Bahagia
itu so simple. Bagaimana kita
“bermimpi”, menikmati mimpi itu bersama. Lantas sepakat, kita coba bisa menggapai
mimpi itu. Nikmati saja perjalanan waktu. Kalau nanti diijinkanNYA, bisa
kesampaian kok. Ya jalani saja, hari demi hari.
Perlu
hemat ini dan itu, ya lakukan sajalah. Setahunan, nanti juga tak berasa. Eh beneran kejadian! Thank God. Alhamdulillah. Sungguh suatu perjalanan berduaan yang
menyenangkan. Harus senang, harus sukacita!
Padahal,
mana tahu ternyata di hari pertama justru seperti badan itu ga siap betul untuk
menikmati udara dingin. Dingin tuh, dingiiiiin
banget-nget! Bray, bayangin aja
sampai 7-8 derajat celsius. Kayaknya ada terjadi ketidak kompakkan sedikit, di
dalam tubuh dan jiwa ragaku ini....
Biasanya
paling asoy deh, untuk mengalami
dingin. Dingin menusuk tulang begitu. Tetapi lantaran agak kurang fit, jadinya
ya begitulah. Hari pertama, bisa menonton, bisa senang-senang. Tapi beres acara
hari pertama, langsung balik ke kamar hotel! Edun cuuuyyy, dinginnya itu, Masya Allah!
Ini
adalah sedikit catatan saja. Saya pengen berbagi cerita, bagaimana kami berdua
akhirnya bisa menonton juga Jazz Gunung
di Bromo. Baru bisa menonton pas di edisi mereka yang ke sepuluh tahun!
Yang
seru memang saya dan istri, kepengennya nonton Jazz Gunung di Bromo, that’s it! Kita ga terlalu peduli,
siapa-siapa saja performers yang akan
tampil. Blank. Bahkan kita baru tahu
bahwa ada si ini dan si itu yang main, oh si anu juga tampil, ya pas kami
berdua sampai di Surabaya.
Jadi
kan kami ke Bromo, lewat Surabaya. Jam 7 pagi pesawat Air Asia kami terbang
dari Soekarno Hatta International Airport.
Di Juanda International Airport
Surabaya, sudah menanti tenaga pendamping yang menjemput kami. Iya, semua
penonton Jazz Gunung yang membeli tiket paket 3 hari via Jazz Gunung Store di websitenya,
memang akan dijemput dari bandara terdekat. Kami pilih Surabaya.
Yang
asyik dan mengharukan, Aldi yang
menjemput kami, langsung mendatangi saya. Dan ia mencium tangan saya, begitu
bertemu dan bersalaman! Astagfirullah....
Betul-betul mengharukan. Serasa ustadz! Hahahaha.
Eh
iya permisi, ini ceritanya udah dimulai ya. Iya ikutin saja. Jadi sudah tiba di
Surabaya kan. Lantas ternyata ada pasangan lain yang harus dijemput juga oleh
Aldi. Isi mobil minibus besar itu, akhirnya hanya dua pasang saja. Termasuk
saya dan istri, so pasti.Plus Aldi. Dan tambah si pak sopir.
Harusnya,
di rombongan kami, artinya yang memilih penginapan yang sama, ada 12 orang
jumlahnya. Tetapi menurut Aldi, yang 8 orang baru bisa datang ke Surabaya
siang, di atas jam 12. Sementara mobil penjemputan hanya bisa disediakan sampai
jam 11 siang saja. Jadi mereka terpaksa menuju Bromo sendiri....
Ok,
perjalanan Surabaya ke Bromo melalui tol dan kota Probolinggo, sekitar 2,
hingga 3 jam lah. Karena pas jam makan siang, Aldi pun menawarkan mampir makan
siang di restoran Rawon Nguling, ya di daerah bernama Nguling.
Sejak
masuk mobil menuju Bromo, tetiba saya berasa, ini badan ga begitu beres nih.
Kenapa lagi nih? Sayapun mencoba, istirahat saja, sepanjang perjalanan. Bisa
tertidur lumayan sih. Ga nyenyak, tapi lumayanlah.
Pas
makan siang, makin kurang enak. Istriku lalu bilang, coba minum vitamin c dosis spesial, sehabis makan.
Saya setuju. Biasanya sih, abis
makan, udah cukup kenyang, badan harusnya segeran
dong.
Kami
di resto itu take lunch and rest about 45 minutes. Masuk mobil lagi,
badanku masih belum segar. Malah berasa tambah drop. Aduh, repot juga nih. Mulai rada gelisah juga. Iya dong, kan
nanti dingin banget di sana... Macam mana pulak ini?
Dan
kemudian sampailah di Bromo. Tepatnya di penginapan kami. Bentuknya guest
house. Bersih dan dengan bangunan terlihat relaif baru. Oh ya paket itu
harganya bervariasi, tergantung pilihan penginapan yang kami tentukan.
Ada
4 pilihan kelas penginapan. Yang kami pilih, terbilang termasuk paket
ekonomislah. Paket yang paling realistis, disesuaikan dengan ketebalan dompet
kami berdua. Sesungguhnya kan, dompet kami tebal dengan kartu-kartu sih. Kartu
kredit? Hehehe, adanya sih kartu
diskonlah, kartu berobat dokter dan rumah sakitlah, kartu anggota ini itu lah,
termasuk KTP dong. Ngerti ora son?
Kamar
kami, Nomer 1 lho. Di lantai 2. Langsung masuk kamar, rebahanlah. Istriku buka
koper. Eh koper kami relatif gede. Kami membawa 1 koper, dan masing-masing
membawa hand-bag gitu. Istri bawa
handbag “andalan”-nya. Yang dihiasi gambar-gambar puppies gitu. Lucu deeeeh!
Saya
ya ransel isi kamera sebagai peralatan tempur wajib. Ada juga scarfs dan dua buckethead. Selain cigarettes beberapa bungkus, persediaan
untuk 3- hari, cuuuyyy! Nah koper
kami memang harus gedean, isinya soalnya kebanyakan beberapa jaket, selain sweaters.
Kami
sebetulnya lumayan siap untuk menyambut dingin. Infonya kan, udara dingin Bromo
itu bisa mencapai 10 derajat celsius, khusus dimalam harinya. Tetapi di 2 tahun
lalu, itu bisa termasuk lebih dingin, di bawah 10 bray! Oho. Ya jadi siaplah. Kaos dalam sampai longjohn. Sweaters maupun kaos lengan panjang. Sampai juga, beaniehat segala! Gloves segala juga
sudah ada.
Saya
waktu packing di rumah ya, sampai
bilang, ini kostum-kostum kita ngingetin aku mau ke Eropa atau Amrik di
bulan-bulan September ke atas aja nih. Istriku ketawa dan bilang, yah daripada
mati kedinginan nanti kan?
Oh
ya, Aldi menginformasikan, begitu tiba di penginapan bernama HTM guest house, nanti akan ke venue di Jiwa Jawa Resort jam 15.00 wib. So, masih ada waktu sekitar hampir
1,5 jam-anlah gitu. Ya saya pakai rebahan sebentar itu.
Sukses,
bisa memejamkan mata, cukup berarti sih. Lantas setelah istri saya mandi,
berikutnya saya. Aduh, air panas di kamar kami tak berfungsi! Ya ampuuuun, mana
mungkin mandi? Saya sih paksain aja, biar lebih segar.
Bersama temen baik, Yose Riandi, fotografer muda penuh vitalitas. Dan vegetarian! |
Jam
15.15, kami berangkat menuju venue. Saat itu, badanku cukup segar sih. Kayaknya
ya, karena aku excited, mau nonton Jazzgunung lhooow. Itu sesuatulah, buatku dan istri. Kami senang betul.
Akhirnya ya....
Perjalanan
menuju venue, menanjak, melewati hutan pinus, eh itu pinus sih kayaknya. Juga
kebun sayur-sayuran sampai eh ada kebun strawberry juga. Sejuk pemandangannya.
Menyenangkan mata. Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menitlah. Jadi venue
memang masih di atas gitulah.
Sampai
di venue, kami mengurus tiket masuk untuk menonton. Nah ini, kami buka kartu.
Ketika sebelumnya berniat untuk membayar paket perjalanan menonton, dalam
perhitungan total termasuk tiket nonton untuk 3 hari. Pas mau membayar, eh
bagian ticketing dari organizer Jazzgunung menyampaikan, bahwa kami berdua
dikasih bonus! Bonus apa?
Tiket
nontonnya digratiskan. Ini instruksi mas Bagas, dan disetujui mas Djaduk. Oala!
Terima kasih, gracias betul-betul deh
ya! Bagas dari putra dari Sigit Pramono,
yang adalah founder Jazzgunung
bersama Djaduk Ferianto didukung Butet Kertaradjasa.
Djaduk Ferianto, menyelip di antara penonton |
Sigit Pramono diwawancarai BBSTV |
Sigit Pramono |
Bagas Indyatmo |
Well,
sedikit cerita tambahan. Kami memang merencakan nonton ini ya diam-diam. Ga
info-info atawa cerita kemanapun. Dan ke pakde kami, yang bernama Djaduk
Ferianto yang dulunya mungkin bernama panggil Yanto itu, seingetku ya cuma
nanya di awal. Gimana dan berapa sih, kalau aku dan istriku mau nonton
Jazzgunung di Bromo.
Cuma
itu saja sih. Soalnya, langsung Djaduk cepat tanggap. Menginformasikan
ticketing, yang mengontak saya langsung. Dan lantas pembicaraan memang hanya
antara saya dan Ari, dari bagian handling tiket tersebut.
Dan
dari awal memang, kami tak lantas mencari informasi siapa-siapa saja sih yang
akan tampil nantinya ya. Hanya ada nah ini,yang kami tahu itu, hanyalah Bintang
Indrianto dan band-nya yang akan main. Cuma itu. Dan kami berdua, ga
mengabarkan samasekali ke Bintang maupun Ernie istrinya. Padahal mereka itu, ya
ampuuun, sahabat dekat kami bingits!
Dan
balik ke venue. Begitu melihat venue, panggung amphitheater, dengan
bantal-bantal untuk alas pantat penonton. Stage cukup besar dengan ornamen
bambu yang “menutup” stage. Lightings secukupnya. Dan ada patung Jazzgunung,
itu ikon penting kayaknya. Patung itu karya pematung kenamaan, Dolorosa Sinaga.
Terus
terang, saya terharu dalam hati. Akhirnya bisa kesampaian juga nonton
Jazzgunung di Bromo. Saya bahagia betul. Terlihat juga dari raut wajah istri
terkasih. Kami tak berkata-kata, hanya saling menggenggam mesra saja, lantas
menyapu pandangan kami ke sekeliling areal venue nan indah itu.
Yaindah
betul. Latar belakang panggung itu adalah kawasan pegunungan eh apa perbukitanlah
tepatnya. Hijau dimana-mana. Udara sejuk. Mungkin kisaran 12-13 derajat kali ya
di sore itu.
Sebelumnya,
kami sempat berkeliling venue dulu, melihat-lihat stand kulineran sederhana
yang ada, termasuk merchandises yang disediakan. Ada juga galeri yang memajang
koleksi pemilik Jiwa Jawa Resort. Termasuk karya-karya fotografinya. Pemiliknya
ya Sigit Pramono, yang sebelumnya dikenal sebagai praktisi perbankan.
Acara
dimulailah. Ok soal perjalanan acara, saya review di tulisan berbeda saja ya?
Biar fokus nih. Mulai makin malam, waduh badan ini terasa eala, pelan tapi
pasti ada gejala-gejala makin kurang asyik. Gelisahlah. Soalnya menggigilnya
itu.... Wah, wah, ga seru nih!
Saya
sudah mencoba, banyak jalan saja, memutari areal panggung, masuk ke backstage menjumpai teman-teman musisi.
Tapi memang dinginnya itu deh! Ampuuuun!
Bercengkrama, ngobrol-ngobrol dengan Tohpati
Bertiga misalnya, lalu sempat ketemu dengan Iga Massardi dan Gerald
Situmorang dari Barasuara. Kemudian dengan Andre Hehanusa. Tapi ya dinginnya,brrrrrrrrr.....
Tau
ga ya, saya sampai membeli sarung tangan segala! Iya di dekat pintu keluar ada
beberapa pedagang asongan yang khusus menjual topi kupluk bermacam model dan
warna, sejenis beaniehat gitu, juga ada scarf dan sarung tangan. Istriku Tyas
yang membelikannya.
Sesaat
itu, merasa beruntung eh ada perapian yang memang bisa menghilangkan rasa
kedinginan luar biasa. Lumayan banget! Cuma masalahnya, saya karena memang
kedinginan yang ga fit gitu, jadi lebih senang dekat perapian itu.
Kalau
di perapian sih badan hangat. Tetapi begitu menonton panggung, langsung
kedinginan lagi. Malah makin menggigil lho. Walah! Repot betul deh. Ternyata
berlama-lama menghangatkan tubuh di perapian, adanya di backstage itu, ga bagus
juga!
Eh
ya jangan sampai lupa ceritain part
seru nih. Jadi kan kami datang diam-diam tuh. Yang seru, kami tahu bahwa
Bintang dan Ernie bersama band-nya Bintang kayaknya datangnya itu di hari sama
dengan kami. Malah mungkin jam terbagnya berdekatan.
Ya
ga ketemulah, karena pasti airlines-nya
beda. Kami sih pilih maskapai penerbangan paling ekonomis kan? Jadi paket
menonton itu tidak termasuk penerbangan, artinya harus beli sendiri tiket
penerbangan ke Surabaya, pergi pulangnya. Lagi-lagi, ya kudu disesuaikan dengan
kocek dong.
Istriku
“memergoki” Bintang dan kawan-kawan terbang juga ke Surabaya di hari sama,
dengan waktu berdekatan lewat postingan di Instagram! Hihihi. Tapi kami hanya
“memantau” saja, ga komen dan memang ya ga kontak.
Nah
sampailah saat pertemuan kami. Sore jelang malam, kami berdua dari selepas
makan malam dengan sate tuh. Berjalanlah menuju kembali ke venue. Eh kami
lihatlah, itu Bintang dan Ernie. Kami berdua cekiikan lantas sepakat, nunduk
yiuk jalannya, mereka tahu ga.
Ternyata
oh ternyata, insting sepasang insan itu lumayan tajam! Mereka mengendus lho
dengan sukses ada kami di depan mereka! Hahahaha. Mereka kaget bukan kepalang.
Kami tertawa lebar. Puasssss deeeeh! Mereka memang ga tahu bahwa kami akan
datang menonton.
Ya
tertawa-tawa,ngobrol, fotoanlah ya.Lalu kami menonton. Tentu dengan gelisah,
makin gelisah karena kian menggigil tepatnya. Asli makin malam, saya merasa
drop. Untuk”mengatasi” rasa menggigil, sampai-sampai ikutan aja goyang-goyang
terutama saat Barry dan kemudian Andre Hehanusa tampil.
Saya
yang kebetulan duduk di sisi kiri panggung, bersebelahanlah dengan pakde
Djaduk. Kaget juga, pakde mulai menggigil juga ternyata. .Dingin banget, begitu
dia mengakui. Padahal ya jaketnya kelihatannya lebih tebal dari jaketku.
Padahal
sih, aku sudah rangkap empat, lengkap degan jaket! Dengan kaos kakipun
rangkap!! Asli cuuuuy, udah kayak di...Eropa atawa Amrik nih.Lha kami dengan
Djaduk sama-sama mengakui, ini kostum kayak lagi nonton show di Eropa aja.
Hebatnya, ya kami dan Djaduk itu sampai ya....hafal lagu-lagunya Andre
Hehanusa! Hahahaha, jadi ikut-ikutan menyanyi segala.
Dan
waktu itu, istriku bilang eh mbak Ernie ajakin kita ke Pananjakan dan naik
Bromo nanti jam 2 pagi. Pertama kali aku senang dan jawab, wah beneran nih? Ok
juga, hayolah. Itu waktu pertama mendengar ya. Senenglah.
Karena
kami berdua memang merencakan gimana ya, sudah sampai kawasan Bromo masak sih
ga lihat “penampakan” Bromo? Sayang amat. Apalagi, aku sendiri ke Bromo itu
terakhir sekitar 1996, dua puluh dua tahun lalu! Ya pengen bisa mendaki, naik
ke kawah Bromo lagi dong. Iya tapi, badan drop gini?
Kemarin
itu juga ada peristiwa alam yang dahsyat. Fenomena pemandangan blood-moon atau bulan-berdarah. Langit
Bromo cerah, pastinya pemandangan penampakan bulan “berdarah” akan sangat
jelas. Diperkirakan bulan akan “berdarah” dengan sempurna sekitar jam 2-3 pagi
dinihari.
Ya
ampun, niat sih guedeee. Kepengen sih
kepengen banget. Apa daya, saya harus terpaksa mengalah dengan kondisi badan.
Akhirnya saya menyerah, bilang ke istri, yah bilang ke Ernie deh minta maaf ga
jadi ikutan. Saya ga kuat nih.
Saya
putuskan tak jadi ikutan naik Bormo, setelah saya menggigil makin seru.
Sampai-sampai kami mlipir masuk restoran yang ada di areal itu. Restoran megah,
besar dan tertutup. Saya dan istri pesan kopi dan pisang goreng, harganya
lumayan sih.... Tapi saya yang minta ke situ, untuk mencoba “menetralisir”
badan yang makin menggigil.
Di
dalam resto itu, Rehat Bromo namanya, saya hanya dua-tiga teguk menyeruput
kopi. Eh ternyata saya luar biasa mengantuknya. Yang terjadi adalah, saya
tertidur lho. Beneran tidur, hilang, mungkin sekitar hampir setengah jam! Dan
tertidur dalam posisi duduk, dengan kepala bersenderkan kedua tangan saya di
atas meja. Lelap!
Alhasil,
selesai pertunjukan malam pertama, kami langsung bergegas kembali saja ke kamar penginapan.
Menumpang kendaraan shuttle yang
sudah disediakan. Masuk kamar, langsung meringkuk di balik selimut. Masih menggigil.
Begitulah, rusak sudah rencana! Mau gimana lagi kan?
Beruntunglah,
saya bisa langsung tertidur pulas. Biasanya tuh ya, kebiasaan “jelek” saya
adalah saya kalau di malam pertama atau kedua, tidur di bukan kamar saya
bakalan susah. Mau sebagus apapun kamarnya. Mungkin karena memang betul-betul
sudah “tak berdaya” eh langsung pulas lho.
Bangun
pagi, aduh alhamdulillah badan segaran. Saya jauh lebih fit. Kami terbangun
sekitar jam 7 pagi. Cuci muka sedikit, lantas berjalan sekitar penginapan.
Mencari roti atau makan kecil deh. Juga untuk berjemur, biasanya terkena sinar
mentari pagi kan sehat. Flu bisa langsung lenyap.
Mengamati sepasang suami istri nan baik hatinya, berjalan menuju venue Jazzgunung |
Diapit dua sahabat baik, Frans Sartono dan Ajie Wartono |
Bapak Ibu Sigit Pramono, suami istri sahabatku, Bintang Indrianto dan Ernie Bintang. Bersama Djaduk Ferianto |
Kamipun
merancang rencana, udah nanti siangan kita coba yiuk ke Penanjakan lagi. Tanya
info kendaraan, di sana ada Toyota
Hardtop sewaan yang siap mengantar tamu berkeliling kawasan Bromo, naik ke
atas. Waduh mahal juga! Coba cari-cari teman deh, biar bisa patungan kan.
Ternyata
ga dapat teman yang mau jalan-jalan. Yaaaa
sutralah, sayang banget sih. Mau jalan berdua saja, memang mahal. Kalaupun
kami nekad, persoalannya duit tunai yang ada itu, terbatas. Ga cukup untuk
membayar sewa Hardtop. Susah menemukan
ATM di sana. Ya begitulah deh.....
Akhirnya,
kami sepakat untuk menerima dengan ikhlas. Jiwa besar. Nyantai kok. Kita asli
hanyalah menonton Jazzgunung. Toh, memang begitulah rencana awalnya kan? Itu
sudah tercapai, ya syukurilah.
Dan
kamipun menonton di hari kedua. Badan sudah lebih segar. Saya menyelipkan
jaket, di ransel kamera. Berjaga-jaga, kalau merasa menggigil seperti kemarin
malam, jaket harus dipakai, artinya bisa rangkap 5 baju yang saya pakai.
Sedari
sore, dengan kabut yang bergerak turun, suhu udara agak “mencemaskan”. Karena
kemarin malam yang diduga, via google sih, suhu mencapai 7 derajat celsius. Itu suhu segitu sampai
esok paginya. Nah sorenya sebenarnya relatif masih lebih bersahabat, lebih
nyamanlah.
Nah
di hari kedua itu, baru sore kok terasa lebih dingin ya? Tapi karena saya
memang sudah jauh lebih fit, tubuh saya masih bisa mentolerir suhu yang
sebenarnya lumayan dingin itu. Seberapa dingin sore itu? Jangan-jangan sekitar
10 atau 11 derajat kayaknya. Rasanya sih bisa segitu.
Saya
ternyata tak sampai harus mengeluarkan jaket saya. Cuma menambah kostum dengan
sarung tangan saja. Dan saya relatif bisa menghadapi suhu dingin di malam
kedua. Saya memang sebenarnya “lebih kuat” menghadapi dingin, daripada panas.
Gini,
masalahnya saya punya catatan rekor medis untuk alergi. Ini berdasarkan hasil
tes alergi, di sebuah klinik asma dan alergi. Saya paling ga kuat, kulit saya,
dengan udara panas! Itu sudah “bawaan orok”, dan harus 'nrimo. Alergi itu ga ada
obatnya, kata dokter alergi saya.
Ini maksudnya apaan sih? Tiket Jazzgunung, kok backgroundnya....The Rolling Stones? |
Tyas Yahya dengan Tirta Maharani Bagas |
Suhu
yang tinggi, kepanasan, bisa membuat sekujur tubuh saya gatal-gatal. Waduh, “menderita”lah
kalau saya merasa kepanasan. Kalau dingin, saya nyaman betul.Itu sedari kecil.
Makanya, beberapa tahun sempat ayah saya dulu, pastilah membawa saya bersama
ibu dan kakak saya untuk menghabiskan akhir pekan di kawasan Puncak. Itu jadwal
tetap kami.
Oh
ya, di hari kedua itu, saya juga menyambi. Ceritanya, saya diminta membantu
teman-teman dari BBS TV. Stasiun
televisi digital yang ber-home base di Surabaya tersebut, akan melakukan
liputan eksklusif mengenai Jazz Gunung. Direncanakan, akan ditayangkan dalam
program khusus selama 60 menit.
Maka
saya cukup sibuk. Motret-motret, ngobrol dan silaturahmi kanan-kiri. Serta
menemani kamerawan-kamerawan BBS TV berserta reporter dan produsernya.
Khususnya untuk menghampiri para musisi yang tampil, untuk diwawancara. Tentu
termasuk penyelenggara, dalam hal ini diwawancarailah Sigit Pramono dan Djaduk
Ferianto. Wawancara secara terpisah.
Silaturahmi
kan perlu, dan wajib rasanya. Maklumlah, bisa dibilang hampir seluruh musisi
dan penyanyi yang tampil, saya kenal. Malah terbilang kenal dekat, teman-teman
baiklah ya. Nikmatnya acara berbentuk festival itu kan, ya jumpa teman-teman,
ngobrol-ngobrol. Tempatnya ya di backstage sih.
Maka
dari itu, kalau saya datang ke sebuah festival, apalagi jazz, dan tak punya ID
untuk all-access, agak-agak gimanalah
gitu. Kayak “mati angin” sendiri. Mana menonton, sekalian memotret misalnya ya,
hanya dari sisi penonton. Dari luar barikade panggung. Waduh, kurang asyik. Soul-nya ga dapet cyiiin. Taela!
Acara
malam kedua beres sekitar jam 11 malam. Kami bergegas kembali ke penginapan. Ga
ada rencana berpergian. Sudah tak lagi ingin untuk melihat Bromo dari dekat.
Karena esoknya, hari ketiga, Jazz Gunung itu dimulai jam 06.30 pagi.
Tidur
cukup, dan pulas juga. Jam 6 pagi, di Minggu 29 Juli, Aldi sudah menjemput
untuk ke venue. Saya dan istri semangat, pengen tahu suasana paginya akan
seperti apa nanti nih. Pasti eksotis deh.
Eh
beneran lho. Melihat panggung, dengan pepohonan dan perbukitan sebagai latar
belakang, sorot mentari pagi, udara segar betul. Ini mah bener-bener jazz sehat
dan segar banget! Bukan semata-mata, salah satu jazz di tempat tertinggi. Tapi
bayangin aja, udara pagi pegunungan. Bebas polusilah pasti.
Panitya
penyelenggara menyediakan secara gratis sarapan, berupa sandwich. Bisa dipilih
isi ayam atau tuna. Kemudian bisa minum kopi ataupun teh panas. Nikmatnya. Aduh
susah dituliskan dengan kata-kata.
Sementara
ada perubahan “design” untuk areal penonton. Kalau di 2 malam sebelumnya,
penonton di latar depan duduk di atas kursi kayu panjang yang tersedia
berjejeran rapi. Nah untuk pagi hingga siang di hari ketiga itu, penonton bisa
menonton lesehan saja. Kursi-kursi panjang di-take out, diganti bantal-bantal dengan sarung warna-warni.
Pemandangannya
lebih enak deh, kesannya lebih nyantai dan bersahabat. Kembali lagi, saya juga
harus menemani tim kecil dari BBSTV. Sebenarnya tim BBSTV sudah menyiapkan drone, tetapi ada masalah tehnis
sehingga drone tak jadi diterbangkan. Etapi, mungkin juga memang ga mudah untuk
dapat ijin dari penyelenggara sih.
Di
hari ketiga itu, semua yang tampil, nuansa musiknya lebih akustik. Soundnya
lebih “tenang”. Boleh dipuji deh, pilihan performers
nya untuk tampil di hari ketiga itu. Saya merasa, musiknya pas untuk suasana
pagi yang cerah dan senyum di bibir merah para penonton. Penonton ceweklah.
Kalau penonton cowok, paling-paling jaketnya yang merah. Hihihihi.
Ada
sedikit kejadian kurang asyik sebenarya. Ini saat melakukan wawancara dengan
satu persatu pengisi acara. Saat wawancara dengan Bonita and the Hus-Band. Lalu
juga dengan Endah N Rhesa. Saat wawancara, ada media lain, televisi dan radio
kayaknya, ikutan menodongkan mike. Ikut mengambil gambar juga. Walah.
Saya
pikir ya harusnya, kalau beretika, hal itu tidak dilakukan. Karena kan yang
meminta wawancara itu, saya dan ngomongnya hanya untuk BBSTV. Sedih deh, yang
main todong mike dan ambil gambar itu, anak-anak muda. Bener, reporter dan
kamerawannya masih muda-muda.
Sayang
juga, mereka mungkin tak sempat kursus soal etika pekerjaan. Ataupun, kursus jurnalistik?
Ga jelas deh. Saya tak melakukan peneguran apa-apa. Biarlah tetapi pikir-pikir
sih, harusnya mereka memahami ya. Hari gini, bisa ga ya sadar sendiri, ga harus
setelah ditegur?
Dan
festival pun berakhir di jam sekitar 10.30 pagi jelang siang. Berakhirlah
festival Jazz Gunung yang eksois itu. Lebih dari sekedar ajang menikmati jazz
sehat dan segar, yang lebih nyaman dan khas. Eksotisme suasana, hidangan jazz,
kulineran dan udara, sepoi anginnya itu sangat menyenangkan.
Nah
menggambarkan soal menyenangkannya itu, terus terang aduh gimana ya. Ini soal
rasa sih, jadi sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya gini, gw hepi
bray, asli! Beda deh. Ini pengalaman sangat berharga.
Selesai
nonton, kembali ke penginapan lagi. Aldi menyampaikan bahwa nanti jam 12 siang
check-out dan langsung diantar kembali ke Juanda, Surabaya. Kamipun
berkemas-kemas. Sempat menikmati makan pagi, yang kebetulan masih disediakan di
ruang makan penginapan tersebut.
Wawancara BBSTV dengan Djaduk Ferianto |
Dan
ternyata anggota rombongan semobil untuk pulang, sama lagi seperti kita datang.
Jadi hanya berempat. Tetapi Aldi, tak ikut mengantar. Aldi melepas kami di
penginapan. Jam 12.20 siang, kami meninggalkan HTM guest house langsung menuju
Surabaya.
Selama
perjalanan ke Surabaya, ternyata semua bisa dibilang terlelap. Maklumlah,
mungkin jadwal bangunnya rada kepagian. Hehehehe. Siang itu sih, saya merasa
rada pegal juga. Mungkin pegal karena kan, selama festival, rajin kesana-kemari
untuk foto dan wawancara?
Sampai
di bandara Juanda, kami berpisah dengan pasangan satunya lagi, yang memang akan
terbang balik ke Jakarta. Saya dan istri memilih untuk stay semalam di Surabaya
untuk bersantailah. Hotel sudah di booking juga dari sebulan sebelumnya.
Begitulah
cerita saya di balik Jazz Gunung 2018. Pertama kali datang, akhirnya bisa
datang menonton juga. Ah senangnya itu!! Saya harus memuji penyelenggaraan
festival itu. Beneran, eksotisnya itu mungkin susah ditemui di
festival-festival lain di seluruh Indonesia.
Unik,
khas dan ya itu tuh, eksotis dan menghibur. Bukan “mengejar” menjadi festival
yang wah, gede, multi-stage, banyak sampai mempromosikan ratusan musisi dan
penyanyi yang tampl. A itu jadi sudah...”kelewat generik”. Ga terlalu menarik,
ga lagi jadi magnet sih.
Bersama pasangan Bagas dan Tirta "Tita" Maharani |
Kami dan Aldi, yang menjadi LO kami. Terima kasih ya Aldi. |
Eksotisme
suasananya itu lho, yang susah untuk “diikuti”. Menyenangkan, menghibur
sepenuhnya, melepaskan kepenatan, mungkin saja bisa melancarkan peredaran
darah. Sampai, melonggarkan otot-otot yang kaku? Ini jazz atau....suplemen
vitamin dan mineral sih?
Saya
dan juga istri tentunya senang betul, impian kami terwujud. Setahunan lho
nyiapin diri. Kalau bermimipi ya memang sejak 2-3 tahun lalulah. Kami sukacita
dan segar, begitu rasanya ya, ketika kembali ke rumah kami di Jakarta.
Pengalamannya...sangat jazz dan seriusssss, eit “s” nya harus banyak memang.
Itu menurut Djaduk, juga Idang Rasjidi! Hehehehe.
Dan
mau tahu ga ya, gini kami berdua ya baru sadari saat di Bromo. Eh usia
pernikahan kami kan semingguan lagi masuk pas setahun? Well, ini perjalanan
cinta kasih, merayakan ulang tahun pernikahan juga dong?
Saya
memeluk dia, diapun memeluk saya dengan mesra. Selanjutnya, ah ya sudahlah.
Urusan suami istri dong ah. Terima kasih untuk Djaduk Ferianto, Bagas Indyatmono dan istrinya, Tirta Maharani. Tak lupa juga untuk Dilla, media-handling Jazz
Gunung yang sudah korporatif dan sangat membantu teman-teman saya, tim dari
BBSTV.
Terima
kasih untuk pak Sigit Pramono, juga kangmas Butet Kertaradjasa. Dan semua di
organizer Jazz Gunung. Tak lupa, seluruh grup musik, penyanyi dan musisi yang
tampil di Jazz Gunung 2018. Anda semuaaaa....luar biasaaaa..aaa...aaaa...
(pakai gaya Ariel Noah!)! /*
Kami di Surabaya, menjelang kembali ke Jakarta |
No comments:
Post a Comment