Erucakra & Planet 9 di Medan Master Jazz |
Emerald BEX di Makassar Jazz Reunion |
Becca and de de Tuan's di Jazz Republik Kopi, Bondowoso |
Memang
menyenangkan, bisa berkesempatan mengunjungi beberapa kota lain, di Nusantara
ini. Jalan-jalan, menikmati kuliner. Sekaligus, nonton jazz bagus. Ah, nikmat
mana lagi yang kau dustakan....
Sungguh
menikmati waktu perjalanan yang terasa istimewa. Pada beberapa waktu lalu, saya
bisa mengunjungi kota Medan di akhir pekan pertama. Seminggu kemudian
mengunjungi kota Makassar. Dan persis seminggu setelah itu, diundang untuk
mengunjungi kota Bondowoso.
Di
ketiga kota, lain pulau itu, terhidanglah aneka menu jazz yang memiliki
kenikmatannya masing-masing. Saya merasakannya, sungguh menikmatinya. Dan
menganggap, apa yang saya tonton dan dengar, adalah semacam bebunyian dan
tontonan penyegar jiwa. Bikin awet muda?
Awet
muda, ketika melihat dan menikmati kelompok musik bernama Planet 9.Ini di kota Medan. Kunjungan pertama. Acaranya adalah, Medan Master Jazz. Adalah grup musik
Planet 9 yang ditonjolkan secara khusus pada acara yang digelar di JW Marriot
ballroom, di tengah kota Medan itu.
Planet
9 adalah eksplorasi dan eksperimentasi bermusik yang baru dari sahabat baik
saya, gitaris terkemuka kota Medan, Erucakra
Mahameru. Dikarenakan ia memiliki segudang ide bermusik, ia memerlukan
kelompok yang berbeda. Tidak dengan grup musik sebelumnya, yang telah lumayan
dikenal luas, C-Man.
Apakah
ia memang memerlukan sebuah ajang baru lainnya, tak cukup hanya dengan North
Sumatra Jazz Festival yang telah digulirkan sejak 2011 itu? Bisa ya, bisa
tidak. Pandangan memang bisa berbeda, begitupun halnya pendapat. Tapi terpenting,
bagaimanakah Medan Master Jazz kelak akan lebih membuat semacam...men-Jazz-kan
Medan dan Sumatera Utara dan me-Medan dan Sumatera Utara-kan jazz. Kira-kira
seperti itulah.
Sebagai
sahabat baik, saya pastinya mendukung sepenuhnya. Karena saya tahu persis,
betapa bergeloranya semangat berkreatifitas dari suami Arsyadona Mahameru dan
ayah dari 2 anak ini. Erucakra, memerlukan sarana pelampiasan bermusiknya.
Kalau
boleh menitip saran, bagaimana kelak baik NSJF dan MMJ, memiliki karakteristik
tersendiri. Masing-masing akan memiliki warna “festival jazz” yang berbeda.
Semisal, yang satu nanti “lebih ngejazz”. Yang satunya, mungkin “lebih ngepop”?
Kenapa tidak bisa?
Kelak
kedua acara itu, akan menjadi agenda tahunan yang menyehatkan, sekaligus
memelihara atensi publik Medan dan Sumatera bagian Utara akan musik jazz. Tentu
saja,nantinya akan menjadi agenda promosi wisata yang menyegarkan, menjadi
alternatif yang unik dan menarik, buat kota Medan. Betul kan?
Karena
kalau kedua event, yang bisa dibilang berskala besar dan menasional buat kota
Medan itu, ternyata bentuknya dilihat sama saja. Akan datang pertanyaan,
mengapa membuang enerji membuat dua acara? Lebih bijaksana, satu tetapi lebih
diperkuat, dan akan lebih fokus.
Pada
kesempatan pertama, di Kamis 19 April lalu, MMJ menampilkan 3 grup band yang
dipilih dari ajang pencarian bakat. Kali ini menitik beratkan pada anak-anak
muda, yang memberanikan diri mengemas aransemen musik jazz. Dan tiga
terbaiknya, menjadi grup pembuka Medan Master Jazz pertama.
Kemudian
penonton, yang memenuhi areal sejuk ballroom hotel terkemuka di Medan itu,
disuguhi penampilan dari The Proessor
USU Band. Para profesor dari Universtas Sumatera Utara, yang suka musik dan
masih punya waktu untuk menyalurkan hobi bermusiknya.
Barulah
kemudian Erucakra Mahameru & Planet
9. Erucakra mengajak para musisi muda seperti Dolly Lasido (drummer), Irvan
Alamsyah (trumpetis). Kemudian ada Israq
Gunawan (bassist), Mikha Siburian
(kibordis). Lalu Ari Ridwan
(perkusionis, beatbox) dan vokalis cewek, Mimi
Lonika.. Erucakra tetap bermain gitar dan menjadi vokalis.
Setelah
dihibur dengan penampilan apik Erucakra dan Planet 9, artinya grup ini punya
prospek bagus lho, penonton disuguhi solo performance
dari penyanyi legendaris, Daniel
Sahuleka.
Solo
beneran, tulen! Hanya bergitar dan dilengkapi perangkat sequencer. Ia tampil membawakan sekitar lagu. Tetapi penonton memang menanti-nanti
dengan amat sangat, ‘You Make My World So Colorful dan tentunya, ‘Dont Sleep
Away This Night’ 2 lagu yang menjulangkan namanya di era 190-AN. Dan nyatanya
tetap membekas hingga kini.
Setelah
Daniel Sahuleka mencoba menaklukkan penonton dengan suara dan gitar tunggalnya,
MMJ ditutup penampilan Sandhy Sondoro. Sandhy yang sukses di Jerman itu,
menjadi sebuah penutup yang pas. Segar, menghibur dengan nyaris sempurna,
menyenangkan semua hati penonton. Tak pelak lagi, Sandhy memang “memenuhi
kewajiban” yang diembannya, menjadi penutup mini-festival Medan Master Jazz
dengan “baik dan benar”.
Meninggalkan
Medan. Pada Jumat malam 27 April, giliran kota Ujung Pandang. Kota yang kini
kembali ke nama asalnya, Makassar itu ada sahabat baik saya juga. Penggila jazz
yang juga praktisi pertambangan terkemuka, Hendra
Sinadia. Ia berinisiatif meramaikan suasana jazz Makassar dengan acara Makassar Jazz Reunion. Acara
tersebut digelar di Liquid Cafe, Hotel Clarion. Ini clubs lumayan besar dan mewah sebenarnya....
Penonton
juga lumayan jumlahnya. Sebagian ternyata adalah tamu-tamu reuni Universitas
Hasanudin Makassar, yang kebetulan sedang berkumpul di acara kampus
almamaternya.
Dengan
dibuka penampilan beberapa grup band jazzy lokal, Makassar Jazz Reunion ditutup
penampilan dua grup utama. Yang pertama, Phinisi
Band. Ini grup fusion terkemuka Makassar, yang sudah dikenal sejak era awal
2000-an, bahkan pernah sempat tampil di Java Jazz Festival segala.
Grup
ini memang sebuah jazzy-entertainer band yang lumayan baik. Mereka juga
berkolaborasi dengan vokalis jazzy dan pengajar vokal asal ibukota, Restu Fortuna namanya. Restu lebih
menghangatkan suasana lagi malam itu, dengan lagu-lagu jazzy dari Al Jarreau
misalnya, selain membawakan hits dari
Dian Pratama Poetra sampai mendiang, Utha Likumahuwa.
Hendra bersama tim penyelenggara, nampaknya pas juga "menyasar" kalangan penonton kali ini. Soalnya terbukti, penonton terlihat antusias menyambut lagu-lagu yang dibawakan Restu Fortuna dan Phinisi Band. Sing along, itu so pasti....
Dan
sebagai hidangan paling utama, kelihatannya paling ditunggu-tunggu penonton di
malam itu adalah penampilan dari Emerald-BEX.
Tetap dengan formasi yang bertahan dan kian solid dimana ada Morgan Sigarlaki (gitaris), Roedyanto Wasito (bassist), Iwang Noorsaid (kibordis) serta “adik
mereka, Yandi Andaputra (drummer).
Kali
ini, secara khusus mereka mengajak penyanyi belia rupawan, Chintana Jo. Yoi, Chinta
adalah putri sulung dari mendiang Ricky
Jo Dimana seperti diketahui kan,
Ricky Johannes adalah vokalis pertama Emerald (sebelum kemudian mereka bereuni
dan memakai nama Emerald-BEX).
Ada suasana "baru", pada saat mereka ditemani Chintana. Dua nama muda, Chinta dan drummer Yandi Andaputra, membuat musik mereka lebih terkesan modern. Harusnya, lewat figur-figur yang "milenial" begitu, musik Emerald-BEX jadinya lebih terkesan kekinian.
Oh ya, Emerald-BEX juga menyelipkan penampilan kibordis muda rupawan lainnya. Secara umur, juga terhitung "lebih segar". Saskia Ong namanya. Saskia berduet dengan Chintana, untuk 1 lagu, sebuah ballad manis, 'Satu Lagi'
Sementara secara keseluruhan, Emerald BEX harus diakui, salah satu grup fusion tahun 80-an yang tetap eksis. Musik mereka selintas, lebih "easy going", relatif lebih light. Etapi, bukan berarti poppish. Ga kesitu arahnya. Lebih tepatnya, lebih nyaman dan nyenengin untuk disimak dan dinikmati. You know what I mean....
Ga banyak rasanya grup musik fusion, yang memainkan musik seperti mereka. Apalagi kalau ngomongin mereka secara grup yang sudah beredar sejak 30-an tahun silam. Dimana enerji mereka terasa tak menyurut, semangat masih menyala.
Kalau saya yang menilai Emerald BEX, ya secara menonton, berteman bahkan jalan tour kemana-mana, sudah saya alami dan lakukan dengan mereka sejak 30-an tahun silam. Lebih objektif dong harusnya. Lebih bisa dipercaya? Hehehe. Yang pasti, mereka musisi bagus dan baik hati....
Lalu ketika
melihat Chinta tampil, apalagi dengan
lagu yang semuanya adalah lagu karya Emerald (BEX) yang dinyanyikan dan
dipopulerkan mendiang ayahnya, saya yang menontonnya terharu.
Teringat,
semasa hidupnya dulu, beberapa kali Ricky Jo bercerita mengenai putri sulungnya
yang mulai menyanyi. Sebagai ayah, ia seolah mencoba bersikap biasa dan tidak
berharap lebih. Namun begitu, ia sulit membunyikan rasa bangga dan gembiranya,
anaknya mengikuti jejaknya. Walau ia juga menyiratkan, ia tak memaksa sang
putri harus menjadi penyanyi seperti dirinya.
Well,
bro RJ, Chintana menyanyi untuk penonton dan untuk dirimu. Rasanya dirimu bro,
menonton dan tersenyum bangga. Bangga karena anakmu “beneran” mengikuti jejak
ayahnya, menyanyikan lagu-lagumu pula. Bersama grup band yang dirimu juga sukai
banget dan banggain!
Selepas
acara Makassar Jazz Reunion, Hendra Sinadia kepada Restu Fortuna dan saya
mengatakan keinginannya untuk melanjutkan kiprah jazznya lagi di Makassar.
Kamipun bersepakat, mencoba mewujudkan rencana sebuah event skala festival
lainnya, di sekitar bulan September 2018 nanti. Dan, silahkan menunggu dengan
sabar ya....
Skalanya agak lebih besar. Dimana ide dari Hendra adalah, outdoor, mengambil tempat yang lebih eksotis. Kalau memungkinkan, di salah satu heritage kota Makassar. Wah, hayoooolah. Mohon didoakan saja ya, teman-teman....
Dan
kemudian ke Bondowoso. Dengan pesawat berbadan lebar Boeing 737-300 saya menuju
kota Surabaya di pagi hari. Transit di Surabaya, untuk melanjutkan perjalanan
ke kota Jember dengan pesawat kecil, berbaling-baling jenis ATR 72-600.
Hanyalah 40 menit dari Surabaya ke Jember.
Dari
Jember saya, yang berangkat dalam rombongan rame-rame bersama para musisi dan
penyanyi pengisi acara, dijemput oleh penyelenggara. Maka kamipun ke Bondowoso,
melalui jelan darat dengan waktu tempuh sekitar 1 jam lebih sedikit.
Menariknya,
ternyata perhelatan bertajuk Jazz Republik Kopi di kota Bondowoso tersebut,
diadakan sendiri oleh Bank Jatim. Tanpa menggunakan tenaga event organizer profesional, Bank Jatim sendiri juga yang menjadi pelaksana.
Mengerahkan tak kurang dari 70-an karyawannya.
Nah
perihal saya bisa terlibat di ajang di Bondowoso tersebut, ini karena jasa baik
sahabat saya, Ryan Luqman. Lewat Ryan lah, salah satu anggota tim dari Bank
Jatim diperkenalkan kepada saya. Keinginannya, minta bantuan mengusulkan lalu “mendatangkan”
pengisi acara utama dari festival tersebut.
Acara
Jazz Republik Kopi (JRK) itu sudah diadakan, sebagai agenda tetap tahunan,
sejak 2016. Maka dalam waktu hanyalah sekitar 1 bulan saja, acara itu dipersiapkan.
Saya dan Reza, yang menjadi talent coordinator acara tersebut dan tentu saja ia
adalah pegawai Bank Jatim, berdiskusi intens untuk “menjaring” talent yang
sesuai sebagai pengisi acara.
Sempat
disebut, bahkan dikontak juga,tak kurang dari 15-an nama. Akhirnya deal dengan
pilihan Rebecca Reijman.
Kebetulan,Rebecca tengah menyiapkan konsep single terbaru, bersama band
tetapnya. Grup bandnya bernama Becca and
de Tuan’s. Berisikan para musisi muda. Bertalentalah.
Belakangan
lantas disertakan pula nama Abdul & the
Coffee Theory. Sesuai dong dengan nama acaranya kan? Pengisi acara
mini-festival itu, ditambah grup band lokal, 360 Band, sebagai band pembuka. Dengan host atau master of ceremony,
didatangkan pula dari ibukota, Danny.
Danny dipasangkan dengan host setempat, Bagong.
Panggung
ditempatkan di areal pusat kota, tepatnya di ujung jalan Letnan Karsono. Persis
di depan Bank Jatim perwakilan Bondowoso. Areal festival itu diramaikan deretan
tenda-tenda untuk pameran, yang sebagian besar menyajikan produk khas
Bondowoso. Dan tentu saja, terutama produk kopinya.
Adalah
Bupati Bondowoso saat ini, yang kini di tahun terakhir periode kedua memimpin
Bondowoso, Drs. H. Amin Said Husni,
yang memotori Bondowoso sebagai kota penghasil kopi. Bahkan kabarnya, saat ini
menjadi salah satu sentra penghasil kopi bermutu terbaik Nusantara.
Sang
bupati juga yang menyukai jazz dan menginginkan Bondowoso bisa memiliki satu
acara jazz, berformat festival. Keinginan sang bupati itulah yang lalu
diwujudkan oleh Bank Jatim.
Bersyukurlah
udara relatif cerah, maka acara festival kecil tersebut berlangsung tanpa
hambatan berarti. Becca and de Tuan’s yang terdiri dari Elfir Safir (gitaris), Arif
Julyandra (bassist), Dovi “bisabunyi” Martindas (flutist, saxophonist). Kemudian drummer, Tommy Vernando, serta juga Dony “Don Joe” Joesran
(kibordist).menjadi bintang utama yang hadir pertama.
Mereka
memainkan pula single terbaru mereka,
‘Lov3’. Ada 8 lagu yang mereka mainkan, rata-rata adalah karya sendiri.
Musiknya memang lebih terkesan jazzy, easy
listening, cozy. Enak-enak empuk,
segerlah. Musiknya santai gitu suasananya, tapi memang terasa Rebecca kini
mengarahkan diri lebih cenderung ke bentuk jazz/jazzy.
Saya
menyebutnya, warna musik yang modern, fresh,
energic and jazz! Saya kemudian lebih suka mengatakan, well good and fresh music from nice musicians. Ya musicians also their vocalist, ofcourse
dong ah.
Setelah
Becca and her best-friends of music itu, ada acara talkshow dimana kedua host
mengajak bupati, Amin Said Husni dan Rebecca Reijman berbincang-bincang
sejenak. Terutama memperbicangkan soal kopi, potensi kopi Bondowoso di industri
nasional. Bahkan di dunia internasional.
Sempat
diselipkan duo dadakan, duet spontanitas antara Rebecca Reijman dan Amin Said
Husni. Mereka berdua menyanyikan, standard ‘My Way’, yang kabarnya adalah lagu
jazz favorit sang bupati.
Penutup
adalah tentunya, penampilan Abdul &
the Coffee Theory. Grup ini mengetengahkan penyanyi, yang juga penulis lagu
dan produser, Tengku Muhamad Abdulah Amin
Ashari. Ia didukung grup bandnya, yang ada 2 musisi yang saya kenal baik. Dezca Anugerah Samudra (drummer) dan Andre Kussoy “Coople” (bassist).
Ribuan
penonton yang berbondong-bondong menyaksikan acara, kelihatannya lumayan
terhibur. Sebagian besar bertahan hingga jelang acara ini berakhir, saat jarum
jam menunjukkan hampir 23.30 waktu Bondowoso.
Selain
Bapak Bupati, yang lalu digelari pula sebagai “Presiden Republik Kopi” itu,
ikut menyaksikan seluruh Forum Pimpinan Daerah se-Bondowoso sebagai tamu undangan
utama. Ikut hadir pula, Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Kementrian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Syamsul Widodo.
Jadi
begitulah rangkaian perjalanan saya di tiga akhir pekan, secara beruntun, di
April sampai Mei 2018 silam. Semuanya menarik, dengan ceritanya masing-masing.
Karena kan, tim penyelenggaranya juga berbeda-beda. Dengan karakter khas
masing-masing pula. Dan konsep dasarnya juga berbeda-beda sih.
Bahwasanya
jazz bisa berbunyi dipelbagai daerah, itu tetap menjadi satu titik unik dan
menarik. Walaupun, memang kemudian waktu juga yang kelak membuktikan, akankah
agenda-agenda tetap tahunan itu bisa bertahan panjang. Alias, seberapa banyak “simpanan”
stamina mereka. Stamina, atau “semangat”?
Semangat
memang menentukan. Dan lagi-lagi saya memang menemui, pilihan pada jazz itu ya
tetap saja istimewa. Tidak terlalu jelas betul sebenarnya, apakah publik di
kota tersebut, memang banyak yang menyukai jazz?
Dan,
ini nih yang penting, apakah penyelenggara ataupun pelaksana acara-acara
berbentuk “festival jazz” itu memang memahami dan mengerti akan jazz? Ah, ini
mah topik yang susah untuk “selesai” diperbincangkan. Diskusinya ga
kelar-kelar....
Sudah
beberapa kali saya tuliskan. Dan tetap terus menggelitik saya, untuk lagi dan
lagi menuliskannya.... Ya tak lebih dari sekedar untuk menyolek, mengingatkan.
Segitu dulu deh. Agar kelak di kemudian hari, memang akan dapat tersaji
hidangan-hidangan jazz, yang bertolak dari pemahaman dan wawasan terhadap jazz
yang....yah sebut saja, “mendekati sempurna”lah.
Kesempurnaan
itu, meskipun sampai taraf “mendekati”, secara keseluruhan. Bagiamana pilihan
pengisi acaranya, bagaimana sebetulnya tema acara yang disepakati sebagai
konsepnya. Tak kalah penting, bagaimana menyajikannya. Ya iya dong, soal tata
cahaya dan tata suara itu penting, yang berkaitan dengan cara menghidankannya
ke publik. Eits, janganlah dilupain
dong!
Selalu
saja menarik, bisa berjalan-jalan dan apalagi dengan sekalian menonton jazz.
Kan kalau untuk saya, menonton, berarti juga mendengarkan. Ditambah, bisa
memotret! Menyenangkan dan menyegarkan jiwa lhoooo. Eh memangnya beneran, bikin
awet muda?
Jazz
memang selalu menyegarkan dan menyenangkan hati. Walau saya juga sejatinya,
bisa menikmati pula tontonan musik lainnya. Rock lah misalnya. Cuma kan
masalahnya, tergantung nih ada undangannya atau tidak? Hahahaha.....
Ujung-ujungnya undangan ya?
Sampai
bertemu lagi, di acara-acara musik berikutnya. Tentunya, dengan cerita-cerita
saya yang lainnya.
Well folks, Jazz as
Always.... /*
No comments:
Post a Comment