"Musik kita jaga keberadaannya. Semoga
eksistensi musik nasional lebih diakui keberadaannya secara global. Hidup tanpa
musik terasa hambar," kata Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Presiden mengemukakannya
dalam cuitannya yang diunggah pas Hari Musik Nasional, Jumat, 9 Maret
2018.
Presiden Joko Widodo sebelumnya sempat
dikabarkan akan menghadiri penutupan Konferensi
Musik Indonesia yang pertama kali diadakan.. Namun ternyata urung hadir,
sehingga beliau mengirimkan video yang diunggahnya ke sosial media tersebut.
Konferensi Musik Indonesia (KAMI) diadakan pada Rabu 7 Maret sampai
Jumat 9 Maret. Kegiatan dipusatkan di gedung utama Taman Budaya Maluku, Ambon.
Selain itu ada kegiatan di auditorium Hotel
Tirta Kencana, Amahusu, Ambon.
Saya kepengen bercerita mengenai
keikutsertaan saya dalam acara tersebut. Ketika diundang, sudah sejak sekitar
Oktober-November 2017 kalau tak salah, jadi baru sebagai wacana saat itu bahwa
akan ada konferensi musik. Darisaat itu saya menyatakan siap untuk ikut.
Dan pada akhirnya, memang jadi ikut. Walau
kepastian saya berangkat, dengan kepastian tiket pesawat pergi dan pulang, baru
didapatkan persis hanya 2 hari sebelum tanggal keberangkatan.
Sayapun berangkat ke Ambon, pagi hari
Selasa 6 Maret. Ternyata satu rombongan
dengan “barisan” para biduan/biduanita. “Kepala rombongan” adalah rocker nan
lincah dan trengginas, sahabat baik saya nan rancak, Kadri Mohamad. Dari antara para biduan, terselip juga beberapa
sahabat baik sejawat, sesama penulis musik.
Malamnya di Selasa 6 Maret tersebut, ada
jamuan makan malam di kediaman resmi Walikota Ambon, Richard Louhanapessy. Bapak dan ibu walikota menyambut hangat
kedatangan kami. Dan disitulah, saya juga berjumpa dengan teman-teman baik
lainnya, yang berasal “rombongan” berbeda. Kelihatan lengkap betul, para
penggiat musik yang siap mengikuti konferensi musik yang akan dimulai keesokan
harinya.
Well bro
en sis, ketika akan berangkat ke Ambon, sebetulnya saya sendiri ada merasa
optimis. Tapi sekaligus punya rasa pesimis. Optimis dong, ini perhelatan
pertama berbentuk konferensi, untuk musik Indonesia. Belum pernah terjadi, sepanjang
sejarah republik ini berdiri!
Tapi ya pesimis juga, lantaran aduh eta teh aya setumpuk persoalan yang
membelit dunia musik Indonesia. Dari jaman ke jaman. Masalah-masalah itu terus
menerus”mengganggu” perjalanan dunia musik Indonesia. Apakah sebuah konferensi,
akan dapat menyelesaikan “persoalan bangsa” tersebut?
Galau tak galau. Ragu sih ga lah. Saya mantap
saja berangkat. Saya siap “hanya” menjadi pendengar atawa partisipan saja.
Walau sempat sebelumnya, dimintai tolong oleh Glenn Fredly, sebagai ketua komite penyelenggara KAMI itu, untuk
dapat menjadi moderator untuk sebuah sesi workshop.
Jadi rencananya, ini merupakan ucapan dari
Glenn, dia kepengen ada sesi workshop dengan model tanya jawab dengan musisi. Seperti
yang beberapa kali sempat saya pimpin, sebagai moderator, di program bulanan MusikBagusDay. Program tetap saban
sekali sebulan itu juga dipimpin Glenn Fredly, biasanya digelar di Cilandak
Town Square (Citos).
Tapi apapunlah ya, siap saja walau toh hanya
menjadi peserta biasa, karena permintaan untuk menjadi moderator tersebut, yah
tak lagi terdengar saat makin mendekati acara. Artinya, saya pikir tak
mungkinlah secara dadakan tetiba saya diminta menjadi moderator, atau yang
semacam itulah, saat sudah berada di Ambon.
Kesempatan menghadiri sebuah konferensi itu
saja, sudah hal yang terbilang luar biasa. Sekaligus juga, penasaranlah cuuuy! Apakah mungkin kaum musik
Indonesia, berkumpul dan bersama-sama seperti menyatukan visi dan misi.
Menyepakati apa ya, arah perjuangan?
Bersediakah para eksponen musik untuk
bahu-membahu, menyumbangkan pemikiran-pemikirannya, guna menyelesaikan
persoalan-persoalan di dunia musik selama ini, yang mengganggu kelancaran
perjalanan karir bermusik mereka?
So itu yang bikin penasaran dong! Materi
lengkapnya saya belum tahu sama sekali. Blank
lah. Apa saja nanti topik-topik yang akan dibicarakan, juga masih belum jelas.
Tapi apapun, saya pikir senang juga bisa menjadi bagian dari sebuah sejarah....
Ya bersejarah dong, kan ini kali pertama?
Oh ya, sebentar saya coba ingat-ingat dulu
para anggota rombongan biduan dan biduanita, yang berangkat barengan sepesawat
dengan saya. Ada Titik Hamzah, Chicha Koeswoyo lalu juga Sari Koeswoyo. Para rocker seperti Trison Manurung, Arry Syaff. Gitaris Damon
Koeswoyo juga ada, bersama si cantik, Ade
Andrini. Penyanyi dan guru vokal yang ngejazz, Restu Fortuna.
Siapa lagi ya? Sylvia Saartje, yang bela-belain
terbang ke Jakarta dulu dari hometown-nya,
Malang. Supaya bisa terbang ramai-ramai ke Ambon, dari Jakarta. Ada lagi lady rockers lain seperti Connie Dio, Mel Shandy, Lady Avisha
dan Yevie Nabella. Mereka semua para
perempuan nge-rock abis, asal
Bandung.
Kadri Mohamad juga barengan di rombongan yang
sama. Lalu juga terdapat nama jurnalis musik seperti Edo “musiclive” serta Denny MR, para wartawan musik handal
yang senioritasnya tak perlu diragukan. Jam terbang tinggilah ya. Jurnalis
musik muda Wendi Putranto juga ada
dalam rombongan.
Ada juga pasangan muda pewarta musik, Bayu Randu dan Dyk Dyka dari iMusic.
Serta pasangan ibu dan anak, penyanyi keroncong, Sundari Soekotjo dan Intan
Soekotjo.
Masih ada yang lainnya, pasangan rocker Bangkit Sanjaya dan istri, Effie. Nah baru kemudian di Ambon baru
ketahuan ternyata kami satu hotel dengan beberapa teman lain. Misal ada Teuku Adifitrian a.k.a dr. Tompi.
Lalu juga teman-teman baik dari Malang,
tepatnya dari Museum Musik Indonesia,
Hengky Herwanto dan Johannes Antok. Masih ada pula
teman-teman dari kota Bandung, Angga
Wardana dan Icha perkusionis. Oh
ya ada juga Alvin, ex grup rock, Harapan
Jaya, dari kini di Irama Nusantara.
Rocker lain, Ecky Lamoh juga satu hotel dengan kami, dimana Ecky datang dari
kota Yogyakarta. Waduh ramai betul memang. Dan Hotel Tirta Kencana itu, mungkin
adalah hotel yang paling jauh letaknya dari kawasan pusat kota Ambon. Butuh
waktu sekitar sejam dari tengah kota, untuk mencapa hotel kami.
Tapi hotel lama tersebut, pemandangannya
indah lho. Karena persis ada di pinggir laut! Kalau soal pemandangan wuuiiih, hotel-hotel untuk peserta lain
mah...lewaaaat! Ada mungkin atau
hotel yang dipakai untuk akomodasi para peserta KAMI. Hotel lain semua
di tengah kota, yang “menyendiri” dan asli di pinggir laut, hanyalah Tirta
Kencana saja.
Sekarang mengenai konferensinya. Konferensi
dibuka sekitar jam 09.00 pagi di hari Rabu 7 Maret, dengan pidato dari Menteri
Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani
Indrawati. Satu poin saja yang saya ingat betul, Sri Mulyani akan berusaha
mendorong pembangunan gedung-gedung pertunjukkan, pusat kesenian di seluruh
provinsi, melalui peran serta pemerintah daerah setempat.
Langkah tersebut demi mendukung industri
musik Indonesia. Ia berharap para pelaku musik di Indonesia, tak hanya
mengembangkan eksistensi saja, tetapi juga berinovasi, berkreasi. Sehingga akan
dapat eksis di tingkat dunia
Pidato Menteri Keuangan tersebut, jelas
merupakan angin segar bagi iklim musik Indonesia. Saya mendengarnya dan mencoba
mencernanya, lantas merasa kalau ini dapat benar-benar terwujud, sungguh
merupakan bentuk kepedulian maha penting pemerintah terhadap dunia musik
Indonesia.
Setelah pidato Menteri Keuangan, yang
merupakan Menteri Keuangan pertama yang mengunjungi kota Ambon selama negara
Republik Indonesia ini berdiri, acara diisi dengan panel diskusi terbuka yang
mengambil tema, Memajukan Musik Sebagai
Kekuatan Ekonomi Indonesia di Masa Depan
Dalam sesi pembuka, yang dipimpin Adib Hidayat sebagai moderator
tersebut, ada Triawan Munaf, Kepala
Badan Ekonomi Kreatif serta “sepupu”nya musisi, Fariz RM., Serta musisi yang kini menjadi anggota legislatif, Anang Hermansyah. Mereka menjadi
pembicara, termasuk ada nama Arry Juliano Gema, dari Badan Ekonomi Kreatif..
Melihat dan menyimak pembukaan dari dengan keynote speech Sri Mulyani Indrawati,
dan bagaimana alur diskusi dalam perbincangan pada sesi panel diskusi yang
pertama, saya merasa pembukaannya menggairahkan. Baguslah.
Para partisipanpun terlihat betul, antusias
dan bersemangat mengikuti diskusi. Terlihat juga dari bersemangatnya mereka
dalam sesi penutup, tanya-jawab. Yang sayang, karena keterbatasan waktu, jumlah
yang bertanya atau menanggapi dari floor terbatas
hanya 2 atau 3 orang.
Kan kalau saja sesi tanya jawab tersebut,
mempunyai waktu yang lebih lapang, akan berpotensi menjadi ruang diskusi
terbuka. Bahkan yang tak sempat bertanyapun, akan mempunyai kesempatan
mendengar dan ikut memahami. Diskusi jadi lebih
bergizi. Mungkin akan lebih bervitamin juga....
Diskusi panel kedua, yang diadakan selepas
istirahat makan siang bersama,mengambil judul Tata Kelola Industri Musik di Era Digital. Ini masalah teranyar dan
lagi hangat banget. Sesuai jamanNow.
Menyenggol soal tata kelola penjualan,
distribusi, kesiapan metadata. Dimana
dalam hal ini, penjualan produk rekaman lebih pada bentuk digital berupa content-content musik yang bisa dibeli
dengan cara didownload. Ataupun
dengan cara streaming misalnya, yang
bentuknya materi-materi yang ada dalam cakupan penjualan aplikasi.
Sesi panel diskusi kedua ini dipimpin
moderator, Rudolf Dethu. Antara lain
menghadirkan pembicara yang berkompeten banget, Candra Darusman, yang kini bekerja di organisasi hak cipta dan
kekayaan inteletual internasional. Selain itu ada nama Irvan dari grup Samson, yang memang bergiat pula di ranah penjualan
digital tersebut.
Setiap jeda, dari satu panel diskusi ke panel diskusi berikutnya, ada sajian hiburan musik. Dengan bernuansa kolaborasi. Seperti antara grup muda HiVi dengan Maluku Bamboo Orchestra atau juga Kuno Kini dengan Maluku Bamboo Orchestra. Ada juga kolaborasi para musisi muda jazz, dipimpin Gerald Situmorang, dipadupadankan dengan koreografer kelas dunia, Eko "Pece" Supriyanto. Atapun penampilan para rapper cilik asal Ambon.
Pada hari kedua, diskusi harusnya tetap menarik. Temanya kan berbeda. Apalagi menghadirkan Menteri Telekomunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Rudiantara. Dalam sambutannya, sebagai keynote speech, di hari kedua itu,
Rudiantara menyatakan dukungannya terhadap ekosistem musik melalui infrastruktur internet yang akan dipersiapkan untuk memudahkan musisi berproduksi, berkolaborasi dan mendistribusikan karya mereka dari seluruh wilayah di Indonesia.
Pada hari kedua, diskusi harusnya tetap menarik. Temanya kan berbeda. Apalagi menghadirkan Menteri Telekomunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Rudiantara. Dalam sambutannya, sebagai keynote speech, di hari kedua itu,
Rudiantara menyatakan dukungannya terhadap ekosistem musik melalui infrastruktur internet yang akan dipersiapkan untuk memudahkan musisi berproduksi, berkolaborasi dan mendistribusikan karya mereka dari seluruh wilayah di Indonesia.
Artinya, ya buat saya, ada peran serta
pemerintah yang aktif. Entah sudah ataupun, akan terjadi. Terhadap dunia musik
Indonesia. Terlebih-lebih lagi pada ekosistem musik Indonesia. Peran pemerintah
yang gelagatnya, bisa lebih menggairahkan ekosistem musik negeri kita ini.
Positif dong? Ya itu kan yang harusnya
memang terjadi. Idealnya, jelas pemerintah harus mendukung. Seterusnyalah. Tak
hanya sekedar “peduli” dengan musik Indonesia, di saat-saat mendekati pemilu
ataupun pilpres. Seperti beberapa suara yang terdengar selama ini. Kemarin
sentilan itu, juga sempat dikemukakan.
Selepas Rudiantara menyampaikan
sambutannya, dilanjutkan panel diskusi pertama di hari kedua, Musik, Diplomasi Budaya, dan Pariwisata.
Jadi teringat dengan bagaimana pemerintah Korea Selatan, mendukung secara
sangat aktif industri musik (pop) negerinya. Menjadikannya sebagai salah satu
unsur penting bagi promosi pariwisata, lebh memperkenalkan Korea Selatan ke
dunia internasional.
Dan panel diskusi penutup konferensi di
hari ketiga mengajukan tema yang tak kalah menarik, Musik sebagai Alat Perdamaian, Pemersatu Bangsa, dan Gerakan Anti
Korupsi' yang dipandu oleh Najwa
Shihab. Salah satu yang dikedepankan
bagaimana musik secara nyata mempersatukan dan memelihara perdamaian,
paska pertikaian bernuansa agama di
Ambon.
Konferensi yang dihadiri banyak
pelaku-pelaku aktif ekosistem musik Indonesia, artinya tak hanya sebatas para
musisi dan penyanyi saja, diramaikan dengan acara lokakarya. Lokakarya dengan
format seperti membagi beberapa topik, ke dalam group tertentu. Beberapa topik
disodorkan, termasuk mengenai jurnalisme musik.
Lainnya ada pula mengenai musik digital,
management musik, musik daerah dan lainnya. Seluruh kegiatan lokakarya,
bertempat di sebuah auditorium di dalam kawasan penginapan Tirta Kencana.
Berlangsung mulai sekitar 17.00 wib dan berakhir malam hari.
Seperti juga halnya dengan diskusi panel
di Taman Budaya, sebagai event utama, maka lokakarya tersebut dilakukan dua
hari, pada 7 dan 8 Maret 2018. Mayoritas partisipan KAMI antusias mengikuti
kegiatan ini, dengan jalan memilih untuk ikut dalam grup yang topiknya memang
ingin diikutinya.
Saya memilih mengikuti yang lebih pada
soal jurnalisme musik. Saya senantiasa melihat bahwasanya memang jurnalisme musik
di sini, terbilang “tertinggal” dengan perkembangan dunia musik itu sendiri.
Harus ada kemauan yang sungguh-sungguh bagi para jurnalis, teristimewa para
jurnalis muda untuk dapat menulis dengan baik dan benar.
Artinya kan gini cuuuy, dengan menulis
yang “baik dan benar”, secara nyata berkontribusi pada kemajuan musik Indonesia
juga adanya. Kemajuan ini baik untuk para pelaku, maksudnya ya musisi, penyanyi
dan grup band. Juga kemajuan dalam hal selera, bagi para penikmat musik.
Sebenarnya, saya pribadipun merasa belumlah
sempurna dalam hal penulisan tersebut. Maksudnya, dalam hal menuliskan sebuah
tulisan dalam artikel yang dapat menggambarkan secara konkrit musik. Tentu
saja, musik Indonesia. Saya masih harus belajar terus. Atau, paling tidak harus
aktif mendengar dan melihat....
Kalau tidak, ya bye bye, pasti akan tertinggal. Akibatnya tentu saja,
tulisan-tulisan saya tak berarti apapun. Percuma atuh, capek-capek nulis. Sementara soal jurnalisme ini, saat
ini terganggu dengan jurnalisme kecepatan. Yang dianggap lebih berarti daripada
bentuk karya-karya tulis yang mempunyai kedalaman.
Apa iya ya, kecepatan kini jauh lebih
penting? Ini lebih sebagai “pergulatan batin” saya sih. Kayak gini, apakah
publik tak lagi suka dengan bentuk tulisan yang mempunyai kedalaman? Masih pro
dan kontra, at least ya dalam hati
saya.. Seperti juga silang pendapat, pentingnya tulisan ringkas, jelas dan
berisi. Dengan tulisan panjang, yang mendalam dan berisi.
Ki-ka : Tiro Sanchabakhtiar, Buddy Ace, Dhani Pette, Andre Sumual, Anang Hermansyah |
Ki-ka : Kaka Slank, Giring Ganesha, Ivanka Slank, Once Mekel, Ridho Hafiedz Slank |
Ah sudahlah, topiknya kelewat lebar nih.
Nanti saja, di tulisan terpisah. Cuma sayang juga, pihak jurnalis atau wartawan
musik, teristimewa dari Jakarta, tak banyak yang hadir. Kemungkinan besar, dana
relaif minim. Jadi halangan deh, untuk bisa memberangkatkan teman-teman
wartawan musik yang lainnya.
Forum grup dalam lokakarya KAMI kemarin
itu, mencoba merumuskan beberapa pokok persoalan dan ide-ide jalan keluar. Saya
pilih sebut begitu saja deh. Sehingga usulan tersebut, kiranya kelak dapat
lebih menggerakkan para pelaku jurnalisme musik, untuk dapat berperan aktif
dalam perkembangan serta perjalanan musik Indonesia.
Jadi dari Selasa 6 Maret, hingga Sabtu siang,
10 Maret saya berada di kota Ambon. Ambon nan manise, namun juga astaga...Ambon
nan panase. Panasnya lumayan.
Maklumlah, kota pelabuhan. Tapi ini pengalaman seru saja, kali pertama
menginjakkan kaki di kota Ambon. Ah akhirnya, bisa merasakan Ambon....
Berpanas-panaspun tak mengapa.
Sayangnya, gedung tempat konferensi berlangsung, pendingin ruangannya kurang.
Panas di luar gedung, masuk di dalam gedung eh masih rada gerah. Bikin agak
kurang rileks kan jadinya....
Mengikuti serangkaian kegiatan konferensi
seperti KAMI, yang selalu menarik memang lebih pada silaturahmi, bertemu dan
ngobrol leluasa dengan teman-teman “sejawat”. Juga berkesempatan bertemu dengan
teman-teman yang lama tak jumpa.
Berkenalan juga bisa, kalau belum kenal.
Menjalin networking. Demi eksistensi
juga? Yah ga papa. Bahwasanya kebersamaan itu baik, indah malah. Poin itu penting sih. Seperti, sekali
merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampauilah....
Menarik pula, bagaimana terjadi
candaan-candaan di tengah diskusi-diskusi di luar acara. Bisa di teras gedung
utama Taman Budaya, bisa di restoran di penginapan, bisa di lobi penginapan.
Ataupun bisa saja, di sebuah kedai kopi di tengah kota Ambon.
Oh ya ada kedai kopi yang mendadak jadi
“buah bibir” di kalangan partisipan KAMI. Kedai Sibu-Sibu namanya. Nyaris sebagian besar peserta KAMI bergantian
datang,mencoba kopi dan sukun goreng di kedai itu. Bahkan juga termasuk para
musisi, diantaranya termasuk Slank!
Saya sempat juga dong datang ke
Sibu-Sibu. Kami hanya berempat saja. Saya bersama Restu Fortuna, Arry Syaff dan
Trison Manurung. Melipir sejenak, di sela-sela kegiatan diskusi KAMI. Maunya
bisa ngobrol, diskusi juga deh, lebih lamaan
lah ya. Enak saja. Terutama kopinya itu. Tapi aduh, gerahnya.... Kenyamananpun
terganggu. Terpaksa cepat kembali ke Taman Budaya deh.
Edan nih, dalam menuliskan “perjalanan mengikuti KAMI di Ambon” ini, pilihan kata-kata saya terasa sopan betul. Mudah-mudahan bisa terlihat, dan terasa, “elegan”? Ya ya ya, boleh dong, sesekali tak terlalu becanda, dan memutar-mutar kata.... Hampura, intermezzo dikit.
Edan nih, dalam menuliskan “perjalanan mengikuti KAMI di Ambon” ini, pilihan kata-kata saya terasa sopan betul. Mudah-mudahan bisa terlihat, dan terasa, “elegan”? Ya ya ya, boleh dong, sesekali tak terlalu becanda, dan memutar-mutar kata.... Hampura, intermezzo dikit.
Ok, saya coba copas saja nih, hasil
rangkuman dari Konferensi Musik Indonesia yang pertama kali diselenggarakan
tersebut. Rangkuman yang disebutkan sebagai Deklarasi KAMI 201 ini, dibacakan
oleh ketua komite penyelenggara, Glenn Fredly, pada acara penutupan.
Keberlangsungan
musik Indonesia seluruhnya bertumpu pada kemajuan ekosistemnya, yakni segenap
pola interaksi antar unsur yang saling menunjang dalam dunia musik Indonesia.
Tanpa usaha pemajuan yang menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari
pelindungan, pengembangan, sampai dengan pemanfaatan musik, serta pembinaan
segenap sumber daya manusia di dalamnya, tidak akan ada kehidupan permusikan
yang sehat. Tanpa itu, tidak akan tumbuh iklim penciptaan musik yang berakar
pada konteks nyata perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tanpa itu, tidak akan
terwujud pula peningkatan harkat, martabat dan citra musik Indonesia di kancah
internasional. Pemajuan ekosistem musik Indonesia sebagai sarana komunikasi
antar budaya akan menjadi lokomotif perekat kehidupan bangsa menuju perdamaian
abadi. Seluruh hal tersebut bermuara pada komitmen kerja bersama yang
melibatkan seluruh lembaga, pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan di bidang
musik.
Atas
dasar itu, kami dengan ini menyatakan kerjasama-kerjasama strategis antara para
pemangku kepentingan di bidang musik dan pemerintah Republik Indonesia untuk
mewujudkan dua belas rencana aksi berikut ini:
1. Segera mewujudkan sistem pendataan terpadu musik
Indonesia yang melibatkan jaringan data lintas lembaga, kementerian serta
pusat-pusat data milik masyarakat dengan mekanisme yang menjamin akses bagi
seluruh pemangku kepentingan di bidang musik Indonesia.
2. Mengarusutamakan musik dalam pendidikan nasional dan
diplomasi budaya Indonesia untuk memperkaya bentuk-bentuk pemanfaatan musik
sebagai ekspresi budaya, aset ekonomi dan pembentuk karakter bangsa.
3. Meningkatkan apresiasi dan literasi musik melalui
penguatan dan standarisasi kurikulum pendidikan musik di sekolah dasar dan
menengah serta peningkatan kompetensi pengajar musik di sekolah.
4. Membangun pendidikan musik Indonesia yang relevan
dengan konteks lokal setiap daerah di Indonesia guna melahirkan para pencipta,
para pekerja musik dan para akademisi musik.
5. Mendorong terwujudnya keadilan gender dalam musik
Indonesia melalui pemberlakuan klausul yang responsif gender dalam kontrak
kerjasama dengan musisi sebagaimana yang tercantum dalam peraturan
ketenagakerjaan serta pemberlakuan aturan yang melarang kekerasan dan pelecehan
seksual di ruang-ruang bermusik.
6. Mendorong terwujudnya sistem dan mekanisme distribusi
digital yang memastikan terjaminnya akses yang transparan, berbasis
waktu-nyata, dapat diandalkan, serta melindungi karya cipta musik
Indonesia.
7. Mendorong terwujudnya infrastruktur pertunjukan,
pendidikan dan produksi musik yang memenuhi standar kelayakan, relevan dengan
budaya lokal dan menjamin terwujudnya akses yang meluas, merata dan
berkeadilan.
8. Mendorong pelindungan dan pengembangan ekosistem musik
etnik melalui pertukaran musisi antar daerah, kepastian keberlanjutan
lingkungan dan sumber daya alam, serta pemberlakuan mekanisme pembagian manfaat
yang layak atas segala bentuk pemanfaatan musik etnik.
9. Meningkatkan kesejahteraan musisi Indonesia melalui
pembentukan sistem penentuan tarif royalti nasional, mekanisme pembagian
royalti yang berkeadilan, sistem pemantauan, mekanisme penegakan hukum atas
setiap pelanggaran hak kekayaan intelektual musisi, serta penetapan standar upah
minimum musisi.
10. Mendorong peningkatan pemahaman dan kecintaan
masyarakat terhadap musik Indonesia melalui penyebarluasan wawasan sejarah
musik dan kritik musik yang dimotori oleh jurnalisme musik yang
profesional.
11. Meningkatkan kapasitas dan profesionalitas para
pemangku kepentingan di bidang musik dan pendidikan musik dengan memperbanyak
jumlah lembaga pendidikan musik dan manajemen musik, serta sinkronisasi lembaga
sertifikasi kompetensi dan profesi di bidang musik yang mengacu pada kekhasan
kondisi Indonesia.
12. Mendorong terwujudnya tata kelola industri musik
Indonesia masa depan dengan peningkatan profesionalitas manajemen musisi, label
dan penerbit musik melalui pembagian peran yang jelas guna mendorong
kreativitas dan produktivitas musisi.
Semoga pertemuan lintas bidang dalam
ekosistem musik di Konferensi Musik Indonesia yang pertama ini dapat memberikan
buah pikir bersama secara positif dan komprehensif demi masa depan musik
Indonesia yang kita cita-citakan bersama," ujarnya di akhir konferensi.
Begitu yang diucapkan Glenn, setelah ia menutup secara resmi KAMI.
KAMI itu sendiri juga diadakan tentu
saja terkait dengan Hari Musik Nasional, yang selalu diperingati tiap tanggal 9
Maret. Dan juga dilangsungkan dengan kaitan lainnya, saat Ambon yang diusulkan
menjadi kota musik dunia. Kabarnya pihak Unesco, yang akan meresmikan Ambon
sebagai salah satu kota musik dunia, di tahun 2019 mendatang.
Deretan 32 Biduan-Biduanita yang menyanyikan 'Indonesia Raya' versi 3 stansa, di belakang pentas dan saat tampil. Dimana mereka diiringi kibordis, AndI Ayunir. |
KAMI diakhiri sebetulnya oleh sebuah
festival musik, yang mengambil tempat di lapangan Merdeka, kota Ambon. Dalam festival musik yang diadakan pada Jumat 9 Maret sore sampai malam
hari itu tampil banyak penyanyi dan musik. Sayangnya, terpaksa tertunda cukup lama, karena
guyuran hujan sangat deras beberapa saat.
Waktu mlornya lumayan. Karena memang
hujan deras mengguyur, dengan waktu yang cukup lama. Membuat sampai terjadilah,
gangguan di genset, yang menyediakan tenaga listrik untuk keperluan acara
festival itu.
Ada penampilan spesial rombongan 32
biduan/biduanita Jakarta, yang membawakan lagu ‘Indonesia Raya’ versi 3 stansa.
Penampilan tersebut adalah pembuka festival. Dengan jumlah penonton masih
sedikit, mungkn karena terhalang hujan sebelumnya, yang benar-benar mengguyur
kota Ambon dari siang hingga sore hari.
Sayangnya festival tersebut, tak bisa
leluasa diabadikan. Petugas keamanan di sekitar panggung, mengusir para
fotografer dari dalam areal barikade di sisi depan panggung. Memotret acara
hanya diperbolehkan di luar barikade, artinya bercampur dengan para penonton.
Sementara karena habis hujan begitu deras, lapangan pastinya becek. Saya
memilih menyerah, menyimpan baik-baik kamera di dalam tas sajalah....
Slank menutup pergelaran festival musik
tersebut. Performers lainnya itu
beraneka rupa musiknya. Dari Ivan Nestorman, Kuno Kini, Fariz RM, kolaborasi Gugun Blues Shelter dengan Once Mekel, sampai para
musis dan penyanyi asal Maluku seperti Yopie Latul, Andre Hehanusa, Barry
Likumahuwa dan lainnya. Belum lagi, grup-grup musik asal Ambon sendiri.
KAMI berakhir, dan hasil deklarasi sudah
dibacakan. Kedua belas poin yang ada dalam deklarasi, diajukan sebagai masukan
kepada pihak pemerintah, sebagai pihak “pemangku adat” Musik Indonesia.
Kan memang begitulah adanya, haruslah
pihak ekosistem musik Indonesia secara bersama-sama, duduk barengan, dengan
pihak pemerintah. Di acara KAMI, hal tersebut dapat terjadi. Alhamdulillah ya....
Perkara retorika, memang ada juga
menyembul keluar kemarin itu. Tapi pada masanya, reporika-retorika itu pastinya
berujung pada action yang nyata, real, sesuai fakta yang ada. Insya Allah. Harusnya kan begitu, bukan?
Soal hasil akhir, kita hanya bisa
menantikan “jawaban” konkrit pemerintah. Seperti yang saya sampaikan di atas, sejatinya
banyak persoalan seputar dunia musik Indonesia adalah masalah-masalah yang
sudah terjadi sejak lama. Klise kayaknya. Masalah klasiklah.
Kalau boleh, sedikit "masuk ke dalam" lagi nih, misalnya mengenai bagaimanakah memperoleh lebih dari sekedar restu pemerintah, tentunya instansi kementrian terkait. Untuk musisi atau penyanyi yang mendapatkan kesempatan tampil di manca negara. Secara kritis, hal ini disampaikan peserta pada salah satu sesi diskusi.
Jawabannya yang diterima memang, terasa belum terlalu dengan jelas menjawab pertanyaan. Tetapi kalau buat saya, pertanyaan yang dilemparkan itu harusnya menjadi sebuah masukan berharga bagi pemerintah. Baik untuk Bekraf, atau Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ataupun Kementrian Pariwisata.
Sejatinya, begitu banyak potensi-potensi yang "luar biasa" berserakan di khasanah musik Indonesia. Banyak dari mereka, sungguh layak didukung dan didorong untuk tampil di pentas internasional. Jangan biarkan, sebagian dari mereka dengan sangat terpaksa tak mampu menjawab undangan pihak luar negeri.
Ataupun, kalaupun keluar negeri juga akhirnya, namun berjuang "berdarah-darah" demi memperoleh dukungan, biaya sih maksudnya, untuk memperlancar perjalanan mereka berpentas di negeri orang.
Begitupun nasibnya dengan pergelaran-pergelaran bernuansa budaya tanah air. Musik-musik yang relatif bagus, dihidangkan di tanah air. Di pelosok tanah air. Bagaimana perhelatan bernuansa budaya tersebut, juga dapat disupport pemerintah?
Tak hanya lantas aktif mengirimkan musisi dan penyanyi keluar negeri, tetapi juga dapat menyajikan hidangan eksotisme kekayaan budaya seluruh Nusantara, di tanah air sendiri. Ya jangan lupakan "pelestarian" etalase-etalase kebudayaan, termasuk musik di dalamnya, di seluruh Indonesia.
Memang kemarin itu, ada soal birokrasi, yang malah ada kesan menjadi tidak mudah untuk instansi-instansi tertentu memnunjukkan perhatian dan dukungannya. Pertanyaannya, mungkinkah birokrasi itu kayak "dilemesin" aja, upaya jangan malah membuat dukungan tidak optimal? Malah bikin pemerintah "gagap" kelihatannya. Ragu-ragu Icuk...?
Seperti misalnya, ini juga sempat mengemuka, bagaimana justru peran perusahaan rokok yang selama ini lebih jelas supportnya pada perjalanan musik di Indonesia ini. Kalau tak ada dukungan perusahaan rokok, dunia musik Indonesia, terutama konser-konser, bisa-bisa sudah lama collapse... Miris kan?
Kalau boleh, sedikit "masuk ke dalam" lagi nih, misalnya mengenai bagaimanakah memperoleh lebih dari sekedar restu pemerintah, tentunya instansi kementrian terkait. Untuk musisi atau penyanyi yang mendapatkan kesempatan tampil di manca negara. Secara kritis, hal ini disampaikan peserta pada salah satu sesi diskusi.
Jawabannya yang diterima memang, terasa belum terlalu dengan jelas menjawab pertanyaan. Tetapi kalau buat saya, pertanyaan yang dilemparkan itu harusnya menjadi sebuah masukan berharga bagi pemerintah. Baik untuk Bekraf, atau Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ataupun Kementrian Pariwisata.
Sejatinya, begitu banyak potensi-potensi yang "luar biasa" berserakan di khasanah musik Indonesia. Banyak dari mereka, sungguh layak didukung dan didorong untuk tampil di pentas internasional. Jangan biarkan, sebagian dari mereka dengan sangat terpaksa tak mampu menjawab undangan pihak luar negeri.
Ataupun, kalaupun keluar negeri juga akhirnya, namun berjuang "berdarah-darah" demi memperoleh dukungan, biaya sih maksudnya, untuk memperlancar perjalanan mereka berpentas di negeri orang.
Begitupun nasibnya dengan pergelaran-pergelaran bernuansa budaya tanah air. Musik-musik yang relatif bagus, dihidangkan di tanah air. Di pelosok tanah air. Bagaimana perhelatan bernuansa budaya tersebut, juga dapat disupport pemerintah?
Tak hanya lantas aktif mengirimkan musisi dan penyanyi keluar negeri, tetapi juga dapat menyajikan hidangan eksotisme kekayaan budaya seluruh Nusantara, di tanah air sendiri. Ya jangan lupakan "pelestarian" etalase-etalase kebudayaan, termasuk musik di dalamnya, di seluruh Indonesia.
Memang kemarin itu, ada soal birokrasi, yang malah ada kesan menjadi tidak mudah untuk instansi-instansi tertentu memnunjukkan perhatian dan dukungannya. Pertanyaannya, mungkinkah birokrasi itu kayak "dilemesin" aja, upaya jangan malah membuat dukungan tidak optimal? Malah bikin pemerintah "gagap" kelihatannya. Ragu-ragu Icuk...?
Seperti misalnya, ini juga sempat mengemuka, bagaimana justru peran perusahaan rokok yang selama ini lebih jelas supportnya pada perjalanan musik di Indonesia ini. Kalau tak ada dukungan perusahaan rokok, dunia musik Indonesia, terutama konser-konser, bisa-bisa sudah lama collapse... Miris kan?
Nah begitulah "keseruan" selama konferensi kemarin. Lalu apakah KAMI akan dapat mendorong
tercapainya iklim yang lebih kondusif? Bagaimanakah nantinya implementasi dari
konferensi pertama tersebut. Rasanya memang perlu untuk dikawal terus. Momentum
bagus itu,kiranya akan menuju hal-hal perbaikan secara nyata, pastilah niatnya
begitu kan?
HI VI dan Maluku Bamboo Orchestra |
Kolaborasi Kuno Kini (Bhismo) dengan Maluku Bamboo Orchestra |
Kolaborasi nan segar, para musisi jazz muda bersama koreografer kelas dunia, Eko "Pece" Supriyanto |
Salam hangat gitaris muda, Gerald Situmorang dan koreografer Eko "Pece" Supriyanto |
Kreatifitas dapat terpacu, dengan target
dan pencapaian yang jelas. Ga perlu terlalu pusing, soal hari tua misalnya,
bagaimana dengan kesehatan. Profesionalisme itu memang lantas terwujud dengan
nyata. Sekali lagi, untuk semua.
Bukan hanya untuk musisi atau penyanyi.
Bahkan pihak jurnalis musik, bolehlah mengidamkan kesejahteraan bisa lebih baik.
Jadi, kan dukungannya lebih maksimal, dalam ikut aktif mendorong kemajuan
musik? Setuju?
Kalau tidak, sayang dong. Berapa banyak
sudah biaya dikeluarkan untuk perhelatan
skala besar begitu? Semoga saja tak hanya menjadi seremonial belaka. Lalu masuk
ke seremonial KAMI berikutnya, di 2 tahun mendatang. Berhenti hanya menjadi sebuah
acara pul-kumpul.... Oh iya, KAMI
diniati menjadi agenda pertemuan tetap saban 2 tahun sekali.
Akhirul kata, sebagai penutup tulisan
ini. Ga ada kata bernada lebih “heroik” dari...Hidup Musik Indonesia!
Ki - ka : Rhesa Aditya, Restu Fortuna, Adi Dharmawan, Arry Syaff, Harry Anggoman dan Alfred Ayal |
Diskusi yang nampak cukup serius antara Ikang Fawzy, Triawan Munaf dan Yovie Widianto |
Ki - ka : Sylvia "Jippi" Saartje, Nyak Ina "Ubiet" Raseuki, Sari Koeswoyo, Massto Sidharta, Jimmo TKJ, Dhani Pette dan Andre "Opa" Sumual |
Selepas acara lokakarya. Ki-ka : Restu Fortuna, Jimmo TKJ, Bedi Gunawan, Adi Dharmawan, Edo-musiclive dan Giring Ganesha |
“Rentang musik
nasional dari Sabang sampai Merauke mencerminkan rasa toleransi, kerukunan dan
keharmonisan. Musik harus kita jaga keberadaannya. Semoga eksistensi musik
nasional lebih diakui keberadaannya secara global. Ayo dukung musik nasional”, begitu
ucapan kemudian dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam videonya
yang diunggah di media sosial pada Jumat 9 Maret 2018. /*
Ki-ka : Iwa K & istri, Wendi Putranto, Tika Bisono dan saya. |
Bandara Pattimura, Ambon. Selasa 6 Maret. Foto oleh Edo-musiclive |
Para wartawan dan musisi, Taman Budaya Maluku, Ambon. Foto by Edo-musiclive |
Para musisi berbaur dengan pihak ekosistem musik Indonesia. Foto by Edo-musiclive |
Ki-ka : Tompi, Bayu Randu, Arry Syaff, saya, Sylvia Saartje, Restu Fortuna dan Jimmo TKJ. Tirta Kencana Hotel. Foto by Edo-Musiclive |
No comments:
Post a Comment