eh kuping sama hati ding. Iya, waktu denger album itu. New Wave sekaleee. Tetapi eits, sejatinya ya ga terlalu new wave sih. Benar ga? Synth-Pop gitu ya? Ah itu podo wae lah.Soalnya, bisa-bisanya nyelip kan, ‘Sepertigapuluhdua’?
Mereka ngerock, agak “british new wave”, lumayan kesan itu ya. Tetapi ya warna-warni. Cuma lagu yang ngetop dari album itu kan, ‘Sirkus Optik dan Video Game’, ada rasa The Police nya. Dengan instrumentasi keyboard, synthesizernya yang menonjol di depan. ‘Astoria’, yang lebih populer, lebih ke rock, eh apa bisa disebut modern rock era itu ya, dengan kibor yang juga di depan.
Sementara ‘Interlokal’, sebagai lagu nomer satu, memang diplot jadi lagu pertama Side-A, kan format kaset tuh. Lagu itu pop dengan bau new wave. Lantas lagu lain, masih di sisi A kaset mereka, ada, ‘An...’. Ngepop saja, ya popnya Fariz. Begitupun halnya dengan ‘Putri Sigma’.
Menengok ke belakang, jauuuuuh nih. Symphony memang seperti dimotori oleh bule atau Fariz RM. Ini grupnya setelah,paling tidak ya ada Badai Band dan Transs. Padahal Fariz, yang bermain bass, sebenarnyalah ditarik masuk Symphony. Penggagasnya sebetulnya, yang menawari Fariz untuk gabung adalah Herman Gelly Effendi, kibordis. Serta gitaris, Jimmy Paais.
Mereka berdua anak SMAN 3 Setiabudi. Ya notabene juga sekolahnya Fariz. Eh iya kan, semuanya jebolan SMAN 3? Lantas setelah Fariz oke, lalu diajak sertalah juga, Ekki Soekarno. Jadi deh Symphony. Nah Gelly dan Jimmy sih maunya bikin grup rock, rada ke progressive rock kayaknya. Tetapi nampaknya, mereka bersepakat untuk “menyiasati” pasar. Keluarnya ya gitu deh, synth-pop itu.
Memang Fariz main bass, selain lead vocal di Symphony. Album Trapesium, lumayan sukses waktu itu. Warna musiknya lumayan segar saat itu, nyegerin telinga. Sedikit beda, dengan misalnya musiknya Fariz, terutama di solo albumnya.
Selepas itu, muncul Metal, sebagai album kedua. Symphony lantas diperkuat Tony Wenas, pria Kawanua yang dikenal sebagai motor kelompok Solid 80. Lagu yang dikenal dari album ini, poppish dengan unsur reggae. ‘Lensa Kamar Putih’. Agak mengingatkan kita kembali dengan The Police. Lagu pertama sebenarnya, nge-rock, ‘Kekal itu Di Sini’, dengan vokal utama, Tony Wenas.
Baru 1987, 5 tahun setelah Metal, Symphony mengeluarkan album ketiganya. N.O.R.M.A.L judulnya, dengan tinggal menyisakan trio, Herman Gelly, Jimmy Paais dan Fariz RM. Setelah itu, Symphony sempat juga diperkuat pemain “baru” seperti Budhy Haryono, drums. Serta Adi Adrian, kibor. Dan juga Sonny Soebowo, keyboard programming.
Setelah itu, Symphony tertidur. Iya sebut aja begitu. Semua personilnya sudah sibuk masing-masing. Mereka sempat melakukan reuni, untuk acara televisi Zona 80 di Metro TV, dengan kembali bermainnya formasi Symphony album Metal. Itu terjadi di tahun 2009. Sebenarnya, saat itu sih sempat terbersit keinginan mereka untuk kembali tampil di panggung lagi.
Seorang penggemar fanatik Fariz RM dan Symphony pernah menulis, mereka itu dua puluh tiga tahun tak terdengar lagi gaungnya. Seakan bumi menelan mereka hidup hidup! Ngeriiii. Hayoooo, siapa yang pernah menulis begitu?
Sayangnya, rencana itu tinggal jadi rencana. Belum lagi terwujud, Jimmy Paais keburu pergi. Jimmy meninggal dunia pada 2 Agustus 2010. Dan rencana reuni itu lantas kendur lagi. Tak terdengar lagi sekian waktu.

Sampailah pada 30 September kemarin. Bertempat di venue di dalam areal FX Mall, di tengah ibukota. Akhirnya Symphony bisa kumpul lagi, main bareng lagi. Walau tanpa didukung oleh Jimmy Paais tentunya. Sebuah kesempatan reuni, yang lumayan “mahal” momennya. Iya, saya melihatnya begitu.
Wah, Symphony itu "cukup spesial" sih buat saya. Gimana ga spesial, lha saya itu dengan Gelly, bule atau Faiz dan Ekki, ternyata sama-sama "POMG". Anak-anak kita satu sekolahan di Bintaro, malah sempat semuanya sekelas. Dan ya, semua Symphony, selain Tonny ya, semua "Robin" alias, Rombongan Bintaro lho!
Grup bernama Symphony ini sempat ngetop, menjulang tinggi. Memang lantas seperti menurun, tambah menurun. Lalu vakum. Tetapi kehadirannya waktu itu, tetap perlu dicatat. Mereka menghadirkan corak musik rada beda, di pasar musik Indonesia. Itu yang menyebabkan mereka lekas disukai publik, begitu mereka meluncurkan album.
Ada faktor Fariz RM juga sih. Tetapi biar bagaimanapun, dalam Symphony itu arsitek musik utama kan Gelly dan Jimmy? So, peran keduanya juga penting. Selain, kesepakatan mereka berkompromi dengan selera pasar saat itu. Ya kemudian juga ada Ekki kan? Belakangan ada Tonny. Waktu Tonny masuk, toh mereka lumayan laris untuk manggung saat itu.
Ya, saya jadi flashback deh. Panggung penuh tuh, kemarin itu. Peralatan band, atau backlines yang di-supply oleh DSS, perusahaan tata suara terdepan itu, bersesakan di atas panggung.  Tata suaranya juga dihandle oleh DSS, dengan Donny Hardono langsung yang turun tangan! Bayangin 3 set keyboard. Plus 2 set drums, masih ditambah perkusi. Gitar-gitar dan bass. Ya penuhlah panggung jadinya.
Cuma ada sedikit, ah itu secuillah, kekurangan. Soal penataan lighting-nya saja. Kurang asoy, harusnya lebih menghidupkan suasana sih. Tapi ah sudahlah ya. Yang penting sound bisa maksimal kan? Dan ya, ga gelap-gelap amat kok. Panggung “terang”. Dan sayapun seolah tak sabar menanti mereka. Saya yakin, sebagian besar penonton juga sama tak sabarnya....

Dan muncullah Krisna Prameswara, kibordis yang didaulat juga menjadi music director. Kemudian di drums ada si mungil nan cantik, Jeane “Alsa” Phialsa. Di gitar ada gitaris kawakan, arek Malang, Noldy Benyamin Pamungkas. Serta pada bass ada bassis cowok, antara ganteng dan “cukup cantik” nih, hihihihi, Soebroto Harry namanya.
Inilah grup “lain”, pendukung utama Symphony malam itu. Kalau kata Fariz, “para pemain cabutan” yang patenlah. Iya, Fariz pernah menyebut itu,sekitar 3 bulan sebelum konser. Pesannya waktu itu, elo harus nonton akhirnya Symphony bisa main lagi, insya Allah bro! Amin, jawabku. Beneran nih, ‘le?
Kemudian ya ada Tony Wenas, dengan kibor lainnya. Tentu juga Herman Gelly pastinya, ya juga dengan keyboard-set tersendiri lainnya. Fariz, dengan kibor tenteng-nya. Lantas di balik set drums ada Ekki Soekarno.

Lagu pembuka, dipilih, ‘An...’ dari album Trapesium. Penonton lantas histeris, menyambut hangat. Eh, penonton penuh lho. Kerenlah, keren banget! Edun, mereka masih pada inget sama Symphony rupanya. Ada 4 cewek manis sebagai strings-section. Serta ada Renny dan Kartika, sebagai vokal latar.
Disambung kemudian dengan, ‘Astoria’. Penonton tambah semangatlah. Masih inget niiiih ya sama lagu itu? Penonton sukacitalah saat itu. Kemudian, ‘Mereka di Jalanan’. Kemudian sambung dengan salah satu hits mereka, ‘Sirkus Optik dan Video Game’, dengan menampilkan duet drums. Ya Ekki bareng gebak-gebuk dengan Alsa, di drums setnya masing-masing.
Lalu ada, ‘Tanda Mata’. Setelah itu, naiklah bintang tamu, Marcell, ia membawakan, ‘Putri Sigma’. Berikutnya ada lagu, ‘Mimpi’. Dilanjutkan dengan, ‘Pasar Malam’. Marcell naik lagi, tampil untuk membawakan lagu, ‘Lensa Kamar Putih’. Sebagai lagu kesepuluh adalah, ‘April Tujuh’, dari album perdana Trapesium.



Betewe, soal Krisna Prameswara nih. Kibordis yang dihubungi langsung oleh Symphony untuk mau menjadi music director. Krisna bilang, ya ok banget. Dia menyambut hangat. Soalnya, Symphony itu udah dia dengerin sejak ya awal 1980-an, saat dia masih SMP! Dia bilang, dia suka banget dengan ‘Foto Model’,’Interlokal’dan ‘Sepertigapuluhdua’.
Cerita Krisna tuh, tahapan latihannya lumayan panjang. Banyak juga lho. Total mereka latihan bareng, secara band dan termasuk dengan keempat Symphony, sebanyak 11 kali.
Krisna merinci, 4 kali di awal itu untuk workshop di rumah Tony Wenas. Lalu berikutnya, masuk tahap latihan barengan untuk menyempurnakan aransemen, sebanyak 4 kali lagi. Dan tahap rehearsal terakhir sebanyak 3 kali dilakukan di studio DSS, untuk finalisasi, finishing sampai runthru.
Jadi, sudah cukup siap ya untuk tampil. Krisna, yang adalah kibordis kelompok Colors dan Discus selain seringkali mendukung grup Naif itu bilang, siap dan jadi ga sabaran. Hahaha, karena momen main dengan Symphony itu ya salah satu momen teramat penting buatnya. Ya kan, dulu dengerin, suka, waktu masih umur berapa tuh. Eh lantas sekarang, ada kesempatan main bareng. Apa rasanya coba kan?



Rasanya, nano-nano ya Kris? Gitu kali ya? Excited pastinya dong? Apalagi penonton padat euy. Rame deh. Ok kembali ke konser itu ya. Lalu masuk sesi mereka berempat main akustik. Faris itu main bass lho. Gelly tetap di kibor. Tonny main gitar. Sementara Ekki pindah main cajon.
Sesi ini, adalah part khusus. Mereka mengenang keberadaan sekian waktu, sahabat baik mereka, Jimmy Paais. Sahabat dekat begitu banyak orang. Sahabat saya juga sih. Dulu saya pernah janji lho, iya bro Symphony harus main lagi. Gw coba bantu ya bro, paling ga 2 kota deh, misal Jakarta dan Bandung ya? Jimmy setuju dan memberi support. Juga ketiga anggota Symphony lainnya.
Oh ya, itu terjadi, setelah syuting di Zona 80 di Metro TV itu. Saya memang datang, malah diminta jadi semacam narasumber gitulah. Di sela-sela syuting itu, kita sempat membicarakan kemungkinan reuni Symphony “secara serius” dan beneran. Ah, jadi gimana ingat momen itu. Momen-momen ngobrol dengan Jimmy. Baik ketemu langsung, telephone atau sms.
Pada sesi ini, dibawakanlah  ‘Panggung Perak’. Disambung, ‘Menggapai Bintang’. Lantas ada juga, ‘Jumpa Kedua’. Disusul berikutnya, ‘Tak Padam’. Ditutup dengan Langit Merah di Atas Dunia’. Keempat Symphony main bareng barisan gesek. Dan kesemua lagu yang dibawakan itu, adalah karya almarhum Jimmy Paais.

Saat itu, sempat naik ke panggung, istri dari almarhum Jimmy Paais, yaitu Ayu Soesanto. Mengenang akan keberadaan brother Jimmy Paais yang ramah dan berpembawaan tenang itu.
Suasana masih hiruk pikuk, ramai ya. Tapi mulai rada gimana ya, sebagian penonton terdengar jadi asyik sendiri. Eh ga sendiri. Maksudnya, mulai asyik ngobrol-ngebrellah antara mereka itu. Ya sementara musik di panggung terus dimainkan.
Lalu naik lagi “band pendukung di bawah pimpinan Krisna Prameswara”. Merekapn membawakan, ‘Foto Model’. Disusul berikutnya dengan, ‘Kekal itu Di Sini’ dengan menampilkan solo drums, eh Fariz berduet dengan Ekki lho. Yoih, bule itu mainin semua alat musiklah, selama konser Symphony ini!


Dan akhirnya, dimainkanlah lagu beraroma kental progrock-nya, bisa disebut “paling progressive” deh, ‘Sepertigapulhdua’, sebagai lagu pamungkas konser reunian Symphony itu. Penonton puas lah. Beneran puas? Ah masak sih? Saya mah belum euy. Masak sih udahan?
Ya, lagu hits mereka yang pualing ngehits kan belum dimainin? Apalagi kalau bukan, ‘Interlokal”? Ternyata itu jadi lagu encore mereka. Jadi lagu penghabisan yang lumayan manis. Penonton jadi tersengat deh. Nyanyi bareng, ya iyalah. Konserpun berakhir sudah.
Secara keseluruhan, cukup mengobati rindu, terutama untukpara penggemar fanatik mereka. Iya, serunya gitu tuh, ada sebagian penonton juga, ini setelah show, ngomong sebenarnya banyak lagu yang dibawain Symphony tadi itu, mereka ga tahu lho.
Ga tau, karena ga pernah dengar? Emangnya itu lagu-lagu Symphony juga ya? Ya begitulah. Biasa terjadi kok. Ada saja pastinyalah, penonton yang....yang memang siap betul jadi penonton! Datang menonton, wangi, dandan habis ya untuk menonton. Ketemu teman-teman lamanya. Haha hihi huhu, ketawa, nostalgia. Padahal ga begitu tahu lagu yang dibawain band yang mereka tonton.
Masalah ga? Ah masak gitu aja jadi masalah? Ya ga dong. Kan yang penting, mereka memenuhi tempat itu kan? Seru aja lihat penonton full begitu. Yang mungkin sedikit jadi masalah sih,image poster acara reuni Symphony itu sih. Terlalu old-school buat saya. Padahal harusnya “lebih modern”, jangan terkesan jadul dan biasa saja. Ini grup “sangat modern” lho pada jaman kejayaannya.

Tapi ya pengaruh emangnya? Kan terbukti toh, penonton tetap saja penuh begitu. Mereka tetap menyerbu datang kan? Iya juga sih. Tapi boleh ya, saran dikit kan? Hehehe, usil aja nih...
Ya gitu deh jadinya konser reuni Symphony. Saya puaslah ya? Beneran puas? Sebenarnya ngh....sebenarnya nih, gimana ya? Bilangin ga ya? Hehehehe. Saya sedih banget. Iya dong,ini momen yang ditunggu-tunggu lama, diomongin sekitar 7 tahun lalu kan? Eh kejadian juga. Dan, ah saya ga ada!
Iya, saya ga nonton! Karena saya ada acara di Solo. Tak mungkin ditinggal. Di Solo itu acara saya soalnya. Aduh, waktu nih memang lagi tak bersahabat begitu. Saya kehilangan kesempatan itu deh. Jelas kan, saya sedih hati jadinya.
Soal tulisan di atas, ya saya tulis saja dengan mendengarkan cerita Tyas Yahya, yang sudi “mewakili” saya untuk menonton Symphony yang mau reunian itu. Malah Tyas juga mau memotret. Hasilnya gimane
Hasil Tyas memotret maksudnya ya, ponten-nya berape ye? Hmmm, 8,8 kira-kira deh. Atawa, kalau zaman sekolah dulu, pasti dibilang sebagai, 9-. Hihihihi. Overall, ga mengecewakanlah. Bisa jadi Tyas itu, salah satu “the best student” di SMA. Alias, Sekolah Memotret Asoy..... /*












Sunday, October 2, 2016

Foto dan Catatan Jazzy, Dari SOLO CITY JAZZ 2016



Ketujuh kalinya sudah, Solo City Jaz digelar. Perdana di 2009. Sempat satu kali, harus terhenti karena musibah letusan gunung Merapi pada 2010. Lanjut terus. Tetap berlangsung sebagai pergelaran tetap setiap setahun sekali, menjadi agenda tetap acara kota Solo.
Selepas perjuangan untuk menggelarnya, seperti setiap tahun penyelenggaraannya, akhirnya edisi tahun 2016 dapat berlangsung. Digelar di Taman Balekambang untuk kedua kalinya, setelah di tahun 2015 silam. Tetap diadakan dua malam. Menampilkan keberagaman interpretasi musisi, penyanyi dan grup musik terhadap jazz.
Well, sekian waktu Solo City Jazz ini, menjadi agenda tetap, salah satu dari puluhan festival di kota Solo. Jadi, Solo itu masuk sebagai kota dengan jumlah festival terbanyak di Indonesia! Edan, festival itu, bisa dalm sebulan ada 2 sampai 3 kali lho. Bahkan ada yang setiap minggunya ada acara festival. Semua gratis!!

Menariknya, kemarin bertemulah dengan seorang perempuan reporter, masih muda. Ia mewawancarai saya, dan pertanyaannya kontan bikin saya senyum. Kenapa pak harus gratis? Kalau buatnya, gratis itu tidak mengajarkan apresiasi yang baik kepada publik. Apa untuk menarik wisatawan lebih banyak ke Solo? Ia meragukan efektifitasnya.
Saya tersenyum, sekaligus sebenarnya sih terhenyak! Aha, sebenar-benarnyalah salah satu perjuangan terberat menjaga kontinuitas festival ini, karena kami harus bekerja keras, lebih keras, tambah keras saban tahunnya! Ya untuk mendanai agar festival ini dapat terus berlangsung. Dan itu bukan pekerjaan mudah.


Pemerintah kota Solo, memberi support sejumlah dana, bisa disebut sebagai “modal pergerakan”. Tapi mereka, pemkot Solo, mensyaratkan memang tak boleh jual tiket. Harus gratis selalu. Kalau menjual tiket, harga “merakyat”lah? Kabarnya, pemkot Solo bisa menghentikan support dananya, begitu SCJ menjadi “komersil”.
Dana awal tersebut, sejak 2009 belum ada kenaikan. Sementara festival harus terus berlangsung dan disarankan harus meningkat. Cari sponsor saja, untuk dapat membiayai festival secara ideal, dan disukai publik. Tahu sendirilah, hareee geneee nyari sponsor?

Sponsor sekarang, sebagian besar tertarik hanya bila ada deretan nama-nama “besar” yang dimunculkan. Catat ini, bahwa mereka sama sekali tak peduli, mau itu nama pop, nama rock. Walau bukan jazz, yang penting populer. Akan dapat menjadi magnet kuat mendatangkan lebih banyak penonton! Mereka tak peduli kok, soal jenis musik.
Itu die, ga heran kan, banyak festival digelar, sebagian besar jadi bentuknya sama. Mengedepankan nama-nama lebih populer, walau bukan jazz. Agar supaya menarik sponsorlah, itu alasannya. C-Pro, sebagai penyelenggara dan yang memiliki ide SCJ ini, tentu bersama saya, sungguh “ga tega”. Beneran deh. Masak kita harus mengedepankan nama-nama “bukan jazz” sih?



Tapi bagaimana ya? Pusingnya tuh di sini... Kepengen tetap terjaga betul kontinuitasnya. Harus cari sponsor. Tapi sejauh ini, sponsor yang datang, asli jack, support ga sampai 10 juta. Bahkan, di bawah 5 juta! Cuma mintanya macam-macam. Kalau mereka merasa tidak diservis dengan baik, mereka langsung mengancam, tahun depan bisa ga mendukung lagi. Hebat dah! Ngeri ya?
Di tahun ini saja, ada produk terbilang besar banget. Ditawari masuk, hanya dengan kisaran harga 10 jutaan. Ambil deh kursi undangan mayoritas untuk klien mereka. Sang pemimpin tertawa, dan memilih lebih baik menonton gratis, tak apa berdiri juga. Tak tertarik lho. Brand perusahaannya itu gede, harga mahal, tapi untuk mengeluarkan 10 juta saja ogah! That’s the fact!



Emangnye gampang bikin festival? Untuk mewujudkannya, bukan perkara mudah. Kalau “sekedar” menjalankan, relatif mudah. Tapi membangun dari awal, cari dana lantas membentuknya, mewujudkannya kemudian menjalankannya, oho. Suka bisa bikin mendadak perut mual, perih dan otot-otot jadi terasa tegang. Tetiba kontraksi!
Memangnya artis-artis populer itu, terutama pihak menejemennya, mau mengerti perjuangan organizer yang punya festival? Jangan mimpi bray. Kalau mau pake artis gw, ya segini. Syarat-syaratnya juga begini. Coba aja menawar, bantuin kita deh, biar ngeramein. Kasih diskonlah, kami memang budgetnya mepet. Sebagian besar, mana ada yang peduli? Yah itu deh menejemen artis sekarang....
Makanya saya bilang, sekedar ikut-ikutan bikin festival, dan jazz pula, itu mah gampang aja. Duitnya ada kan? Sini deh, kita wujudkan dan jalankan. Tapi kalau bisa bertahan sampai, jangan jauh-jauhlah, lebih dari 2-3 kali saja deh. Kalau sok idealis, tetap ngejazz, pasti bakal berdarah-darah. Kalau toh bisa sukses bertahan, bisa jadi ya, udah akan menjadi “makin tidak jazz”.


Dan catatan saya sih, walau sudah tak jazz lagi pun, sebagian besar festival itu memang tak sanggup bertahan lama. Stamina akhirnya jelblok juga. Sebagian besar itu juga karena, bikin festival jazz ikut-ikutan sih. Followers aja, biar dianggap ikuti trend yang ada.
Bikin males ga sih? Iya jadi sebel, tapi lha kalau mau dapat duit tambahan yang lumayan, harus mau ambil artis-artis dengan menejemen yang bersikap, persis penjual di toko. Mau gimana lagi coba? Nasib deh.
Excuse me, boleh ya sedikit curcol. Intermezzo lah. Tapi itu adalah gambaran dari sikon yang ada di Indonesia sini. Dan terus terang, ya yang juga jadi pergulatan yang dihadapi SCJ. Walau sudah 7 kalipun penyelenggaraannya.



Well, cukup dulu curhat-colongannya, kembali ke atas panggung SCJ 2016 ya. Ok, kita lihat dan nikmati deh jazz di mata penyanyi belia, masih 12 tahun, Michelle Kunhle? Ia tampil didukung para musisi senior kota Solo. Michelle adalah juga dalang cilik, ia banyak talentanya. Ini penampilan ketiganya di SCJ, dengan berganti-ganti musisi pendukungnya.
Kemudian duo MC, Adia Prabowo dan Annas Habibi memanggil naik, Galih Naga Seno, yang lebih mengedepankan unsur perkusi, dipadukan dengan instrumentasi musik standar, macam bass, gitar dan drums. Seperti juga Michelle Kunhle, kelompok Galih Naga Seno, juga berasal dari kota Solo. Kemudian tampil pula, B’ Fuzz, yang juga dari Solo.
B’ Fuzz nama senior juga sebetulnya di kota Solo. Serunya, mereka tampil hanya 3 lagu saja. Tetapi pada satu lagu,si penyanyi dengan sangat pedenya, menyanyi sambil baca teks syair lagu yang dinyanyikannya. Asyik betul, lihat kepedeannya deh! Persis lihat penyanyi di kafe-kafe.... 



Malam pertama, Jumat 30 September, ditutup penampilan musik berlandaskan tema world music, mengandung unsur etnik Nusantara bercampur dengan Timur Tengah. Nama mereka, Seroja, datang dari kota Pekalongan. Lumayan menghangatkan suasana.
Malam kedua, dimulai selepas hujan deras mengguyur Solo, hampir setengah harian. Dibuka oleh kelompok muda asal Solo, Aditya Ong. Penampilan lumayan apik grup yang dipimpin kibordis muda, Aditya Ong itu, diikuti kemudian oleh Iza Nael. Penyanyi dan gitaris muda, yang berasal dari Semarang, namun kini berdomisili di ibukota.
Iza Nael lumayan sukses membuat suasana menjadi bergairah dan lebih meriah. Ada drummer belia, berusia 12 tahun, Clay, yang membuat penampilan Iza Nael tambah menarik. Sekitar 3000-an penonton di malam Minggu 1 Oktober kemarin itu, lantas dibuat terhenyak dengan sajian sebuah kolaborasi lintas negara.



Jerryatia dan Elizabeth Sudira, duo MC malam kedua, lalu memanggil naik, Tesla Manaf, gitaris yang telah melanglang buana hingga Eropa dan Jepang, bersanding dengan Rodrigo Parejo. Rodrigo adalah flutist asal Sevilla, Spanyol namun bersekolah musik di Den Haag, Belanda. Mereka berdua, menyertakan penari asal Solo, Dhea Fandari.
Musik ilustratif perpaduan flute dan gitar itu, sempat membuat penonton seolah terhipnotis. Terdiam, dalam menyaksikan penampilan duo kolaborasi, yang hanya memainkan 2 komposisi, tapi berdurasi total hampir 40 menit itu.



Tak hanya penonton nampaknya yag gelisah dan,mungkin ada yang bergidik, menikmati perpaduan gitar dan flute duo tersebut. Bahkan rusa-rusa, yang memang dilepas bebas di areal Taman Balekambang itu, sampai berani menerobos penonton ribuan itu. Ada yang terkejut, dan jadi histeris!
Sampai akhirnya, sayapun iseng menamakan komposisi yang mereka mainkan pertama sebagai, ‘A Deer Calling Song’. Lagu kedua, dengan Dhea meningkahi musik yang ada dengan tariannya, saya beri nama saja, ‘Dance with a Deer Calling Part 2’. Soalnya, ketika ditanyakan ke Tesla, apa judul komposisinya yang dimainkannya. Tesla tersenyum lebar....






Dan malam kedua SCJ, ditutup penampilan Tompi. Penyanyi ini memang ditunggu-tunggu penonton, yang langsung menyambut riuh, begitu nama Tompi diteriakkan MC. Tompi membawa serta Echa Sumantri (drums), Ilyas Muhadji (bass), Henri Budidharma (gitar) dan Deky Surya (kibordis).
Tompi sukses menutup SCJ 2016, membuat penonton terlihat puas. Di tengah penampilannya, ia sempat menantang penonton untuk berduet dengannya, dan tantangan diterima! Seorang penonton pria, berani maju ke depan, dan mengejutkan Tompi dan seluruh penonton! Suaranya bagus, dan serunya, mirip Tompi!
Tompi juga sempat mendadak mengajak naik pentas Sruti Respati. Penyanyi dan pesinden asal Solo itu, akhirnya naik panggung dan berduet dengan Tompi secara spontan.
Jelang pukul 23.30, SCJ pun usai. Akhirnya acara festival inipun berlangsung dengan lancar, sampai selesai. Sampai jumpa di pergelaran Solo City Jazz di tahun mendatang. Itupun kalau Tuhan, sang khalik langit dan bumi,memberikan restunya dan membuka jalan.../*